Wulan Winsbasardianty B
Pengadilan Socrates, dikenal sebagai Pengadilan Heliasts (Court of the Heliasts), merupakan pengadilan historis, dijadikan rujukan pro dan kontra terhadap ujaran kebencian (hate speech). Socrates diadili dengan tudingan bahwa ia menebar kebencian, meracuni pikiran generasi muda untuk berpikir kritis dalam apa yang disebut kebebasan berpendapat. Hidup Socrates pun berakhir dengan cara meminum racun, memilih mati ketimbang berkhianat pada ide-ide yang diajarkan kepada generasi muda pada saat itu.
Ide-ide dari Socrates mengajarkan kita untuk selalu berdialog --- dengan diri sendiri maupun dengan orang lain --- untuk mencari kebenaran, terutama yang menyangkut berbagai pandangan masyarakat terhadap persoalan-persoalan kehidupan, termasuk ranah politik ataupun sosial. Socrates menghendaki adanya dorongan mengekspresikan ide-ide dengan cara jujur terhadap apa yang kita tidak kehendaki. Sayang, dibalik pemikiran Socrates, di negeri sendiri, penyalahgunaan eksistensi dan makna ‘kebebasan berpendapat’ menjelma menjadi kebebasan yang tiada batas.
Seakan semuanya menjadi komplit setelah munculnya Surat Edaran (SE) Kapolri yang telah mengejutkan warga. Isi dari Surat Edaran membahas tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang secara tidak langsung, oleh banyak kalangan, “dinilai” mematahkan nilai demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia. Hate speech dinilai berpotensi menciptakan konflik antarindividu ataupun antargolongan di masyarakat. Hal-hal yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian adalah cara menghasut, memfitnah, pencemaran nama baik, diskriminasi dan lain-lain.
Respons masyarakat pun bermunculan dalam dua wajah: pro dan kontra. Sebagian masyarakat mengatakan, hate speech merupakan konsekuensi “belajar dari kebebasan” dan “penyelenggaraan hak berpendapat” untuk turut andil dalam menyampaikan aspirasi terhadap berbagai topik yang sedang hangat dibicarakan. Umumnya, para pelaku yang pro akan hate speech mengilhami diri mereka untuk bebas berkata-kata tanpa batasan sekalipun.
Aroma kata-kata yang mereka keluarkan pun bermacam-macam. Saling menjatuhkan antar kedua belah pihak serta pengutaraannya secara frontal di media-media sosial adalah sebuah contoh. Mereka yang pro akan hate speech sudah pasti memiliki banyak perbedaan tujuan. Ada yang menggunakan hate speech untuk menabrak ego seseorang atau kaum. Ada yang hanya sekadar melakukan hate speech untuk menjatuhkan. Pun ada yang menerapkan hate speech sebagai cara menyumbangkan tanggapan negatif terhadap isu-isu tertentu.
Mereka yang berdiri pada argumentasi ini berpendapat, bahwa hate speech mendorong masyarakat berkontribusi besar dalam menyuarakan pendapat, melatih masyarakat untuk berpikir terbuka terhadap permasalahan publik, dan menjadikannya sebagai cara untuk mengekspresikan diri guna melatih diri sebagai bagian dari pendewasaan.
Masyarakat yang kontra terhadap hate speech berpendapat Lain. Mereka menilai bahwa ujaran kebencian perlu dibatasi melalui penerapan hukum. Hate speech, dalam banyak kasus, memakan banyak korban. Contohnya dapat dilihat pada konflik antarras dan antaragama yang berujung kekerasan. Hate speech mesti ditangani karena akan merusak keteraturan sosial dan menghancurkan adab tutur di masyarakat. Dengan penghukuman, para pembenci tidak akan lagi semena-mena mengeluarkan ujaran kebencian untuk menjatuhkan individu atau golongan.
Terlepas dari posisi pro dan kontra terhadap hate speech, para pemimpin dan pendidik di negeri ini seharusnya mendidik masyarakat untuk membedakan ujaran kebencian dan kritikan. Soalnya, tak sedikit masyarakat yang salah kaprah terhadap kebijakan penanganan hate speech. Ujaran kebencian pasti menimbulkan ketidaksukaan yang mungkin mendorong konflik, tapi kritikan semestinya tak dianggap sebagai kebencian. Kritik sejatinya didudukkan sebagai aksi masyarakat untuk berpendapat menyoal kebijakan pemerintah guna perbaikan.
Kritikan semestinya tak dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Menganggap kritikan sebagai pencemaran akan berpotensi menghambat kebebasan dan kelenturan berpendapat. Mari kita pikirkan baik-baik bahwa manusia sejatinya didudukkan pada perbedaan. Ada orang yang bisa disadarkan ketika suara teguran mulai melejit ke awan-awan. Ada orang yang dapat disadarkan ketika ego-nya ditabrak. Juga ada yang bisa diajak melalui produksi tuturan yang lembut dan pelan. Individu manusia sama sekali tidak bisa disamakan, karena individu memang tak pernah sama.
Di belakang sikap pro dan kontra mengenai Surat Edaran (SE) Kapolri yang marak di nusantara dan isu hate speech yang menjadi wacana dunia, ada sesuatu yang tersembunyi. Di sini, kita dapat berasumsi bahwa pemerintah dan penguasa tak mungkin lolos dari sorotan masyarakat yang mulai beropini secara kritis, terutama dalam soal urusan publik. Anggota masyarakat biasa pun bisa jadi sasaran. Boleh dibilang, melalui peradaban gadget yang canggih, hate speech adalah bagian dari cara netizen menghukum siapa saja, untuk tidak mengatakan wadah netizen menciptakan “pengadilan sosial di ruang maya internet”.
Tuesday, December 15, 2015
Sunday, December 13, 2015
Beri Saya Keadilan Wicara
Wiwiniarmy Andi Lolo
“Kita adalah sekumpulan pikiran yang
saling menerkam saat diumpan dengan isu”
Saya adalah manusia yang memiliki hak asasi yang di dalamnya terdapat hak untuk berpendapat. Setiap orang juga begitu. Ya, idealnya seperti itu. Meski demikian, tak jarang, kita tak sadar bahwa koridor untuk menyampaikan pendapat adalah hak yang sering “diatur” oleh hal-hal yang sering terlupakan. Isu yang dilempar segera saja menjadi “umpan” yang memerangkap. Di sana, kita kemudian saling menerkam.
Di segenap puspa ragam media sosial, ruang berpendapat menjadi gemuk, luas, panjang dan lebar. Di sana, nyaris setiap orang mengunggah, menyimpan dan membakukan pikiran. Semua untuk dan atas nama dan atas dalil “kebebasan berpendapat”. Di sana pula, respons balik menghadirkan dirinya. Ada pihak yang merasa dirugikan dan dicemarkan. Lalu, mereka yang rugi dan tercemar menuntut balik. Senapan “pasal pencemaran nama baik” pun ditodongkan.
Dilema? Ya, bagi sebagian orang. Tidak, untuk sebagian lainnya. Yang pasti, pada 8 Oktober 2015, Kepala Polri mengeluarkan surat edaran bernomor SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian. Edaran yang membuat banyak orang kelabakan, merasa tertodong, dan mungkin juga merasa akan terkena peluru dari senapan, terlepas sang peluru akan melesat “direct to the point” atau sekadar “nyasar”.
Hak atas “kebebasan berpendapat”, bukan hak yang semata-mata berdiri di atas prerogatif individu. Bukan pula hak istimewa kelompok per kelompok. “Kebebasan berpendapat” adalah wujud eksistensial manusia untuk saling memperhadapkan pendapat secara inter-subjektif. Subjek bertemu subjek untuk sebuah keadilan bagi publik.
Di kisah awalnya, “kebebasan berpendapat” telah diadvokasi melalui Areopagatica yang mashyur. Areopatica sendiri adalah nama sebuah puncak di Yunani, tempat manusia pertama kali berbicara dan berpendapat secara intersubjektif. Nama puncak ini kemudian menandai karya John Milton yang merupakan cuplikan Isocrates, seorang Yunani pendiri sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Di Areopagitica, Milton bertutur, “Give me the liberty to know, to utter, and to argue freely according to conscience, above all liberties,” di tengah kecamuk perang sipil di Inggris.
Saya ingin mendudukkan Areopagitica Milton sebagai rujukan paling historis, paling inspiratif, dan dengan demikian, paling relevan dengan apa yang sedang kita bahas. “Kebebasan berpendapat” dapat dikatakan sebagai hak eksistensial manusia yang mesti diekspresikan oleh setiap orang, tanpa hambatan apalagi dihambat. Ia disebut hak, karena berpendapat adalah bagian dari “penyelamatan manusia” dari tirani yang memungkinkan
Sayang, “kebebasan berpendapat” sering terusik dan diusik oleh “adab tutur” yang belum mapan. Saya meyakini bahwa para pecandu “gadget”, terutama mereka yang memperbaharui statusnya, “tahu” arti ungkapan seperti “I hate you!”, “Damn it!”, “Shit!”, “Fuck!”, “Ass!” di aneka ragam media sosial. Tapi, saya tak percaya bahwa mereka “mengerti”. Bagi saya, “tahu” dan “mengerti” adalah dua hal yang sangat berbeda.
Saya tertarik untuk merujuk pandangan akademia Prof. Stanislaus Sandarupa, M.A, Ph.D di rubrik opini, Harian Kompas, 20 November 2015 lalu. Di situ, Stanis menulis, “…agak susah dipaham ijika surat edaran tersebut dilihat sebagai aturan pembatas kebebasan berpendapat. Pada tingkat bahasa justru dibutuhkan aturan-aturan kegiatan akal untuk menyanggupkan kita membangun defenisi, menggabung dan memisahkan ide, serta mengonstruksi silogisme. Apabila bahasa merupakan instrument pikiran, selanjutnya perlu aturan-aturan tata bahasa untuk mengungkap pendapat yang bebas.”
Saya menyetujui pendapat beliau. Saya berpendapat, bahasa yang disampaikan melalui ujaran adalah buah pikiran yang dapat menggambarkan pikiran itu sendiri, meskipun dalam produksinya perlu keadaban tutur untuk kebebasan. Pendapat kedua saya dirujuk ke Austin, khususnya tindak tutu perlokusi. Hate speech, menurut pemahaman saya, sejalan dengan apa yang dimaksud tindak tutur perlokusi, yakni menyimpan niat pada penuturnya untuk memperoleh responds dari objek tutur.
Austin berpendapat, bahasa mempengaruhi pikiran serta perasaan kita. Hate speech adalah hal yang mengganggu pikiran serta menggugah perasaan. Penutur hate speech mungkin tidak pernah memikirkan sejauh itu, bahkan mungkin tidak peduli. Padahal, ia menyakitinya orang lain atau ia yang sakit hati.
Standing position saya dilatari oleh lingkungan konteks tinggi dan dilatari oleh upaya untuk memaksimalkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Seringkali, suara saya bergetar saat menyampaikan kritik secara langsung kepada seseorang. Saya selalu dibayangi ketakutan, setelah saya mendalami konteks budaya saya.
Masyarakat Toraja, khususnya di keluarga saya, menggunakan bahasa yang halus puitis. Saya selalu merindukan kembali teguran ayah setiap kali saya berbuat salah. Ia sebenarnya marah, tapi membuat saya ingin tetap mendengarnya. Saya menghayati “marah seorang ayah” yang disampaikan dengan wicara indah tapi tajam. Alhasil, saya tidak terluka namun tetap mampu mengintrospeksi diri.
