Thursday, August 25, 2016

Politikus dan Bahasa Tak Bernegara

Alwy Rachman

P
ada 27 Oktober 1993, Gerson Poyk menulis opini di harian Suara Pembaruan. Judulnya “Sebuah Satir tentang Akronim”. Melalui opini ini, sang sastrawan “menghidupkan kembali” Wage Rudolf Supratman secara imajiner. “Seandainya Wage Rudolf Supratman bangkit lagi dan berjalan-jalan di Kramat Raya, ia akan bingung tujuh keliling,” begitu pendakuan Poyk dalam pertemuan abstrak dengan sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Poyk adalah sosok yang gemar menulis syair, cerpen, dan prosa. Dedikasinya pada dunia literasi membawanya sebagai penerima hadiah Adinegoro, hadiah sastra ASEAN, Sea Write Award, dan Lifetime Achievement Award dari harian Kompas. Sosok ini juga pernah bekerja sebagai jurnalis Sinar Harapan sepanjang 1962-1970.

Melalui gaya tulis satire, Wage Rudolf Supratman digambarkan kebingungan menyaksikan manusia Indonesia yang suka bikin akronim atau singkatan. Saking bingungnya, Wage Rudolf Supratman diceritakan menemui dua profesor bahasa Indonesia, yaitu Jus Badudu dan Anton Mulyono. Kedua profesor ini, nyatanya, sedang menggerutu atas tabiat orang Indonesia yang maniak membuat singkatan. “Sampai parah kerongkongan kami menganjurkan agar orang jangan terlalu banyak membuat akronim di negeri ini. Di mana-mana, di negeri ini, ada manusia akronim maniak,” begitu gerutu salah satu profesor tadi.

Satire imaginer Poyk diakhiri dengan pidato Wage Rudolf Supratman, “Rasanya, akronim maniak Indonesia bersaudara kandung dengan belantara birokrasi Indonesia. Orang senang sekali menyusun biro-biro, mengangkat kepala biro, wakil kepala biro, dan tetek-bengek lain, sampai meminta orang yang dilayani memutar leher dari meja ke meja, dari laci ke laci, dan dari kantong ke kantong.”

Tapi itu dua puluh tahun lampau. Maniak akronim masa lalu bukan lagi endemi yang menyergap kalangan birokrat, tapi kini berpindah dan berubah menjadi epidemi akronim dan singkatan di kalangan politikus. Sejak era reformasi, entah siapa yang memulai, kalangan politikus ramai-ramai membuat akronim atau singkatan untuk atas namanya sendiri atau atas nama dirinya dan pasangannya. Mulai di tingkat nasional hingga di tingkat lokal, di seluruh tanah republik ini, bahasa politikus menjelma hamparan samudra akronim dan singkatan.

Lihat saja akronim dan singkatan di baliho para politikus, baca saja surat kabar yang mewartakan ucapan dan pernyataan-pernyataan mereka, atau tonton saja ketika para pencari kekuasaan ini sedang berbicara di televisi. Segera saja pikiran menjadi sesak, patah, tak mengalir, sebagai akibat dari tabiat baru yang menggunakan bahasa tak bernegara. Bilang saja, kita semua sedang menonton para maniak baru, para pembelajar baru bahasa dan demokrasi.

Entah siapa yang memulai dan entah apa pula alasannya, akronim, dan singkatan para politikus itu, nyatanya dijadikan “bahasa gagah” dalam kampanye. Maniak akronim dan singkatan telah “menggagahi” suasana batin dan pikiran masyarakat secara murah, sepihak, dan tedeng aling-aling. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan kata tedeng aling-aling dipakai untuk menutupi rahasia (perbuatan buruk).

Tak masalah memang, jika akronim atau singkatan lain dipakai secara terbatas untuk komunikasi efektif. Tapi, jika para politikus ini menganggap akronim dan singkatan sebagai wahana pendidikan demokrasi bagi masyarakat, rasanya tak pantas dan tak etis. Atau barangkali semua ini adalah gambar benderang dari tabiat yang tak mau pusing dengan “bahasa langit” demokrasi. Pakai saja “bahasa lantai” atau “bahasa tanah” dalam berdemokrasi. Para pemilik suara toh dianggap sebagai orang-orang yang tak paham “bahasa langit”. Usir saja segenap “bahasa langit” untuk kembali ke langit.

Kalau sudah begini, tak usah lagi kita menunggu sang politikus berfungsi sebagai pembawa inspirasi dan imajinasi tentang bahasa kemanusiaan, tentang bahasa negara, tentang bahasa kerakyatan, tentang bahasa kedamaian, tentang bahasa kebudayaan, atau tentang bahasa agama. Kita akhiri saja dengan membaca puitika “bahasa langit” sang Kiayi, A. Mustofa Bisri, di bawah ini,

Sajak Atasnama
 

Ada yang atasnama Tuhan melecehkan Tuhan
Ada yang atasnama negara merampok negara
Ada yang atasnama rakyat menindas rakyat
Ada yang atasnama kemanusiaan memangsa manusia
Ada yang atasnama keadilan meruntuhkan keadilan
Ada yang atasnama persatuan merusak persatuan
Ada yang atasnama perdamaian mengusik kedamaian
Ada yang atasnama kemerdekaan memasung kemerdekaan

Maka atasnama apa saja atau siapa saja
Kirimlah laknat kalian
Atau atasnamaKu perangilah mereka
Dengan kasih sayang