Alwy Rachman
Menjelang dan sesudah Lebaran, jalan raya di negeri ini menjelma ibarat “panggung revolusi”. Lalu “panggung revolusi” itu “memakan anak-anaknya sendiri”. Hari demi hari yang membentang seminggu sebelum dan seusai Lebaran, nyawa anak-anak bangsa melayang di jalan-jalan raya. Oleh para pemegang otoritas, kematian yang begitu jamak dan masif diberi penanda “jumlah korban tewas mudik”. Sekali lagi, kematian atas nama tradisi mudik.
Dengan penanda seperti ini, tidak ada duka nasional untuk mereka yang menjadi korban. Pun tidak ada upacara simbolis, apalagi malam renungan bagi segenap korban. Tidak ada ajakan untuk menundukkan kepala, meski hanya sesaat, agar bangsa ini sedikit bisa mengerti betapa kematian anak-anak bangsa di hari-hari penting seperti ini menjadi lara tiada tara.
Yang ada adalah pernyataan statistik atas kematian. Dengan sedikit gampang, enteng, dan ringan, pemegang otoritas di negeri ini membilangkan di berbagai media bahwa performa manajemen pengaturan mudik tahun ini jauh lebih baik ketimbang tahun lalu. Pasalnya, hingga H +2 Lebaran tahun ini, jumlah pemudik yang meninggal akibat kecelakaan hanya mencapai 471 jiwa. Ketimbang Lebaran tahun 2012, kematian mencapai 908 jiwa hingga seminggu seusai Lebaran. Lagi pula, dua tahun sebelumnya, yaitu Lebaran 2011, jiwa yang melayang mencapai 760 jiwa.
Meski dibanding-bandingkan dari tahun ke tahun, angka-angka statistik atas kematian tidak akan pernah membuat sisi kemanusiaan kita menjadi terharu. Angka-angka seperti ini hanya bermanfaat bagi para pemegang otoritas dan para pemegang kuasa. Selebihnya, rasa haru hanya dirasakan oleh anak-anak yang kehilangan ayah-ibu, saudara yang kehilangan saudara, atau orang tua yang kehilangan anak. Bagi keluarga korban, Lebaran yang dibilang sebagai hari kemenangan menjelma menjadi hari kehilangan. Rasa haru bukan soal statistik.
Seminggu menjelang dan seusai Lebaran, jalan-jalan raya memang “mirip panggung revolusi”. Pasti bukan revolusi bersenjata atau revolusi politik guna mengubah atau merebut kuasa. Tapi revolusi yang ditandai oleh perubahan secara dramatis dan masif atas identitas sosial kota ke identitas sosial kampung, meski hanya sesaat dengan meminjam momentum hari Lebaran. Sangat menyesakkan, bila kita mau sedikit menghayati, upaya anak-anak bangsa memenuhi kerinduan untuk kembali ke alam “perasaan primordial kampung” tapi kemudian berujung pada peristiwa kematian.
Tragedi adalah analogi yang memungkinkan bisa dipakai untuk menandai sisi buram kemanusiaan yang menimpa korban mudik menjelang dan seusai Lebaran. Pasalnya, jumlah kematian yang tidak sedikit itu hanya dicerna berdasarkan kesenangan membaca media cetak atau selera menonton media televisi. Kematian demi kematian ini tidak menimbulkan daya kejut kolektif sebagaimana respons terhadap korban perang atau korban tsunami. Malah, pemudik ini, oleh seorang narasumber di salah satu televisi nasional, dibilangkan sebagai manusia-manusia berperilaku irasional dan aksi pulang kampung sebagai bagian dari kesempatan show off di mata keluarga di kampung.
Bisa juga dibilang sebagai ironi. Harapan pemudik untuk bertemu keluarga, menemui orang-orang yang dihormati, berubah menjadi ratap tangis. Daya kejutnya tidak pada masyarakat, tapi pada keluarga yang ditinggal.
Jalan-jalan raya di negeri ini tidak dimaksudkan sebagai “ladang pembunuhan”—meminjam istilah seorang jurnalis Kamboja, Dith Pran. Tak juga diandaikan sebagai sarana untuk menonton hancurnya kemanusiaan sebagaimana film The Killing Fields yang memotret kisah pelarian Haing S. Ngor dari kamp kematian.
Korban tewas mudik pasti bukanlah pribadi-pribadi yang lari dari kamp kematian. Mereka, untuk sementara, lari dari liku-liku kehidupan kota yang tidak bersahabat. Mereka, yang semula adalah pelaku “bunuh diri kelas” secara sosial, justru dijemput oleh kematian di jalan-jalan raya pada saat berkehendak kembali ke identitas sosial kampung.
Tak ada duanya tempat untuk menyaksikan ribuan orang yang mengalami cedera berat dan ringan serta ratusan orang mati di jalan-jalan raya, kecuali di Indonesia. Rasanya manusia-manusia Indonesia patut menghitung ulang harga dan nilai manusia di jalan-jalan raya. Dengarkan baik-baik pendakuan seorang sufi muslim bernama Rumi: “Aku sudah muak dengan binatang buas. Yang kuinginkan hanyalah manusia.” Mari kita berhenti berperilaku seperti binatang buas di jalan-jalan raya.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo, Makassar.