Kini, saya tidak mampu mengeritik orang lain, karena saya tak bisa memproduksi kata-kata seindah bahasa ayah saya. Saya takut bahwa orang tersebut akan terluka dan mendendam pada saya. Saya “menginginkan perlakuan yang sama dari orang lain”. Saya tahu pasti, tidak semua orang adalah saya. Namun, saya berharap keadilan bagi semua orang untuk mengutarakan pendapat dengan jaminan bagi objek ujaran. Maka saya mendukung pengawalan ujaran dari Polri.
“Kita adalah sekumpulan pikiran yang
saling menerkam saat diumpan dengan isu”
Saya adalah manusia yang memiliki hak asasi yang di dalamnya terdapat hak untuk berpendapat. Setiap orang juga begitu. Ya, idealnya seperti itu. Meski demikian, tak jarang, kita tak sadar bahwa koridor untuk menyampaikan pendapat adalah hak yang sering “diatur” oleh hal-hal yang sering terlupakan. Isu yang dilempar segera saja menjadi “umpan” yang memerangkap. Di sana, kita kemudian saling menerkam.
Di segenap puspa ragam media sosial, ruang berpendapat menjadi gemuk, luas, panjang dan lebar. Di sana, nyaris setiap orang mengunggah, menyimpan dan membakukan pikiran. Semua untuk dan atas nama dan atas dalil “kebebasan berpendapat”. Di sana pula, respons balik menghadirkan dirinya. Ada pihak yang merasa dirugikan dan dicemarkan. Lalu, mereka yang rugi dan tercemar menuntut balik. Senapan “pasal pencemaran nama baik” pun ditodongkan.
Dilema? Ya, bagi sebagian orang. Tidak, untuk sebagian lainnya. Yang pasti, pada 8 Oktober 2015, Kepala Polri mengeluarkan surat edaran bernomor SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian. Edaran yang membuat banyak orang kelabakan, merasa tertodong, dan mungkin juga merasa akan terkena peluru dari senapan, terlepas sang peluru akan melesat “direct to the point” atau sekadar “nyasar”.
Hak atas “kebebasan berpendapat”, bukan hak yang semata-mata berdiri di atas prerogatif individu. Bukan pula hak istimewa kelompok per kelompok. “Kebebasan berpendapat” adalah wujud eksistensial manusia untuk saling memperhadapkan pendapat secara inter-subjektif. Subjek bertemu subjek untuk sebuah keadilan bagi publik.
Di kisah awalnya, “kebebasan berpendapat” telah diadvokasi melalui Areopagatica yang mashyur. Areopatica sendiri adalah nama sebuah puncak di Yunani, tempat manusia pertama kali berbicara dan berpendapat secara intersubjektif. Nama puncak ini kemudian menandai karya John Milton yang merupakan cuplikan Isocrates, seorang Yunani pendiri sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Di Areopagitica, Milton bertutur, “Give me the liberty to know, to utter, and to argue freely according to conscience, above all liberties,” di tengah kecamuk perang sipil di Inggris.
***
Sayang, “kebebasan berpendapat” sering terusik dan diusik oleh “adab tutur” yang belum mapan. Saya meyakini bahwa para pecandu “gadget”, terutama mereka yang memperbaharui statusnya, “tahu” arti ungkapan seperti “I hate you!”, “Damn it!”, “Shit!”, “Fuck!”, “Ass!” di aneka ragam media sosial. Tapi, saya tak percaya bahwa mereka “mengerti”. Bagi saya, “tahu” dan “mengerti” adalah dua hal yang sangat berbeda.
Saya tertarik untuk merujuk pandangan akademia Prof. Stanislaus Sandarupa, M.A, Ph.D di rubrik opini, Harian Kompas, 20 November 2015 lalu. Di situ, Stanis menulis, “…agak susah dipaham ijika surat edaran tersebut dilihat sebagai aturan pembatas kebebasan berpendapat. Pada tingkat bahasa justru dibutuhkan aturan-aturan kegiatan akal untuk menyanggupkan kita membangun defenisi, menggabung dan memisahkan ide, serta mengonstruksi silogisme. Apabila bahasa merupakan instrument pikiran, selanjutnya perlu aturan-aturan tata bahasa untuk mengungkap pendapat yang bebas.”
Saya menyetujui pendapat beliau. Saya berpendapat, bahasa yang disampaikan melalui ujaran adalah buah pikiran yang dapat menggambarkan pikiran itu sendiri, meskipun dalam produksinya perlu keadaban tutur untuk kebebasan. Pendapat kedua saya dirujuk ke Austin, khususnya tindak tutu perlokusi. Hate speech, menurut pemahaman saya, sejalan dengan apa yang dimaksud tindak tutur perlokusi, yakni menyimpan niat pada penuturnya untuk memperoleh responds dari objek tutur.
Austin berpendapat, bahasa mempengaruhi pikiran serta perasaan kita. Hate speech adalah hal yang mengganggu pikiran serta menggugah perasaan. Penutur hate speech mungkin tidak pernah memikirkan sejauh itu, bahkan mungkin tidak peduli. Padahal, ia menyakitinya orang lain atau ia yang sakit hati.
Standing position saya dilatari oleh lingkungan konteks tinggi dan dilatari oleh upaya untuk memaksimalkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Seringkali, suara saya bergetar saat menyampaikan kritik secara langsung kepada seseorang. Saya selalu dibayangi ketakutan, setelah saya mendalami konteks budaya saya.
Masyarakat Toraja, khususnya di keluarga saya, menggunakan bahasa yang halus puitis. Saya selalu merindukan kembali teguran ayah setiap kali saya berbuat salah. Ia sebenarnya marah, tapi membuat saya ingin tetap mendengarnya. Saya menghayati “marah seorang ayah” yang disampaikan dengan wicara indah tapi tajam. Alhasil, saya tidak terluka namun tetap mampu mengintrospeksi diri.
Kini, saya tidak mampu mengeritik orang lain, karena saya tak bisa memproduksi kata-kata seindah bahasa ayah saya. Saya takut bahwa orang tersebut akan terluka dan mendendam pada saya. Saya “menginginkan perlakuan yang sama dari orang lain”. Saya tahu pasti, tidak semua orang adalah saya. Namun, saya berharap keadilan bagi semua orang untuk mengutarakan pendapat dengan jaminan bagi objek ujaran. Maka saya mendukung pengawalan ujaran dari Polri.
Saturday, December 12, 2015
“Tikus” dan “Kadal” di Politik Cinderella
Alwy Rachman
Di literasi kanak-kanak, kisah Cinderella adalah kisah penuh pesona. Cinderella adalah julukan untuk tokoh yang berdebu dan kotor. Di hikayat Cinderella, istana menjadi impian. Lepas dari kebaikan istana, orang-orang yang berdebu dianggap tak pantas memasukinya. Maka orang-orang yang berdebu dan dekil, tak akan leluasa memasuki istana. Olehnya, hikayat Cinderella adalah hikayat “istana sentris”, segalanya berpusat pada istana.
Karakter Cinderella, sebagaimana kisahnya, digambarkan menerima “mistik kekuasaan”. Ia mesti menerima “mistik tentang tikus” dan “mistik tentang kadal”. Penulis kisah ini seolah menyimpan pesan sindiran, “tikus” adalah kendaraan mewah dan ampuh mengalahkan politikus istana, sedangkan “kadal” adalah laku handal memasuki Istana. “Tikus” dan “kadal” lalu menjadi politik mistik Cinderella menuju Istana.
“Celaka” dan “sial” adalah dua atribut bagi suara yang berdebu tapi hendak ke istana. Cinderella tetap saja sebagai “tokoh kisah” yang suka atau tidak akan menanggung sindrom. “Celaka” dan “sial” bagi Cinderella, karena ia harus melayani hasrat perut “sang tikus” dan “sang kadal” dengan labu. Tanpa makan, “sang tikus” enggan menjadi kendaraan. Tanpa suap, “sang kadal” tak mau menjadi pengendara. Begitu kira-kira, nasib Cinderella berhadapan dengan mistik dan pakem istana kekuasaan.
Tapi, “tikus” dan “kadal” menghadirkan sindrom bagi Cinderella. Para scholar di dunia politik mengukuhkan kisah Cinderella sebagai literasi yang mendeskripsikan sindrom. Sindrom itu kemudian dibilangkan sebagai “Sindrom Cinderella”. Di kalangan ilmuan lain, sindrom tak lebih dari kumpulan lambang yang menyatu dengan symptom. Symptom tak lain adalah “celaka” bercampur “sial”. Sindrom Cinderella, lalu bisa dicerna sebagai “lambang kebesaran” yang dikonstitusi dari “kecelakaan” dan “kesialan”.
Masuk istana, sebagaimana diibaratkan, memerlukan “sang tikus” dan “sang kadal” sebagaimana di hikayat ini. Suara orang-orang berdebu direkayasa melewati “kendaraan politik” yang berpotensi mendatangkan “celaka”, dan aspirasi orang-orang ini bisa “sial” lewat “pengendara politik”. “Celaka” dan “sial” sedang menunggu di hari depan demokrasi di negeri ini.
Sindrom Cinderella adalah potret dari cermin retak kekuasaan, termasuk juga di negeri ini. Daulat rakyat yang dikukuhkan secara langsung di paruh pertama reformasi, kini dipangkas kembali. Suara rakyat kini dianggap berdebu dan kotor, tak patut menunjuk langsung mereka yang mau masuk istana. Istana-istana kekuasaan, dari kursi presiden, gubernur, walikota dan bupati, tak lagi menjadi bagian dari orang-orang yang berdebu dan dekil. Istana kekuasaan ini diantarai oleh kendaraan dan pengendara politik.
Citra atas drama di istana parlemen di negeri, baru-baru ini, tak lepas dari refleksi atas sindrom Cinderella. Di parlemen, kendaraan dan pengendara politik bersitegang atas status suara rakyat. Koalisi pemenang pilpres masih mendudukkan daulat rakyat sebagai utama, sedangkan koalisi kalah ramai-ramai memotong akses rakyat ke istana kekuasaan. Alasannya, daulat rakyat secara langsung mahal dan menimbulkan celaka sosial. Kelompok ketiga yang sedang berkuasa lain pula. Tak mau disebut menentang daulat rakyat, tetapi memberi kesempatan bagi koalisi yang menganggap suara rakyat tak pantas langsung ke istana.
Alasan menghadang suara langsung rakyat seakan rasional, apalagi kalau dihubungkan dengan soal uang yang dihabiskan oleh para pengendara. Tapi, di situ ada soal moral politik yang tak murah. Daulat rakyat akan menjadi mahal bukan karena para pemiliknya berdebu, tetapi sandaran moral “kendaraan politik” dan “pengendara politik” yang justru dekil. Tak terlalu sukar mencari jawab siapa yang membuat mahal. Mahal memang, kalau “tikus” dan “kadal” tak bisa menekan hasrat perut serta hasrat kuasa. Sejauh yang bisa dimengerti, bukan rakyat yang pertama kali mempromosikan jual suara.
Yang memecah belah masyarakat siapa? Kebiasaan politikus menggunakan isu-isu sensitif, semacam isu sara, adalah laku yang amat dikenali masyarakat. Orang-orang juga tahu bahwa laku politikus sering tega menggunakan isu SARA sebagai laku berkendara untuk meraih kemenangan. Jadi, alasan mahal dan memecah masyarakat sesungguhnya adalah alasan yang berakar dari para politikus sendiri.
