Monday, August 28, 2006

Turijeqne, Manusia Bahari

Anwar Ibrahim

Kamma minné tallasaqnaaqboyaya rawa jéqnéq
tinro tatinro
ammatai tallasaqna
Gosséya lonna mammanyuk
niyaq gusung narampéi
inakké iya
arusuka kupinawang

1. Manusia 'Bahari'
Seorang nelayan, pelayar, penjelajah lautan, 'manusia bahari', sebutlah nama simboliknya: I Mattamparang Daéng Manyombali, seperti manusia bahari lain yang melakukan kegiatan mencari kehidupan, melayari dan mengharungi lautan, mencari dan menangkap ikan, serta mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan laut lainnya, adalah manusia yang senantiasa mempersiapkan diri menghadapi tantangan kehidupan, yang taruhannya ada kalanya nyawa. Mereka selalu siap melakukan pertarungan mati-hidup setiap kali mereka menjalankan profesinya. Sebagai 'manusia bahari', Daéng Manyombali dan manusia bahari lain yang disimbolkannya, umumnya bertempat tinggal di pesisir pantai atau di pulau-pulau. Entah di Paotéré, Barombong, Galésong, Bira, Sumpang Binangaé, Pambusuang, Bajoé, pulau Kodingaréng, pulau Masalémbo, pulau Balo-baloang, di pulau atau pantai mana saja, mungkin juga di pinggir pantai Jalan Riburané. Penduduk Makassar menyebut mereka Tupabbiring, manusia 'tepi laut' yang melakoni kehidupan di lautan. Budayanya adalah budaya bahari.

Dalam pembicaraan mengenai kebudayaan, seperti dikatakan Ph. O.L. Tobing, sesungguhnya kita berbicara mengenai manusia. Makhluk manusialah dengan nilai-nilainya, kepercayaan, dan pengetahuannya melakukan aktivitas berpikir, merasa, berperilaku, berbuat, melakukan 'penciptaan' berbagai bentuk penyaluran dari totalitas kehendaknya untuk eksis. Keseluruhannya merupakan tanggapan atas berbagai tantangan yang dihadapinya, yang dilakukan sebagai upaya untuk eksis dan memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya. Oleh karena itu, bagaimana sistem nilai, pengetahuan, dan kepercayaan Daéng Manyombali, bagaimana perilaku dan tindakan-tindakannya, serta cara-cara yang digunakan merespons tantangan yang dihadapi dalam kehidupannya, perlu memperoleh pemahaman. 

Hal itu dilakukan, bilamana kebudayaan bahari diartikan sebagai keseluruhan sistem nilai, pengetahuan, dan kepercayaan yang mendasari dan mempedomani segenap perilaku dan tindakan manusia bahari dalam aktivitas kehidupannya, merespons segala tantangan yang dihadapinya guna memenuhi tuntutan kebutuhan kemanusiaannya.Dalam melakonkan pekerjaan dan profesinya sebagai 'manusia bahari', I Mattamparang Daéng Manyombali senantiasa berkemungkinan berhadapan dengan mara bahaya yang setiap saat menghadangnya. Kondisi lingkungan alam dan kehidupan di tengah lautan merupakan tantangan rutin dalam profesi kesehari-hariannya. Badai, angin kencang, ombak gelombang, puting beliung, dan berbagai sumber bencana lainnya yang sewaktu-waktu datang menyerang, (sumber bencana yang masing-masing memiliki penamaan spesifik dalam budaya masyarakat bahari di Sulawesi Selatan) yang niscaya harus mereka hadapi sebagai risiko. Oleh karena itu, dalam melakukan kegiatan pada berbagai aktivitas di laut, Daéng Manyombali menggunakan keseluruhan potensi yang dimilikinya: gagasan, pengetahuan, kepercayaan, dan organisasi yang dibentuknya bersama rekan-rekan seprofesinya.

Watak dan semangat kerja manusia bahari tumbuh sebagai akibat pengaruh kondisi dan situasi laut yang dihadapinya sehari-hari. Demikian kesimpulan H.J. Prins yang telah melakukan penelitian selama 25 tahun, dengan objek penelitian pelayaran kapal barang dan penumpang dengan perjalanan melayari jalur pelayaran dari Eropa ke Timur Tengah. Prins mengamati perilaku para awak kapal dan penumpangnya, serta turut berpartisipasi di dalamnya, untuk sampai pada kesimpulan meyakinkan tersebut. Kecenderungan watak dan etos manusia laut yang pragmatis dan adaptif terhadap perubahan kondisi lingkungannya berbeda dengan watak dan etos manusia darat. Hal sama dikemukakan Touchman yang menggunakan istilah aquatic ethos disposition dalam menggambarkan fenomena kebudayaan yang berkaitan dengan laut pada suku Bajo di Asia Tenggara, termasuk suku Bajo atau Turijéknék di Sulawesi Selatan. Cara pandang Prins dan Touchman dapat digambarkan seperti ini:
Bila Prins dan Touchman memperhatikan watak dan etos kerja manusia pelaut yang sangat dipengaruhi oleh kondisi alam lautan, Oughbert dan Nolan lebih memperhatikan institusi-institusi, pranata atau norma-norma khusus yang menata serta mengikat dan memedomani manusia bahari dalam berbagai aktivitas di lautan. Perspektif total institution yang digunakannya, memandang bahwa pranata dan norma yang tercakup dalam konsep total institution itu mengikat, membatasi, dan menjadi acuan eksak mengenai cara berpikir, bersikap, dan bertindak bagi manusia bahari. Mereka berpandangan bahwa untuk urusan pelayaran, keputusan yang diambil pihak yang memiliki wewenang di atas kapal atau perahu tidak perlu dikompromikan dengan awak kapal atau awak perahu. Otoritas yang berwewenang di atas kapal/perahu, ponggawa lopi misalnya, menetapkan ketetapan atau keputusan berdasarkan pengalaman bergumul dengan tantangan kehidupan di lautan dan pertimbangan demi keselamatan dalam pelayaran atau dalam kegiatan di lautan. Inilah yang disebut watak budaya non-comformism dalam aktivitas di laut. Cara pandang Oughbert dan Nolan, dapat digambarkan seperti ini:

