Alwy Rachman
"Media is the right arm of anarchy," tulis Dan Brown dalam novel Angels and Demons. Pernyataan menohok ini datang dari penulis novel terkenal The Da Vinci Code. Dengan benderang, pernyataan novelis sensasional dan fiksional ini segera menjungkirbalikkan anggapan lama tentang media. Pasalnya, secara tradisional, media diterima sebagai perantara idealis, mediator yang menjembatani kepentingan rakyat kebanyakan dengan kelompok-kelompok penguasa. Selama ini, media dibilangkan sebagai penengah yang mencari kebenaran dan keadilan.
Tapi, Dan Brown, lelaki yang pernah dikukuhkan sebagai satu di antara 100 orang berpengaruh di dunia oleh majalah Time, tak sendiri. Serupa tapi tak sama, pernyataan tajam juga datang dari seorang scholar, Noam Chomsky, yang memang kesohor di bidang riset media. Chomsky malah mengatakan media adalah sentra propaganda dari pihak pemerintah dan penguasa. Apalagi kalau bukan untuk membela agenda ekonomi politik serta segenap kepentingan mereka.
Yang terpapar di koran pada pagi hari dan yang tertayang hingga tengah malam di layar televisi kita terima apa adanya tanpa kemampuan menolaknya. Lalu, secara tak terelakkan, kita menjelma sebagai pembaca dan penonton "penggembira" di pinggir-pinggir panggung media. Yang kita baca dan yang kita tonton seolah membenarkan dalil Marx tua, lebih dari seratus tahun lampau, yaitu "manusia kebanyakan akan mereproduksi repetisi suara-suara kekuasaan".
Ketidakmampuan menolak, oleh Chomsky, dikatakan sebagai consent. Kita berada di posisi "menyetujui", meskipun menurut Chomsky, dari menit per menit, jam per jam, hari per hari, bacaan dan tayangan yang kita konsumsi adalah produk dari fabrikasi. Secara spesifik, Chomsky menyebutnya sebagai manufacturing. Jadi, bacaan dan tayangan media tak lebih dari produk fabrikasi yang diproses untuk mereka yang sedang berkuasa atau mereka yang berburu kekuasaan.
Fabrikasi bacaan dan tayangan, sebagaimana dibilangkan Chomsky, disaring oleh lima pihak. Saringan pertama, dan utama, dimulai oleh pemilik media. Coba ingat ulang laku media di negeri sendiri, yang memuat dan menayangkan hasil lembaga survei pada pemilihan presiden lalu. Sedikitnya, dua media nasional terbelah, masing-masing berpihak dan melakukan propaganda atas kepentingan sang pemilik. Publik pun tahu bahwa kedua pemilik berafiliasi pada koalisi yang berbeda. Kredibilitas media pun disimpan di kamar belakang.
Iklan berskala besar adalah contoh kedua, Chomsky menambahkan. Iklan di masa kini "menjajah media" dan dampaknya "menjajah pembaca". Selain menggerogoti hak pembaca atas bacaan dan tontonan bermutu, sebaran iklan menyempitkan ruang baca. Di koran-koran, bacaan terpotong-potong tak menentu. Di televisi, tayangan terinterupsi secara terus-menerus di tengah isi tayangan yang banal. Lalu, jadilah kita sebagai pembaca dan penonton yang "menyetujuinya" tanpa keberatan. Padahal kita ikut membayar.
Ketiga, media kini dipenuhi oleh narasumber yang tak selalu independen. Reformasi kini menciptakan laku baru di pihak pemerintah. Kini, kantor-kantor pemerintah menyediakan pejabat penyedia informasi dan data untuk media. Kantor-kantor hubungan masyarakat di pemerintahan dan kantor-kantor di perusahaan malah menyediakan berita yang siap cetak dan siap tayang. Bacaan dan tontonan yang dihadirkan tak lagi sepenuhnya sebagai produk independensi jurnalis sebuah media. Yang kita konsumsi, dengan demikian, bukan lagi produk jurnalis yang bersandar pada dirinya sebagai mediator.
Para jurnalis, terutama untuk isu ekonomi dan politik, sengaja memilih narasumber untuk mengukuhkan standing position berita dari media yang diwakilinya, begitu anggapan keempat Chomsky. Adalah benar, sesuai dengan laku pemberitaan, jurnalis dilarang mengekspresikan opininya. Tapi, dengan merujuk pandangan para pakar yang sengaja dipilih untuk wawancara, standing position atas isu dapat dikukuhkan untuk keperluan medianya. Chomsky menyebut laku ini sebagai flak. Flak digunakan untuk memenangi persepsi atas arena perang tanding di hadapan publik pembaca.
