SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Wednesday, March 26, 2014

Satire, Imajinasi tentang “Revolusi Mungil”*



Alwy Rachman

Bahasa politik memang licin. Paling tidak, begitu suasana yang muncul menyusul “pidato politik ringkas” sang politikus muda di teras institusi antikorupsi pada Jumat 10 Januari lalu. Pidato yang menyelipkan ungkapan “terima kasih” ke berbagai pihak itu tiba-tiba menciptakan rongga di mana-mana untuk diinterpretasi oleh mereka yang gemar membuat analisis politik. Di atas segalanya, rongga besar menjadi terbuka karena pernyataan “terima kasih” itu ditujukan kepada orang nomor satu di negeri ini. 

Ritual koruptor di teras institusi antikorupsi itu tiba-tiba memunculkan dinamika baru. Sejauh ini, teras itu menjadi panggung publik bagi “orang-orang besar” yang berstatus  “pesakitan”. Di sana, “orang-orang besar” ini melewati proses “shaming stage”, yaitu “panggung untuk mempermalukan”, meskipun “orang-orang besar” itu masih berkesempatan menjelaskan alibi untuk bela diri, kadang-kadang disertai senyum pahit atau diikuti oleh gerak tubuh seolah tak bersalah. 

Lalu, tutur sang politikus muda itu terdengar tak biasa. “Pidato ringkas”nya tak bicara soal alibi, pun tak ada argumentasi untuk bela diri. Maka, tutur “terima kasih”nya pun dicerna sebagai ekspresi berkonotasi politis. Jadilah tutur sang politikus sebagai bahasa politik yang terbang tinggi menjangkau pusat-pusat kekuasaan. Dan, “pidato ringkas” itu berkehendak menebar “aroma konspirasi.” 

Tutur sang politikus muda itu jauh dari kesan “hero”. Meskipun menimbulkan daya kejut sementara bagi mereka yang terkena. “Pidato ringkas” itu beraroma sarkastis, ironis, tapi kehilangan humor. Konteks “terima kasih” yang terjungkirbalik dibanding ungkapan yang sama pada situasi wajar dan normal memunculkan suasana “bahasa antilogika”. 

Di dalam dunia literasi, aspek sarkastis, ironis dan humor biasanya dicampur sari lalu kemudian dibilangkan sebagai  satire. Satire  ibarat “language game”, “permainan bahasa” yang membuat “yang terkena” bisa marah besar. Itu sebabnya, seniman-seniman satiris seringkali “menghaluskannya” dengan cara menyelipkan elemen-elemen humor ke bahasa seperti ini. 

Pun itu sebabnya, kerja kreatif seniman satiris sering dibilangkan “kerja campur sari”. Elemen-elemen sarkastis dan ironis  diaduk-aduk, dicampur-campur dengan elemen humor sedemikian rupa hingga menimbulkan daya kejut. Jadi, kita bilang saja “pidato ringkas” sang politikus muda itu sebagai “satire minus humor”. Atau sebut saja, “satire negatif”.

Sebagai karya literasi campur sari, satire pada mulanya diasosiasikan dengan hidangan buah-buahan campur sari. Jadi, jika anggur, pisang, pepaya, salak dan buah-buahan lain berada di satu wadah piring, kita sesungguhnya sedang menikmati sajian satire. Itu sebabnya, satire sering didefinisikan sebagai “to be well fed”, “terhidang dengan bagus”, kira-kira begitu bahasa sederhananya.

Banyak pihak yang bilang bahwa satire adalah senjata bagi kalangan the powerless. Sedikitnya,  dalam situasi “powerless” satire digunakan untuk “melawan” dengan cara menyindir dengan tajam pihak-pihak yang dibilangkan sebagai the powerful. Pun sebagian orang mendaku bahwa satire adalah bahasa subversif yang ditujukan ke kelompok mapan dan berkuasa. 

