Alwy Rachman
Bahasa politik memang licin. Paling tidak, begitu suasana yang muncul menyusul “pidato politik ringkas” sang politikus muda di teras institusi antikorupsi pada Jumat, 10 Januari lalu. Pidato yang menyelipkan ungkapan “terima kasih” ke berbagai pihak itu tiba-tiba menciptakan rongga di mana-mana untuk diinterpretasi oleh mereka yang gemar membuat analisis politik. Di atas segalanya, rongga besar menjadi terbuka karena pernyataan “terima kasih” itu ditujukan kepada orang nomor satu di negeri ini.
Ritual koruptor di teras institusi antikorupsi itu tiba-tiba memunculkan dinamika baru. Sejauh ini, teras itu menjadi panggung publik bagi “orang-orang besar” yang berstatus “pesakitan”. Di sana, “orang-orang besar” ini melewati proses shaming stage, yaitu “panggung untuk mempermalukan”, meskipun “orang-orang besar” itu masih berkesempatan menjelaskan alibi untuk membela diri, kadang-kadang disertai dengan senyum pahit atau diikuti oleh gerak tubuh seolah tak bersalah.
Lalu, tutur sang politikus muda itu terdengar tak biasa. “Pidato ringkas” nyata bicara soal alibi, pun tak ada argumentasi untuk bela diri. Maka, tutur “terima kasih”-nya pun dicerna sebagai ekspresi berkonotasi politis. Jadilah tutur sang politikus sebagai bahasa politik yang terbang tinggi menjangkau pusat-pusat kekuasaan. Dan, “pidato ringkas” itu berkehendak menebar “aroma konspirasi”.
Tutur sang politikus muda itu jauh dari kesan “hero”. Meskipun menimbulkan daya kejut sementara bagi mereka yang terkena. “Pidato ringkas” itu beraroma sarkastis, ironis, tapi kehilangan humor. Konteks “terima kasih” yang terjungkir balik dibanding ungkapan yang sama pada situasi wajar dan normal memunculkan suasana “bahasa antilogika”.
Di dalam dunia literasi, aspek sarkastis, ironis, dan humor biasanya dicampur sari lalu kemudian dibilangkan sebagai satire. Satire ibarat language game, “permainan bahasa” yang membuat “yang terkena” bisa marah besar. Itu sebabnya seniman-seniman satiris sering kali “menghaluskannya” dengan cara menyelipkan elemen-elemen humor ke bahasa seperti ini.
Pun itu sebabnya, kerja kreatif seniman satiris sering dibilangkan “kerja campur sari”. Elemen-elemen sarkastis dan ironis diaduk-aduk, dicampur-campur dengan elemen humor sedemikian rupa hingga menimbulkan daya kejut. Jadi, kita bilang saja “pidato ringkas” sang politikus muda itu sebagai “satire minus humor”. Atau sebut saja, “satire negatif”.
Sebagai karya literasi campur sari, satire pada mulanya diasosiasikan dengan hidangan buah-buahan campur sari. Jadi, jika anggur, pisang, pepaya, salak, dan buah-buahan lain berada di satu wadah piring, kita sesungguhnya sedang menikmati sajian satire. Itu sebabnya, satire sering didefinisikan sebagai to be well fed, “terhidang dengan bagus”, kira-kira begitu bahasa sederhananya.
Banyak pihak yang bilang bahwa satire adalah senjata bagi kalangan the powerless. Sedikitnya, dalam situasi powerless, satire digunakan untuk “melawan” dengan cara menyindir dengan tajam pihak-pihak yang dibilangkan sebagai the powerful. Pun sebagian orang mendaku bahwa satire adalah bahasa subversif yang ditujukan ke kelompok mapan dan berkuasa.
Media satire berbentuk jamak, dari humor yang mengalir dan berpindah dari mulut ke telinga hingga ke panggung drama, dari komik hingga ke novel, atau dari pidato hingga talk show. Di mana-mana, media satire seperti ini bersentuhan dengan politik. Tentu publik dunia masih ingat satire “Ketawa ala Rusia” yang menjalar hebat di masyarakat Rusia menjelang runtuhnya tirani Rusia. Di dalam negeri, laku satiris Gus Dur yang membilangkan presiden-presiden di Indonesia nyatanya menjadi rujukan para penulis dunia. Oleh Adam Schwarz, satire Gus Dur diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, “The first presiden was crazy about women. The second presiden was crazy about fortune. The third presiden was truly crazy.” Gus Dur nyatanya tak mau repot dengan analisis yang lebar dan panjang.