Gaya hidup (life style) kebaharian menunjukkan ciri culture pragmatism, instrumentalism dan adaptivity, yang disesuaikan dengan lingkungan alam dan kehidupan di laut. Tantangan yang dihadapi ,manusia Daéng Manyombali jauh lebih konkret bila dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi manusia di daratan. Prinsip mereka bersifat pragmatik. Mereka memikirkan masalah yang tampak menantang di depan mata dan hidung mereka, dan mencoba memberikan jawaban dan tanggapan atas tantangan itu. Untuk menghadapi tantangan itu, mereka sangat memperhatikan alat-alat yang dapat digunakan demi memperlancar usaha dan menjamin keselamatan mereka. Perahu, misalnya, dirancang dan dibuat secara sangat cermat, mulai dari pemilihan bahannya sampai pada teknik-teknik terkecil dalam proses pembuatannya. Oleh karena itu disebut bersifat instrumentalism.

Mereka berusaha melakukan adaptasi terhadap lingkungan kehidupannya. Berbagai sikap baik secara individual maupun secara kolektif dikembangkan sebagai respons atas kondisi objektif dari lingkungan kehidupan profesionalnya, seperti sikap solidaritas dan kerja sama. Hal itu merupakan satu keniscayaan. Berbagai sikap itu dikembangkan, dipelihara serta diawasi dengan ketat, karena sikap seperti itu dianggap merupakan jaminan bagi keselamatan mereka. Itulah yang disebut sifat adaptivity-nya.

Dengan gambaran tersebut dapatlah diasumsikan bahwa kebudayaan bahari tumbuh dan berkembang sebagai proses dan hasil dari 'pertarungan' manusia bahari dengan lingkungan alam kelautan yang menantangnya.

2. Nilai Budaya Manusia 'Daéng Manyombali'
Kenyataan bahwa kehidupan di lautan penuh dengan tantangan dan risiko yang dapat membawa bencana, mara bahaya, kebangkrutan, bahkan kematian, menumbuhkan nilai budaya yang mempedomani dan mengarahkan kehidupan manusia bahari, 'tupabbiring' atau manusia 'Daéng Manyombali'. Seperangkat nilai yang merupakan suatu sistem nilai budaya, mereka pelihara di dalam kehidupan 'komunitas'nya,

Pertama, nilai utama yang dianggap sangat penting dan berharga dalam kehidupan budayanya adalah nilai solidaritas dan kerja sama. Nilai ini merupakan keniscayaan. Dalam praktik kehidupan, mereka dengan sangat hati-hati menjaga hubungan kehidupan yang harmonis dan kerjasama di antara mereka. Keharmonisan dalam kehidupan, kebersamaan, dan nilai solidaritas merupakan nilai yang didambakan dan berusaha untuk selalu mereka wujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak ada yang boleh bertikai, terutama menjelang dan sesaat mereka hendak turun melaut.

Pertikaian antara sawi dan sawi, antara sawi dan ponggawa, merupakan pantangan, terutama di laut ketika sedang menjalankan usaha penangkapan ikan. Bahkan dipantangkan terjadinya pertikaian antara anak istri para sawi. Pertikaian, terutama yang terjadi di laut segera diselesaikan pada saat itu, di tempat. Bila tidak diselesaikan akan terjadi 'nacilakai ngaseng sawia, jama-jamanga, na pakabéllai dalléka, mencelakakan semua awak perahu, pekerjaan dan menjauhkan rezeki. Sawi, ponggawa, dan peralatannya dianggap satu kesatuan. Sawi diandaikan sebagai kaki dan tangan. Maka dipantangkan terjadinya perbedaan kehendak kaki dan tangan.

Kedua, selain nilai solidaritas, nilai kejujuran sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan mereka. Seorang informan tua, mantan ponggawa laut Sumpang Binangaé di Barru mengilustrasikan bahwa pada malam hari adakalanya nelayan di laut didatangi pedagang pengumpul ikan dari daerah lain untuk melakukan transaksi pembelian ikan. Dengan nilai kejujuran, maka ikan yang dijual dan hasil penjualannya harus tetap dicatat dan dilaporkan kepada ponggawa bonto di darat. Bila hal itu tidak dilakukan, maka akan terjadi keadaan "tidak akan lama perahu akan terbalik", artinya usaha penangkapan ikannya akan merugi dan berkemungkinan bankrut.

Ketiga, nilai adil, keadilan atau 'adélék, adalah nilai budaya yang mereka pelihara. Nilai inipun berhubungan pula dengan nilai menciptakan kehidupan harmonis serta nilai kejujuran. Dalam hubungan antara ponggawa dan sawi, misalnya, perlakuan yang sama diberikan kepada orang dan jenis pekerjaan yang sama. Akan tetapi, bila ada sawi yang memiliki kedisiplinan dan kerajinan lebih tinggi dibanding dengan yang lain-lain, dengan kualitas pekerjaan yang lebih baik, maka sawi tersebut selain menerima bagian penghasilan dasar yang sama, juga diberikan upah tambahan.

Keempat, dalam menjalankan tugasnya memimpin para sawi, seorang ponggawa harus memiliki ketegasan dan keteguhan. Keteguhan pada prinsip dan ketegasan melaksanakannya berhubungan dengan penjagaan keselamatan sawi atau awak perahu yang dipimpinnya. Mereka harus teguh memegang prinsip yang dianut dalam kegiatan profesinya, sekaligus tegas melakukan penindakan terhadap pelanggaran prinsip umum dan prinsip kerja mereka. Disebutkan di atas, pertikaian di atas perahu harus secara tegas diselesaikan pada saat itu di atas perahu itu juga. Siapapun yang bersalah, sekalipun anak kandung sendiri, harus diberi sanksi. "Tidak boleh bersikap berat sebelah", berpihak pada anak atau kerabat sendiri.

