Friday, September 25, 2009

DEMOKRASI, NARSISME DAN KEAKSARAAN BUDAYA

Alwy Rachman

Di dalam satu ulasan tentang perubahan sosial yang di tulis oleh Jean dan Keith dalam “The Narcissism Epidemic“ (2009), digambarkan bahwa masyarakat Amerika kini menghadapi dua apungan tenet kebudayaan, yaitu obesitas (kegemukan) dan narsisme (pemujaan diri). Sebagai sebuah tenet, keduanya berjalan dan bermunculan ibarat doktrin yang tak tersadari. Di luar obesitas, tenet narsisme dianggap sebagai perubahan sosial yang paling membahayakan. Kaum muda Amerika dianggap telah terjerumus ke dalam satu arena yang telah menggelincirkan pendidikan harga diri (self-esteem) dan pengaguman diri (self-admiration) ke pemujaan diri secara berlebihan (narcissism). Pendidikan formal dan pendidikan keluarga serta institusi-institusi sosial lainnya dikritik karena dianggap berkontribusi terhadap munculnya fenomena sosial yang membahayakan ini. Dianggap membahayakan karena narsisme tidak akan pernah menciptakan ruang empati bagi orang lain dan jauh dari toleransi terhadap kehidupan bersama.

Fenomena narsisme ini ditelusuri melalui pertumbuhan institusi di tengah masyarakat. Institusi bisnis tattoo, bisnis salon, bisnis tindik bermunculan di mana-mana. Di keluarga-keluarga Amerika, anak-anak selalu diperlakukan sebagai manusia unik dan istimewa secara berlebihan, dan oleh karenanya mereka harus memuja dirinya pertama kali. Penamaan anak-anak Amerika semakin hari semakin “kedengaran lain”, semakin membedakan dirinya dengan generasi pendahulunya. Di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas, individu pelajar dan mahasiswa dipicu untuk berkompetisi secara habis-habisan tanpa perduli kepada pelajar dan mahasiswa lain. Di sebagian besar kaum muda Amerika, di baju kaos T-Shirt yang mereka pakai, kata “I love me” (saya mencintai diri sendiri) paling sering ditemukan. Kata-kata “I love you” menjadi kata-kata para pecundang, tergantikan oleh kata-kata “I love me” yang menjadi pemenang. Persepsi tentang “saya” mengalami hiperbola sedemikian rupa dan menggerus habis persepsi tentang “engkau” yang bukan "saya". Maka, persepsi tentang “kita” dan “kekitaan” menjadi kritis dan problematik, untuk tidak mengatakannya menjadi nihil. Obsesi Amerika yang sedang tumbuh kini mengapungkan sebuah simptom budaya narsisme yang hanya mencintai diri sendiri berdasarkan refleksi terhadap keperluan diri sendiri, bukan refleksi terhadap keperluan kehidupan bersama. Perubahan sosial di Amerika kini terjerat oleh rasa sakit dari dunia yang sarat dengan penyebutan (the world of entitlement).

*****

Di dalam A Nation in Waiting (1999), ditulis oleh Adam Schwarz, gambaran tentang Indonesia sebagai bangsa yang "sedang menunggu" rasanya secara keseluruhan terwakili oleh dua kata yang menjadi judul bagian 1 buku ini, yaitu: Growing Pains (rasa sakit yang tumbuh). Rasa sakit yang telah ada sejak perjuangan kemerdekaan, hingga rasa sakit yang bermunculan di babakan sejarah perubahan sosial di Indonesia. Jika rasa sakit berhadapan dengan penjajah dinyatakan dengan kebersamaan merebut kemerdekaan, rasa sakit berikutnya dinyatakan dengan benturan antarsesama. Konflik politik, konflik wilayah, konflik budaya hingga konflik komunal telah menyeret “keyakinan paling dalam” untuk kemudian secara sedemikian rupa diekspresikan ke dalam berbagai bentuk kekerasan di berbagai arena.

Hari-hari ini, rasa sakit belum hilang. Meski secara sosial politik, Indonesia kini berada di arena reformasi dimana desentralisasi kekuasaan dilangsungkan sedemikian rupa dengan cara mendistribusi sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi secara nasional ke tingkat lokal, gejala sosial yang korup pun tidak hilang begitu saja. Hakikat kebebasan (state of liberty) dan hakikat kesetaraan (state of equity) serta hakikat pengaturan yang adil (state of lisence) menjadi tetap terlanggar. Praktik-praktik kekuasaan yang dikuasakan ke kelompok-kelompok pemenang di tingkat lokal masih juga membutuhkan harga mahal. Praktik-praktik kekuasaan di tingkat lokal, dengan demikian, memunculkan venalitas, suatu gejala yang menandai terjadinya peristiwa membeli dan menjual hak-hak rakyat. Immoralitas demokrasi masih menampakkan diri. Laporan-laporan media, melalui cara yang jelas dan terang, menggambarkan bahwa pemegang state of licence pun ikut mengukuhkan fakta-fakta venalitas. Dari sini, kita bisa tahu bahwa demokrasi dijalankan dengan cara tidak bermoral dan tanpa jiwa.