Satire berparas humor keras biasanya menjadi taktik para seniman satiris. Orwell sendiri percaya bahwa humor bisa ditamsilkan semacam “revolusi mungil”. “Humor is a tiny revolution” begitu pendakuan George Orwell. Suasana “revolusi mungil” memang dicipta dan tercipta di dalam karya Orwell, yaitu Animal Farm. Meminjam ungkapan Mahbub Junaidi, Animal Farm semacam “revolusi di antara politikus” yang telah dianimasi. Ibarat “revolusi binatang politik” untuk menyindir laku hewani para politikus.
Satire yang kental humor akan menguatkan shaming culture, semacam “kultur mempermalukan” yang ditujukan ke “orang-orang besar” yang tak tahu malu. Atau, ditujukan kepada lawan-lawan politik. Itu sebabnya, Saul Alinsky, seorang aktivis gerakan sosial terkemuka Amerika, bilang “seranglah lawan-lawanmu dengan cara mengejeknya secara komikal. Cara ini membuat lawan-lawanmu menjadi bahan tertawaan (ridicule).”
Jika lawanmu membalas, kemenangan tetap di pihakmu. Lawan-lawanmu akan “kikuk”, “uring-uringan”, “bingung”, dan “marah”, tapi tetap saja “tampak bodoh” menghadapi satire. Boleh jadi, kemarahan lawan-lawanmu akan menyala besar, tapi kemarahan mereka tak lebih dari nyala lilin. Menyala tapi melelehkan dirinya sendiri.
Wednesday, August 24, 2022
Tuesday, August 23, 2022
Literasi Sekuler dan Hate Speech
Alwy Rachman
Laku Charlie Hebdo, majalah kartun di Prancis, masih menanggung krisis. Krisisnya menjalar di kawasan Eropa, Arab, dan Afrika. Siaga Eropa dan protes Arab dan Afrika bukan pada soal Kouachi bersaudara yang telah dieksekusi. Suasana krisis semakin kental lantaran pernyataan para ulama berpengaruh Mesir, “Berhentilah engkau mengolok-olok dan mengejek-ejek Nabi,” begitu pesan kuatnya.
Melawan secara hukum juga dikumandangkan Organisasi Kerja Sama Islam. Organisasi ini bilang, “Kebebasan berekspresi bukan untuk menghina sentimen agama.” Perdana Menteri Irak malah keras, “Kata-kata agresi akan mendorong pertumpahan darah.” Pernyataan sang perdana menteri menggaung keras, meski editor majalah itu, Gerrard Biard, membela diri dan bilang, “Kami tak menyerang agama, kecuali agama yang terlibat dalam politik.”
Barack Obama memilih tak hadir dalam unjuk rasa para pemimpin Eropa, sehari-dua hari setelah peristiwa. Argumentasinya, Obama membedakan mana “kebebasan berbicara”, free speech, dan mana yang tak lebih dari kebencian dalam berbicara, hate speech. Obama nyatanya lebih persuasif. Dia bilang, “Eropa mestinya meniru Amerika dalam hal asimilasi Islam di Barat. Sejatinya, menurut pendakuan Obama, warga muslim dijaga dan terjaga agar mereka bisa merasa bahwa negara-negara di Barat adalah negaranya sendiri.
Charlie Hebdo adalah gambaran benderang tentang beda literasi Eropa, terutama Prancis. Literasi Eropa adalah literasi sekuler, sementara literasi negeri-negeri Islam adalah literasi religius. Kedua literasi ini berjarak lebar. Yang satu memandang nabi-nabi sebagai “manusia-manusia yang dimistifikasi”, sementara yang lain mendudukkan nabi-nabi sebagai manusia-manusia utama. Yang satu berbicara kemanusiaan berdasarkan cara pandang empirik, yang lain meletakkan kemanusiaan dalam kawasan transedental. Pun etiknya beda, satu berbahasa bumi dan yang lain berbahasa langit.
Perhadapan (encounter) kedua literasi tak terhindarkan: secular literacy dan religious literacy. Itu sebabnya, kemanusiaan didudukkan dengan wajah dua: secular humanity dan religious humanity. Dengan konteks berbeda, dalam catatan sejarah, konflik serupa atas “(ke)aksara(an) pernah terjadi pada masa Yunani awal. Konflik itu dapat ditelusuri pada karya Plato, Phaedrus. Di situ, Plato membilangkan keberatan Socrates terhadap Phaederus: “Jika engkau belajar aksara, engkau sama saja melawan Dewa Thoth. Aksara semata-mata hanya menanam ‘kelupaan’ pada jiwa. Penemuan yang engkau sebut aksara bukan resep untuk ingatan, tetapi cuma pengingat.” Sekuel dialog ini bisa ditemukan dalam Alpha beta: How 26 Letters shaped the Western Culture (tahun 2000), ditulis oleh John Man.
