Friday, August 26, 2016

Wajah Kerumunan

Alwy Rachman

Di salah satu saluran radio swasta, menjelang tengah malam, 7 September lalu, sedang berlangsung tanya-jawab antara seorang penyiar dengan seorang narasumber di Australia. Tanya-jawab itu berkisar tentang penyelenggaraan gaya kampanye pemilu di Australia. Sang penyiar bertanya, apakah kampanye di Australia juga seramai di Indonesia?

Tak ada kampanye gaya Indonesia di sini. Tak ada umbul-umbul. Tak ada baliho yang dipasang di mana-mana. Tak ada kota yang disesaki oleh gambar dan foto dari mereka yang berkompetisi secara politik. Pun tak ada kerumunan pengendara motor berkeliling kota. Keramaian hanya terlihat di kantor-kantor partai, begitu kurang-lebih jawaban sang narasumber.

Gaya kampanye politik di Indonesia sejauh ini memang gaya kerumunan. Kerumunan, oleh para politikus, dipakai sebagai alat politik dalam berbagai skala. Dari kerumunan tingkat kampung, kecamatan, hingga kerumunan tingkat kota. Pun gaya berkerumun mereka macam-macam. Dari lesehan di kampung-kampung, kumpul-kumpul di lapangan terbuka, hingga kerumunan menggunakan motor dan mobil untuk berkeliling kota.

Kerumunan pun dilengkapi ragam sarana untuk mengikatnya. Dari baju kaus, umbul-umbul, slogan-slogan, nomor urut calon, hingga mobil-mobil kecil-besar yang telah di-branding sebagai personifikasi sang politikus. Melalui semua itu, sang pencari kuasa berkehendak mempengaruhi hak politik publik.

Kerumunan memang adalah sejarah awal media massa, begitu pendakuan Alvin Toffler, penulis dan futurolog asal Amerika. Dilihat dari perspektif sejarah, kerumunan adalah wajah komunikasi masyarakat agraris yang belum mengenal surat kabar, radio, apalagi televisi. Komunikasi kerumunan dipastikan berlangsung dari mulut ke telinga—kita sering membilangkannya sebagai komunikasi dari mulut ke mulut. Gaya komunikasi kerumunan adalah gaya gelombang pertama yang dinilai usang, dilihat dari sisi tersedianya berbagai sarana media sebagai konsekuensi berlangsungnya revolusi media.

Jika bukan mainan yang digerakkan oleh sang politikus, inti pesan politik kerumunan adalah “You are not alone”, “Engkau tak sendiri”, wahai sang pencari kuasa. Atau, bisa juga sebaliknya, kerumunan bisa mendatangkan sensasi kepada sang politikus, seolah-olah ia sedang berkuasa secara penuh karena sedang dikelilingi oleh ratusan bahkan ribuan peserta kerumunan. Sensasi yang menciptakan suasana mirip ekstasi atas kuasa, begitu penilaian Toffler. Kalau kerumunan adalah mainan politik, sang pencari kuasa hendak mengatakan pada publik, “I am not alone”, “Saya tak sendiri”.

Tapi, apa pun bentuknya, Toffler melanjutkan, kelemahan komunikasi kerumunan terletak pada kualitasnya yang “ephemeral”. “Ephemeral” yang dimaksudkan Toffler di sini tak lain adalah pesona komunikasi yang berlangsung “hanya satu hari”. Komunikasi “ephemeral” tak mampu menanamkan pesan politik yang kuat dan tertanam lama ke segenap kelompok masyarakat yang heterogen dalam waktu dan kecepatan yang bersamaan.

Dengan kualitas yang “ephemeral”, kerumunan bisa dipersamakan dengan “durable medium”, yaitu media komunikasi yang gampang retak dan pecah. Begitu kerumunan bubar, peserta kerumunan malah tak tahu apa sebenarnya pesan politik yang dibawanya dan kepada siapa pesan politik itu ditujukan. Dengan pernyataan lain, pesan politik pun hancur begitu kerumunan bubar.

Negeri ini pasti tak bisa lagi dibilangkan sebagai negeri agraris. Faktanya, jumlah petani semakin berkurang dari waktu ke waktu. Tak juga bisa dibilang miskin dari teknologi komunikasi. Buktinya, surat kabar, televisi, laptop, handphone, sudah tiba di kampung-kampung. Tapi politikus negeri ini memang hanya percaya pada demokrasi massa. Kerumunan-kerumunan dengan sengaja dibangun dari kampung ke kampung, lalu dijadikan massa sebagai cara berpolitik.

Lalu, massa itu digerakkan ke hampir setiap ruang publik. Itu pun dengan kepercayaan, semakin besar massa yang digerakkan, semakin besar pengaruhnya pada publik. Massa telanjur dinilai sebagai bagian dari legitimasi politik. Massa yang besar seolah identik dengan dukungan besar terhadap sang pencari kuasa.

Kerumunan malah—jauh sebelumnya—telah dimanipulasi. Lihatlah iklan-iklan politik di surat-surat kabar. Di sana-sini, wajah sang politikus dilatarbelakangi oleh gambar-gambar kerumunan banyak orang. Pesona kerumunan disisipkan sebagai bagian dari iklan sang pencari kuasa. Dengan cara itu, sang politikus ingin mengatakan, “I am not alone.”

Jadi, masalahnya bukan pada penilaian Toffler yang membilangkan bahwa kerumunan adalah modus komunikasi politik yang berciri “pra-teknologi”. Toh, Indonesia kaya akan infrastruktur teknologi komunikasi. Masalahnya, di negeri ini politikus memang hanya percaya pada demokrasi kerumunan. Namanya berkerumun, pasti tak hanya ramai. Malah bising.