Cinderella memang cuma hikayat, tapi resonansi dan refleksinya menjalar sedemikian rupa hingga ke panggung politik. Tapi, hikayat ini masih saja menyembunyikan fakta lain. Siapa sebenarnya yang harus diposisikan sebagai penderita sindrom. Rakyatkah atau politikuskah? Yang pasti, sejauh ini, suara rakyat tak pernah menyuap suara elit politikus. Yang ada, politikus menyuap rakyat. Yang nyata, politikus menerima suap di istana parlemen. Bisakah kita bilang, “laku politik kita tak begitu jauh dari analogi Cinderella, yaitu: laku “tikus” dan “kadal”.
Di literasi kanak-kanak, kisah Cinderella adalah kisah penuh pesona. Cinderella adalah julukan untuk tokoh yang berdebu dan kotor. Di hikayat Cinderella, istana menjadi impian. Lepas dari kebaikan istana, orang-orang yang berdebu dianggap tak pantas memasukinya. Maka orang-orang yang berdebu dan dekil, tak akan leluasa memasuki istana. Olehnya, hikayat Cinderella adalah hikayat “istana sentris”, segalanya berpusat pada istana.
Karakter Cinderella, sebagaimana kisahnya, digambarkan menerima “mistik kekuasaan”. Ia mesti menerima “mistik tentang tikus” dan “mistik tentang kadal”. Penulis kisah ini seolah menyimpan pesan sindiran, “tikus” adalah kendaraan mewah dan ampuh mengalahkan politikus istana, sedangkan “kadal” adalah laku handal memasuki Istana. “Tikus” dan “kadal” lalu menjadi politik mistik Cinderella menuju Istana.
“Celaka” dan “sial” adalah dua atribut bagi suara yang berdebu tapi hendak ke istana. Cinderella tetap saja sebagai “tokoh kisah” yang suka atau tidak akan menanggung sindrom. “Celaka” dan “sial” bagi Cinderella, karena ia harus melayani hasrat perut “sang tikus” dan “sang kadal” dengan labu. Tanpa makan, “sang tikus” enggan menjadi kendaraan. Tanpa suap, “sang kadal” tak mau menjadi pengendara. Begitu kira-kira, nasib Cinderella berhadapan dengan mistik dan pakem istana kekuasaan.
Tapi, “tikus” dan “kadal” menghadirkan sindrom bagi Cinderella. Para scholar di dunia politik mengukuhkan kisah Cinderella sebagai literasi yang mendeskripsikan sindrom. Sindrom itu kemudian dibilangkan sebagai “Sindrom Cinderella”. Di kalangan ilmuan lain, sindrom tak lebih dari kumpulan lambang yang menyatu dengan symptom. Symptom tak lain adalah “celaka” bercampur “sial”. Sindrom Cinderella, lalu bisa dicerna sebagai “lambang kebesaran” yang dikonstitusi dari “kecelakaan” dan “kesialan”.
Masuk istana, sebagaimana diibaratkan, memerlukan “sang tikus” dan “sang kadal” sebagaimana di hikayat ini. Suara orang-orang berdebu direkayasa melewati “kendaraan politik” yang berpotensi mendatangkan “celaka”, dan aspirasi orang-orang ini bisa “sial” lewat “pengendara politik”. “Celaka” dan “sial” sedang menunggu di hari depan demokrasi di negeri ini.
***
Sindrom Cinderella adalah potret dari cermin retak kekuasaan, termasuk juga di negeri ini. Daulat rakyat yang dikukuhkan secara langsung di paruh pertama reformasi, kini dipangkas kembali. Suara rakyat kini dianggap berdebu dan kotor, tak patut menunjuk langsung mereka yang mau masuk istana. Istana-istana kekuasaan, dari kursi presiden, gubernur, walikota dan bupati, tak lagi menjadi bagian dari orang-orang yang berdebu dan dekil. Istana kekuasaan ini diantarai oleh kendaraan dan pengendara politik.
Citra atas drama di istana parlemen di negeri, baru-baru ini, tak lepas dari refleksi atas sindrom Cinderella. Di parlemen, kendaraan dan pengendara politik bersitegang atas status suara rakyat. Koalisi pemenang pilpres masih mendudukkan daulat rakyat sebagai utama, sedangkan koalisi kalah ramai-ramai memotong akses rakyat ke istana kekuasaan. Alasannya, daulat rakyat secara langsung mahal dan menimbulkan celaka sosial. Kelompok ketiga yang sedang berkuasa lain pula. Tak mau disebut menentang daulat rakyat, tetapi memberi kesempatan bagi koalisi yang menganggap suara rakyat tak pantas langsung ke istana.
Alasan menghadang suara langsung rakyat seakan rasional, apalagi kalau dihubungkan dengan soal uang yang dihabiskan oleh para pengendara. Tapi, di situ ada soal moral politik yang tak murah. Daulat rakyat akan menjadi mahal bukan karena para pemiliknya berdebu, tetapi sandaran moral “kendaraan politik” dan “pengendara politik” yang justru dekil. Tak terlalu sukar mencari jawab siapa yang membuat mahal. Mahal memang, kalau “tikus” dan “kadal” tak bisa menekan hasrat perut serta hasrat kuasa. Sejauh yang bisa dimengerti, bukan rakyat yang pertama kali mempromosikan jual suara.
Yang memecah belah masyarakat siapa? Kebiasaan politikus menggunakan isu-isu sensitif, semacam isu sara, adalah laku yang amat dikenali masyarakat. Orang-orang juga tahu bahwa laku politikus sering tega menggunakan isu SARA sebagai laku berkendara untuk meraih kemenangan. Jadi, alasan mahal dan memecah masyarakat sesungguhnya adalah alasan yang berakar dari para politikus sendiri.
Cinderella memang cuma hikayat, tapi resonansi dan refleksinya menjalar sedemikian rupa hingga ke panggung politik. Tapi, hikayat ini masih saja menyembunyikan fakta lain. Siapa sebenarnya yang harus diposisikan sebagai penderita sindrom. Rakyatkah atau politikuskah? Yang pasti, sejauh ini, suara rakyat tak pernah menyuap suara elit politikus. Yang ada, politikus menyuap rakyat. Yang nyata, politikus menerima suap di istana parlemen. Bisakah kita bilang, “laku politik kita tak begitu jauh dari analogi Cinderella, yaitu: laku “tikus” dan “kadal”.
Friday, December 11, 2015
Utopia, Simbol dan Kekejaman
Alwy Rachman
"Dulu mereka menulis, engkau terhormat dan pantas mati
untuk negeri seseorang. Tapi, dalam perang modern, tak ada
lagi kehormatan dan kepantasan bagimu. Engkau akan mati
bagaikan hewan tanpa alasan."
Earnest Hemmingway
Di salah satu koran nasional, tiga individu ekstremis ISIS diberitakan membilangkan dirinya The Beatles. Yang satu menyebut dirinya John, dua lainnya dipanggil Ringgo dan George. Yang menyebut dirinya John dianggap paling kejam: memenggal kepala seorang pewarta Amerika, James Foley, lalu diunggahnya ke seantero jagad. Seketika, kenangan simbolik pemusik Liverpool yang bersuara atas nama perdamaian menjadi terbalik dan terjungkir.
Julukan The Beatles sebagai kelompok seniman antiperang kini diculik oleh para penculik dan dipakai bertindak simbolik. Abdel-Madjed yang menyebut diri John, Abu Hussein al-Britani yang dipanggil George serta Abu Abdullah al-Britani yang dibilangkan Ringgo, pasti dimaksudkan sebagai aksi simbolik. John-George-Ringgo ala ISIS ingin menyampaikan pesan simbolik, "Engkau yang antiagama akan kupenggal, engkau yang antinasionalis akan kuhabisi, dan engkau yang kapitalis akan kuhempaskan." Utopia perdamaian The Beatles kini diseret ke pragmatisme perang.
The Beatles tak lain adalah kisah musikus yang menggantung cita-cita utopis. Saking utopisnya, bersama Yoko Ono, sang istri, John Lennon mengurung diri di kamar serba putih selama puluhan hari sebagai protes terhadap perang. Di waktu lain, John merilis lagu Imagine tahun 1971 yang mengajak pendengarnya di seantero dunia untuk meninggalkan kekerasan atas nama negara dan agama.
Lirik Imagine yang menolak perang dan kekerasan, yang membayangkan tak ada negara dan tak ada agama, kemudian mengundang respon favourable. Sebagian bilang, John berutopia tentang “collective compassion" yang hilang, sebagian lagi berkata “John membayangkan kembali “collective consciousness" yang lenyap. Yang lain menulis garang, “Imagine yang ditulis John adalah antigama, antikapitalis, antinasionalis, antinegara, antisurga sekaligus antineraka.".
Utopia John dipicu oleh jutaan nyawa yang melayang di ujung peluru di Vietnam. Tapi, John sendiri tak mengira hidupnya juga berakhir di ujung peluru. Ia secara tragis terbunuh oleh peluru seorang penggemar. Alasannya pun atas nama simbol. "Saya membunuhnya, agar ia abadi dalam sejarah, agar ia dikenang", kata sang pembunuh. Romansa John sebagai seniman antiperang dan sebagai lelaki pencemburu, setidaknya pada Yoko Ono, akhirnya berakhir.
Visualisasi perang dan kekerasan, lewat media canggih dan beragam, kini memasuki rumah setiap orang. Perang ditonton dengan santai di waktu senggang, kekerasan dihadirkan di ujung jari lewat perangkat handphone dan komputer: di rumah sendiri. Anak-anak yang segera yatim, ibu-ibu muda yang tiba-tiba menjanda, atau orang-orang tua yang sekejap kehilangan anak, tak lebih dari sekadar komoditas tontonan sejagad.
Jadilah kita semua sebagai "penonton". Tapi, kita adalah penonton tanpa hati, kosong empati dan hampa rasa. Kita semua menjadi "makhluk mati rasa" di atas semua elemen visual yang menggambarkan tragedi. Repetisi penyiaran tragedi perang dan kekerasan di media, menjadikan kualitas hati kita berpindah dan berubah menjadi batu cadas yang keras dan hitam. Indra manusia-penonton, sebagaimana juga kita, menjadi terpidana. Ekspresi haru di atas kemanusiaan menjadi peristiwa langka dan mahal.
Manusia memang tak selalu manusiawi, begitu peringatan dari cakrawala berpikir Pierre Bourdieu. Kerusakan habitat manusia --- ekonomi, sosial, budaya, politik, simbolik --- segera menggiring manusia ke kualitas "binatang liar", tambah Bourdieu. Manusia-binatang-liar inilah yang siap dan rela menyerang dan merusak orang lain: sesama tetangga, sesama suku, sesama bangsa dan sesama agama, serta sesama manusia. Manusia-binatang-liar terperosok menjauh dari takdirnya yang dibilangkan manusiawi: unik, berakal, dan mulia.
Seni yang utopis dan perang yang pragmatis memang beda. Seni yang utopis mengajak manusia berimajinasi. Imajinasi tentang estetika dan utopia tak lain adalah imajinasi tentang "perjumpaan ruang hidup". Sebaliknya, perang yang pragmatis mengajak manusia saling membunuh: dari cara kasar hingga brutal. Perang adalah "perjumpaan pragmatis untuk saling meniadakan". Harga manusia jauh beda di dua ajakan ini: utopia dan perang. Yang satu mengajak manusia ke ketinggian dan yang lain mengajak manusia berkalang tanah di panggung peperangan.
