Era sekarang sering dibilangkan sebagai era pascakebenaran. Konsep ini mengandung elemen dialektik, membangkitkan rasa ingin tahu: apakah kebenaran benar-benar sudah hilang?, siapa saja yang menyesatkan kebenaran dan apakah ada kebenaran lain usai pascakebenaran? Sepintas mencemaskan, tetapi oleh kritikus yang setuju, pascakebenaran diterima sebagai fenomena sosial “penutupan pengetahuan” (epistemic closure) terhadap segenap informasi dari penjaga tradisional kebenaran.
Latar munculnya pascakebenaran dirujuk pada dua
peristiwa politik: Brexit (British Exit), yaitu proses referendum di
Inggris untuk keluar dari Uni Eropa tahun 2016, dan kampanye pemilihan presiden
Amerika 2016. Pada tahun yang sama, pascakebenaran” ini semakin populer setelah dikukuhkan sebagai “The word
of The Year, 2016” oleh Oxford Dictionaries, dipromosikan sebagai “kata utama” untuk menggambarkan situasi, emosi
dan keyakinan pribadi dan kelompok yang lebih memengaruhi pendapat publik
ketimbang fakta objektif.
Dalam dua peristiwa ini, ditemukan dua hal: misinformasi dan
disinformasi. Misinformasi adalah informasi salah dan keliru, tetapi disebarkan
tanpa niat jahat. Sebaliknya, disinformasi adalah informasi salah yang disebarkan
dengan sengaja untuk menyesatkan opini publik. Di kampanye Brexit, ada pendakuan
Inggris membayar 350 juta pound ke Uni Eropa per tahun untuk layanan kesehatan.
Pendakuan ini adalah contoh misinformasi, karena tak memperhitungkan keuntungan
Inggris dari Uni Eropa. Di kampanye yang sama, pendakuan Turki akan bergabung
dengan Uni Eropa adalah contoh disinformasi. Publik Inggris ketakutan akan
kedatangan jutaan migran Turki jika Inggris tetap menjadi anggota Uni Eropa.
Selama kampanye pemilihan presiden Amerika,
muncul pendakuan bahwa Donald Trump didukung oleh Paus Fransiskus dari Vatikan.
Pendakuan ini adalah contoh
misinformasi, karena faktanya Paus Fransiskus tak pernah memberikan
dukungan politik kepada kandidat manapun. Misinformasi ini bertujuan untuk
memengaruhi pemilih yang mungkin mempercayai otoritas moral Paus dalam politik.
Pendukung Donald Trump juga menyebarkan disinformasi. Isinya: Hillary Clinton
terlibat dalam skandal Pizzagate, istilah yang berkonotasi dengan
perdagangan anak. Pizzagate adalah contoh disinformasi, dibuat secara
konspiratif untuk menyerang Hillary Clinton tanpa dasar fakta.
Misinformasi-disinformasi di dua konteks di atas
menciptakan sensasi dan kontroversi, lalu menjadi viral di media sosial dan
media digital. Viral --- berasal dari kata virus, agen infeksi yang
menyebar --- memuat aksi penyebaran informasi menyesatkan. Viralitas seringkali
dirayakan seperti selebritas. Meski begitu, Economist --- majalah
berbasis di London dan dikenal di seluruh dunia --- menuliskan testimoni untuk
seorang penulis terkenal: “Aturan dasar kehidupan intelektual adalah selebritas
menghancurkan kualitas”.
Namun demikian, viralitas tak selalu membawa
konten negatif. Viralitas ikut memperkuat
platform media sosial dan media digital untuk menggalang dukungan publik,
mempercepat penyebaran, dan menekan pemegang otoritas untuk bertindak. Idiom moderen yang mendalilkan “No viral, no justice” ---- muncul pertama
kali di kasus kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam di Amerika --- ikut
masuk ke Indonesia.
Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana
misinformasi dan disinformasi telah menjadi taktik yang kuat dalam membentuk
opini publik, mendistorsi kebenaran, dan mengaburkan batas antara fakta dan
fiksi di era pascakebenaran.
Fenomena pascakebenaran
telah membawa perubahan signifikan dalam cara sebagian masyarakat menangani
konsep kebenaran. Dalam konteks ini, kebenaran tidak lagi diterima berdasarkan
bukti empiris, melainkan lebih sering dipengaruhi oleh emosi dan keyakinan
pribadi dan kelompok. Integritas informasi tak penting jika tak menguntungkan
kepentingan pribadi dan kelompok. Ibarat kontainer, pascakebenaran memuat
berita palsu, memanipulasi rasa takut, membangkitkan amarah, ataupun
sebaliknya, mendatangkan
kebanggaan bagi individu dan kelompok yang diuntungkan.
Pascakebenaran bukan
tentang mencari kebenaran baru, tetapi dipakai untuk menandai meningkatnya
polarisasi di masyarakat sebagai akibat afiliasi politik. Polarisasi politik
menyebabkan segenap anggota afiliasi cenderung mempercayai informasi sesuai
pandangan politik mereka sendiri. Polarisasi menyebabkan
menurunnya kepercayaan terhadap institusi tradisional seperti lembaga media,
lembaga pendidikan, lembaga hukum, dan pemerintah yang seringkali dianggap
bias, dan “tak bisa dipercaya”. Erosi kepercayaan ini menjadi lebar karena
munculnya skandal, korupsi, atau kegagalan memenuhi harapan publik.
Pada akhirnya, era pascakebenaran menantang kita untuk lebih kritis menyaring informasi dan menjaga integritas dalam memahami realitas yang kompleks. Ini mungkin yang membenarkan sosok ilmuan dan esais empirisme jauh di masa lampau, Francis Bacon, yang berucap; “Kebenaran adalah putri kandung dari sang waktu, bukan anak dari sang otoritas”, kebenaran akan terungkap oleh waktu, bukan karena otoritas yang menyatakannya. (*)
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, Makassar, 3 September 2024