Media satire berbentuk jamak, dari humor yang mengalir dan berpindah dari mulut ke telinga hingga ke panggung drama, dari komik hingga ke novel, atau dari pidato hingga talk show.  Di mana-mana, media satire seperti ini bersentuhan dengan politik. Tentu publik dunia masih ingat satire “Ketawa ala Rusia” yang menjalar hebat di masyarakat Rusia menjelang runtuhnya tirani Rusia. Di dalam negeri, laku satiris Gus Dur yang membilangkan presiden-presiden di Indonesia nyatanya menjadi rujukan para penulis dunia. Oleh Adam Schwarz, satire Gus Dur diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, “The first Presiden was crazy about women. The second Presiden was crazy about fortune. The third presiden was truly crazy.” Gus Dur nyatanya tak mau repot dengan analisis yang lebar panjang.

Satire berparas humor keras biasanya menjadi taktik para seniman satiris. Orwell sendiri percaya bahwa humor bisa ditamsilkan semacam “revolusi mungil”. “Humor is a tiny revolution” begitu pendakuan George Orwell. Suasana “revolusi mungil” memang dicipta dan tercipta di dalam karya Orwell, yaitu “Animal Farm”. Meminjam ungkapan Mahbub Junaidi, “Animal Farm” semacam “revolusi di antara politikus” yang telah dianimasi. Ibarat “revolusi binatang politik” untuk menyindir laku hewani para politikus.

Satire yang kental humor akan menguatkan “shaming culture”, semacam “kultur mempermalukan” yang ditujukan ke “orang-orang besar” yang tak tahu malu. Atau, ditujukan kepada lawan-lawan politik. Itu sebabnya, Saul Alinsky, seorang aktivis gerakan sosial terkemuka Amerika, bilang “seranglah lawan-lawanmu dengan cara mengejeknya secara komikal. Cara ini membuat lawan-lawanmu menjadi bahan tertawaan (ridicule).

Jika lawanmu membalas, kemenangan tetap di pihakmu. Lawan-lawanmu akan “kikuk”, “uring-uringan”, “bingung” dan “marah” tapi tetap saja “tampak bodoh” menghadapi satire. Boleh jadi, kemarahan lawan-lawanmu akan menyala besar, tapi  kemarahan mereka tak lebih dari nyala lilin. Menyala tapi melelehkan dirinya sendiri.

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 21 Januari 2014, di Rubrik Literasi, di halaman A15

Monday, March 24, 2014

Yang Dirajakan di Demokrasi Pasar Malam*


 Alwy Rachman

Genderang kampanye pemilu sudah ditabuh. Partai-partai politik kini dan beberapa minggu ke depan akan sibuk menyediakan panggung politik di mana-mana. Di sana, berbagai aroma orasi  politik dituturkan. Di sana, aneka janji politik ditawarkan. Tujuannya, tentu saja, mengajak sang demos yang didalilkan sebagai representasi suara Tuhan,  untuk menjatuhkan pilihan kepada sang calon legislator dari partai yang bersangkutan.

Laku politik di paras awal kampanye seperti ini, sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, seolah mengkonfirmasi pendakuan Joseph Schumpeter tentang performance democracy, yaitu demokrasi yang diselenggarakan mirip festival, atau serupa “demokrasi pasar malam”. Model, proses dan modus demokrasi pasar malam berfokus pada isu yang dibilangkan dan ditawarkan sebagai “common good” kepada pemilik suara, semacam laku politik yang memenuhi kebutuhan praktis dan pragmatis bagi para pemilik suara.

Itu sebabnya, sejak awal, rakyat sebagai pemilik suara digiring untuk berpikir instrumental. Serupa cara berpikir untuk bersedia menerima imbalan jangka pendek dari para politikus. Pun itu sebabnya, banyak di antara calon legislator yang kini sedang bertarung merasa tak penting mengedukasi segenap pemilik suara untuk berbagi kepentingan dengan warga lain atau komunitas lain untuk jangka panjang.