Moralitas suara rakyat sesungguhnya telah diulas oleh para pemikir demokrasi. Robert Dhal, misalnya, menyebut bahwa moralitas suara rakyat terhubung dengan 10 hal. Pertama, suara rakyat adalah pernyataan kesetaraan dalam voting. Kedua, suara rakyat adalah wujud dari partisipasi efektif. Ketiga, suara rakyat adalah bagian dari kesadaran politik yang tercerahkan. Keempat, suara rakyat adalah pernyataan demos untuk mengendalikan agenda pemerintahnya. Kelima, suara rakyat adalah pernyataan orang dewasa untuk mengikatkan diri pada hukum. Keenam, suara rakyat adalah pernyataan damai tanpa kekerasan dalam memilih pemimpin. Ketujuh, suara rakyat adalah pernyataan bahwa jabatan publik adalah milik demos. Kedelapan, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan (citizenry) dalam mengekspresikan hak-haknya tanpa rasa takut. Kesembilan, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan untuk mencari informasi alternatif, yang dilindungi oleh hukum. Dan, kesepuluh, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan atas kebebasan berorganisasi.

*****

Amerika bukan Indonesia, sebagaimana Indonesia bukan Amerika. Meskipun demikian, situasi sosial sebagai akibat dari perubahan sosial, kedua kawasan ini menandai sedang terjadi perubahan sosial. Jika dipotret, keduanya dapat dijelaskan melalui dyadic conflict model (model konflik bermatra antarmuka). Amerika berhadapan dengan warganya yang hanya dapat melihat diri sendiri (narcissism) sebagaimana Indonesia yang warganya hanya dapat berhadapan dengan sesama bangsanya (adversary). Dyadic conflict model menandai bahwa konflik terjadi karena adanya selisih aspirasi di antara kelompok-kelompok yang berkonflik.

Terdapat dua perspektif untuk memahami perilaku manusia di dalam dyadic conflict (konflik antarmuka). Perspektif pertama dapat ditelusuri ke hulu pemikiran Bourdieu, seorang pemikir sosial kritis, yang oleh kalangan ilmuan dianggap ”kontroversial”. Posisi akademis Bourdieu paling kontroversial adalah ketika ia memandang bahwa ”manusia adalah mahluk yang tidak bermoral”. Man is plastic man, manusia adalah mahluk plastik, yang sangat ditentukan oleh habitus dan arena. Jika manusia hidup dalam habitus dan arena yang bermoral, maka manusia menjadi bermoral. Sebaliknya, jika ia hidup dalam habitus dan arena yang jahat, maka ia menjadi manusia jahat.

Habitus, dalam pandangan Bourdieu, terdiri atas 3 hal. Pertama adalah, apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor. Kedua, interaksi sedemikian rupa dari apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor dengan apa yang ada ”di dalam kepala” aktor lain. Dengan latar lingkungan yang tersedia, cara berbahasa, cara bergerak dan cara mencipta, diproduksi melalui interaksi ini. Ketiga, apa yang ada ”di dalam kepala” dan ”interaksi yang menyertainya” inilah yang membentuk pengalaman indrawi manusia. Dengan kata lain, Bourdieu meletakkan tubuh manusia sebagai ”sarana ingatan mnemonic kebudayaan” yang merupakan dasar utama untuk menstrukturkan kebudayaan dan dasar utama dalam mengalur-alirkan sejarah.

Di dalam habitus terdapat arena. Arena adalah panggung sosial dimana manusia bertarung, bermanuver dan bersaing untuk merebut sumber-sumber spesisfik, memperjuangkan kepentingan dan mencari akses. Gaya hidup (life style), gaya tutur, gaya rumah, pendidikan, penguasaan tanah, kekuasaan politik dan prestise adalah produk nyata dari struktur pertarungan yang diterima begitu saja. Oleh karenanya, dengan bahasa sederhana, arena dapat dimengerti sebagai sistem posisi sosial yang terstruktur dan dikuasai oleh individu dan institusi. Itu pula sebabnya, perubahan sosial yang damai hanya bisa dipahami jika habitus dan arena juga tercerahkan secara damai.

Perspektif kedua bisa dirujuk ke inti kawasan pikir Paulo Freire. Kawasan pikir Freire melihat keaksaraan atau literacy di semua aspek kehidupan harus dicari dan kemudian dielaborasi. Dayaguna (utilitas) keaksaraan kemudian ditransformasikan ke dalam sistem pengetahuan dan ke dalam pendidikan budaya dan pendidikan teknis lainnya. Dengan kawasan berpikir seperti ini, Freire sebenarnya sangat prihatin terhadap literacy yang terlupakan dan cenderung tertimbun dalam rentang panjang pengalaman manusia.

