Saturday, September 2, 2017

Dua Keadilan

 Alwy Rachman

Menonton televisi nasional, dalam beberapa hari terakhir, khusus tentang tertangkapnya “orang-orang penting” karena korupsi di negeri ini, mirip menonton panggung yang berkisah tentang “pemimpin-pemimpin Indonesia yang terjungkir balik dan terlipat-lipat berantakan”. Panggung yang sedikit, apa boleh buat, memaksa kita berpikir bahwa tapal batas di antara kisah orang-orang baik dan kisah orang-orang jahat menjadi samar.

Di panggung ini, kemarin, sang pemimpin masih berparas sebagai sosok baik. Tapi, di hari-hari ini, sang pemimpin kini berwajah pecundang. Pada bulan-bulan lalu, sang pemimpin tampak sebagai pribadi protagonis, tapi hari ini ia menjadi pelaku antagonis. Beberapa tahun lalu, ia dipuji dan dipuja bagaikan hero, tapi saat-saat ini ia terhina.

Mendefinisikan orang-orang baik sama rumitnya dengan cara menentukan orang-orang jahat. Itu sebabnya, “orang-orang penting” yang korup masih saja tercitra dan dicitrakan sebagai “selebritas”, bukan sebagai pencuri apalagi garong. Wajah dan parasnya tampil menarik di majalah-majalah serta koran-koran terkemuka, jauh beda dengan para pencuri dan garong di koran-koran kuning.

Suasana kisah “orang-orang penting” ini malah mirip “festival”. Malah, kisah-kisah penangkapannya disertai ritus-ritus baru: diantar oleh kolega dan keluarga, dikawal oleh aparatur negara, dan didukung oleh massa. Lihatlah menjelang penahanan sang jenderal yang mengerahkan anak buahnya. Atau, sang politikus yang membawa para pendukung. Atau, sang gubernur yang diikuti oleh jawara-jawara di belakangnya. Benar-benar mirip “suasana festival”.

Para ilmuwan sosial, terutama di kalangan ilmuwan sosial kritis, sedari dulu tak percaya “ada manusia baik”. Pun, sedari dulu, ilmuwan-ilmuwan ini tak percaya “ada manusia jahat”. Pierre Bourdieu membilangkan bahwa manusia tak lebih dari “makhluk plastik” yang lentur dalam beradaptasi dengan struktur dan sistem, tempat ia berkiprah. Jika struktur dan sistemnya baik, ia menjadi baik. Tapi, jika ia hidup dalam struktur dan sistem yang jahat, ia menjadi jahat. Orang-orang baik pun menjadi jahat dalam dunia yang terstruktur dan tersistem secara jahat.

Paras manusia memang selalu dipandang secara skeptis oleh para ilmuwan kritis. Thomas Hobbes malah bilang manusia adalah makhluk yang “berparas Leviathan”. Paras Leviathan adalah paras monster, paras serigala yang gemar memangsa manusia lain, terutama jika kepadanya diberi kekuasaan, dianugerahi otoritas besar, apalagi diikuti puji dan puja secara memabukkan.

Menunggu “manusia bermoral” ibarat kisah “menunggu Sang Godot”. Dan menunggu “Sang Godot” mirip menunggu dua eksistensi yang tak terjelaskan: “manusia baik” atau “dewa-dewi”. Tak tahu mana yang akan datang. Biarkan tirani sang waktu yang akan menjadi hakim bagi semuanya. Waktu yang akan menghukum apakah engkau menjadi manusia sia-sia, begitu pesan literasi Islam terhadap semesta peradaban.

Keadilan memang barang langka dan rumit didefinisikan dari waktu ke waktu. Itu sebabnya manusia sering memakai cara pikir simbolis dan cara pikir metaforis untuk memahaminya. Pun, itu sebabnya, keadilan disimbolkan dan dipindahkan ke dalam metafor pedang. Lihatlah lambang keadilan yang dipersonifikasi lewat Dewi Themis yang menghunus pedang dengan mata tertutup. Dewi Themis bukan “metafor festival”. Pun, bukan simbol “selebritas”.

Idealisasi tentang keadilan, di kalangan filsuf dan pemikir, sudah berlangsung sejak lama. John Rawls misalnya, mendaku bahwa ada dua prinsip keadilan. Prinsip pertama dibilangkannya sebagai, “Setiap orang memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan yang sama bagi orang lain,” Jadi, jika engkau menginginkan kebebasan, aku juga menghendakinya. Itu namanya adil. Adalah tak adil jika engkau yang ingin bebas, lalu engkau menindas kami. Pun tak adil, jika engkau yang kuberi kepercayaan atas kekuasaan, tapi engkau merampas hak-hak kami. Kira-kira begitu bahasa sederhananya.

Prinsip kedua dalam keadilan adalah, jika engkau diberi kekuasaan, engkau sejatinya memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Singgasana yang dititipkan ke engkau sejatinya terbuka untuk semua orang. Singgasana yang engkau pegang sesungguhnya bukan milikmu. Kursi-kursi kekuasaan di singgasana itu milik semua orang berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kesempatan untuk mendudukinya. Jadi, kursi-kursi di singgasana itu bukan milikmu, bukan kepunyaan kelompokmu, bukan untuk diwariskan ke keluargamu.

Jika engkau tak adil, engkau akan mengubah singgasana kekuasaan menjadi matahari. Tak ada matahari kembar, begitu metafor kekuasaan yang sering dibilangkan oleh banyak orang. Matahari tak pernah membiarkan dirinya berparas ganda. Jika engkau ingin menguasainya, engkau tak lebih dari secarik burung kertas yang akan terbakar.


Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar