SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, May 20, 2013

Lidahku Rumahku*


Lidahku adalah bahasaku. Bahasaku adalah identitasku. Identitasku adalah rumahku. Kira-kira begitu refleksi Gloria Evangelina Anzaldua terhadap apa yang disebutnya sebagai identitas diri. Dengan penuh keyakinan, Gloria mengajak semua pihak agar tidak melarang orang lain berbicara, menulis atau berekspresi dengan bahasa lidahnya sendiri. “Jika engkau melakukannya, engkau sebenarnya telah melakukan kekerasan”. Pun Gloria menambahkan, “jika engkau memakai bahasaku dengan cara buruk ketika engkau berbicara kepadaku, engkau sesungguhnya sedang menyakitiku.”

Gloria adalah seorang penyair, novelis, esais sekaligus penulis akademis tentang ruang hidup yang disebutnya sebagai “tapal batas” (Borderlands) . “Tapal batas” yang dimaksud Gloria adalah ruang yang tercipta dari susunan-susunan makna sebagai akibat kepenguasaan atas berbagai identitas;  identitas bahasa, identitas etnik, dan juga identitas budaya.  Bagi Gloria, di “tapal batas” antara bahasa baku dan bahasa sehari-hari, antara bahasa tinggi dan bahasa rendah, antara bahasa bangsawan dan bahasa orang kebanyakan, antara satu bahasa etnik dengan bahasa etnik lainnya,  identitas diri seseorang berpeluang tercuri secara sepihak melalui bahasa. Mereka yang berkemampuan berbicara dan menulis dalam berbagai bahasa (multiple language), dilihatnya sebagai pihak yang berpotensi  menjadi pencuri bahasa dan untuk selanjutnya sebagai pencuri identitas.

Pada dirinya sendiri, Gloria adalah perempuan yang mengalami menstruasi justru pada saat masih berusia tiga bulan. Menstruasi sejak masih bayi --- karena simtom kelenjar endokrin --- membuat pertumbuhan fisiknya berhenti pada usia 12 tahun. Deritanya tak teratasi karena ia sendiri dilahirkan di keluarga buruh tani .  Kalau toh ada keberuntungan mungil untuknya, tidak lain karena Gloria lah satu-satunya di keluarga yang bisa menggapai  pendidikan universitas di Texas.

Gloria berpulang ke penciptanya di California tanggal 15 Mei 2004, tepat ketika ia berusia 61 tahun. Semasa hidupnya, dengan derita yang menyertainya dan dengan bekal pendidikan tinggi, Gloria berkelana di ruang kreatif yang penuh kejutan dan di ruang reflektif yang senyap. Gloria mengaku takut menulis, tetapi lebih takut kalau tidak menulis.

Kembara yang liar dan refleksi yang menukik , kemudian membawanya ke dunia  literasi yang sarat dengan pemikiran filosofis tentang “tapal batas”. Tapal batas yang dimaksudkan di sini adalah ruang yang tercipta dari kontestasi  bahasa, eksistensi dan identitas diri. Di tapal batas ini, Gloria menemukan lidahnya sendiri sebagai lidah yang binal dan liar. Ia menyadari bahwa lidahnya tak terkendali ketika menuliskan karyanya ke dalam bahasa Inggris baku. Lidahnya selalu berontak untuk tetap berekspresi dalam bahasa ibunya, bahasa Spanyol.

Dalam esainya  “Mengatasi Lidah yang Liar”  (How to Tame Wild Tongue), dengan penulisan bergaya hibrid, ia menyindir bahwa lidah liar tak dapat dijinakkan, kecuali kalian memotongnya. Gaya ungkap Gloria tanpa tedeng aling-aling. Secara merdeka, ekspresi bahasa Spanyol dipaparnya ke dalam karyanya yang justru, secara keseluruhan, ditulis dalam bahasa Inggris baku, tanpa merasa perlu menerjemahkannya atau memberi catatan kaki sebagai penjelas bagi para pembaca bahasa Inggris.   

Gloria pun menyebut dirinya sebagai  sastrawan pemakai bahasa Spanglish --- gaya hibrid yang mencampur Bahasa Spanyol dan Bahasa Inggris Baku. Baginya, bahasa dominan, bahasa baku, apalagi bahasa asing, adalah wilayah perjuangan yang tidak seharusnya menenggelamkan eksistensi dan identitas diri. Eksistensi dan identitas diri seharusnya memunculkan diri lewat lidah yang kita pakai untuk bertutur dan lewat pena yang kita pakai untuk menulis.

Bahasa, dalam filsafat Gloria, adalah kulit kembar dari identitas diri. Oleh karenanya, penting menyadari dan memastikan bahwa bahasa yang kita tuturkan atau bahasa yang dipakai oleh orang lain memang adalah milik diri sendiri atau kepunyaan orang lain. Kalau tidak, kita sedang bertutur atau kita sedang menulis justru ketika kita sedang mencuri bahasa dan identitas orang lain. Atau, kita sedang dicuri oleh orang lain tanpa pernah menyadarinya.

Melalui bahasa, kita mungkin kehilangan eksistensi dan jati diri dan melalui bahasa pula, kita dapat menerkam dan melumat habis eksistensi dan jati diri orang lain. Mulutmu harimaumu.

catatan:
*Tulisan di atas pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 5 Maret 2013, di halaman B15.



 
Alwy Rachman.