Saturday, October 24, 2009

SYAIR SANG IBU

Anwar Ibrahim

Tuwoko malampék sungek
Wekkek temmakkasapék
Pattola palallo
(1)

Di larut malam, sambil melawan rasa kantuk, dengan rasa cinta yang tulus, sang ibu mengelus, membuai, mengayun, menidurkan anaknya. Syair lagunya sayup-sayup kedengaran, melantunkan harapan semoga sang anak panjang usia, tumbuh kembang tak merobek, menjadi pewaris yang melampaui orang tuanya. Syair lagunya melantunkan dambaan sang anak menjadi manusia berarti dalam kehidupannya. Tak sepatah kata pun dalam syair yang mengungkapkan tuntutan agar sang anak membalas jerih payah melahirkan, mengasuh, mendidik membesarkannya. Dalam syairnya, sang ibu hanya menyampaikan pesan moral agar dalam proses tumbuh kembangnya menjadi ‘manusia’, menjadi dirinya sendiri, sang anak tak ‘merobek’ orang dan generasi lebih tua yang mendidiknya. Sesungguhnya, dalam syair-syair lagu Yabélalé, lagu pengantar tidur anak-anak yang dilantunkan ibu-ibu Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, sang ibu melaksanakan peran kulturalnya sebagai pendidik, sebagai pembangun benteng peradaban masyarakatnya. Sang ibu meletakkan dasar peradaban dan pembinaan generasi mudanya. Memang, dasar-dasar benteng pertahanan peradaban masyarakat justru dibangun sejak dini melalui peran kultural sang ibu. Ketika melakonkan peran keibuannya, menggendong, menyusukan, mengayun dan membelai anaknya, melalui syair-syairnya, sang ibu melantunkan pesan-pesan kultural masyarakatnya, mengemukakan wujud cita kultural mengenai ‘anak-anak’ generasi muda yang didambakan.

Dalam syair, sang ibu menunjukkan tiga nilai ideal dambaan kulturalnya, yaitu: cerdas dan berpikiran panjang (macca na malampék nawa-nawa); berhati nurani bersih dan lapang dada (makkéati macinnong na masagéna attarong); dan terampil serta tekun bekerja (mapanré na matinuluk). Tiga nilai ideal itulah yang dalam ungkapan Arung Bila dari Soppeng pada abad ke-17 disebut permata bercahaya (paramata mattappa) yang diharapkan dimiliki generasi anak muda. Nilai kecerdasan dan berpikiran panjang tak berbeda dengan ungkapan berkualitas intelektual tinggi, dengan kemampuan mempergunakan otak, akal atau rasio yang menjadikannya rasional dan kritis. Secara kultural generasi yang didambakan adalah generasi yang mampu melihat latar depan dan latar belakang setiap kejadian, peristiwa, fenomena, perbuatan yang berlangsung atau yang akan dikerjakannya (naitai addiolona nenniyak addimunrinna gauk-é), seperti dikemukakan Kajaolaliddo dari Bone dan Petta Matinroé ri Lariang Banngi. Suatu generasi yang kepintaran dan kecerdasannya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia atau ketenteraman ‘orang banyak’ (asaléwangenna tau tebbek-é), yang tidak menggunakan kepandaian dan kecerdasannya untuk berbuat sewenang-wenang kepada sesamanya manusia (dék naggauk bawang ri padanna ri pancaji).

Nilai macca na malampék nawa-nawa belumlah cukup menjadikannya manusia yang sesungguhnya (tau tongeng-tongeng), melainkan harus dilengkapi dengan kearifan yang tumbuh dari nilai ‘berhati nurani jernih dan lapang dada’ yang makna kulturalnya tidak berbeda dengan ungkapan ‘berakhlak mulia’. Ungkapan ‘makkéati macinnong na masagéna attarong’ dirinci secara puitis dalam pappaseng (pesan/wasiat) yang diungkapkan almarhum Matowa Ujung Coa (110 tahun ketika meninggal) dari Lappariaja, Boné Barat:

Temmettok nawa-nawa majak
Tellessuk ada-ada bellé
Teppugauk gauk macéko
Temmakkatuna ri padanna Tau
Tettakkalupa ri apoléngenna .