Memang benar utopia adalah imajinasi tanpa alas pengalaman. Itu sebabnya, utopia sering dianggap “mencubit keras” segenap pengalaman manusia. Lalu, utopia John Lennon balas dicubit. Abdel-Madjed memindahkan Lennon secara simbolik. The Beatles yang utopis berubah menjadi The Beatles yang pragmatis. John Lennon yang antikekerasan menjelma menjadi John-ala-ISIS yang memamerkan kekejaman.
"Dulu mereka menulis, engkau terhormat dan pantas mati
untuk negeri seseorang. Tapi, dalam perang modern, tak ada
lagi kehormatan dan kepantasan bagimu. Engkau akan mati
bagaikan hewan tanpa alasan."
Earnest Hemmingway
Di salah satu koran nasional, tiga individu ekstremis ISIS diberitakan membilangkan dirinya The Beatles. Yang satu menyebut dirinya John, dua lainnya dipanggil Ringgo dan George. Yang menyebut dirinya John dianggap paling kejam: memenggal kepala seorang pewarta Amerika, James Foley, lalu diunggahnya ke seantero jagad. Seketika, kenangan simbolik pemusik Liverpool yang bersuara atas nama perdamaian menjadi terbalik dan terjungkir.
Julukan The Beatles sebagai kelompok seniman antiperang kini diculik oleh para penculik dan dipakai bertindak simbolik. Abdel-Madjed yang menyebut diri John, Abu Hussein al-Britani yang dipanggil George serta Abu Abdullah al-Britani yang dibilangkan Ringgo, pasti dimaksudkan sebagai aksi simbolik. John-George-Ringgo ala ISIS ingin menyampaikan pesan simbolik, "Engkau yang antiagama akan kupenggal, engkau yang antinasionalis akan kuhabisi, dan engkau yang kapitalis akan kuhempaskan." Utopia perdamaian The Beatles kini diseret ke pragmatisme perang.
The Beatles tak lain adalah kisah musikus yang menggantung cita-cita utopis. Saking utopisnya, bersama Yoko Ono, sang istri, John Lennon mengurung diri di kamar serba putih selama puluhan hari sebagai protes terhadap perang. Di waktu lain, John merilis lagu Imagine tahun 1971 yang mengajak pendengarnya di seantero dunia untuk meninggalkan kekerasan atas nama negara dan agama.
Lirik Imagine yang menolak perang dan kekerasan, yang membayangkan tak ada negara dan tak ada agama, kemudian mengundang respon favourable. Sebagian bilang, John berutopia tentang “collective compassion" yang hilang, sebagian lagi berkata “John membayangkan kembali “collective consciousness" yang lenyap. Yang lain menulis garang, “Imagine yang ditulis John adalah antigama, antikapitalis, antinasionalis, antinegara, antisurga sekaligus antineraka.".
Utopia John dipicu oleh jutaan nyawa yang melayang di ujung peluru di Vietnam. Tapi, John sendiri tak mengira hidupnya juga berakhir di ujung peluru. Ia secara tragis terbunuh oleh peluru seorang penggemar. Alasannya pun atas nama simbol. "Saya membunuhnya, agar ia abadi dalam sejarah, agar ia dikenang", kata sang pembunuh. Romansa John sebagai seniman antiperang dan sebagai lelaki pencemburu, setidaknya pada Yoko Ono, akhirnya berakhir.
***
Jadilah kita semua sebagai "penonton". Tapi, kita adalah penonton tanpa hati, kosong empati dan hampa rasa. Kita semua menjadi "makhluk mati rasa" di atas semua elemen visual yang menggambarkan tragedi. Repetisi penyiaran tragedi perang dan kekerasan di media, menjadikan kualitas hati kita berpindah dan berubah menjadi batu cadas yang keras dan hitam. Indra manusia-penonton, sebagaimana juga kita, menjadi terpidana. Ekspresi haru di atas kemanusiaan menjadi peristiwa langka dan mahal.
Manusia memang tak selalu manusiawi, begitu peringatan dari cakrawala berpikir Pierre Bourdieu. Kerusakan habitat manusia --- ekonomi, sosial, budaya, politik, simbolik --- segera menggiring manusia ke kualitas "binatang liar", tambah Bourdieu. Manusia-binatang-liar inilah yang siap dan rela menyerang dan merusak orang lain: sesama tetangga, sesama suku, sesama bangsa dan sesama agama, serta sesama manusia. Manusia-binatang-liar terperosok menjauh dari takdirnya yang dibilangkan manusiawi: unik, berakal, dan mulia.
Seni yang utopis dan perang yang pragmatis memang beda. Seni yang utopis mengajak manusia berimajinasi. Imajinasi tentang estetika dan utopia tak lain adalah imajinasi tentang "perjumpaan ruang hidup". Sebaliknya, perang yang pragmatis mengajak manusia saling membunuh: dari cara kasar hingga brutal. Perang adalah "perjumpaan pragmatis untuk saling meniadakan". Harga manusia jauh beda di dua ajakan ini: utopia dan perang. Yang satu mengajak manusia ke ketinggian dan yang lain mengajak manusia berkalang tanah di panggung peperangan.
Memang benar utopia adalah imajinasi tanpa alas pengalaman. Itu sebabnya, utopia sering dianggap “mencubit keras” segenap pengalaman manusia. Lalu, utopia John Lennon balas dicubit. Abdel-Madjed memindahkan Lennon secara simbolik. The Beatles yang utopis berubah menjadi The Beatles yang pragmatis. John Lennon yang antikekerasan menjelma menjadi John-ala-ISIS yang memamerkan kekejaman.
Thursday, December 10, 2015
Politik Topeng dan Pembenci Parlemen
Alwy Rachman
Parlemen bukanlah institusi yang berkisah manis, bukan juga institusi yang berkisah tentang orang-orang besar atau merasa besar yang melulu diagungkan, lalu dengan demikian selalu disetujui ataupun diiyakan. Boleh saja mereka membilangkan kehadirannya di parlemen atas kehendak “suara rakyat suara tuhan” atau boleh juga mereka meyakini bahwa mereka adalah representasi “suara partai suara rakyat”. Tapi mereka juga sejatinya percaya bahwa selalu saja ada perlawanan terhadap parlemen untuk tidak mengatakan ada saja rakyat yang menganggap dirinya tidak terwakili oleh parlemen.
Jauh di masa lampau, sekitar 408 tahun lalu, di Inggris, ada kisah tentang seorang pembenci parlemen. Tokohnya dibilangkan sebagai Guy Fawkes. Sang tokoh, bersama 12 orang lainnya, dianggap berkonspirasi untuk meledakkan parlemen Inggris, yaitu “The House of Lords”, “Parlemen para Bangsawan”. Tujuannya adalah membunuh Raja James I. Dalam sejarah parlemen Inggris, skenario konspirasi ini disebut sebagai "Gunpowder Plot , 5 November 1605".
Skenario gagal ini diperkirakan akan menggunakan 36 barel bubuk peledak. Lalu komplotan konspirator pun tertangkap, dan tentu saja dihukum mati, kecuali Fawkes, yang akhirnya meninggal dalam upayanya melarikan diri dari pelaksanaan eksekusi. Dalam masyarakat Inggris, kisah dan peristiwa ini kemudian dikukuhkan sebagai “Guy Fawkes Day”. Pada setiap 5 November, setiap tahun, orang-orang di Inggris dan di bagian dunia lain memperingatinya dengan kembang api dan api unggun sembari membakar topeng dan patung Guy Fawkes.
Tapi, akhir-akhir ini, kisah Guy Fawkes seolah menginspirasi perlawanan rakyat negara-negara maju terhadap apa yang dianggapnya sebagai “kapitalisme yang berkuasa” secara sepihak. Permisalannya dapat dilihat dari ratusan demonstran yang menduduki Wall Street selama berhari-hari, beberapa saat lalu, untuk melawan kapitalisme global sembari memakai topeng Guy Fawkes yang berparas “senyum mengejek” dan “kumis tak biasa”.
Lalu, kisah nyata Guy Fawkes pun berubah. Suka atau tidak, kisahnya kini dipakai secara simbolis. Wajahnya yang di abad ke-17 dianggap menjijikkan karena dianggap berkhianat, kini dipindahkan ke dalam tirai topeng yang dipakai untuk melawan. Wajah sang tokoh ditransformasikan untuk keperluan berpolitik di parlemen jalanan. Politik topeng, kira-kira begitu bahasa sederhananya.
Soal politik topeng di parlemen jalanan, menarik juga membaca analisis Thomas Neil dari University of Denver. Neil mendaku bahwa politik topeng bertujuan menolak representasi politik partai dan negara. Politik topeng bisa dibilangkan sebagai strategi politik baru yang menolak representasi partai politik dan politik identitas. Politik topeng berkontribusi terhadap demokrasi langsung secara setara.
Neil juga membilangkan bahwa politik topeng menciptakan universalisme politik. Dengan menggunakan tirai wajah topeng, siapa pun dapat berpartisipasi dalam melawan neoliberalisme. Topeng mendukung demokrasi yang egaliter. Politik topeng membantu menciptakan konsensus yang bertujuan memenuhi kebutuhan semua orang, bukan mendukung keputusan yang mengecualikan kebutuhan minoritas.
Topeng, Neil menambahkan, memfasilitasi demokrasi dengan cara menciptakan lembaga politik kolektif anonim. Di kolektivitas anonim seperti ini, setiap orang tidak mendahulukan identitasnya, dan dengan demikian setiap orang dapat berpartisipasi secara bebas dalam memprotes parlemen. Identitas kelompok dan ideologi kelompok yang berbeda-beda tidak ditolak, tapi didudukkan sebagai bagian dari universalisme politik.
Politik topeng juga dimaksudkan untuk melemahkan hierarki dan otoritarianisme dengan menghilangkan penanda otoritas, termasuk wajah para demonstran dalam gerakan ini. Contohnya, dengan ratusan orang berdemonstrasi dengan tirai topeng Guy Fawkes di Washington akan membuat siapa pun yang menontonnya tidak akan dapat membedakan kelompok siapa yang sesungguhnya sedang memperjuangkan kepentingannya.
Tapi, Guy Fawkes adalah kisah warisan dari masa lalu. Kisah serupa tak ada dalam literasi demokrasi di Indonesia, meski parlemen Indonesia pernah diduduki oleh mahasiswa pada 15 tahun lalu. Pun kisah para demonstran yang menggunakan “topeng Guy Fawkes” hanya terjadi di luar sana.
Di negeri sendiri, kisah mutakhir tentang parlemen kaya akan aroma korupsi. Barangkali ini satu tanda bahwa yang ada di negeri ini bukan politik topeng, tapi topeng politik. Topeng politik memang menjadi modus bagi banyak politikus untuk bersembunyi di balik politik demi memperkaya diri, kelompok, atau keluarga. Tanda bahaya di masa depan adalah jika setiap orang di republik ini akan memilih posisi dirinya sebagai “pembenci parlemen”.
Parlemen bukanlah institusi yang berkisah manis, bukan juga institusi yang berkisah tentang orang-orang besar atau merasa besar yang melulu diagungkan, lalu dengan demikian selalu disetujui ataupun diiyakan. Boleh saja mereka membilangkan kehadirannya di parlemen atas kehendak “suara rakyat suara tuhan” atau boleh juga mereka meyakini bahwa mereka adalah representasi “suara partai suara rakyat”. Tapi mereka juga sejatinya percaya bahwa selalu saja ada perlawanan terhadap parlemen untuk tidak mengatakan ada saja rakyat yang menganggap dirinya tidak terwakili oleh parlemen.
