Sunday, December 11, 2016

Keaksaraan di Tengah ‘Kegilaan Institusi Pendidikan’

Alwy Rachman

D
i dalam satu ulasan tentang perubahan sosial, yang tertuang dalam The Narcissism Epidemic (2009), Jean dan Keith menggambarkan bahwa masyarakat Amerika kini memunculkan dua tenet kebudayaan, yaitu obesitas (kegemukan) dan narsisme (pengaguman diri). Tenet kebudayaan ini ibarat kepercayaan baru, dogma baru, atau doktrin baru yang muncul dalam laku baru yang tak tersadari.

Di luar soal kegemukan, tenet narsisme dianggap sebagai perubahan sosial yang paling membahayakan. Kaum muda Amerika dinilai terjerumus ke dalam satu panggung kehidupan yang memuliakan harga diri dan pengaguman diri secara berlebihan. Maka institusi pendidikan formal dan pendidikan keluarga serta institusi-institusi sosial menjadi sasaran kritik. Sekolah, universitas, dan lembaga-lembaga sosial lainnya dituding bertanggung jawab karena berkontribusi secara signifikan terhadap munculnya doktrin kebudayaan baru yang membahayakan ini.

Dianggap membahayakan karena pengaguman diri tak akan pernah menciptakan pribadi-pribadi yang mampu berempati kepada orang lain. Orang-orang seperti ini hanya akan tumbuh menjadi orang-orang yang melihat dirinya paling penting, paling cantik, paling gagah, paling kaya. Kalau perlu, paling berkuasa. Maka, di situ tak ada tempat bagi orang lain. “Saya adalah saya, engkau adalah engkau,” kira-kira begitu bahasa sederhananya. Tak ada urusan dengan orang lain. Tak ada urusan dengan soal toleransi atas kehidupan bersama, apalagi akseptasi atau penerimaan bagi orang lain.

Pengaguman diri ini, atau dalam bahasa lokal “puji ale”, ditelusuri melalui munculnya institusi-institusi di tengah masyarakat. Institusi bisnis tattoo, bisnis salon, dan bisnis tindik bermunculan di mana-mana. Tubuh manusia lalu menjadi wadah tujuan institusi-institusi seperti ini. Malah, bagian tubuh yang paling intim sekalipun, menjadi sasaran bujukan iklan-iklan institusi-institusi ini.

Di keluarga-keluarga Amerika, anak-anak sudah diperlakukan sebagai manusia unik dan istimewa secara berlebihan, dan oleh karena itu ia didoktrin untuk memuja dirinya pertama kali. Anak-anak lain adalah soal belakang. Itu sebabnya, nama yang dilekatkan kepada anak-anak Amerika semakin hari semakin “kedengaran lain”, semakin membedakan dirinya dengan generasi pendahulunya. Pun di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas, anak-anak dan kaum muda dipicu untuk berkompetisi secara habis-habisan tanpa peduli terhadap sesama anak-anak dan sesama mahasiswa.

Di sebagian besar kaum muda Amerika, di baju kaus yang mereka pakai, kata “I love me” (saya mencintai diri sendiri) menjalar ke mana-mana. Maka, ekspresi “I love you” menjadi kata-kata pecundang, kalah dan tergantikan oleh “I love me”. Pengaguman “saya” sebagai diri mengalami hiperbola sedemikian rupa, ibarat kelereng menjadi bola. Tenet pengaguman diri telah mengerdilkan tentang kehadiran “engkau”. Lalu “saya” dan “engkau” menjadi hubungan yang nihil dan gagal menjadi “kita”.

Obsesi kaum muda Amerika kini, setidaknya begitu pendakuan Jean dan Keith, menghadirkan symptom budaya yang terjerat rasa sakit. Dunia alami manusia berubah menjadi dunia yang lapar atas gelar dan rakus atas berbagai penyebutan. Manusia berburu gelar di mana-mana dan ingin disebut dengan berbagai julukan.
***
Amerika bukan Indonesia, sebagaimana Indonesia bukan Amerika. Di negeri sana, warganya hanya dapat melihat diri sendiri. Di negeri sini, warganya hanya dapat melihat kelompoknya sendiri. Di sana soal pribadi, di sini soal kelompok. Di sana soal “kegilaan atas pemujaan pribadi”. Di sini soal “kegilaan atas pemujaan kelompok”.

Di sini, panggung sosial dan panggung pendidikan tercampur aduk dengan modus-modus politikus. Lalu, panggung sosial dan panggung pendidikan mengadaptasi laku politikus. Baca saja media-media lokal akhir-akhir ini. Di situ, laku bahasa pemilihan rektor sudah mahir menyebut kata “koalisi” yang selama ini menjadi bahasa politik.

Di situ, pemimpin-pemimpin akademis menjelma dan tergiring menjadi manusia petarung, yang kemudian mengharuskan dia bermanuver dan bersaing untuk merebut sumber-sumber spesifik. Di situ, karakter ilmuwan menjadi samar. Pelan tapi pasti, ribuan mahasiswa berusia muda akan mencerna bahwa ternyata buruan ilmuwan pada akhirnya adalah kekuasaan.

Lalu, gaya hidup sejati dan gaya tutur yang patut untuk para akademikus menjadi hambar. Bahasa ilmu menjadi dingin dan beku. Yang menyala adalah bahasa politik. Mereka yang membaca koran secara kritis, pasti menemukan bahwa laku bahasa pemilihan rektor bukan atas nama reputasi peradaban ilmu pengetahuan.

Pun, daya guna (utilitas) ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan bagi banyak orang menjadi tertimbun dan bungkam. Kehormatan ilmu pengetahuan berada di pojok belakang. Jabatan Rektor, dengan berbagai parasnya yang mempesona, di simpan di depan. Benar adanya keprihatinan Paulo Freire, bahwa di negeri-negeri para tiran dan feodal, literasi peradaban ilmu pengetahuan cenderung disingkirkan, dilupakan, dan ditimbun jauh ke dalam pengalaman manusia.

Bagi Freire, tugas akademikus tak lain adalah tugas pembebasan. Akademikus wajib memerdekakan literasi bangsanya. Literasi adalah soal keaksaraan. Tapi, jangan mengira keaksaraan adalah soal buta huruf. Keaksaraan adalah soal membuka timbunan pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan dalam kawasan kebudayaan yang sejauh ini membisu akibat tirani. Tapi, bagaimana lagi kita bicara soal keaksaraan, jika institusi sosial dan institusi pendidikan serta institusi universitas justru mengadaptasi “laku politikus”?