Saringan kelima berpusat pada ideologi para jurnalis. Biasanya, ideologi para jurnalis tak jauh dari ideologi negaranya atau ideologi pemilik media. Chomsky mencontohkan, antikomunis telah menjadi darah daging para jurnalis Amerika. Itu sebabnya, jurnalis Amerika sering kali dijadikan sebagai sasaran antara oleh lawan politik, karena dianggap sebagai bagian dari ideologi negara lawan. Di berbagai negara, anti-fundamentalis dan antiteroris menjadi bagian dari ideologi pemberitaan.
Pada akhirnya, melalui fabrikasi media, Chomsky seolah menegaskan, yang engkau baca dan yang engkau tonton, bukan karena engkau menghendakinya. Pun bukan karena media menyediakan yang terbaik untukmu, meski engkau ikut membayar. Engkau hanya didudukkan di pinggir-pinggir panggung propaganda. "Media adalah tangan kanan anarki", begitu ucap Dan Brown.
Monday, August 24, 2020
Sunday, August 23, 2020
Teater dan Bahasa Perempuan
Alwy Rachman
“Theatre is a place and space in which
we can dream such large dreams
and attempt to realize them, …”
Jane and Lizbeth
Teater adalah ruang, tempat kita bisa bermimpi besar dan berusaha untuk mewujudkannya, begitu kira-kira makna pendakuan di atas. Pendakuan ini ditulis oleh Jane de Gay and Lizbeth Goodman di dalam satu antologi Languages of Theater, Shaped by Women, Bahasa-bahasa Teater, Terbentuk oleh Perempuan, yang dipublikasi pada 2003.
Kumpulan tulisan di buku ini mengandaikan teater sebagai tujuan, semacam destinasi di luar kehidupan sehari-hari. Teater, dengan demikian, dipersamakan dengan panggung pendamping, selain panggung kehidupan nyata. Itu sebabnya, menurut Jane dan Lizbeth, mengapa perempuan yang energinya sering terhalang di dalam kehidupan sehari-hari, memilih teater sebagai tempat untuk berekspresi.
Sayangnya, Jane dan Lizbeth melanjutkan, bahasa teater sering kali amat mengecewakan. Bahasa teater lebih banyak memunculkan perempuan dalam keadaan tak utuh. Teater dibiarkan dihegemoni oleh lelaki. Tokoh perempuan senantiasa minoritas. Pun perempuan tak lebih dari tokoh subordinat. Mau tak mau, bahasa teater pun terkurung oleh dominasi peran tokoh lelaki.
Kalau toh teater bercerita tentang kekerasan terhadap perempuan, kekerasan pun disimbolkan secara samar dan tak utuh. Di panggung teater, kisah kekerasan terhadap perempuan menjadi kabur dan tak pernah bisa ditonton dan didengar secara paripurna. Jane dan Lizbeth akhirnya menemukan bahwa teater, sengaja atau tidak, menjadikan bahasa dan ekspresi perempuan sebagai sesuatu yang tersembunyi, dibuat untuk tak mudah dimengerti dan digambarkan berdasarkan citra yang terhina.
Kalau begitu, ajak Jane dan Lizbeth, mari kita bicara tentang bahasa dalam teater. Lalu, kita coba cari tahu apakah teater memang sarat dengan bahasa yang bermatra patriarki: yaitu apakah bahasa teks drama, konvensi gerak teatrikal, dan sistem lambang di panggung teater memang menjadikan dan menempatkan perempuan sebagai obyek yang dibicarakan, bukan subyek yang berbicara.
Jane juga membilangkan bahwa bahasa patriarki di panggung-panggung teater modern bermuara dan dimulai oleh ketidakpekaan atas nilai-nilai pada kisah dan mitos klasik Yunani. Baca saja kisah tentang para Dewi Yunani: Hera, Demeter, dan Kore. Ketiganya dilambangkan sebagai wakil bumi, tapi sangat bergantung pada dewa lelaki, Zeus. Hera tak lebih dari dewi pelayan. Pun Demeter. Hera adalah istri sebagaimana Demeter. Demeter dan putrinya, Kore, adalah dua dewi yang dikisahkan terselamatkan oleh Zeus. Lalu Zeus pun menjadi pusat kisah yang merayakan subordinasi kekuasaan matriarkal dari para dewi untuk kekuasaan langit patriarki sang dewa.