Jauh di masa lampau, sekitar 408 tahun lalu, di Inggris, ada kisah tentang seorang pembenci parlemen. Tokohnya dibilangkan sebagai Guy Fawkes. Sang tokoh, bersama 12 orang lainnya, dianggap berkonspirasi untuk meledakkan parlemen Inggris, yaitu “The House of Lords”, “Parlemen para Bangsawan”. Tujuannya adalah membunuh Raja James I. Dalam sejarah parlemen Inggris, skenario konspirasi ini disebut sebagai "Gunpowder Plot , 5 November 1605".
Skenario gagal ini diperkirakan akan menggunakan 36 barel bubuk peledak. Lalu komplotan konspirator pun tertangkap, dan tentu saja dihukum mati, kecuali Fawkes, yang akhirnya meninggal dalam upayanya melarikan diri dari pelaksanaan eksekusi. Dalam masyarakat Inggris, kisah dan peristiwa ini kemudian dikukuhkan sebagai “Guy Fawkes Day”. Pada setiap 5 November, setiap tahun, orang-orang di Inggris dan di bagian dunia lain memperingatinya dengan kembang api dan api unggun sembari membakar topeng dan patung Guy Fawkes.
Tapi, akhir-akhir ini, kisah Guy Fawkes seolah menginspirasi perlawanan rakyat negara-negara maju terhadap apa yang dianggapnya sebagai “kapitalisme yang berkuasa” secara sepihak. Permisalannya dapat dilihat dari ratusan demonstran yang menduduki Wall Street selama berhari-hari, beberapa saat lalu, untuk melawan kapitalisme global sembari memakai topeng Guy Fawkes yang berparas “senyum mengejek” dan “kumis tak biasa”.
Lalu, kisah nyata Guy Fawkes pun berubah. Suka atau tidak, kisahnya kini dipakai secara simbolis. Wajahnya yang di abad ke-17 dianggap menjijikkan karena dianggap berkhianat, kini dipindahkan ke dalam tirai topeng yang dipakai untuk melawan. Wajah sang tokoh ditransformasikan untuk keperluan berpolitik di parlemen jalanan. Politik topeng, kira-kira begitu bahasa sederhananya.
Soal politik topeng di parlemen jalanan, menarik juga membaca analisis Thomas Neil dari University of Denver. Neil mendaku bahwa politik topeng bertujuan menolak representasi politik partai dan negara. Politik topeng bisa dibilangkan sebagai strategi politik baru yang menolak representasi partai politik dan politik identitas. Politik topeng berkontribusi terhadap demokrasi langsung secara setara.
Neil juga membilangkan bahwa politik topeng menciptakan universalisme politik. Dengan menggunakan tirai wajah topeng, siapa pun dapat berpartisipasi dalam melawan neoliberalisme. Topeng mendukung demokrasi yang egaliter. Politik topeng membantu menciptakan konsensus yang bertujuan memenuhi kebutuhan semua orang, bukan mendukung keputusan yang mengecualikan kebutuhan minoritas.
Topeng, Neil menambahkan, memfasilitasi demokrasi dengan cara menciptakan lembaga politik kolektif anonim. Di kolektivitas anonim seperti ini, setiap orang tidak mendahulukan identitasnya, dan dengan demikian setiap orang dapat berpartisipasi secara bebas dalam memprotes parlemen. Identitas kelompok dan ideologi kelompok yang berbeda-beda tidak ditolak, tapi didudukkan sebagai bagian dari universalisme politik.
Politik topeng juga dimaksudkan untuk melemahkan hierarki dan otoritarianisme dengan menghilangkan penanda otoritas, termasuk wajah para demonstran dalam gerakan ini. Contohnya, dengan ratusan orang berdemonstrasi dengan tirai topeng Guy Fawkes di Washington akan membuat siapa pun yang menontonnya tidak akan dapat membedakan kelompok siapa yang sesungguhnya sedang memperjuangkan kepentingannya.
Tapi, Guy Fawkes adalah kisah warisan dari masa lalu. Kisah serupa tak ada dalam literasi demokrasi di Indonesia, meski parlemen Indonesia pernah diduduki oleh mahasiswa pada 15 tahun lalu. Pun kisah para demonstran yang menggunakan “topeng Guy Fawkes” hanya terjadi di luar sana.
Di negeri sendiri, kisah mutakhir tentang parlemen kaya akan aroma korupsi. Barangkali ini satu tanda bahwa yang ada di negeri ini bukan politik topeng, tapi topeng politik. Topeng politik memang menjadi modus bagi banyak politikus untuk bersembunyi di balik politik demi memperkaya diri, kelompok, atau keluarga. Tanda bahaya di masa depan adalah jika setiap orang di republik ini akan memilih posisi dirinya sebagai “pembenci parlemen”.
Paradoks dan Pikiran Monyet
Alwy Rachman
“War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength”
George Orwell dalam 1984
“Perang adalah perdamaian. Kebebasan adalah perbudakan. Ketidak-pedulian adalah kekuatan”, begitu pernyataan paradoks Orwel yang banyak dibincangkan oleh kritikus sastra dan kritikus bahasa. Orwel, didakukan sebagai sebagai novelis satiris yang karya-karya besarnya mengolok-olok, mengejek-ejek para politikus yang gemar perang. Gaya olok dan gaya ejeknya tak kepalang. Gaya ungkapnya dibilangkan sebagai laku sastra binatangisme.
Di novel 1984, Orwel memutasi kualitas manusia politikus ke kualitas binatang politik. Di sini, kehadiran manusia politikus dengan “binatang politik” menjadi paradoks. Dibilangkan begitu, karena manusia politikus bukan binatang, demikian sebaliknya. Itu sebabnya, novel Orwel yang memunculkan manusia politikus dinilai sarat paradoks, penuh kontradiksi. Melalui cara itu, penulis sekaliber Orwel telah “memenjarakan” para pembacanya ke dalam satu persetujuan, yaitu “manusia politikus adalah binatang politik”.
Oligarki penguasa bisa saja tak menyukai gaya ungkap paradoks. Gaya ini menyakitkan dan membanting “citra” kelompok. Tapi, lewat gaya ini, orang lain dapat mengerti “kemungkinan lain”, meskipun makna yang terbawa tak kompatibel dengan makna yang dipercaya banyak orang. Novel satiris 1984 Orwel, misalnya, dianggap “memukul” secara telak para tiran di Rusia selama berlangsungya perang dingin. Novel ini sekaligus didudukkan sebagai refleksi Orwell atas bahaya kekuasaan otoriter.
Paradoks adalah “pikiran yang ingkar” terhadap satu kenyataan. Apalagi, kalau kenyataan itu berada di luar dirinya dan di luar pikirannya. Paradoks, dengan demikian, tak lain adalah penolakan manusia atas “pikiran lain”. Jauh di masa lampau, di sekitar 2500 sebelum Masehi, Plato telah berkisah dalam The Republic. Isinya tak lain paradoks manusia narapidana. Kisah itu dikenang sebagai Allegory of The Cave. Disebut juga sebagai Parable of The Plato’s Cave, “Pengibaratan Gua Plato.”
Di gua Plato ini, tiga orang tertawan di hampir seluruh hidupnya. Mereka terpenjara jauh di kedalaman gua. Di sepanjang peristiwa, ketiganya hanya menerima gambar bayang-bayang di dinding gua yang terpancar dari nyala api yang ditempatkan di belakang mereka. Bayang-bayang ini kemudian diindra oleh ketiganya sebagai “kebenaran mutlak”. Walhasil, satu diantaranya berhasil melepaskan diri dan keluar gua. Tapi, realitas sungguhan di luar gua dianggapnya sebagai paradoks.
Bagi Plato, paradoks akan dialami oleh mereka yang terpenjara oleh “pikiran sendiri” ketika bertemu dengan kenyataan lain. Sama dengan peringatan sekaligus sindiran susulan Jean Paul Sartre, seorang filsuf berkebangsaan Perancis, “Engkau adalah narapidana oleh pikiranmu sendiri”. Atau, seperti gambaran Tim Hurson dalam Think Better, dipublikasi tahun 2008, tentang pendakuan para pertapa Budha, “engkau berpikir seperti seekor monyet” (monkey mind) , melompat dari satu pohon ke pohon lain, untuk mencari buah. Di mana ada buah, ke sana engkau melompat.
Paradoks adalah ajakan keluar dari “cara pikir itu-itu saja”. Karena berada di luar pengalaman indrawi, paradoks yang dinyatakan ke dalam bahasa sering dihukum sebagai “violence”, semacam perusakan terhadap bahasa umum. “Semua binatang setara, tapi beberapa binatang lebih setara”, begitu contoh paradoks Orwel. Mana mungkin ada binatang yang setara? Ataubinatang mana yang punya insting kesetaraan? Di sini, paradoks Orwel bukan soal benar atau salah.
Paradoks dipakai untuk “memenjara” perhatian pembaca atau pendengar. Di negeri sendiri, paradoks tak hanya dipakai oleh kalangan seniman dan sastrawan. Tak sedikit rakyat di republik ini gemar memakai paradoks untuk menyindir sang pemimpin. Ada yang bilang, “Republik ini adalah Republik Auto Pilot”. Tak sedikit yang pernah menyebut, “presiden republik ini adalah presiden pesolek”.
Pada akhirnya, hari-hari ini muncul pula paradoks yang memindahkan kualitas sang pemimpin menjadi petugas. Sang presiden dihadiahi paradoks baru sebagai “petugas partai”. Selain ungkapan paradoks, laku politikus di negeri ini mendekati refleksi para pertapa Budha, “meloncat dari satu pohon ke pohon lain, untuk mendapatkan buah”. Refleksi ini setara dengan ungkapan, “berpindah dari satu partai ke partai lain, untuk mendapatkan kuasa”.
Loncat dari pohon ke pohon dan pindah dari partai ke partai pasti bukan paradoks. Keduanya adalah realitas politik yang hadir. Para “pencari buah” yang meloncat dari pohon ke pohon, disindir oleh pertapa Budha sebagai “orang-orang yang berpikir monyet”. Politikus yang meloncat dari partai ke partai, dalam ekspresi paradoks nusantara, dibilangkan sebagai “kutu loncat”. Kalau sudah begini, ada benarnya paradoks kalimat akhir Orwel, “Ignorance is strength”, “ketidak-pedulian adalah kekuatan”.
“War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength”
George Orwell dalam 1984
“Perang adalah perdamaian. Kebebasan adalah perbudakan. Ketidak-pedulian adalah kekuatan”, begitu pernyataan paradoks Orwel yang banyak dibincangkan oleh kritikus sastra dan kritikus bahasa. Orwel, didakukan sebagai sebagai novelis satiris yang karya-karya besarnya mengolok-olok, mengejek-ejek para politikus yang gemar perang. Gaya olok dan gaya ejeknya tak kepalang. Gaya ungkapnya dibilangkan sebagai laku sastra binatangisme.