Kelima, berhubungan dengan nilai-nilai tersebut dianggap penting pula nilai sipakatau, yaitu nilai yang saling memanusiakan atau saling menghargai sesama manusia. Nilai ini terwujud dalam perilaku berupa memelihara sikap kesamaan dan kesesamaan. Ponggawa akan memperlakukan sama pada semua sawinya, menghargai pendapat dan aspirasi para sawi. Ini adalah prinsip sipakalabbirik, saling memuliakan. Sawi memuliakan ponggawa, dan ponggawa memuliakan harkat kemanusiaan para sawi. Sampai sekarang, menurut seorang informan, prinsip seperti itu masih dipraktikkan dalam kehidupan nelayan di Pambusuang di Polewali Mandar, masyarakat nelayan patorani di Galésong Takalar dan nelayan Bajoé di Bone.

Di atas seluruh nilai-nilai yang dikemukakan di atas, masyarakat Daéng Manyombali meyakini nilai yang disebut berserah diri, bertawakkal kepada Sang Pencipta, 'appésona ri bataraya'. Sebelum mereka turun melaut mereka menyerahkan diri secara bulat dan utuh kepada sang Pencipta dengan keyakinan "tidak ada daya, kehendak dan kekuatan, selain bersama sang Pencipta".

3. Norma Masyarakat ' Daéng Manyombali'
Nilai-nilai budaya yang dikemukakan di atas, diinterpretasikan kemudian dituangkan ke dalam bentuk sistem norma-norma, berupa pranata, norma-norma dan aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat nelayan. Dalam pemeliharaan hubungan harmonis antarwarga masyarakat atau nilai kebersamaan dibuat norma atau aturan-aturan seperti: pertikaian antar sawi bila terjadi di daratan akan diselesaikan di daratan, dan yang bersangkutan tidak dibenarkan ikut berlayar bila persoalannya belum terselesaikan. Bila pertikaian terjadi di lautan, persoalan harus diselesaikan di atas perahu, pada saat itu juga. Bila seorang sawi ngotot tidak bersedia menerima penyelesaian, maka sawi tersebut harus diturunkan dari perahu dan tidak dibenarkan ikut lagi dalam perahu tersebut. Hal ini dimaksudkan agar kebersamaan dan kehidupan di atas perahu dapat terjalin secara harmonis, serta kerjasama dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya, untuk memastikan keselamatan seluruh awak lebih terjamin.

Norma dan aturan yang berhubungan dengan nilai kejujuran ditetapkan pula. Dalam kehidupan masyarakat ditemukan ketetapan yang memberikan sanksi kepada ponggawa atau sawi yang melakukan penjualan ikan di lautan kepada orang atau pembeli lain, tanpa sepengetahuan ponggawa bonto atau tanpa mencatat transaksi tersebut. Kejujuran semua pihak akan menimbulkan rasa saling percaya yang akan melahirkan kerja sama panjang dan kehidupan harmonis. Dalam kehidupan di daratan, masyarakat nelayan memelihara norma adat yang menjadikan kriteria pengukuran kejujuran manusia untuk dijadikan pemimpin, ponggawa, atau menjalin hubungan kekekuargaan melalui jalur perkawinan.

4. Sistem Pengetahuan Masyarakat ' Daéng Manyombali'
Tantangan yang dihadapi manusia bahari mendorong berkembangnya pengetahuan mengenai berbagai cara, tindakan dan perilaku 'bersahabat' dengan alam dan 'mengutamakan keselamatan bersama'. Sistem pengetahuan kebaharian yang diwariskan turun temurun, sesungguhnya merupakan 'resep budaya' yang menjadi kelengkapan diri manusia bahari menjalani profesinya:

a. Pengetahuan kutika, pengetahuan mengenai hari baik dan hari buruk
Pengetahuan kutika bukan hanya berkembang pada masyarakat bahari, melainkan berkembang pula pada masyarakat petani. Patorani di Galésong atau masyarakat bahari di Bajoé, menjadikan pengetahuan kutika sebagai patokan memulai melakukan pekerjaan. Dalam budaya masyarakat petani, salah satu di antara berbagai pengetahuan kutika adalah pembagian waktu dalam satu hari yang dibagi menjadi lima bagian: barikbasak (M), élék (B) 'pagi hari', naikna allowa (M), abbué-buéng (B) 'matahari mulai merangkak naik', tanngallo (M), tanngasso (B) 'tengah hari', naunngallo (M), lésanngesso (B)'mata-hari condong ke barat'
dan karuwéng (M), arawéng (B) 'sore hari'.
Dalam budaya masyarakat bahari, walaupun waktu sehari dibagi lima bagian pula, namun waktunya cenderung lebih panjang, yaitu dimulai pada waktu fajar menyingsing 'pajjareng', ke abbué-buéng, tanngasso, arawéng, sampai tengah malam 'denniari' atau tangabenni. Setiap bagian itu memiliki kualitas berbeda. Kualitas yang mengisi setiap waktu digambarkan dengan simbol dan penamaan simbol, seperti gambaran pada tabel di bawah.