Bagi Simone de Beauvoir, seorang perempuan pemikir feminisme eksistensialis, kisah-kisah mitos klasik Yunani adalah catatan tentang penindasan budaya perempuan. Mitos Yunani tak lepas dan tak jauh dari narasi perempuan sebagai korban. Mitos Yunani adalah narasi di mana perempuan sering menjadi tokoh penjahat sekaligus sebagai tokoh korban.
Mitos dibuat dan ditegakkan oleh orang-orang yang takut akan dirinya sendiri. Dalam mitos, manusia mengidolakan tokoh macho, seperti Hercules dan Prometheus. Lalu, tokoh perempuan bermain pasif dan berperan sebagai tokoh sekunder dalam kisah-kisah para pahlawan. Dengan cara ini, Simone De Beauvoir menunjukkan bahwa tokoh perempuan diciptakan sebagai proyeksi atas ketakutan pria, terutama ketakutan atas kematian yang terhubung dengan pandangan patriarki terhadap fungsi reproduksi perempuan. Takut kehilangan seksualitas akibat kematian perempuan sebagai wadah patriarki, kira-kira begitu bahasa sederhananya.
Di luar panggung teater, Irigaray, yang juga seorang feminis, berpandangan tak kalah menarik. Irigaray, misalnya, menilai bahwa perbedaan bahasa lelaki dan bahasa perempuan dimulai dari cara mempersepsi tubuh sebagai wadah nilai-nilai. Baca mitos-mitos kebudayaan, dengarkan ceramah-ceramah teologis, baca legenda-legenda, simak pepatah-petitih kebudayaan, dengarkan pidato-pidato sang pemimpin, baca komik, atau dengarkan dongeng.
Di situ, sesekali atau sering kali, kita menemukan bahasa patriarki yang mengidolakan tubuh lelaki. Bahasa yang tak jauh dari prinsip yang disebut oleh Irigaray sebagai “Authority Principle of God”. Di situ pula akan ditemukan bahasa perempuan yang tercitra ke dalam prinsip “The Rebellious Principle of Satan”. Otoritas Tuhan dan pemberontakan setan dipindahkan ke dalam bahasa untuk dua tubuh yang berbeda.
Tapi Jane dan Lizbeth tetap berharap pada panggung teater. Kedua pemikir dan peneliti teater ini mendaku bahwa teater adalah ruang eksplorasi yang dapat mengatasi asosiasi negatif bahasa perempuan untuk diubah menjadi bahasa yang memberdayakan. Kalau bahasa dengan segenap maknanya dapat diangkut ke dalam konteks yang terbuka untuk dieksplorasi di panggung teater, perbedaan dan perpecahan dalam kerangka komunikasi teater dapat diatasi.
Jika tidak, teater tak ubahnya dengan dunia sehari-hari. Kalau bahasa perempuan tak mendapatkan tempat, teater akan jauh dari kualitasnya sebagai panggung pendamping. Dan jika memang sudah begini, teater tak lebih dari panggung kembar dari dunia sehari-hari.
“Theatre is a place and space in which
we can dream such large dreams
and attempt to realize them, …”
Jane and Lizbeth
Teater adalah ruang, tempat kita bisa bermimpi besar dan berusaha untuk mewujudkannya, begitu kira-kira makna pendakuan di atas. Pendakuan ini ditulis oleh Jane de Gay and Lizbeth Goodman di dalam satu antologi Languages of Theater, Shaped by Women, Bahasa-bahasa Teater, Terbentuk oleh Perempuan, yang dipublikasi pada 2003.
Kumpulan tulisan di buku ini mengandaikan teater sebagai tujuan, semacam destinasi di luar kehidupan sehari-hari. Teater, dengan demikian, dipersamakan dengan panggung pendamping, selain panggung kehidupan nyata. Itu sebabnya, menurut Jane dan Lizbeth, mengapa perempuan yang energinya sering terhalang di dalam kehidupan sehari-hari, memilih teater sebagai tempat untuk berekspresi.
Sayangnya, Jane dan Lizbeth melanjutkan, bahasa teater sering kali amat mengecewakan. Bahasa teater lebih banyak memunculkan perempuan dalam keadaan tak utuh. Teater dibiarkan dihegemoni oleh lelaki. Tokoh perempuan senantiasa minoritas. Pun perempuan tak lebih dari tokoh subordinat. Mau tak mau, bahasa teater pun terkurung oleh dominasi peran tokoh lelaki.