“Demokrasi pasar malam”, setidaknya begitu pendakuan Schumpeter, memperlakukan dan menjadikan politik sebagai “pasar raksasa”. Di arena pasar seperti ini, partai-partai melalui calon legislatornya menawarkan produk politik kompetitif. Dan sesuai dengan argumentasi Schumpeter, yang akan keluar sebagai pemenang adalah partai yang mampu menggerakkan sekaligus menarik perhatian koalisi di antara konsumen politik. Dalam bahasa lain yang lebih sederhana, “demokrasi pasar malam” mengandaikan kedudukan politikus sebagai produsen politik dan pemilih sebagai konsumen politik. 

***
Di cakrawala berpikir lain,  oleh para teoretikus politik, kedudukan legislator biasa juga disandingkan dengan “The kingly man”, yaitu “orang-orang yang dirajakan”. Julukan “the kingly man” dipakai untuk menyandingkan sekaligus membandingkan peran dan fungsi legislator di tatanan demokrasi dengan raja dan pangeran di tatanan monarki dan tatanan aristokrasi. Meskipun demikian, julukan “the kingly man” bukan dimaksudkan sebagai rujukan untuk kuasa  sang raja, “the king”. Pun bukan dimaksudkan sebagai kuasa sang pangeran, “the prince”.

“The kingly man”, di dunia demokrasi,  diandaikan lahir dan datang dari ibu kandung masyarakat politik. Laku politik legislator sebagai “orang-orang yang dirajakan” tak sama dengan laku “monarki” yang mewarisi kekuasaan kepada sang raja berdasarkan keturunan dan bersandar pada kehormatan. Pun tak serupa dengan para despotis yang mengelola kekuasaan berdasarkan perkawanan karena rasa takut terhadap orang lain yang akan merusak kekuasaanya. 

Di arena demokrasi, legislator menyatakan dirinya secara benderang di arena lingkar permainan kekuasaan, yaitu merebut kuasa, menjadi penguasa, melembaga kekuasaan, lalu kemudian lembaga-lembaga kekuasaan itu kembali melahirkan penguasa. Itu sebabnya, Montesquieu bilang bahwa siklus hidup kekuasaan dapat dicerna melalui cara  “penguasa membangun lembaga, dan kemudian cara lembaga itu mencetak dan menghadirkan penguasa.” 

***
Pemilu 2014 bisa saja didudukkan ke dalam kerangka filosofis Montesquieu tentang siklus hidup kekuasaan. Tapi pertanyaannya adalah, apakah lembaga-lembaga politik di negeri ini, kali ini, akan berhasil menghadirkan pemimpin yang pantas “dirajakan”? Kalau tak terjadi, sebagaimana sindiran Jaques Rancière,  demokrasi tak lebih dari cara mentranformasikan kekuasaan dengan memanfaatkan kedudukan rakyat atau posisi “sang demos” sebagai pihak “yang tak punya apa-apa” dan “tak punya properti untuk mempraktekkan kekuasaan”. 
  
Pesona “demokrasi pasar malam” lebih banyak menghadirkan suasana euforia. Pemilik suara lebih banyak lupa bahwa di sana-sini banyak masalah kebangsaan yang terabaikan: kemiskinan yang meningkat, kematian ibu melahirkan yang naik hampir tiga kali, kerusakan lingkungan hidup, bencana alam, dan kekerasan sosial yang meluas, punahnya peradaban-peradaban kecil, serta banyaknya aturan-aturan diskriminatif yang justru merupakan produk pemerintahan. 

Pada akhirnya, hasil demokrasi 2009 dipenuhi oleh sebagian legislator yang menjadikan parlemen sebagai tempat untuk mengekstraksi uang rakyat, untuk tidak mengatakan merampok uang rakyat atas nama kedudukan sebagai legislator di parlemen. Kalau tertangkap, petinggi-petinggi partai malah membuat metafor “partainya sedang ditimpa badai” sembari meyakinkan rakyat bahwa “badai pasti berlalu”. Metafor seperti ini seolah memanipulasi persepsi publik bahwa yang bersalah adalah “badai” yang datang dari luar. 

Mari kita jadikan pemilu 2014 kali ini sebagai “pengadilan rakyat” bagi segenap calon legislator. 

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, di Rubrik Literasi, 18 Maret 2014, di halaman A15
 
Alwy Rachman.