“Engkau Phaedrus!” Socrates menyeru: “Ketahuilah, kata-kata tertulis seolah-olah mewakili kepandaian. Tapi, jika engkau bertanya kepadanya, apa pun, kata-kata (aksara) tulis itu hanya mengatakan yang itu-itu saja. Untuk selamanya, begitu-begitu saja,” demikian kata Socrates. Bahasa tulis bukan untuk kearifan. Kearifan memerlukan dialog orang-orang tepat yang mencintai pengetahuan.
Budaya aksara sesungguhnya tak menjauh dari kawasan-kawasan Arab, tapi perkembangannya kemudian lebih menguntungkan budaya Barat. Aksara-aksara alfa-beta kini tak hanya dipakai sebagaimana adanya, tetapi dikombinasikan dengan modus literasi lain: kartun, sketsa, ilustrasi, dan karikatur. Kartun dan karikatur, malah, dipakai oleh media sekuler untuk menyerang literasi religius. Itu pun atas nama kebebasan berbicara.
Prancis adalah jejak dari humanitas religius ke humanitas sekuler. Jejak ini bisa dilihat dalam perjalanan filsafat Aguste Comte, yang hari ini merupakan tanggal kematiannya. Comte dikenal sebagai pemikir positivistik sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Comte-lah yang mendakukan tiga fase kehidupan: teologi, metafisik, dan positivistik. Jangan lupa, Comte pernah belajar di École Polytechnique di Paris, sekitar abad ke-18.
Comte bilang masyarakat adalah wujud dari evolusi sosial dari fase ke fase, mengikuti “hukum tiga fase”. Fase pertama adalah teologi yang direfleksi pada pengalaman Prancis sebelum datangnya abad pencerahan. Pada masa ini, gerak manusia dan masyarakat dibatasi melalui referensi tuhan. Manusia, menurut Comte, menerima kepercayaan buta oleh para leluhurnya.
Fase kedua adalah metafisik yang dirujuk pada akar perubahan masyarakat Prancis, menyusul revolusi 1789. Pada fase ini, hak-hak universal dijustifikasi, lalu dijadikan sebagai dasar rancangan besar melampaui otoritas semua manusia. Metafora agama-agama dipertanyakan ulang dan dinalar secara kritis. Itu sebabnya, kekuasaan agama-agama ikut dipereteli.
Fase ketiga adalah saintifik. Sains diandalkan menyusul kegagalan revolusi. Pada fase ini, Prancis menentukan solusi atas masalah-masalah sosial dengan andalan ilmu, terlepas dari adanya hak asasi manusia dan terlepas dari kehendak Tuhan. Sains diperbarui untuk menangani masalah, meski kedudukannya tak lebih dari turunan fisika klasik.
Pada akhirnya, Charlie Hebdo memang buah dari akar dari fase penyingkiran agama. Pada ujungnya, pendakuan sang editor majalah itu, Gerrard Biard, yang bilang “tak menyerang agama” adalah klise. Ia bilang tak suka agama yang berpolitik, tapi ia sendiri mempolitisasi agama. Charlie Hebdo memang penuh kebencian. Hate speech.
Laku Charlie Hebdo, majalah kartun di Prancis, masih menanggung krisis. Krisisnya menjalar di kawasan Eropa, Arab, dan Afrika. Siaga Eropa dan protes Arab dan Afrika bukan pada soal Kouachi bersaudara yang telah dieksekusi. Suasana krisis semakin kental lantaran pernyataan para ulama berpengaruh Mesir, “Berhentilah engkau mengolok-olok dan mengejek-ejek Nabi,” begitu pesan kuatnya.
Melawan secara hukum juga dikumandangkan Organisasi Kerja Sama Islam. Organisasi ini bilang, “Kebebasan berekspresi bukan untuk menghina sentimen agama.” Perdana Menteri Irak malah keras, “Kata-kata agresi akan mendorong pertumpahan darah.” Pernyataan sang perdana menteri menggaung keras, meski editor majalah itu, Gerrard Biard, membela diri dan bilang, “Kami tak menyerang agama, kecuali agama yang terlibat dalam politik.”
Barack Obama memilih tak hadir dalam unjuk rasa para pemimpin Eropa, sehari-dua hari setelah peristiwa. Argumentasinya, Obama membedakan mana “kebebasan berbicara”, free speech, dan mana yang tak lebih dari kebencian dalam berbicara, hate speech. Obama nyatanya lebih persuasif. Dia bilang, “Eropa mestinya meniru Amerika dalam hal asimilasi Islam di Barat. Sejatinya, menurut pendakuan Obama, warga muslim dijaga dan terjaga agar mereka bisa merasa bahwa negara-negara di Barat adalah negaranya sendiri.