Di novel 1984, Orwel memutasi kualitas manusia politikus ke kualitas binatang politik. Di sini, kehadiran manusia politikus dengan “binatang politik” menjadi paradoks. Dibilangkan begitu, karena manusia politikus bukan binatang, demikian sebaliknya. Itu sebabnya, novel Orwel yang memunculkan manusia politikus dinilai sarat paradoks, penuh kontradiksi. Melalui cara itu, penulis sekaliber Orwel telah “memenjarakan” para pembacanya ke dalam satu persetujuan, yaitu “manusia politikus adalah binatang politik”.
Oligarki penguasa bisa saja tak menyukai gaya ungkap paradoks. Gaya ini menyakitkan dan membanting “citra” kelompok. Tapi, lewat gaya ini, orang lain dapat mengerti “kemungkinan lain”, meskipun makna yang terbawa tak kompatibel dengan makna yang dipercaya banyak orang. Novel satiris 1984 Orwel, misalnya, dianggap “memukul” secara telak para tiran di Rusia selama berlangsungya perang dingin. Novel ini sekaligus didudukkan sebagai refleksi Orwell atas bahaya kekuasaan otoriter.
Paradoks adalah “pikiran yang ingkar” terhadap satu kenyataan. Apalagi, kalau kenyataan itu berada di luar dirinya dan di luar pikirannya. Paradoks, dengan demikian, tak lain adalah penolakan manusia atas “pikiran lain”. Jauh di masa lampau, di sekitar 2500 sebelum Masehi, Plato telah berkisah dalam The Republic. Isinya tak lain paradoks manusia narapidana. Kisah itu dikenang sebagai Allegory of The Cave. Disebut juga sebagai Parable of The Plato’s Cave, “Pengibaratan Gua Plato.”
Di gua Plato ini, tiga orang tertawan di hampir seluruh hidupnya. Mereka terpenjara jauh di kedalaman gua. Di sepanjang peristiwa, ketiganya hanya menerima gambar bayang-bayang di dinding gua yang terpancar dari nyala api yang ditempatkan di belakang mereka. Bayang-bayang ini kemudian diindra oleh ketiganya sebagai “kebenaran mutlak”. Walhasil, satu diantaranya berhasil melepaskan diri dan keluar gua. Tapi, realitas sungguhan di luar gua dianggapnya sebagai paradoks.
Bagi Plato, paradoks akan dialami oleh mereka yang terpenjara oleh “pikiran sendiri” ketika bertemu dengan kenyataan lain. Sama dengan peringatan sekaligus sindiran susulan Jean Paul Sartre, seorang filsuf berkebangsaan Perancis, “Engkau adalah narapidana oleh pikiranmu sendiri”. Atau, seperti gambaran Tim Hurson dalam Think Better, dipublikasi tahun 2008, tentang pendakuan para pertapa Budha, “engkau berpikir seperti seekor monyet” (monkey mind) , melompat dari satu pohon ke pohon lain, untuk mencari buah. Di mana ada buah, ke sana engkau melompat.
Paradoks adalah ajakan keluar dari “cara pikir itu-itu saja”. Karena berada di luar pengalaman indrawi, paradoks yang dinyatakan ke dalam bahasa sering dihukum sebagai “violence”, semacam perusakan terhadap bahasa umum. “Semua binatang setara, tapi beberapa binatang lebih setara”, begitu contoh paradoks Orwel. Mana mungkin ada binatang yang setara? Ataubinatang mana yang punya insting kesetaraan? Di sini, paradoks Orwel bukan soal benar atau salah.
Paradoks dipakai untuk “memenjara” perhatian pembaca atau pendengar. Di negeri sendiri, paradoks tak hanya dipakai oleh kalangan seniman dan sastrawan. Tak sedikit rakyat di republik ini gemar memakai paradoks untuk menyindir sang pemimpin. Ada yang bilang, “Republik ini adalah Republik Auto Pilot”. Tak sedikit yang pernah menyebut, “presiden republik ini adalah presiden pesolek”.
Pada akhirnya, hari-hari ini muncul pula paradoks yang memindahkan kualitas sang pemimpin menjadi petugas. Sang presiden dihadiahi paradoks baru sebagai “petugas partai”. Selain ungkapan paradoks, laku politikus di negeri ini mendekati refleksi para pertapa Budha, “meloncat dari satu pohon ke pohon lain, untuk mendapatkan buah”. Refleksi ini setara dengan ungkapan, “berpindah dari satu partai ke partai lain, untuk mendapatkan kuasa”.
Loncat dari pohon ke pohon dan pindah dari partai ke partai pasti bukan paradoks. Keduanya adalah realitas politik yang hadir. Para “pencari buah” yang meloncat dari pohon ke pohon, disindir oleh pertapa Budha sebagai “orang-orang yang berpikir monyet”. Politikus yang meloncat dari partai ke partai, dalam ekspresi paradoks nusantara, dibilangkan sebagai “kutu loncat”. Kalau sudah begini, ada benarnya paradoks kalimat akhir Orwel, “Ignorance is strength”, “ketidak-pedulian adalah kekuatan”.
Tubuh dan Jejak-jejak Kuasa
Alwy Rachman
Adalah ilmuwan eksentrik Michel Foucault yang menaruh perhatian terhadap nasib tubuh manusia. Puluhan tahun lampau, sang ilmuwan ini telah mendalilkan bahwa kekuasaan punya kepentingan atas tubuh. Tubuh tak kuasa bertahan di habitatnya sendiri. Tubuh tak lagi milik inidividu, tak lagi milik kebudayaan, tak lagi mampu bersembunyi di ranah pribadi.
Sang ilmuwan yang hidup pada 1926–1984 ini, kenyataannya tak hanya menemukan teorinya tentang tubuh lewat pengamatan. Ia sendiri menjadi pelaku “setubuh” dengan kelompok-kelompok gay. Pengalamannya di dunia “setubuh” lalu menghadirkan karya akademis Seks dan Kekuasaan, yang ramai diperbincangkan di kalangan ilmuwan-ilmuwan sosial kritis. Di situ, sang ilmuwan menghayati bahwa seks tak semata-mata menggambarkan hubungan yang setara. Di sana, ada kekuasaan.
Kendali kuasa atas tubuh disebutnya sebagai Biopolitics. Dalam praktek kekuasaan, tubuh menjadi sasaran medicine. Lalu, medicine menjadi teknologi politik, suka atau tidak. Contoh kuasa atas tubuh tak sulit ditemukan di negeri ini. Pada rezim Orde Baru, misalnya, segenap rahim perempuan dianggap “milik negara”. Walhasil, rahim perempuan menjadi sasaran kampanye rezim. “Dua anak cukup”, begitu bunyinya.
Tubuh adalah pendisiplinan, begitu dalil tambahan Michel Foucault. Gerak-gerak tubuh di ranah publik dianggap “liar” dan tak sesuai dengan selera institusi. Gerak tubuh lalu didisiplinkan melalui pendidikan ketentaraan dan pendidikan kepolisian. Tentara dan polisi nenjadi aparatus kuasa yang ditugaskan mendisiplinkan gerak tubuh dari habitatnya yang “liar”. Jadi, di kedua instititusi kuasa ini, gerak tubuh tak lagi milik publik, tak lagi milik kebudayaan.
Tubuh juga tunduk pada kuasa bisnis. Di industri fashion, misalnya, gerak tubuh para model, lelaki atau perempuan, dikendalikan menurut selera industri bisnis. Cara melangkah, cara berjalan, cara berbelok, dan cara berbalik para model menjadi “penanda industri fashion”. Gerak tubuh yang “modis” ini pasti tak ditemukan di “ranah publik”.
Kuasa bisnis atas tubuh lalu berlanjut ke “iklan”. Di sini, tubuh mengalami pembedaan: diskriminasi. Tubuh yang putih diidealkan dalam masyarakat yang bertubuh cokelat dan hitam. Tubuh yang hitam diidealkan di masyarakat yang berkulit putih. Penengahnya adalah produk yang dapat membuat tubuh menjadi putih, menjadi cokelat atau menjadi hitam. Kuasa bisnis akhirnya mengajak manusia “membenci tubuhnya sendiri.”
Tubuh adalah penjara. Melalui refleksi atas suasana penjara di Prancis di seputar kisah-kisah Revolusi Prancis, Michel Foucault membilangkan bahwa tubuh manusia adalah gambaran dari panoptic power. Panoptic power tak lain adalah kuasa yang menyebabkan manusia harus merasa diawasi, diamati, dicurigai, dan dikendalikan dari sudut mana saja, dan dari dimensi apa saja. Lalu, manusia kehilangan kebebasan, kehilangan otentisitas, kehilangan ruang pribadi, dan kehilangan ruang primordial untuk bergerak sendiri.
Revolusi elektronik, dengan segala kecanggihan inovasi gadget yang menyertainya, menyebabkan ramalan Michel Foucault, puluhan tahun lampau, kini menemukan momennya. Kamera pengawas yang lazim disingkat CCTV kini berada di mana-mana. Di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, di kantor-kantor, di pusat-pusat bisnis dan di jalan-jalan raya, kehadiran kamera pengawas dianggap normal saja. Malah dianggap mengawasi para kriminal. Padahal, tempat-tempat seperti ini sedang mempraktekkan kuasa yang disebut panoptic power. Siapa pula yang bisa menyangkal bahwa tempat-tempat kehadiran kamera pengawas di atas adalah lokus utama dari aparatus kuasa?
Tubuh kini bagian dari sidik jari elektronik. Kehadiran gadget dan kamera pengawas di hampir semua ruang publik merupakan gambaran atas kekuasaan yang membuat setiap manusia tak lagi mampu bersembunyi: sejak kecil hingga dewasa. Malah gadget telah merampas tradisi kerakyatan yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Nusantara. Kumpul bersama menikmati “pengalaman kebudayaan” yang sama tak lagi penting, dan tergantikan oleh kumpul bersama dalam aplikasi gadget: modis.
Di dunia gadget, relasi virtual menjadi lebih penting ketimbang relasi kultural. Relasi virtual mengabaikan “temu langsung” antar-individu. Di sini, manusia mengalineasi dirinya dari kelompok-kelompok sosial di masyarakatnya, mengasingkan diri dari kumpulannya. Padahal, sejauh ini manusia masih mendakukan dirinya sebagai makhluk sosial. Lalu, secara tak terhindarkan, manusia menjadi lebih individualistis. Relasi antarpersona, face to face interaction, tak lagi utama.
Pada akhirnya, tubuh adalah lambang sekaligus kuburan. Seseorang bisa menjadi pesohor simbolik di mana-mana lewat cara menjejakkan diri di dunia gadget. Di sana, individu bisa lebay sepuasnya. Sebaliknya, seseorang bisa terkubur melalui jejaknya di belantara gadget. Kariernya bisa terkubur karena rekam jejaknya di masa lampau tersimpan di dunia gadget. Manusia modern ternyata menyimpan paradoks. Mereka saling membesarkan dan saling menghancurkan melalui jejak sidik jari elektronik. Anehnya, manusia sangat narsisistik menghadirkan dirinya di wahana seperti ini.
Adalah ilmuwan eksentrik Michel Foucault yang menaruh perhatian terhadap nasib tubuh manusia. Puluhan tahun lampau, sang ilmuwan ini telah mendalilkan bahwa kekuasaan punya kepentingan atas tubuh. Tubuh tak kuasa bertahan di habitatnya sendiri. Tubuh tak lagi milik inidividu, tak lagi milik kebudayaan, tak lagi mampu bersembunyi di ranah pribadi.