Argumentasi Freire dibangun di atas pengalaman eksprerimentasi-keaksaraan. Eksperimentasi-keaksaraan (literacy-experiment) disusun melalui tiga tahap. Tahap pertama disebutnya sebagai tahap riset. Pada tahap ini, keunikan dan kode-kode prilaku, kesadaran atas ruang dan situasi, termasuk di dalamnya gaya tutur, idiom-idiom yang terpakai, kosa kata, dan pengucapan diamati dan direkam. Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan tema-tema generatif dari suatu komunitas, yang kemudian akan dipakai untuk tahap berikutnya.

Tahap kedua adalah tahap pendidikan kebudayaan. Tahap ini bertujuan mendialogkan tema-tema generatif dengan komunitasnya. Tema-tema ini kemudian dirancang untuk menemukan pikiran dan pengetahuan komunitas secara reflektif (cultural insight).

Tahap ketiga adalah tahap pendidikan teknis. Tahap ini untuk membuka keaksaraan komunitas dengan tiga pengetahuan; (1) pengetahuan untuk membedakan alam (nature) dan budaya (culture), (2) pengetahuan bahwa kebudayaan dibangun oleh lelaki dan perempuan, dan (3) keaksaraan harus dibuka melalui lelaki dan perempuan karena keduanya adalah kreator budaya.

Melalui tiga tahap ini, Freire meyakini bahwa keaksaraan adalah jalan untuk membuka membuka pengetahuan dan dapat dipakai untuk memobilisasi penduduk lokal. Pendekatan tiga-tahap ini berakar dari kepercayaan bahwa manusia --- apa pun sebutannya, ”moderen” atau ”tradisional” --- adalah makhluk kreatif dan kreativitasnya dieskpresikan melalui budaya. Formalisasi idiom-idiom lokal pasti mengandung pengetahuan dan dapat dipakai untuk mengembangkan kredibilitas dan empati terhadap kebudayaan. Dengan demikian pluralitas kebudayaan bisa dicerna sebagai pluralitas pengetahuan. Keaksaraan dalam perspektif ini, sama sekali bukan lawan dari buta huruf, tetapi timbunan pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan dalam satu kebudayaan. Upaya membukanya kemudian disebut dengan upaya keaksaraan (literacy).

*****

Di manakah kita harus meletakkan keaksaraan agama-agama? Sebagaimana diyakini, agama-agama memiliki keaksaraan tentang perdamaian, kesetaraan, keadilan, kemaslahatan, dan tentang keselamatan. Justru karena keaksaraan seperti ini lah yang membuat agama-agama tetap kokoh dan kedap terhadap perubahan zaman dan selalu memiliki fleksibilitas dalam merespon perubahan-perubahan sosial. Keaksaraan agama-agama tidak harus dilangsungkan hanya pada dirinya sendiri, tetapi lebih maslahat jika keaksaraan agama-agama ditransformasikan ke keaksaraan antaragama. Perdamaian, kesetaraan, keadilan, kemaslahatan, dan keselamatan seharusnya menjadi tema generatif bersama. Dari sini, pengetahuan antaragama dapat dibuka dan dapat ditransformasikan ke dalam bentuk utilitas sosial untuk kepentingan bersama.

Dengan demikian, teks-teks kitab-kitab suci tidak hanya dipersepsi secara normatif simbolik, tetapi utilitasnya dapat dicari dan dikontekstualisasi ke dalam keperluan hidup bersama, terutama dalam menangani konflik sosial dan gejala sosial lain yang membahayakan sebagaimana tergambar pada awal tulisan ini.


Bacaan Pemerkaya

Bourdieu, Pierre, 1992, Language and Symbolic Power, Cambridge: Polity Press.

Brokensha, David, dkk. 1980. Indigenous Knowledge Systems and Development, London: University Press of America.

Jenkins, Richard, 2002, Pierre Bourdieu, edisi revisi, Canada: Routledge.

Pruitt Dean G., dan Feffrey Z. Rubin, 1986, Teori konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roderick, Rick, 1986, Habermas and The Foundation of Critical Theory, Hampshire; MacMillan.

Schwarz, Adam, 1999, A Nation in Waiting; Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin.

Twenge, Jean M., dan W. Keith Campbell, 2009, The Narcissism Epidemic, New York: Free Press.


Catatan
Tulisan ini diturunkan dari makalah yang dipresentasekan dan didiskusikan pada pertemuan “Workshop Penguatan Kapasitas Gerakan Antariman”, diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, 22-27 Juni 2009.