Mappam-mula (Memulai)

pajjareng' (Fajar)

Abbuéng*

Tanngasso (Tengah Hari)

Arawéng (Sore)

Denniari (dini hari)


 

Juma (Jumat)

 

 

+ 


 


 

O o

O

o o


 

Sattu (Sabtu)

O o

O

o o

 


 


 

+

 


 

Ahak (Ahad)


 


 

+

 


O o

O

o o

 


 

Asénéng (Senin)

 

 

O o

O

o o


 


 

+


 

Salasa (Selasa)


 


 

 

+

 


O o

O

o o


 

Araba (Rabu)

+

 


O o

O

o o

 


 


 


 

Kammisik (Kamis)


 


 

 

+ 

 


O o

O

o o


Keterangan simbol:
O o
O = mallisek
'berisi' = lobbang, 'kosong'
o o = pulang pokok = ujuu, 'mayat'
+= atuong, 'kehidupan' * Waktu sekitar pkl. 09.00 – 11.00 pagi

Pengetahuan mengenai hari baik dan hari buruk tampaknya didasarkan pada lontarak kutika, suatu lontarak yang berhubungan dengan hal-hal seperti itu. Perhitungan hari baik hari buruk pada masyarakat nelayan Sumpang Binangaé, antaranya ada yang didasarkan pada perhitungan awal bulan Muharram. Bila tanggal 1 Muharram jatuh pada hari Jumat, misalnya, maka bulan itu disebut bulan panas dan keras. Sulit mencari ikan dan seringkali banyak bahaya yang dihadapi, menghadang perjalanan nelayan di laut. Akan tetapi hal itu berlangsung selama 1 bulan. Pada bulan berikutnya, hari panas atau mapella itu jatuh pada hari Kamis, dan seterusnya perhitungan harinya mundur pada setiap bulannya.

b. Pengetahuan astronomi tradisional
Seperti pada masyarakat bahari patorani di Galésong dan masyarakat bahari pada umumnya, masyarakat nelayan Sumpang Binangaé memiliki pengetahuan perbintangan atau astronomi dan astrologi. Seorang informan menyebutkan adanya yang disebut bintang sulo-bawié, bintang wara-waraé, bintang tanraé, bintang manuk-é, bintang lambarué, bintang tellu-tellué, dan sejumlah nama bintang lainnya. Setiap bintang itu menjadi petunjuk dalam menjalankan profesi kenelayanan. Letak dan bentuk bintang tersebut harus diketahui oleh orang yang hendak menjalankan profesi pelaut atau nelayan, demikian pula pengaruh dan hubungannya dengan cuaca, keadaan ikan dan lain-lain.

c. Pengetahuan oceanology
 Pengetahuan yang mempelajari gerak ombak dan tanda-tanda permukaan laut, dan oceanography yang mempelajari 'peta' laut, tempat berhimpunnya ikan, dan jalur perjalanan perpindahan atau migrasi ikan-ikan. Oleh karena kebudayaan bahari sangat ditentukan oleh tantangan kondisi lingkungan alam laut yang harus ditanggapinya, pengetahuan mengenai alam lingkungan menjadi sangat penting. Informan menjelaskan, bahwa seorang yang menjalankan profesi nelayan harus memiliki pengetahuan mengenai letak tempat yang banyak dikunjungi ikan, tempat yang sering menimbulkan bahaya dan sebagainya. Biasanya pelaut mengetahui lokasi tertentu yang disebut dalam folklor sebagai tempat yang didiami penghuni laut yang membahayakan, yang biasanya dihubungkan dengan cerita bahwa di tempat itu pernah terjadi peristiwa tertentu yang melibatkan seorang raja atau pangeran atau putri dan lain-lain yang memperoleh bencana di tempat itu. Pengetahuan mereka mengenai tempat di laut, diwariskan melalui cerita, dongeng atau mitos. Selain itu pengetahuan mereka diturunkan melalui praktik yang dilakukan para nelayan di bawah petunjuk ponggawanya. Mereka memiliki pengetahuan mengenai tempat menumpuknya pasir yang disebut kassikbumbung, cekukan karang, liku lantang, daerah laut dengan arus keras, arusuk bannyang, dan sebagainya.

Mereka pun memiliki pengetahuan mengenai klimatologi, keadaan iklim dan cuaca, musim bertelurnya ikan, musim menetasnya telur ikan dan sebagainya. Diceritakan oleh informan bahwa pada bulan tertentu ikan akan lebih banyak di suatu tempat, akan tetapi di waktu lain tempat itu akan tidak dihuni ikan. Rombongan ikan-ikan akan berpindah, melakukan migrasi ke tempat lain. Ini adalah pengetahuan mengenai perjalanan waktu, pergantian musim, dan peta perjalanan migrasi ikan-ikan pada setiap waktu yang seiring dengan pergantian musim.

Semua gejala yang berhubungan dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui melalui indra penglihatan : (pakkita), pendengaran; (paréngkalinga), penciuman; (parémmau), serta penggunaan perasaan (pénedding), dan keyakinan yang teguh (tentuang).

5. Kepercayaan. 'Manusia bahari
Di Sulawesi Selatan memiliki kepercayaan yang mengakar dalam masyarakatnya, misalnya kepercayaan mengenai adanya penguasa laut, hantu laut, dan sebagainya. Mereka percaya bahwa penguasa laut itu ialah Nabi Hiderék. Kepada Nabi Hiderék mereka menyiapkan mantra atau perbuatan tertentu guna mencegah marabahaya yang mungkin ditimbulkan olehnya. Dalam upacara yang berhubungan dengan pembagian keuntungan, disiapkan pula sajian untuk Nabi Hiderék yang diantar ke tengah laut. Selain itu mereka pun percaya adanya sejenis hantu laut, yang sangat ditakui oleh manusia komunitas I Mattamparang Daéng Manyombali. Hantu laut dipercaya sebagai arwah orang yang meninggal di laut karena tenggelam. Nakhoda berpengalaman dipercaya dapat mengusirnya dengan mantra dan asap kemenyan.