Charlie Hebdo adalah gambaran benderang tentang beda literasi Eropa, terutama Prancis. Literasi Eropa adalah literasi sekuler, sementara literasi negeri-negeri Islam adalah literasi religius. Kedua literasi ini berjarak lebar. Yang satu memandang nabi-nabi sebagai “manusia-manusia yang dimistifikasi”, sementara yang lain mendudukkan nabi-nabi sebagai manusia-manusia utama. Yang satu berbicara kemanusiaan berdasarkan cara pandang empirik, yang lain meletakkan kemanusiaan dalam kawasan transedental. Pun etiknya beda, satu berbahasa bumi dan yang lain berbahasa langit.
Perhadapan (encounter) kedua literasi tak terhindarkan: secular literacy dan religious literacy. Itu sebabnya, kemanusiaan didudukkan dengan wajah dua: secular humanity dan religious humanity. Dengan konteks berbeda, dalam catatan sejarah, konflik serupa atas “(ke)aksara(an) pernah terjadi pada masa Yunani awal. Konflik itu dapat ditelusuri pada karya Plato, Phaedrus. Di situ, Plato membilangkan keberatan Socrates terhadap Phaederus: “Jika engkau belajar aksara, engkau sama saja melawan Dewa Thoth. Aksara semata-mata hanya menanam ‘kelupaan’ pada jiwa. Penemuan yang engkau sebut aksara bukan resep untuk ingatan, tetapi cuma pengingat.” Sekuel dialog ini bisa ditemukan dalam Alpha beta: How 26 Letters shaped the Western Culture (tahun 2000), ditulis oleh John Man.
“Engkau Phaedrus!” Socrates menyeru: “Ketahuilah, kata-kata tertulis seolah-olah mewakili kepandaian. Tapi, jika engkau bertanya kepadanya, apa pun, kata-kata (aksara) tulis itu hanya mengatakan yang itu-itu saja. Untuk selamanya, begitu-begitu saja,” demikian kata Socrates. Bahasa tulis bukan untuk kearifan. Kearifan memerlukan dialog orang-orang tepat yang mencintai pengetahuan.
Budaya aksara sesungguhnya tak menjauh dari kawasan-kawasan Arab, tapi perkembangannya kemudian lebih menguntungkan budaya Barat. Aksara-aksara alfa-beta kini tak hanya dipakai sebagaimana adanya, tetapi dikombinasikan dengan modus literasi lain: kartun, sketsa, ilustrasi, dan karikatur. Kartun dan karikatur, malah, dipakai oleh media sekuler untuk menyerang literasi religius. Itu pun atas nama kebebasan berbicara.
Prancis adalah jejak dari humanitas religius ke humanitas sekuler. Jejak ini bisa dilihat dalam perjalanan filsafat Aguste Comte, yang hari ini merupakan tanggal kematiannya. Comte dikenal sebagai pemikir positivistik sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Comte-lah yang mendakukan tiga fase kehidupan: teologi, metafisik, dan positivistik. Jangan lupa, Comte pernah belajar di École Polytechnique di Paris, sekitar abad ke-18.
Comte bilang masyarakat adalah wujud dari evolusi sosial dari fase ke fase, mengikuti “hukum tiga fase”. Fase pertama adalah teologi yang direfleksi pada pengalaman Prancis sebelum datangnya abad pencerahan. Pada masa ini, gerak manusia dan masyarakat dibatasi melalui referensi tuhan. Manusia, menurut Comte, menerima kepercayaan buta oleh para leluhurnya.
Fase kedua adalah metafisik yang dirujuk pada akar perubahan masyarakat Prancis, menyusul revolusi 1789. Pada fase ini, hak-hak universal dijustifikasi, lalu dijadikan sebagai dasar rancangan besar melampaui otoritas semua manusia. Metafora agama-agama dipertanyakan ulang dan dinalar secara kritis. Itu sebabnya, kekuasaan agama-agama ikut dipereteli.
Fase ketiga adalah saintifik. Sains diandalkan menyusul kegagalan revolusi. Pada fase ini, Prancis menentukan solusi atas masalah-masalah sosial dengan andalan ilmu, terlepas dari adanya hak asasi manusia dan terlepas dari kehendak Tuhan. Sains diperbarui untuk menangani masalah, meski kedudukannya tak lebih dari turunan fisika klasik.
Pada akhirnya, Charlie Hebdo memang buah dari akar dari fase penyingkiran agama. Pada ujungnya, pendakuan sang editor majalah itu, Gerrard Biard, yang bilang “tak menyerang agama” adalah klise. Ia bilang tak suka agama yang berpolitik, tapi ia sendiri mempolitisasi agama. Charlie Hebdo memang penuh kebencian. Hate speech.