Kalau toh teater bercerita tentang kekerasan terhadap perempuan, kekerasan pun disimbolkan secara samar dan tak utuh. Di panggung teater, kisah kekerasan terhadap perempuan menjadi kabur dan tak pernah bisa ditonton dan didengar secara paripurna. Jane dan Lizbeth akhirnya menemukan bahwa teater, sengaja atau tidak, menjadikan bahasa dan ekspresi perempuan sebagai sesuatu yang tersembunyi, dibuat untuk tak mudah dimengerti dan digambarkan berdasarkan citra yang terhina.
Kalau begitu, ajak Jane dan Lizbeth, mari kita bicara tentang bahasa dalam teater. Lalu, kita coba cari tahu apakah teater memang sarat dengan bahasa yang bermatra patriarki: yaitu apakah bahasa teks drama, konvensi gerak teatrikal, dan sistem lambang di panggung teater memang menjadikan dan menempatkan perempuan sebagai obyek yang dibicarakan, bukan subyek yang berbicara.
Jane juga membilangkan bahwa bahasa patriarki di panggung-panggung teater modern bermuara dan dimulai oleh ketidakpekaan atas nilai-nilai pada kisah dan mitos klasik Yunani. Baca saja kisah tentang para Dewi Yunani: Hera, Demeter, dan Kore. Ketiganya dilambangkan sebagai wakil bumi, tapi sangat bergantung pada dewa lelaki, Zeus. Hera tak lebih dari dewi pelayan. Pun Demeter. Hera adalah istri sebagaimana Demeter. Demeter dan putrinya, Kore, adalah dua dewi yang dikisahkan terselamatkan oleh Zeus. Lalu Zeus pun menjadi pusat kisah yang merayakan subordinasi kekuasaan matriarkal dari para dewi untuk kekuasaan langit patriarki sang dewa.
Bagi Simone de Beauvoir, seorang perempuan pemikir feminisme eksistensialis, kisah-kisah mitos klasik Yunani adalah catatan tentang penindasan budaya perempuan. Mitos Yunani tak lepas dan tak jauh dari narasi perempuan sebagai korban. Mitos Yunani adalah narasi di mana perempuan sering menjadi tokoh penjahat sekaligus sebagai tokoh korban.
Mitos dibuat dan ditegakkan oleh orang-orang yang takut akan dirinya sendiri. Dalam mitos, manusia mengidolakan tokoh macho, seperti Hercules dan Prometheus. Lalu, tokoh perempuan bermain pasif dan berperan sebagai tokoh sekunder dalam kisah-kisah para pahlawan. Dengan cara ini, Simone De Beauvoir menunjukkan bahwa tokoh perempuan diciptakan sebagai proyeksi atas ketakutan pria, terutama ketakutan atas kematian yang terhubung dengan pandangan patriarki terhadap fungsi reproduksi perempuan. Takut kehilangan seksualitas akibat kematian perempuan sebagai wadah patriarki, kira-kira begitu bahasa sederhananya.
Di luar panggung teater, Irigaray, yang juga seorang feminis, berpandangan tak kalah menarik. Irigaray, misalnya, menilai bahwa perbedaan bahasa lelaki dan bahasa perempuan dimulai dari cara mempersepsi tubuh sebagai wadah nilai-nilai. Baca mitos-mitos kebudayaan, dengarkan ceramah-ceramah teologis, baca legenda-legenda, simak pepatah-petitih kebudayaan, dengarkan pidato-pidato sang pemimpin, baca komik, atau dengarkan dongeng.
Di situ, sesekali atau sering kali, kita menemukan bahasa patriarki yang mengidolakan tubuh lelaki. Bahasa yang tak jauh dari prinsip yang disebut oleh Irigaray sebagai “Authority Principle of God”. Di situ pula akan ditemukan bahasa perempuan yang tercitra ke dalam prinsip “The Rebellious Principle of Satan”. Otoritas Tuhan dan pemberontakan setan dipindahkan ke dalam bahasa untuk dua tubuh yang berbeda.
Tapi Jane dan Lizbeth tetap berharap pada panggung teater. Kedua pemikir dan peneliti teater ini mendaku bahwa teater adalah ruang eksplorasi yang dapat mengatasi asosiasi negatif bahasa perempuan untuk diubah menjadi bahasa yang memberdayakan. Kalau bahasa dengan segenap maknanya dapat diangkut ke dalam konteks yang terbuka untuk dieksplorasi di panggung teater, perbedaan dan perpecahan dalam kerangka komunikasi teater dapat diatasi.
Jika tidak, teater tak ubahnya dengan dunia sehari-hari. Kalau bahasa perempuan tak mendapatkan tempat, teater akan jauh dari kualitasnya sebagai panggung pendamping. Dan jika memang sudah begini, teater tak lebih dari panggung kembar dari dunia sehari-hari.