Mereka mempercayai bahwa serangan angin tornado yang disebut laso anging, dapat dicegah dengan cara seorang sawi berdiri di anjungan dengan bertelanjang bulat dan menunjuk laso-anging tersebut tiga kali. Pada umumnya nakhoda yang berpengalaman, memiliki 'ilmu' yang disebut 'paké pettu', semacam ilmu kebatinan yang menyatu dengan diri manusia. 'Ilmu paké pettu' adalah semacam ilmu pamungkas yang tidak sembarang waktu digunakan. Ilmu itu hanya digunakan untuk menghadapi bencana besar yang sungguh-sungguh berbahaya dan tak tak terelakkan lagi. Dalam praktik penggunaannya, dilakukan antara lain dengan cara mengacungkan tangan disertai suara keras, menunjuk ombak yang memiringkan perahu atau yang bermain-main di geladak, atau menunjuk angin kencang disertai ilmunya. Setelah menggunakan ilmu paké pettu, maka komunitas 'Daéng Manyombali' di perahu itu melakukan upacara guna memulihkan 'kondisi keseimbangan alam' yang telah 'dipaksakan' perubahannya oleh nakhoda.

6. Teknologi. Teknis pembuatan perahu tradisonal dalam kebudayaan bahari
Di Sulawesi Selatan umumnya terkait dengan mitos dan berbagai kepercayaan gaib lainnya, yang dihubungkan dengan pembuatan perahu Sawerigading dari kayu Walenreng. Tatacara dan sistem pemilihan kayu bahan perahu diwarisi dari nenek-moyang; dengan ketangguhan perahu yang 'dibuat' sedemikian rupa sehingga dianggap dapat menyatu ketangguhan awaknya, sehingga dapat mengatasi tantangan alam lautan. Dalam cerita rakyat disebutkan, model perahu Sawerigading ditiru oleh penduduk desa Ara, Bira dan Lémolémo. Dalam pembuatan perahu, masyarakat Ara menggunakan ketrampilan teknisnya disertai dengan kemampuan mistik, yang dicerminkan oleh berbagai upacara ritual dan mantra. Peletakan lunas pertama dianggap sangat penting karena mempengaruhi 'nasib' dan suasana yang akan dialami perahu.
Kayu yang hendak digunakan sebagai bahan pembuatan perahu adalah kayu pilihan, yang kuat dan mampu bertahan dari gempuran ombak gelombang laut. Untuk mendapatkan kayu semacam itu pemilihan dilakukan mulai dari saat penebangan kayu di hutan, sampai pada tahap siap digunakan sebagai bahan perahu. Sekedar ilustrasi, dikemukakan pedoman pemilihan dan ritus penebangan kayu secara tradisional, sesuai pedoman yang terdapat dalam lontarak:

"Bila hendak menebang pohon, bawalah seekor ayam merah pada pagi hari, seikat daun sirih, segenggam beras yang diberikan kepada ayam bila ayam itu hendak dilepaskan. Bila ayam diIepaskan bacalah mantra: élék asemmu monrowanngi tana-é, iyana kulappasanngio manuk, maélokka tubbanngaju patulak anu makerek, paléokenngak, paninirenngak anu makerek-é 'sang pagi namamu yang menjaga tanah, untukmulah kulepaskan ayam, saya hendak menebang kayu penolak yang keramat, jauhkan saya, hindarkan saya pada yang keramat itu'. Bila ayam telah diIepaskan, persaksikanlah pada pohon kayu yang hendak ditebang, nyalakanlah api, lalu mengikat pangkal kayu dengan benang kuning, kemudian mundur, duduk menjaga benda yang jatuh dari pohon, tangkaikah, daunkah atau sesuatu yang lain yang berasal dari kayu yang hendak ditebang itu. Bilamana yang jatuh adalah benda yang tidak semestinya jatuh, jangan ditebang, apalagi bila yang jatuh adalah makhluk bernyawa. Bilamana hendak menebang, ambillah kapakmu lalu kau mengelilingi pangkal kayu itu, lalu membaca: temma lékkokkak pateppao uwasé, 'saya tidak akan keseleo tanganku mengayunkanmu, hai kapak'. (Lontarak 124 : 128-129)

Seluruh simbol perilaku dan benda simbolik yang dianjurkan dalam pedoman itu mengarah pada makna penolakan terhadap bahaya dan kemudahan rezeki: ayam berwarna merah, dihubungkan dengan kesadaran waktu: 'ayam itulah makhluk paling sadar waktu. Bila waktu sudah tiba, ia berbunyi memberi tanda peringatan'. Iyanatu manuk-é pong talingek ri wettué, assaleng narappikni wettué monini mapparénngerang. Waktu élék, 'pagi', yang dihubungkan dengan waktu munculnya fajar dan terbitnya matahari, yang disebut wettu appammulanna sapparenna atuwo-tuwonngé, 'awal dimulainya kegiatan mencari kehidupan'. Pada waktu itulah rezeki manusia dibagi-bagikan. Dalam mantra yang dibacakan kemudian, nama élék 'sang pagi' ditujukan kepada penjaga tanah dan penjaga hutan, yang kepadanya dipersembahkan ayam, agar penebang kayu terhindar dari yang makerek 'keramat' itu. Kemudian daun sirih adalah simbol yang paling sering digunakan dalam berbagai upacara, karena dianggap sebagai daun yang digemari dewa dan memiliki sejumlah kemujarraban. Benda simbol segenggam beras yang diberikan kepada ayam yang dilepaskan adalah simbol pallisek tellik 'pengisi tembolong' atau pengisi perut untuk memulai suatu pencarian rezeki. Narékkok maélokko sampak-i dallékmu, liseki riolo tellikmu na mallisekto assapparemmu, mumagalak nenniyak muruntuk asalamakeng 'bila hendak pergi mencari rezeki, isi lebih dahulu perutmu, agar berisi juga pencaharianmu, agar kau segar bugar dan memperoleh keselamatan'.

