SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, November 14, 2016

Politik Bahasamu, Bukan Bahasa Saya

Alwy Rachman

“The Language I am using against you
is not mine. It is merely your language”

                                         Michael Shapiro

Hari-hari ini, dan beberapa pekan ke depan, bahasa dan wacana politik semakin cerewet dan bersaing. Siapa lagi yang masih harus bersaing kalau bukan kelompok pemenang dan kelompok kalah? Koalisi kelompok kalah dalam pemilihan presiden tetapi menang di parlemen, di berbagai media, segera menghadirkan bahasa benderang yang secara diametral berlawanan dengan koalisi pemenang pemilihan presiden tapi kalah di parlemen.

Suasana politik “contentious” menjadikan para politikus Senayan menjadi cerewet, lalu terkesan antagonis. Di berbagai laporan media, antagonisme dalam berbahasa dimengerti sebagai bahasa yang beraroma penghalang. Tak mengherankan jika para analis membilangkan bahasa antagonis sebagai bahasa “sakit hati”, “bahasa balas dendam”. Dalam bahasa seperti ini, “sakit hati” dan “dendam” tidak hanya diekspresikan oleh kelompok politikus, tapi selanjutnya juga “menyakiti” rakyat kebanyakan. “Sakit hati” rakyat bermula dari “pembelokan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung” menjadi “kedaulatan yang diminta diwakilkan kepada para politikus”.

Sedemikian mengecewakan rakyat kebanyakan, ada yang mengatakan, kalau memang mereka meyakini bahwa pikiran mereka benar, “ayo kita bikin referendum” untuk tahu apakah mereka benar-benar mewakili suara rakyat. Orang kebanyakan kini meyakini bahwa para politikus hanya berbahasa di atas pikirannya sendiri. Mereka adalah para pencari kuasa yang gemar mendengarkan pikirannya sendiri. Itu sebabnya, bahasa politikus kini tak berkemampuan menggerakkan rakyat untuk kemaslahatan bangsa.

Politikus memang hanya bicara soal kalah atau menang. Yang menang biasanya “basa-basi” dan mengatakan kemenangan ini adalah kemenangan semua. Yang kalah juga “basa-basi” dan bilang “kita kalah terhormat” sembari mengganggu “kemenangan” lawan. “Basa-basi”, dengan demikian, menjadi laku bahasa dan wacana politik yang tak seluruhnya mewakili keperluan bangsa.

Hari-hari ini, sejak bersaing berebut jabatan-penting di publik di negeri ini, laku bahasa politikus menjadi tak enak didengar dan mencemaskan untuk dibaca. Bahasa politikus ibarat menyingkirkan harapan dan memangsa utopia kebangsaan. Laku bahasa mereka menggores emosi pendengar dan pembaca. Kini, laku bahasa mereka tak lebih dari bahasa kelompok yang mengabaikan ratusan juta anak bangsa. Laku bahasa mereka mendudukkan dirinya sendiri sebagai orang paling penting dalam menghidupi bangsanya.

Konflik kepentingan atas kuasa politik secara utuh hadir di berbagai ragam media, terlepas bahwa kelompok-kelompok media menjadi bagian dari konflik elite. Fabrikasi bahasa politik di berbagai televisi dan koran-koran nasional serta daerah adalah “mirroring” atau “pencerminan” utuh dari apa yang sedang terjadi. Televisi dan koran adalah wajah masyarakat. Paras televisi dan koran tak lebih dari paras para politikus.

Hari-hari ini, sesuai dengan pemberitaan media, kaum muda dari berbagai latar belakang segera menegaskan posisinya. Mereka mengatakan, “Kami akan datang ke pesta rakyat.” Mereka mengatakan, “Kami akan mengawal pelantikan presiden terpilih.” Di permukaan, bahasa kaum muda ini beraroma lunak, meski ini merupakan pernyataan pesan kuat. Pesan itu tak lain, “Kami juga akan berkoalisi menyanding koalisi kalian.” “Koalisi rakyat” akan bertanding dengan “koalisi para politikus”.

Bahasa memang sebagai wahana untuk memanipulasi kuasa. Jangan percaya bahwa bahasa politik sebagai wahana mengekspresikan kepentingan semua. Bahasa politik menciptakan “dua arena perang” dalam waktu bersamaan. “Perang atas lawan politik” di satu pihak, dan “perang yang disebar” ke masyarakat di lain pihak. Perang memasuki wilayah-wilayah paling kecil dan dekat, yaitu di rumah sendiri.

Namanya juga berebut kuasa, bahasa politik nyaris tak bicara atas nama rakyat yang justru merupakan sumber legitimasinya. Peristiwa politik, setidaknya yang kita tonton dan kita baca, justru menciptakan separasi dan segregasi antara elite dan rakyat kebanyakan. Elite semakin cerewet dan kadang keterlaluan. Sedangkan rakyat tak lebih sebagai penonton yang mesti diam mengamati segenap laku para politikusnya. Rakyat mengalami “separation”, semacam “keterterpisahan” dari politikusnya sendiri.

Tapi, hari-hari ini, berbagai kalangan menyatakan “akan datang ke pesta rakyat”. Mereka kini mendefinisikan posisi dirinya sebagai pihak yang “tersegregasi”, “terbuang” dari ruang politik. Segregasi sosial politik yang dialami kaum muda akan “ditanganinya” dengan membawa “budaya tanding”. “Jika engkau berkoalisi, kami pun akan berkoalisi. Jika engkau merampas kedaulatan kami, kami akan merebutnya. Jika engkau menghalangi, kami akan mengawal,” begitu kira-kira posisi masyarakat atas kekecewaan akan laku politikusnya.

Kalau sudah begini, pernyataan seorang scholar sekaligus filsuf media dan politik, Michael Shapiro, menemukan momentumnya, “bahasa yang saya pakai melawanmu sesungguhnya bukan bahasa saya. Bahasa itu tak lebih dari bahasamu.”


Catatan:
Dimuat di rubrik Literasi, Harian Tempo Makassar, 14 Oktober 2014







 
Alwy Rachman.