Sunday, August 23, 2020

Teater dan Bahasa Perempuan

Alwy Rachman

“Theatre is a place and space in which
we can dream such large dreams
and attempt to realize them, …”
                          
Jane and Lizbeth

Teater adalah ruang, tempat kita bisa bermimpi besar dan berusaha untuk mewujudkannya, begitu kira-kira makna pendakuan di atas. Pendakuan ini ditulis oleh Jane de Gay and Lizbeth Goodman di dalam satu antologi Languages of Theater, Shaped by Women, Bahasa-bahasa Teater, Terbentuk oleh Perempuan, yang dipublikasi pada 2003.

Kumpulan tulisan di buku ini mengandaikan teater sebagai tujuan, semacam destinasi di luar kehidupan sehari-hari. Teater, dengan demikian, dipersamakan dengan panggung pendamping, selain panggung kehidupan nyata. Itu sebabnya, menurut Jane dan Lizbeth, mengapa perempuan yang energinya sering terhalang di dalam kehidupan sehari-hari, memilih teater sebagai tempat untuk berekspresi.

Sayangnya, Jane dan Lizbeth melanjutkan, bahasa teater sering kali amat mengecewakan. Bahasa teater lebih banyak memunculkan perempuan dalam keadaan tak utuh. Teater dibiarkan dihegemoni oleh lelaki. Tokoh perempuan senantiasa minoritas. Pun perempuan tak lebih dari tokoh subordinat. Mau tak mau, bahasa teater pun terkurung oleh dominasi peran tokoh lelaki.

Kalau toh teater bercerita tentang kekerasan terhadap perempuan, kekerasan pun disimbolkan secara samar dan tak utuh. Di panggung teater, kisah kekerasan terhadap perempuan menjadi kabur dan tak pernah bisa ditonton dan didengar secara paripurna. Jane dan Lizbeth akhirnya menemukan bahwa teater, sengaja atau tidak, menjadikan bahasa dan ekspresi perempuan sebagai sesuatu yang tersembunyi, dibuat untuk tak mudah dimengerti dan digambarkan berdasarkan citra yang terhina.

Kalau begitu, ajak Jane dan Lizbeth, mari kita bicara tentang bahasa dalam teater. Lalu, kita coba cari tahu apakah teater memang sarat dengan bahasa yang bermatra patriarki: yaitu apakah bahasa teks drama, konvensi gerak teatrikal, dan sistem lambang di panggung teater memang menjadikan dan menempatkan perempuan sebagai obyek yang dibicarakan, bukan subyek yang berbicara.

Jane juga membilangkan bahwa bahasa patriarki di panggung-panggung teater modern bermuara dan dimulai oleh ketidakpekaan atas nilai-nilai pada kisah dan mitos klasik Yunani. Baca saja kisah tentang para Dewi Yunani: Hera, Demeter, dan Kore. Ketiganya dilambangkan sebagai wakil bumi, tapi sangat bergantung pada dewa lelaki, Zeus. Hera tak lebih dari dewi pelayan. Pun Demeter. Hera adalah istri sebagaimana Demeter. Demeter dan putrinya, Kore, adalah dua dewi yang dikisahkan terselamatkan oleh Zeus. Lalu Zeus pun menjadi pusat kisah yang merayakan subordinasi kekuasaan matriarkal dari para dewi untuk kekuasaan langit patriarki sang dewa.

Bagi Simone de Beauvoir, seorang perempuan pemikir feminisme eksistensialis, kisah-kisah mitos klasik Yunani adalah catatan tentang penindasan budaya perempuan. Mitos Yunani tak lepas dan tak jauh dari narasi perempuan sebagai korban. Mitos Yunani adalah narasi di mana perempuan sering menjadi tokoh penjahat sekaligus sebagai tokoh korban.

Mitos dibuat dan ditegakkan oleh orang-orang yang takut akan dirinya sendiri. Dalam mitos, manusia mengidolakan tokoh macho, seperti Hercules dan Prometheus. Lalu, tokoh perempuan bermain pasif dan berperan sebagai tokoh sekunder dalam kisah-kisah para pahlawan. Dengan cara ini, Simone De Beauvoir menunjukkan bahwa tokoh perempuan diciptakan sebagai proyeksi atas ketakutan pria, terutama ketakutan atas kematian yang terhubung dengan pandangan patriarki terhadap fungsi reproduksi perempuan. Takut kehilangan seksualitas akibat kematian perempuan sebagai wadah patriarki, kira-kira begitu bahasa sederhananya.

Di luar panggung teater, Irigaray, yang juga seorang feminis, berpandangan tak kalah menarik. Irigaray, misalnya, menilai bahwa perbedaan bahasa lelaki dan bahasa perempuan dimulai dari cara mempersepsi tubuh sebagai wadah nilai-nilai. Baca mitos-mitos kebudayaan, dengarkan ceramah-ceramah teologis, baca legenda-legenda, simak pepatah-petitih kebudayaan, dengarkan pidato-pidato sang pemimpin, baca komik, atau dengarkan dongeng.

Di situ, sesekali atau sering kali, kita menemukan bahasa patriarki yang mengidolakan tubuh lelaki. Bahasa yang tak jauh dari prinsip yang disebut oleh Irigaray sebagai “Authority Principle of God”. Di situ pula akan ditemukan bahasa perempuan yang tercitra ke dalam prinsip “The Rebellious Principle of Satan”. Otoritas Tuhan dan pemberontakan setan dipindahkan ke dalam bahasa untuk dua tubuh yang berbeda.

Tapi Jane dan Lizbeth tetap berharap pada panggung teater. Kedua pemikir dan peneliti teater ini mendaku bahwa teater adalah ruang eksplorasi yang dapat mengatasi asosiasi negatif bahasa perempuan untuk diubah menjadi bahasa yang memberdayakan. Kalau bahasa dengan segenap maknanya dapat diangkut ke dalam konteks yang terbuka untuk dieksplorasi di panggung teater, perbedaan dan perpecahan dalam kerangka komunikasi teater dapat diatasi.

Jika tidak, teater tak ubahnya dengan dunia sehari-hari. Kalau bahasa perempuan tak mendapatkan tempat, teater akan jauh dari kualitasnya sebagai panggung pendamping. Dan jika memang sudah begini, teater tak lebih dari panggung kembar dari dunia sehari-hari.