Mereka melakukan perilaku simbolik membuat nyala api, merujuk pada makna 'mempersaksikan' atau 'mappésabbi' kepada 'penjaga hutan' atau 'pangonrowang alek' dan makhluk lain mengenai adanya maksud menebang pohon, mengambil sebagian kekayaan margasatwa itu. Mereka menganggap perilaku itu sebagai melakukan penghargaan secara adat dengan api, riadek-i nasabak api kepada pemilik hutan. Benda simbolik benang kuning, dihubungkan dengan warnanya, yang dianggap sebagai warna kemuliaan yang digunakan manurunngé, orang yang dipercaya 'turun dari langit'. Mengikat pangkal pohon kayu yang hendak ditebang dengan benang kuning, adalah simbol perilaku yang diartikan, "dengan menyipatkan kemuliaan manurunngé, penebang kayu 'minta pertanda', 'méllau
pétanra' mengenai boleh atau tidaknya kayu itu ditebang, baik atau tidak baiknya kayu itu nanti bila digunakan menjadi bahan perahu". Tanda-tanda itu adalah benda yang jatuh dari pohon, tangkaikah, daunkah atau sesuatu dari kayu yang hendak ditebang. Bila yang jatuh adalah benda yang semestinya tidak jatuh, itulah pertanda kayu itu tidak boleh ditebang. Bila yang jatuh adalah makhluk bernyawa, itu dianggap sebagai pertanda simbolik bahwa bila kayu itu ditebang dan dijadikan bahan perahu, maka perahu tersebut dipercaya akan memperoleh musibah, seperti benda yang jatuh sebelum saatnya dari pohon itu.

Untuk memperoleh kayu yang baik, ditempuh berbagai persyaratan:
1. pada waktu menebangnya kayu tidak menindih makhluk hidup;
2. kayu tidak dimakan rayap, sakkek-lingek 'sempurna';
3. tidak memiliki pasu 'pusaran kayu bekas cabang pohon';
4. tidak ada makhluk hidup yang jatuh dari pohon itu ketika dilakukan ritus persiapan melakukan 5. penebangan, termasuk daun yang masih hijau;
6. kayu yang tidak tumbang dengan sendirinya;
7. kayu tak pernah disambar petir;

Seluruh persyaratan berhubungan dengan anggapan yang disebut 'sennung-sennungeng': "baru hendak ditebang, sudah ada korban makhluk bernyawa", 'nappai élok ritubbang, manré mémenni anu makkinyawa'. Pedoman tradisional itu cenderung telah ditinggalkan karena kayu yang digunakan pada umumnya didatangkan dari daerah luar Sulawesi Selatan. Dalam hal seperti itu, pembuat perahu tradisional, panrita lopi berpegang pada kepercayaan dan penyerahan diri kepada sang Pencipta disertai ungkapan: "diniatkan saja membawanya kepada yang baik" 'riérang mami ri mabajika', lalu memilih kayu berkualitas.

Bila hendak mengetam kayu dilakukan ritus tertentu yang dimulai dengan pembersihan diri, pensucian rambut dan kepala, mallangik, semacam keramas rambut, yang dimaksudkan sebagai pensucian diri sesuai kehendak 'langit'. Setelah itu panré lopi diharuskan mandi membersihkan seluruh najis yang melekat di tubuhnya, kemudian mengambil air wuduk. Perilaku yang demikian itu seluruhnya mengarah pada makna pensucian diri.

7. Proses Pembuatan Perahu
Dalam pembuatan perahu digunakan ketrampilan teknis disertai dengan kemampuan mistik, yang dicerminkan oleh berbagai upacara ritual dan mantra. Peletakan lunas pertama, sangat penting karena mempengaruhi 'nasib' dan suasana yang akan dialami perahu. Abu Hamid mengurut proses pembuatan perahu tradisional, yang disingkatkan sebagai sebagai berikut: 
.
1. Mencari kayu
  • Jenis kayu yang paling disukai, kayu jati. Kayu pertama dicari, yang akan dijadikan kalébiséang (lunas perahu), kemudian kayu lengkung untuk gading-gading (frame)
  • Penebangan kayu pertama dilakukan kepala tukang, menggunakan kekuatan daya mistik. Kemudian digantikan tukang-tukang lain.
  • Kayu dibawa ke galangan, digergaji menjadi balok, kayu lengkung dan papan.
  • Upacara dilakukan pada saat peletakan kalébiséang.
  • Panrita Lopi (Ahli pembuatan perahu) membacakan mantra dengan asap kemenyan sebelum kayu dipotong-potong;
  • Potongan bagian depan dibuang ke laut dengan maksud tulakbala, sedang potongan bagian belakang disimpan di rumah pemilik perahu, sebagai tanda pengharapan agar perahu selamat dan membawa rezeki.
2.Sambungan lunas, stem dan stern
  • sambungan pada kalébiséang, sambungan tumpul atau sambungan laso dan sambungan honga;
3Pemasangan kulit dan gading-gading.
  • Selesai penyambungan lunas dilakukan pemasangan kulit. Ciri khasnya mendahulukan pemasangan kulit dari pada gading-gading (frame);
  • Kulit memegang peranan penting, bukan gading-gading. Kulit harus lebih tebal dibanding dengan ukuran modern.
  • Lajur kulit pertama dibuat: pangépék, yaitu lajur kulit dasar berhubungan dengan kalébiséang, sebagai pengapit lunas, diikat dengan pasak.
  • Hubungan antara lajur kulit dengan kulit berikutnya diikat pula dengan pasak kayu ulin, kemudian dirapatkan.
  • Sebelum papan kulit dirapatkan, diberi baruk gallang yaitu kulit kayu yang tahan air laut untuk memperkedap perahu terhadap air laut. Jika terkena air, akan mengambang dan memperbesar daya kedap papan.
  • Sistem sambungan bibir-miring-ganda, menyusun papan kulit sampai sepuluh lajur di sebelah kanan dan kiri secara bersamaan. Dengan demikian gading-gading sudah dapat dipasang.
  • Bentuk kemiringan dan lengkung kulit tidak memiliki ukuran standar, dan hanya ditentukan menurut panjang depa, hanya untuk mengetahui panjang dan lebar perahu.
  • Untuk mengetahui kemiringan, pembuat perahu cukup berdiri di bagian depan buritan melihat keseimbangan papan kulit kiri dan kanan;
  • Sementara satu atau dua orang menyusun papan-kulit, tukang lainnya memasang gading-gading mengikuti kulit yang sudah terpasang. 
4. Pemasangan Balok-balok Katabang (deck)
  • Setelah gading-gading terpasang, pekerjaan berikutnya pemasangan lépé-lépé (sringer) memanjang, kemudian memasang balok-balok dan papan katabang, yang diberi baruk-gallang di antara papan-papan.
  • Selanjutnya pembuatan anjong di bagian depan, sebagai tempat bertumpu tiga lembar layar depan, dan pembuatan ambing (anjungan bagian belakang), sangkilang (tempat kemudi), kamarak (kamar-kamar) dan pallajareng (tiang layar).
  • Pekerjaan berikutnya dalah pelicinan katabang serta pengaturan tali-temali dan layar.
Perkembangan teknologi memberikan pengaruh yang cukup besar pada teknologi pembuatan perahu Bugis Makassar. Penggunaan motor diesel atau motorisasi perahu memberikan pengaruh pada 'industri' perahu tradisional. Para ahli pembuatan perahu tradisional di Bira, misalnya, melakukan penyesuaian secara kreatif dengan perkembangan teknologi itu. Bahkan, seperti dilaporkan Ammarel, penggunaan motor diesel mempengaruhi jenis-jenis perahu yang diproduksi dan digunakan. Ammarel melaporkan bahwa pada tahun 1980 terdapat 12 perahu baggo dan 4 perahu lambo di pulau Balo-baloang. Namun pada tahun 1990 tercatat hanya 2 perahu baggo dan 24 perahu lambo. Perahu lambo lebih sesuai untuk penggunaan motor diesel. 