Sang ilmuwan yang hidup pada 1926–1984 ini, kenyataannya tak hanya menemukan teorinya tentang tubuh lewat pengamatan. Ia sendiri menjadi pelaku “setubuh” dengan kelompok-kelompok gay. Pengalamannya di dunia “setubuh” lalu menghadirkan karya akademis Seks dan Kekuasaan, yang ramai diperbincangkan di kalangan ilmuwan-ilmuwan sosial kritis. Di situ, sang ilmuwan menghayati bahwa seks tak semata-mata menggambarkan hubungan yang setara. Di sana, ada kekuasaan.
Kendali kuasa atas tubuh disebutnya sebagai Biopolitics. Dalam praktek kekuasaan, tubuh menjadi sasaran medicine. Lalu, medicine menjadi teknologi politik, suka atau tidak. Contoh kuasa atas tubuh tak sulit ditemukan di negeri ini. Pada rezim Orde Baru, misalnya, segenap rahim perempuan dianggap “milik negara”. Walhasil, rahim perempuan menjadi sasaran kampanye rezim. “Dua anak cukup”, begitu bunyinya.
Tubuh adalah pendisiplinan, begitu dalil tambahan Michel Foucault. Gerak-gerak tubuh di ranah publik dianggap “liar” dan tak sesuai dengan selera institusi. Gerak tubuh lalu didisiplinkan melalui pendidikan ketentaraan dan pendidikan kepolisian. Tentara dan polisi nenjadi aparatus kuasa yang ditugaskan mendisiplinkan gerak tubuh dari habitatnya yang “liar”. Jadi, di kedua instititusi kuasa ini, gerak tubuh tak lagi milik publik, tak lagi milik kebudayaan.
Tubuh juga tunduk pada kuasa bisnis. Di industri fashion, misalnya, gerak tubuh para model, lelaki atau perempuan, dikendalikan menurut selera industri bisnis. Cara melangkah, cara berjalan, cara berbelok, dan cara berbalik para model menjadi “penanda industri fashion”. Gerak tubuh yang “modis” ini pasti tak ditemukan di “ranah publik”.
Kuasa bisnis atas tubuh lalu berlanjut ke “iklan”. Di sini, tubuh mengalami pembedaan: diskriminasi. Tubuh yang putih diidealkan dalam masyarakat yang bertubuh cokelat dan hitam. Tubuh yang hitam diidealkan di masyarakat yang berkulit putih. Penengahnya adalah produk yang dapat membuat tubuh menjadi putih, menjadi cokelat atau menjadi hitam. Kuasa bisnis akhirnya mengajak manusia “membenci tubuhnya sendiri.”
Tubuh adalah penjara. Melalui refleksi atas suasana penjara di Prancis di seputar kisah-kisah Revolusi Prancis, Michel Foucault membilangkan bahwa tubuh manusia adalah gambaran dari panoptic power. Panoptic power tak lain adalah kuasa yang menyebabkan manusia harus merasa diawasi, diamati, dicurigai, dan dikendalikan dari sudut mana saja, dan dari dimensi apa saja. Lalu, manusia kehilangan kebebasan, kehilangan otentisitas, kehilangan ruang pribadi, dan kehilangan ruang primordial untuk bergerak sendiri.
Revolusi elektronik, dengan segala kecanggihan inovasi gadget yang menyertainya, menyebabkan ramalan Michel Foucault, puluhan tahun lampau, kini menemukan momennya. Kamera pengawas yang lazim disingkat CCTV kini berada di mana-mana. Di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, di kantor-kantor, di pusat-pusat bisnis dan di jalan-jalan raya, kehadiran kamera pengawas dianggap normal saja. Malah dianggap mengawasi para kriminal. Padahal, tempat-tempat seperti ini sedang mempraktekkan kuasa yang disebut panoptic power. Siapa pula yang bisa menyangkal bahwa tempat-tempat kehadiran kamera pengawas di atas adalah lokus utama dari aparatus kuasa?
Tubuh kini bagian dari sidik jari elektronik. Kehadiran gadget dan kamera pengawas di hampir semua ruang publik merupakan gambaran atas kekuasaan yang membuat setiap manusia tak lagi mampu bersembunyi: sejak kecil hingga dewasa. Malah gadget telah merampas tradisi kerakyatan yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Nusantara. Kumpul bersama menikmati “pengalaman kebudayaan” yang sama tak lagi penting, dan tergantikan oleh kumpul bersama dalam aplikasi gadget: modis.
Di dunia gadget, relasi virtual menjadi lebih penting ketimbang relasi kultural. Relasi virtual mengabaikan “temu langsung” antar-individu. Di sini, manusia mengalineasi dirinya dari kelompok-kelompok sosial di masyarakatnya, mengasingkan diri dari kumpulannya. Padahal, sejauh ini manusia masih mendakukan dirinya sebagai makhluk sosial. Lalu, secara tak terhindarkan, manusia menjadi lebih individualistis. Relasi antarpersona, face to face interaction, tak lagi utama.
Pada akhirnya, tubuh adalah lambang sekaligus kuburan. Seseorang bisa menjadi pesohor simbolik di mana-mana lewat cara menjejakkan diri di dunia gadget. Di sana, individu bisa lebay sepuasnya. Sebaliknya, seseorang bisa terkubur melalui jejaknya di belantara gadget. Kariernya bisa terkubur karena rekam jejaknya di masa lampau tersimpan di dunia gadget. Manusia modern ternyata menyimpan paradoks. Mereka saling membesarkan dan saling menghancurkan melalui jejak sidik jari elektronik. Anehnya, manusia sangat narsisistik menghadirkan dirinya di wahana seperti ini.
Thursday, December 3, 2015
SEPPUKU, SEPERUT DAN SESARUNG
Alwy Rachman
Seppuku, seperut dan sesarung adalah kisah
kebudayaan. Yang pertama berakar di negeri Matahari, Jepang. Dua terakhir
tertanam di negeri Ayam Jantan dari Timur: Sulawesi Selatan. Yang pertama dan
dua terakhir punya kesamaan, pun punya perbedaan. Kesamaannya adalah
persahabatan dan perbedaannya pada soal fungsi senjata di atas persahabatan. Yang
pertama dibilangkan sebagai tradisi Bushido, sementara dua terakhir disebut
sebagai tradisi siri’.
Tradisi Bushido dipandu oleh tujuh nilai: Gi, Yuu, Jin, Rei, Makoto, Meiyou, dan Chuugi. Sementara tradisi siri’ dikawal
empat nilai: Siri’, Pesse, Lempu dan Getteng. Jika diterjemahkan, kualitas Bushido
tak lain adalah integritas, keberanian, kecintaan antar sesama, kesantunan,
keikhlasan, kemuliaan, dan loyalitas. Jika dirinci, kualitas siri’ tak lain
adalah kehormatan, empati yang dalam, jujur dan tegar. Keseluruhan kualitas ---
Jepang dan Sulawesi Selatan --- adalah nilai-nilai yang berdiam di ruang sadar,
ruang paling senyap, paling religius, dan tersimpan paling jauh dan paling
dalam pada diri manusia Jepang dan manusia Bugis Makassar.
Namanya juga nilai-nilai, keseluruhan
kualitas ini menjadi semacam “ideologi kebudayaan”, itu pun kalau “ideologi
kebudayaan”, dengan sangat terpaksa, diterjemahkan sebagai “cita-cita bersama
dari satu kaum”. Kumpulan kualitas ini semacam “batu cadas” yang mengakar dan
menjadi jalan bagi dua manusia dari dua kawasan. Jalan yang tak lain bertujuan
menegakkan negeri, menghidupi budaya, mengayomi masyarakatnya, memelihara
keluarganya. Tentu saja, untuk merawat sahabat dan persahabatan.
***
Tanpa nilai-nilai, persahabatan adalah
dunia yang licin. Tanpa nilai-nilai, sisi manusiawi sang sahabat menjelma
menjadi animal. Di dalam keadaan tak
terelakkan, dalam situasi tak ada pintu keluar, tujuh nilai-nilai Jepang dan 4
nilai Bugis Makassar akan menyatakan dirinya ke simbolisme “senjata”. Fungsi
budaya senjata inilah yang kemudian dipindahkan ke dalam lambang budaya:
Samurai bagi Jepang, Badik bagi Bugis-Makassar.
Tapi, jangan sekali-kali salah
paham. Samurai dan Badik bukan untuk kekejaman, bukan untuk “membunuh” tanpa
alasan, pun bukan untuk ingkar dan hianat pada sang sahabat. Samurai dan Badik
adalah wajah terdepan dari integritas diri.
Seppuku di para samurai boleh dibilangkan
sebagai “spirit persahabatan”. Tradisi Badik juga tak lain adalah “semangat persaudaraan”.
Seorang samurai akan melakukan upacara Seppuku --- biasanya kita dengan lancang
menyebutnya “bunuh diri” --- jika eksistensi “Yang tahu” dan “Yang Jiwa” dalam
dirinya membisikkan pada “Yang Sadar”: “engkau bersalah”. Tak ada alasan bagi seorang
Samurai merusak persahabatan dengan negara dan negerinya, dengan masyarakatnya,
dengan keluarganya, dan dengan sahabat-sahabatnya. Maka, senjata segera
berfungsi dan paling pantas diarahkan ke perut --- bagian terlemah pada tubuh.
Senjata untuk memerdekakan “Yang Tahu” dan “Yang Jiwa”.
Dalam beberapa peristiwa, badik juga adalah
“semangat persaudaraan”. Sekeras apa pun konflik yang dihadapi oleh dua
sahabat, persaudaraan “tak bisa digadaikan”. Badik yang bekerja dari
sahabat-sahabat di dalam “satu sarung” tak bermaksud “ingkar pada sahabat”. Di
“satu sarung”, “Yang Tahu” dan “Yang
Jiwa” akan membisik ke “Yang Sadar” dari mereka yang bersahabat: “engkau
bersaudara”.
Persaudaraan dalam bahasa
Bugis-Makassar disebut sebagai “saribbattang”,
“silissureng” yang membawa pesan sama
“dari dan berasal dari perut yang satu”. Pasti yang dimaksud di sini “perut
ibu”, lelaki tak pernah memiliki kualitas religius perut sebagaimana “perut
ibu”. Jadi, badik adalah wajah paling kasat mata dari kualitas kasih paling
mengharukan: perut ibu. Itu alasannya, jika persaudaraan dan persahabatan tiba
di titik ekstrim, “para sahabat” biasanya memilih “satu sarung”, ketimbang
membawa aib sang sahabat ke mana-mana.
***
Di seppuku, sang samurai “tak bunuh diri”. Orang
luar yang latah lah menyebutnya demikian. Di “satu sarung”, dua sahabat “tak
saling bunuh”. Orang luar pula yang membilangkan “kejam”. Seppuku dan satu
sarung akan melenyapkan sang tubuh, wadah pembawa aib. Di situ, aib sang
sahabat akan pergi bersama sang tubuh. Sampai di situ. Aib sang sahabat tak
dijalarkan dan tak digelincirkan. Di ritus seppuku, Sang Samurai “tak
menyalahkan” ihwal di luar dirinya. Di “satu sarung”, sang Bugis dan Sang
Makassar tak menggadai aib sahabatnya ke mana-mana.
