Tuesday, August 23, 2022

Literasi Sekuler dan Hate Speech

Alwy Rachman

L
aku Charlie Hebdo, majalah kartun di Prancis, masih menanggung krisis. Krisisnya menjalar di kawasan Eropa, Arab, dan Afrika. Siaga Eropa dan protes Arab dan Afrika bukan pada soal Kouachi bersaudara yang telah dieksekusi. Suasana krisis semakin kental lantaran pernyataan para ulama berpengaruh Mesir, “Berhentilah engkau mengolok-olok dan mengejek-ejek Nabi,” begitu pesan kuatnya.

Melawan secara hukum juga dikumandangkan Organisasi Kerja Sama Islam. Organisasi ini bilang, “Kebebasan berekspresi bukan untuk menghina sentimen agama.” Perdana Menteri Irak malah keras, “Kata-kata agresi akan mendorong pertumpahan darah.” Pernyataan sang perdana menteri menggaung keras, meski editor majalah itu, Gerrard Biard, membela diri dan bilang, “Kami tak menyerang agama, kecuali agama yang terlibat dalam politik.”

Barack Obama memilih tak hadir dalam unjuk rasa para pemimpin Eropa, sehari-dua hari setelah peristiwa. Argumentasinya, Obama membedakan mana “kebebasan berbicara”, free speech, dan mana yang tak lebih dari kebencian dalam berbicara, hate speech. Obama nyatanya lebih persuasif. Dia bilang, “Eropa mestinya meniru Amerika dalam hal asimilasi Islam di Barat. Sejatinya, menurut pendakuan Obama, warga muslim dijaga dan terjaga agar mereka bisa merasa bahwa negara-negara di Barat adalah negaranya sendiri.

Charlie Hebdo
adalah gambaran benderang tentang beda literasi Eropa, terutama Prancis. Literasi Eropa adalah literasi sekuler, sementara literasi negeri-negeri Islam adalah literasi religius. Kedua literasi ini berjarak lebar. Yang satu memandang nabi-nabi sebagai “manusia-manusia yang dimistifikasi”, sementara yang lain mendudukkan nabi-nabi sebagai manusia-manusia utama. Yang satu berbicara kemanusiaan berdasarkan cara pandang empirik, yang lain meletakkan kemanusiaan dalam kawasan transedental. Pun etiknya beda, satu berbahasa bumi dan yang lain berbahasa langit.

Perhadapan (encounter) kedua literasi tak terhindarkan: secular literacy dan religious literacy. Itu sebabnya, kemanusiaan didudukkan dengan wajah dua: secular humanity dan religious humanity. Dengan konteks berbeda, dalam catatan sejarah, konflik serupa atas “(ke)aksara(an) pernah terjadi pada masa Yunani awal. Konflik itu dapat ditelusuri pada karya Plato, Phaedrus. Di situ, Plato membilangkan keberatan Socrates terhadap Phaederus: “Jika engkau belajar aksara, engkau sama saja melawan Dewa Thoth. Aksara semata-mata hanya menanam ‘kelupaan’ pada jiwa. Penemuan yang engkau sebut aksara bukan resep untuk ingatan, tetapi cuma pengingat.” Sekuel dialog ini bisa ditemukan dalam Alpha beta: How 26 Letters shaped the Western Culture (tahun 2000), ditulis oleh John Man.

“Engkau Phaedrus!” Socrates menyeru: “Ketahuilah, kata-kata tertulis seolah-olah mewakili kepandaian. Tapi, jika engkau bertanya kepadanya, apa pun, kata-kata (aksara) tulis itu hanya mengatakan yang itu-itu saja. Untuk selamanya, begitu-begitu saja,” demikian kata Socrates. Bahasa tulis bukan untuk kearifan. Kearifan memerlukan dialog orang-orang tepat yang mencintai pengetahuan.

Budaya aksara sesungguhnya tak menjauh dari kawasan-kawasan Arab, tapi perkembangannya kemudian lebih menguntungkan budaya Barat. Aksara-aksara alfa-beta kini tak hanya dipakai sebagaimana adanya, tetapi dikombinasikan dengan modus literasi lain: kartun, sketsa, ilustrasi, dan karikatur. Kartun dan karikatur, malah, dipakai oleh media sekuler untuk menyerang literasi religius. Itu pun atas nama kebebasan berbicara.

Prancis adalah jejak dari humanitas religius ke humanitas sekuler. Jejak ini bisa dilihat dalam perjalanan filsafat Aguste Comte, yang hari ini merupakan tanggal kematiannya. Comte dikenal sebagai pemikir positivistik sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Comte-lah yang mendakukan tiga fase kehidupan: teologi, metafisik, dan positivistik. Jangan lupa, Comte pernah belajar di École Polytechnique di Paris, sekitar abad ke-18.

Comte bilang masyarakat adalah wujud dari evolusi sosial dari fase ke fase, mengikuti “hukum tiga fase”. Fase pertama adalah teologi yang direfleksi pada pengalaman Prancis sebelum datangnya abad pencerahan. Pada masa ini, gerak manusia dan masyarakat dibatasi melalui referensi tuhan. Manusia, menurut Comte, menerima kepercayaan buta oleh para leluhurnya.

Fase kedua adalah metafisik yang dirujuk pada akar perubahan masyarakat Prancis, menyusul revolusi 1789. Pada fase ini, hak-hak universal dijustifikasi, lalu dijadikan sebagai dasar rancangan besar melampaui otoritas semua manusia. Metafora agama-agama dipertanyakan ulang dan dinalar secara kritis. Itu sebabnya, kekuasaan agama-agama ikut dipereteli.

Fase ketiga adalah saintifik. Sains diandalkan menyusul kegagalan revolusi. Pada fase ini, Prancis menentukan solusi atas masalah-masalah sosial dengan andalan ilmu, terlepas dari adanya hak asasi manusia dan terlepas dari kehendak Tuhan. Sains diperbarui untuk menangani masalah, meski kedudukannya tak lebih dari turunan fisika klasik.

Pada akhirnya, Charlie Hebdo memang buah dari akar dari fase penyingkiran agama. Pada ujungnya, pendakuan sang editor majalah itu, Gerrard Biard, yang bilang “tak menyerang agama” adalah klise. Ia bilang tak suka agama yang berpolitik, tapi ia sendiri mempolitisasi agama. Charlie Hebdo memang penuh kebencian. Hate speech.