Tak membersitkan pikiran jahat
Tak mengeluarkan kata dusta
Tak melakukan perbuatan culas
Tak menghinakan sesama manusia
Tak melupakan asal kedatangan (penciptanya)

Karakter, sifat dan kepribadian generasi seperti disebutkan dalam paseng Matowa Ujung Coa tersebut justru tidak sepenuhnya mampu ditumbuhkan dunia pendidikan formal, apalagi yang mengutamakan pengajaran, pengasahan dan penguasaan kepandaian ‘otak’ semata. Kepribadian ‘makkéati macinnong’ tumbuh dari pendidikan kultural, pendidikan sejak dini yang diturunkan sang ibu, dari lingkungan masyarakat karib (the intimate society), meneladan dari perilaku seluruh warga masyarakat yang berinteraksi dengan mereka, dari perilaku pemimpin dan segenap pejabat negaranya (paréwa tanana). Kepribadian tersebut tumbuh dari proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Ucapan-ucapan dan perilaku pemimpin menjadi rujukan dan teladan anak-anak muda dalam proses pertumbuhannya. Masyarakat dan negara yang memiliki pemimpin, pejabat negara dan warga masyarakat yang memfungsikan hati nuraninya akan menumbuhkan karakter, sifat dan kepribadian generasi makkéati macinnong na masagéna attarong. Demikian pula sebaliknya. Kepribadian yang ‘tak membersitkan pikiran jahat, tak mengeluarkan kata dusta, tak melakukan perbuatan culas, tak menghinakan sesama manusia, tak melupakan asal kedatangan (penciptanya)’, tak bakalan muncul dari masyarakat korup dengan warga masyarakat, pemimpin dan pejabat yang mengutamakan pertarungan memperoleh dan melakukan penumpukan kekuasaan dan penumpukan kekayaan, dengan cara apapun, masyarakat yang mengutamakan kepentingan individu, faksi, atau kelompok sendiri.

Kepribadian ketiga yang secara kultural didambakan, kepribadian generasi terampil dan tekun (mapanré na matinuluk), selain dapat tumbuh dari proses pendidikan dan pelatihan, juga terutama sifat tekun memerlukan pendidikan dini dari keteladanan lingkungan masyarakat karibnya.

(2)

Kita tidak lagi berada dalam abad ke-16, abad Kajaolaliddo, atau abad ke-17, abad Arung Bila. Kita berada dalam abad ke-21, abad yang arus dinamika kehidupan masyarakatnya sedemikian derasnya. Sang ibu tidak lagi terutama menjalankan peran kuturalnya sebagai pembangun dan penjaga benteng peradaban masyarakatnya, tak lagi melantunkan syair-syair lagu Yabélalé-nya. Sang ibu tidak lagi berperan hanya dalam ranah rumah tangga, tetapi telah melangkah lebih luas, memainkan peran dalam ranah publik. Tanggung jawab kultural melakukan pendidikan dini anak-anak yang meletakkan dasar-dasar kepribadian, karakter dan sifatnya, diserahkan kepada para pembantu rumah tangga, para babu, baby sitter, atau pada Tempat-tempat Penitipan Anak (TPA). Syair-syair lagu yang dinikmati anak-anak bukan lagi Yabélalé, yang lahir dari rahim budayanya, melainkan syair-syair lagu Padi, Dewa, Sheila on Seven dan sejenisnya. Tokoh-tokoh panutan yang karib dengannya adalah Sinchan, Kucing Dora Emon, Power Ranger, Sang Monyet Sun Go Kong, anjing Scooby Doo dan semacamnya yang berasal dari rahim budaya asing. Apakah fenomena seperti ini bakal melahirkan generasi baru yang lebih baik, ataukah generasi dengan kepribadian kucing, monyet atau anjing, merupakan kalimat tanya yang perlu dipikirkan. Akan tetapi, yang jelas adalah hubungan sang anak dengan pengasuhnya sendiri hanyalah hubungan fungsional. Tumpahan kasih sayang sang ibu ketika menyusukan, membelai dan meninabobokkan, tidak lagi dirasakan sang anak, sehingga hubungan emosional antara sang ibu dan sang anak tidak bertumbuh dengan wajar.