Di peristiwa seppuku dan “satu sarung”, “Yang
Tahu” dan “Yang Jiwa” dalam diri manusia lepas tanpa retak. Sang samurai tak
kehilangan masyarakat, tak kehilangan keluarga, dan tak kehilangan sahabat. Di
“satu sarung”, Sang Bugis-Makasssar tak kehilangan sahabat, tak kehilangan
individu seperut. Di keduanya, kita bisa merefleksi dan belajar tentang
kehadiran sahabat dan belajar mengenali budaya persahabatan. Sayang sekali, kini kita kehilangan “ideologi
sahabat”. Sayang, “budaya sahabat” kini meredup padam.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tribun Makassar
Silessureng, Kita Hadir Sejalan Lahir
Alwy Rachman
“Kita telah terbang
ke angkasa ibarat burung,
telah menyelam
ke samudra bagai ikan. Kita belum belajar
berjalan di bumi
sebagai orang-orang yang bersaudara.”
Martin Luther King Jr.
Tiba-tiba saja, bersama kolega-kolega muda-tua,
saya terlibat dalam percakapan tentang pola sapaan “yang hidup” dan “yang tak hidup”
di masyarakat. Sebagian peserta percakapan bilang, masyarakat kita tak sama
dengan masyarakat di seberang sana. Di sana, mungkin maksudnya di negara-negara
yang berbahasa Inggris, ekspresi “I am sorry” dan “Thank you” sering terdengar
ketimbang di negeri sendiri.
“Maaf” dan “terima kasih” menjadi ekspresi
yang jarang “muncul” dalam interaksi kecil sehari-hari. Malah, di rumah
sendiri, kata dan ekspresi ini jarang dilatihkan kepada anak-anak. Oleh karena
itu, anak-anak tumbuh dengan “ketiadaan konteks kecil” untuk belajar
mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih”. Di kalangan orang dewasa, kata dan
ekspresi “maaf” dan “terima kasih” menjadi langka, baik kepada sesama dewasa
maupun kepada anak-anak.
Jadilah kita keluarga yang tak membiasakan diri
berucap “maaf” atau “terima kasih”. Situasi ini menjalar ke masyarakat,
menjalar ke tingkat yang lebih tinggi, negara. Di masyarakat, peristiwa sekecil
apapun yang menganggu orang lain, jarang kita menerima atau mengucapkan “maaf”
atau “terima kasih”. Di tingkat negara, jarang pula kita menyaksikan permintaan
“maaf” dan “terima kasih” para pemimpin ke masyarakat, begitu kira-kira argumen
dalam percakapan.
***
Pengucapan “maaf” dan “terima kasih” adalah
kode interaksi sosial di masyarakat yang mengajarkan dan menghidupkan “brotherhood”,
yaitu “persaudaraan”. Persaudaraan yang
dilatih dan terlatih, dimulai dari rumah dan dipraktekkan di ruang publik.
Persaudaraan yang merembes ke dunia politik dan dikristalkan melalui motto
“liberty, equality, and fraternity”. Fraternity kemudian memayungi
“persaudaraan” sebagai perangkat etika sosial yang mengatur hubungan
antar-orang berdasarkan love and solidarity.
“Liberti, equality, dan fraternity” telah
dijadikan kode politik kebangsaan Perancis. Tak berarti, bangsa-bangsa lain tak
punya kode serupa, meski melalui pernyataan atau afirmasi lain. Indonesia punya
sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai kode kebangsaan. Di
sini, keadilan bagi seluruh --- kecil dan besar--- bersifat imperatif ideologi.
Keadilan yang dibangun di atas solidaritas luas.
Solidaritas luas adalah buah pikir Ernest
Renan, filsuf kebangsaan yang buah pikirannya banyak menjadi rujukan. Renan
bilang, fondasi nasionalisme justru hanya dapat dikukuhkan di atas solidaritas
luas. Tanpa solidaritas luas, tak akan ada keadilan. Keadilan sosial sebagai
kode kebangsaan Indonesia, dengan demikian, mesti dibaca sebagai perintah
ideologi. Keadilan sosial mencakup pemenuhan hak-hak beragama, berorganisasi,
berpendapat, berumah tangga, dan berkebudayaan.
***
Di tingkat kebudayaan, Sulawesi Selatan
mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih” dengan sikap kultural. Kata “tabe”,
sembari sedikit membungkukkan diri, setara dengan pernyataan “maaf”.
Menepuk-nepuk pundak “orang yang lebih muda” bisa dicerna sebagai “terima
kasih”. Malah, di Bugis dan Toraja, ekspresi “kurru sumange” menjadi penanda
“terima kasih” secara khas..
“Kurru sumange” tak sematra dan “tak
setubuh” dengan “thank you”. Di ekspresi “kurru sumange”, si pengucap mengajak “jiwa”
pada yang disapa untuk bangkit. Ekspresi “thank you” tak menyapa “jiwa”, tetapi
“persona”. “Kurru sumange”, secara
harafiah dan secara kultural, bisa diartikan “bangkitlah wahai sang jiwa”.
Menyapa “sang jiwa” untuk berterima kasih adalah asupan kultural yang jauh
lebih reflektif, lebih ke dalam diri dari sekadar “berterima kasih”.
Makassar dan Bugis mengekspresikan “brotherhood”
melalui kata sederhana tapi dalam: “saribattang” dan “silessureng”. Keduanya
adalah metafor “perut ibu”. Keduanya adalah mimesis dari entitas “tubuh
ibu”. “Ibu” di representasi, dihadirkan kembali ke dalam
kode-kode persaudaraan. “Saribattang” adalah ajakan bahwa kita berasal dari
perut yang sama: “seperut”. “Silessureng” adalah peringatan bahwa kita semua hadir
melewati jalan di antara mulut rahim dan pintu vagina: “sejalan lahir”.
Mari kita gunakan kode budaya Sulawesi
Selatan untuk mendudukkan bangsa ini. Kita memang banyak, dari ratusan etnik,
ratusan bangsa. Kita yang banyak, “hadir” dari analogi yang sama, yaitu “perut
ibu Pertiwi”. Kita “hadir” secara
multikultural di jalan lahir yang sama, “jalan
kebangsaan nusantara”. Kita “saribattang”, kita pun “silessureng”. “Seperut” dan “sejalan lahir” adalah takdir.
Wednesday, December 2, 2015
Mencari “Jiwa dari segala jiwa”
Alwy Rachman
Ada sebuah kisah dan refleksi lama tentang
kualitas pemimpin. Kisahnya dibilangkan sebagai “The Conference of the Birds”, “Pertemuan Para Burung”. Kisah
konferensi burung ini ditulis jauh di masa lampau, di sekitar paruh akhir abad
ke-11. Kisahnya dipapar ke dalam bahasa simbolik, ke dalam puisi panjang yang mencapai
sekitar 4500 baris. “Pertemuan Para
Burung” ini ditulis oleh seniman Persia, Farid ad-Din Attar.
Di literasi puisi Attar itu, burung-burung dibilangkan
datang dari berbagai belahan dunia. Di tengah zaman kegelapan dan penuh
kekacauan, para burung ini berkumpul dan berdiskusi tentang dunia yang gelap. Burung-burung
sedunia disergap rasa ingin tahu cara keluar dari kegelapan. Kegelapan adalah
kekacauan, begitu anggapan pertemuan itu. Di tengah kegelapan, jatuhlah sehelai
bulu brung yang kemilau bercahaya.
Burung yang dibilang paling bijaksana, Meragai,
bilang, “kemilau bulu yang jatuh adalah tanda dari sebuah ramalan visioner”
dari sang legenda Simorgh. Meragai pun segera memimpin burung dari segala jenis,
segala bentuk, untuk terbang bersama. Pencaharian besar-besaran pun dimulai.
Terbang bagikan guntur ke langit gelap untuk
mencari sumber sang cahaya. Sang legenda dipercaya akan menerangi kegelapan. Tapi,
pencaharian itu sejatinya melewati tujuh lembah, sebagaimana dikisahkan.
Wilayah pencaharian terbentang tak terbatas, dari lembah kerinduan hingga
lembah kecintaan dan dari lembah kefanaan hingga lembah ketauhidan.
Dari lembah ke lembah, kelompok burung demi
kelompok burung tersesat habis. Pada akhirnya, hanya tiga puluh burung yang mencapai
tempat sang legenda Simorgh. Simorgh tak lain adalah sebuah danau, tempat yang
memungkinkan bagi ketiga puluh burung itu melakukan refleksi. Refleksi
akhirnya: “kita hanya bisa tiba jika ada kesediaan, pengorbanan, dan
kesetiaan”.
***
Bagi Ilmuan Barat seperti Clarissa Pinkola
Estes, kisah Simorgh dan Meragai dalam “Pertemuan
Para Burung” adalah kisah simbolik. Clarissa yang juga penyair sekaligus
berprofesi sebagai spesialis pasca-trauma dan sekaligus psikoanalis bilang,
“bukankah Farid ad-Din Attar ingin menyampaikan bahwa angka 30 adalah angka
siklus hidup. Angka 30 hari membentuk nama-nama bulan, begitu argumennya. Angka
30 adalah siklus lengkap dimana manusia dapat melihat, mencari, jatuh, mati,
lahir dan bangun, tambahnya.
Clarissa, sarjana psikoanalis yang sering menggunakan puisi dan seni
panggung untuk terapi ekspresif untuk orang lain, menambahkan bahwa kisah “Konferensi Para Burung” adalah
deskripsi tentang psyche manusia. Kisah
perjalanan ke ketujuh lembah, dengan tingkat kesulitan masing-masing, memetakan
kondisi psyche manusia. Sebagian psyche akan menyerah karena tak tahan
menderita, sebagian lagi merasa sengsara. Sebagian psyche diliputi rasa permusuhan, sebagian lagi tak mampu menanggung
visi yang menakutkan. Sebagian mengalami psyche
yang tersobek oleh keraguan, sementara yang lain memelihara psyche yang penuh sesal.
Esensi 30 hari adalah wadah untuk membangun
psyche kesediaan, psyche kerelaan berkorban, dan psyche memelihara kesetiaan. Kemilau bulu
Simorgh yang dikisahkan jatuh dari langit dan menerangi bumi tak lain adalah representasi
dari ketiga kualitas psyche tadi. Di
luar dari itu, dunia tetap saja gelap.
Kisah di “Pertemuan Para Burung” bukan
satu-satunya sumber hikayat yang dapat dipakai secara akademis untuk merefleksi
kualitas psyche manusia. Di tengah
kegelapan, kekacauan, kekerasan dan penindasan, manusia biasanya kembali
belajar tentang kualitas binatang. Mandela, misalnya, membawa Afrika Selatan
dengan menumpang literasi “The Flamingo” yaitu
burung Bangau. Burung Bangau katanya adalah gambaran psyche tahu diri.
Ketika muda, Bangau akan memimpin, mengajak
bersama, tapi kalau sudah tua ia segera tahu diri. Bangau tua akan lengser ke
pinggir, memberi kesempatan pada bangau muda, tanpa perlu meninggalkannya. Psyche tua tak lain adalah kesediaan
untuk lengser sebagai pemimpin, rela berkorban untuk generasi mudanya, dan
tetap setia pada jalan kebenaran. Di luar
itu, yang ada hanya “burung kertas” yang merasa bisa mencapai matahari.
Pada akhirnya, Clarissa meyakini bahwa
penyair Persia, Farid ad-Din Attar adalah sosok seniman mistik sufistik yang
bercerita tentang potensi bahaya yang mengancam psyche manusia. Hikayat Simorgh dalam “Pertemuan Para Burung” adalah gambaran representatif tentang
resiko yang benderang dalam perjalanan psyche
mencari “The Soul of souls”, “Jiwa
dari segala jiwa”.
Subscribe to:
Posts (Atom)