5. Seni dan Sastra Komunitas ' Daéng Manyombali'
Komunitas bahari Daéng Manyombali mengekspresikan kesenian mereka yang mencerminkan karakter kebaharian yang dinamis. Mereka menggunakan simbol-simbol yang dipetik dari alam lingkungan kehidupan mereka sebagai medium pengekspresian. Seni pertunjukan rakyat, misalnya I Kondobuléng, menggunakan gerak dan reportoir dinamis, dengan semangat egalitarian yang menonjol. Lewat 'reportoir' Daéng Camummu, humornya terasa ringan dan segar. Demikian pula syair-syair yang dilantunkannya.

Bangkénnu, Kondo Buléng !
kontuwi laiyya lolo
bonggannu, kondo
kontuwi pappéppéq bannang
ingkonnu, kondo
kontuwi buyang nilappaq
dongkoqnu, kondo
kontuwi sorongang Jawa
bulunnu, kondo
kontuwi jarung paniti
kannyiqnu, kondo
kontuwi kipasaq gading
dadanu, Kondo Buléng !
kontuwi papparuq gading

Kakimu, Kondo Buleng
Bagai jahe muda
Pahamu, kondo
Bagai pemukul benang
Ekormu, kondo
Bagai kertas dilipat
Punggungmu, kondo
Bagai pedati Jawa
Bulumu, kondo
Bagai jarum peniti
Keningmu, kondo
Bagai kipas gading
Dadamu, kondo
Bagai parut-gading
(dan seterusnya)

Ekspresi sastra komunitas tupabbiring Daéng Manyombali dalam bentuk kélong pada dasarnya mengekspresikan nilai-nilai, kepercayaan, pengetahuan, selain mengungkapkan nasib mereka serta perasaan mengenai kondisi alam dan tantangannya di tengah-tengah lautan. Terutama dalam kélong patorani, yaitu kélong yang dilantunkan para nelayan penangkap ikan terbang, tampak pengungkapan kebebasan dan pembebasan diri dari kecemasan, kengerian, kesepian, kerinduan, dan harapan pada kehidupan yang lebih manis dan menemukan cahaya kebahagiaan, matéqné, dan acciniq singaraq. Sebagai contoh dikemukakan beberapa bait kelong patorani di antara ratusan kelong bait yang telah kami inventarisasikan:

Géntung sombalaq manakku, Daéng Rani
timbaq kajang mannguqrangi
tontong padomang
sombalang siallo mami;

Gantung layar kerinduan, Daéng Rani
bukalah tirai kenangan
lihat pedoman
pelayaran sisa sehari)

Kamaséammaq nuéro, Torani
tulummaq nunngamaséang
tallumaq bulang, Rani
tamaqléoq ri rapangku

Kasihanilah, agar kau mau, Torani
Tolong pengasihanmu
Sudah tiga bulan, Rani
Tak kujumpa keluargaku
Daéng Ranipa anné maéroq

iyapa manngamaséang
naniaq todong
téqnéta ni taqlanngérang;
Daéng Rani-lah berkeinginan

dialah yang mengasihani
sehingga ada juga
kebaikan kita yang terdengarka

Anroroko, patibong !
tippassi gioka iya
punna asaraq kalauq
ikau antu anngamaséang
na niaq teqnéta ri tallanngérang, Béla;


Berdesak-desakanlah kamu, patibong !
cepatkanlah goyanganmu
bila matahari senja di barat
kamulah yang mengasihani
sehingga ada juga kebaikan kita yang terdengarkan, Bela)

Puisi yang paling dikenal luas dalam masyarakat Makassar adalah kélong yang terikat jumlah bait dan barisnya, yaitu satu kélong terdiri atas 4 bait. Bait 1, bait 2, dan bait 4, terdiri atas 8 suku kata, sedang bait 3 terdiri atas 5 suku kata. Kélong jenis ini sebagian besar sudah menjadi ungkapan yang fungsional di tengah-tengah kehidupan masyarakat Makassar pada umumnya. Di bawah ini beberapa contoh kélong yang keseluruhannya menggunakan simbol-simbol kebaharian:

 

