Friday, October 9, 2009

PEMILIHAN REKTOR UNHAS DAN ‘DEWA ZEUS’

Anwar Ibrahim

Pemilihan calon rektor Universitas Hasanuddin sedang dalam proses. Senat Universitas telah melimpahkan sebagian wewenang konstitusionalnya kepada dosen-dosen untuk melakukan pemilihan bakal calon rektor pada tahapan pertama. Seperti tercantum dalam PP No. 60 tahun 1999, Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pendidikan, dengan pertimbangan senat universitas. Pertimbangan senat dapat dilakukan secara kualitatif dan atau secara kuantitatif.

Pertimbangan kuantitatif dilakukan setelah melalui proses pemilihan, baik yang dilakukan senat universitas, maupun lewat pemilihan langsung oleh dosen-dosen. Hasil-hasil pemilihan tersebut merupakan bentuk pertimbangan kuantitatif. Dengan maksud agar pertimbangan senat dan rektor terpilih memperoleh legitimasi lebih kuat, senat universitas melimpahkan sebagian wewenangnya kepada dosen dalam pemilihan langsung bakal calon rektor. Pemilihan itu berhasil mendapatkan 5 calon rektor dari 11 orang bakal calon.

Dosen-dosen telah menjatuhkan pilihan. Tentu saja mereka adalah pemilih cerdas dan menetapkan pilihan secara cerdas pula. Tidak dapat diingkari, dalam setiap melakukan dan menetapkan pilihan, manusia selalu menghadapi masalah etis. Memilih yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang salah, tentu tidak menimbulkan masalah etis. Tetapi memilih yang terbaik di antara yang terbaik, sungguh-sungguh merupakan masalah etis yang berat. Dalam hal ini, dosen-dosen UNHAS telah dibimbing oleh rasio dan hati nuraninya menghadapi masalah etis tersebut, menetapkan pilihannya.

Kesadaran dosen UNHAS memilih yang mereka anggap terbaik di antara yang terbaik, terlepas dari ikatan-ikatan primordial, tidak tampak adanya politik uang, tidak tampak adanya intrik, tekanan, paksaan atau teror, agaknya memang merupakan perilaku yang patut menjadi cerminan masyarakat.

Proses pemilihan calon rektor masih menyisakan dua tahapan dalam prosesnya, yaitu pemilihan oleh Senat Universitas yang akan diselenggarakan tanggal 17 Oktober, dan penetapan Rektor oleh Menteri Pendidikan Nasional. Pada kedua proses itu, tentu sangatlah diharapkan, Universitas Hasanuddin dapat mempertahankan citranya sebagai lembaga yang menjadi cermin jernih dari masyarakat, citra yang telah diraih lewat pemilihan yang bersih dan jujur pada tahap pertama. Hal itu menjadi tugas para anggota senat dan para guru besar, apakah ingin menjadi cermin jernih masyarakat ataukah menjadi cermin buram yang retak dan dikotori oleh kepentingan dan politik uang.
 

****
Dalam konteks pemilihan calon rektor UNHAS, tiba-tiba terbayang kembali cerita mengenai Dewa Prometheus, dewa ilmu dan kebijaksanaan dalam mitologi Yunani. Cerita itu ditulis kl. 250 SM dalam bentuk drama oleh Aeschilus. Diceritakan, dewa Prometheus memberikan api kepada manusia, sekalipun dewa-dewa lain termasuk dewa Zeus menentangnya. Api Promotheus itu adalah simbol ilmu, kebijaksanaan, dan kebebasan. Raja para dewa, yaitu Zeus mengatakan, sekali api diberikan kepada manusia, dewa-dewa pun tidak akan mampu menariknya kembali. Dengan demikian, para dewa tidak lagi menjadi pemilik dan penguasa satu-satunya dari ilmu, kebijaksanaan, dan kebebasan. Manusia juga telah memilikinya, dan hal itu bisa mengganggu otoritas dewa-dewa.

Cerita Prometheus itu dapat dianalogikan dengan pemilihan calon rektor Unhas. Senat dan Guru-guru Besar Universitas, yang merupakan analogi dewa-dewa di Olympus telah ‘menyerahkan’ api, mendelegasikan sebagian wewenang ‘kedewaannya’ kepada ‘manusia’ yaitu dosen-dosen UNHAS, untuk menetapkan pilihannya secara bebas dalam pemilihan calon rektor. Kemudian para ‘dewa’ di Universitas telah melihat hasilnya.

Dalam cerita Prometheus, hanya dewa Prometheus yang berinisiatif memberikan api ilmu, kebijaksanaan dan kebebasan, sebagai bentuk tindakan menyantuni manusia, karena itu hanya Prometheus yang dijatuhi hukuman dibelenggu di karang dingin Siberia oleh dewa Zeus. Keputusan ‘memberikan api’ kepada dosen-dosen, bukanlah keputusan seorang Prometheus, melainkan keputusan suara terbanyak dari ‘dewa-dewa’ di senat Universitas, termasuk oleh rektor selaku Ketua Senat Universitas. Dengan demikian tidak perlu ada seorang Prometheus yang dihukum, dibelenggu di puncak karang dingin di Siberia. ‘Api’ yang berupa pemilihan oleh dosen-dosen itu adalah ‘anak kandung’ senat Universitas, sehingga hasil itupun merupakan produk ‘dewa-dewa’ itu. Dengan demikian tidaklah ada alasan bagi mereka untuk mengingkari produknya sendiri.

Sekalipun dewa-dewa di Olympus menghukum Prometheus tetapi hati kecil mereka menghargai ‘kepeloporan’ Prometheus yang rela mengorbankan sebagian otoritas kedewaannya demi kepentingan umat manusia. Demikianlah, ketika Prometheus telah dibebaskan oleh Hercules, manusia setengah dewa, cucu dewa Zeus, maka dewa Zeus, Raja para Dewa di Olympus, dengan bijak berkata: ‘Api kebijaksanaan dan kebebasan telah dimiliki manusia. Api itu telah memberikan manfaat besar bagi kehidupannya. Manusia bukanlah lawan dewa-dewa. Tak ada arti kedewaan tanpa kehadiran manusia. Prometheus bukan hanya perlu dibebaskan, tetapi iapun patut dihargai karena telah menyantuni manusia. Penyantunan manusia oleh dewa Prometheus berarti meningkatkan harkat dan kemuliaan dewa-dewa’.

Kiranya Rektor dan para guru besar di senat Universitas yang merupakan penghuni sao asulesanang, istana kebijaksanaan, akan lebih memancarkan sinar kebijaksanaannya, seperti kebijaksanaan Raja Dewa Zeus, dan dengan tulus berkata: “Suara dosen adalah suara senat universitas”. Dengan demikian, UNHAS akan tetap menjadi cermin yang jernih, tempat bercermin masyarakat. Pada senat universitaslah tergantung kebijaksanaan, apakah akan menjadikan UNHAS sebagai cermin jernih masyarakat atau cermin buram yang retak oleh berbagai kepentingan.
 

Ditulis di Tamalanrea, Oktober 2005