Béla, nuciniqmi sallangpasombalaq malolowa
nataba sarro
ri dolangang tammamélo

Tujumi balang kalauqtamparang kupasangaséng
téyako rampé
ri gusung téna tojénna

Biséyang tallangko naung
tallang naung ri likuwa
na jarra-jarra
tu kalauka ri Jawa

Kérémaé niyaq liku
liku téna sandakanna
la mangésadaq
sitallangang cilakaku

Biséyang apa kipaké
tété apa kidongkoki
kibattu mangé
maqlabu ri butta Judda

Téyako lanré mannyombalang
ri minasa gauq bajiq
turuqko mangé
ri gusung cinna ciniqnu

Punna lampako dolangang
ansombali mabéllaya
uqrangi tongi
turungang kibokoiya


Apamo sallang nakana
turungang ki bokoiya
lonta nyombalang
ki taéna mammotérang

Sangkilang nguqrangi sako
sombalaq sailé sako
ikau guling
tuliko ri turungannu

Gosséya lonna mammanyuk
niyaq gusung narampéi
inakké iya
arusuka kupinawang

Kamma minne tallasaqna
aqboyaya rawa jéqnéq
tinro tatinro
ammatai tallasaqna

Punna tenaq ri bombanna
ciniqkaq ri galluruqna
niyaqmaq antu
iraté maqbiring kassiq

Sallomaq irawa jéqnéq
mammanjéng ri paropowa
angkaqmaq naiq
kanalantaqmaq dinging
Teman, akan kau lihat nanti
Pelaut yang masih muda
Ditimpa bencana
di tengah lautan, tak menggulung layar

Sudah tujuh pulau ke barat
Lautan kupesankan semua
Janganlah terdampar
Di pulau yang tak ada kebenarannya

Perahu, tenggelamlah kamu
Tenggelam ke dasar lautan
Agar menjadi kapok
Orang yang (berlayar) ke Jawa

Di mana saja ada dasar lautan
Dasar lautan tak terukur dalamnya
Aku akan pergi ke sana
Tenggelam bersama nasib sialku

Perahu apa yang dipakai
Titian apa yang ditumpangi
(hingga) dapat sampai
berlabuh di pelabuhan Jeddah

Janganlah selalu berlayar
Pada harapan perilaku baik
Ikutlah selalu
ke pulau idaman pandang-matamu

Bila pergi berlayar ke tengah lautan
Melayari negeri jauh
Ingatlah juga
Pelabuhan yang kau tinggalkan

Apalah yang akan dikatakan
Pelabuhan yang ditinggalkan
Bila (sejak kita) pergi berlayar
Dan (kita) tak pernah kembali pulang

Sangkilang, ingatlah kamu
Layar, baliklah memandang
Dan kau kemudi,
kembali selalu ke tempat berlabuhmu

Rumput-laut sekalipun hanyut
Ada pulau tempatnya tersangkut
Akan tetapi, aku
Hanya aruslah kuikuti

Beginilah kehidupannya
Berpencaharian di dalam air
Tidur tak-tidur
Melayari kehidupannya

Bila aku tak ada di gelombangnya
Lihatlah aku di gulungannya
Akan adalah aku
Di atas menyusuri tepian pasir pantai

Sudah lama aku di bawah air
Bersandar pada paropo
Angkatlah aku naik
Aku telah didera kedinginan

Akhirnya. Kebudayaan bahari tumbuh dan berkembang sebagai respons manusia bahari atas kondisi lingkungan dan berbagai tantangan yang dihadapinya. Kesadaran atas kondisi lingkungan kehidupan bahari yang harus dihadapi dalam melaksanakan profesinya menumbuhkan nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan, pengetahuan, teknologi, kesenian dan kesastraannya.

Makassar, 12 Maret 2006

Bahan Bacaan

Abu Hamid. 2004. PASOMPE, Pengembaraan Orang Bugis. Pustaka Refleksi. Makassar.

Ammarel, Gene. 2004. Sistem Navigasi Bugis Makassar (alih bahasa Hamzah A. Machmoed). Hasanuddin University Press, Makassar.

Collins, G.E.P. 1992. Makassar Sailing. Oxford University Press. London. Reprint, Singapura.

Firth, Raymond. 1965. Malay Fishermen:Their Peasant Economy. Routledge and Kegan Paul. London.

Ibrahim, Anwar, 1999, Inventarisasi Puisi Masyarakat Pantai Makassar, Lembaga Penelitian Unhas, Makassar

---- 2000, Kélong Patorani, Puisi Pembebasan Diri Penangkap Ikan Terbang di Galésong, Kab. Takalar. Laporan Penelitian, Makassar

---- 2002, Sulesana, Kumpulan Esei tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar

---- 2004, Aspek Sosial dan Budaya dalam Kehidupan Masyarakat Nelayan di Sumpang Binangaé, Kab. Barru, Laporan Penelitian, Makassar

Manyambeang, A. Kadir, dkk., 1988, Jiwa Laut Dalam Sastra Makassar, Lembaga Penelitian Unhas, Ujung Pandang

Matthes, B.F., 1883, Macassarsche Chrestomathie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam

--- 1872, Boegeenesche Chrestomathie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam

--- 1864, Boegeenesche en Macassarsche Poezie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam

Nishimura, Asahitaro. 1973. A Preliminary Report on Current Trends in Marine Anthropology. Waseda University, Tokyo

Rajemah, Bau, 1998, "Makna Simbol Dalam Kelong Pamingkiq" (Skripsi), Fak. Sastra Unhas, Ujung Pandang

Reso, Erni. 1993 "Pengungkapan Makna Simbol Dalam Kelong Makassar" (Skripsi), Fak. Sastra Unhas, Ujung Pandang

Tobing, Ph. O.L. 1961. Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amanna Gappa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Makassar.

Yatim, Nurdin, 1991, Pelayaran Teripang dari Makassar ke Marege; Telaah Antropolinguistik, Pemerintah Daerah Propinsi Dati I Sulawesi Selatan, Makassar

No comments:

Post a Comment