Generasi muda tumbuh dan berkembang dari proses-proses sosiokultural masyarakat dan lingkungannya. Pada masyarakat yang warganya memelihara dan mewujudkan peradaban dalam perilaku kehidupannya, sangat mungkin akan tumbuh dan berkembang pula generasi beradab. Demikian pula sebaliknya. Namun demikian selalu mungkin terjadi deviasi. Pada masyarakat yang warganya, pemimpin-pemimpin dan pejabat-pejabat negaranya memiliki ‘wajah-ganda’, maka kemungkinan bakal lahir generasi bingung, generasi blingsatan, generasi radikal dan amuk-amukan. ‘Wajah-ganda’ yang dimaksud adalah wajah manusia yang pada satu sisi menunjukkan sifat welas-asih dengan lontaran kata-kata indah, arif, bijaksana, serba baik sehingga malaikatpun cemburu mendengarkannya; namun pada sisi lainnya wajahnya lebih seram dari wajah durjana Rahwana Dasamuka dengan perilaku kejam, penindas, korup, sehingga setanpun angkat tangan mengaku terkalahkan. Kebingungan, radikalisme dan amuk-amukan terjadi akibat adanya jurang pemisah yang curam antara nilai-nilai ideal yang dilontarkan dan perilaku kedurjanaan yang diperagakan oleh warga, tokoh-tokoh pemimpin dan para pejabat. Apakah generasi muda akan mewarisi nilai-nilai ideal yang dilontarkan dalam diskursus para tokoh, ataukan meniru serta mewarisi perilaku kedurjanaan; yang keduanya tampil bersamaan terpampang dalam realitas kehidupannya? Bila nilai-nilai ideal lebih dominan mempengaruhinya, maka perlawanan radikal terhadap perilaku durjana pun bakal terjadi. Akan tetapi bila yang lebih dominan mempengaruhinya adalah perilaku kedurjanaan, maka mereka pun akan tampil menjadi durjana dan membela perilaku kedurjanaan dengan gaya dan tindakan durjana dan brutal.

Dalam realitas masyarakat kedua kecenderungan tersebut selalu hadir bersamaan. Dalam setiap generasi, di dalamnya selalu terdapat individu-individu yang memiliki dan memperjuangkan nilai-nilai ideal dan individu yang mempersetankan nilai-nilai ideal akan tetapi memelihara gaya hidup hedonistik dan konsumtif. Realitas itu, di satu sisi memicu dinamika kehidupan sosio-kultural yang sampai batas tertentu mungkin masih bersifat positif, tetapi di sisi lain memungkinkan terjadinya konflik intragenerasi yang dapat merusak atau menghancurkan tatanan sosiokultural masyarakatnya.

(3)

Dalam realitas kehidupan keindonesiaan kita, selalu terdapat niat baik melakukan pembinaan generasi muda, mempersiapkan tumbuhnya generasi baru. Lembaga-lembaga pemerintahan dan partai-partai politik dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah misalnya memiliki program-program yang bertujuan ‘melahirkan dan membina generasi muda’. Setiap partai politik memiliki Angkatan Mudanya masing-masing, kader partai yang dipersiapkan menjadi pewaris partai. Di satu sisi hal itu bernilai positif, tetapi di lain sisi terutama bila partai-partai hanya menanamkan dan menjejalkan doktrin fanatisme partai, dapat berakibat menyempitkan wawasan generasi muda, melahirkan generasi ‘berkacamata kuda bendi’.

Realitas lain yang tampil dalam kehidupan keindonesiaan, adalah wacana (yang tampaknya berkecenderungan politis) untuk melakukan ‘pemotongan generasi’. Wacana itu muncul sebagai respons atas berbagai perilaku durjana yang didakwakan kepada generasi tua. Wacana itu muncul sebagai ekspresi rasa ketidakpuasan, kekecewaan, kemarahan dan ketidakpercayaan generasi muda terhadap berbagai tindakan dan perilaku yang tak sesuai dengan nilai-nilai peradaban dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Akan tetapi, wacana itu sesungguhnya tidak lahir dari pandangan dan pemikiran komprehensif. Dalam realitas kehidupan, tak ada satu pun generasi yang keseluruhan ‘warga’nya adalah manusia-malaikat, dan tak satu pun generasi yang keseluruhan ‘warga’nya adalah manusia-setan. Hal ini sesuai hakikat keberadaan manusia, yang di dalam dirinya terdapat unsur ‘ruh’ dan unsur ‘debu’, yang memiliki ruh ilahyat dan nafsu syaitaniah. Seperti dikemukakan di atas, dalam realitasnya di dalam setiap generasi selalu hadir individu ‘kehitam-hitaman’ dan individu ‘keputih-putihan’. Dengan sudut pandang seperti ini, maka sesungguhnya wacana ‘pemotongan generasi’, (apalagi bila yang dimaksudkannya sebagai dakwaan politis kepada generasi tua sebagai generasi penyengsara rakyat) adalah suatu wacana yang logikanya tidak logis. Saling tuding antargenerasi bukanlah tindakan bijak.

(4)

Seperti dikemukakan di atas, generasi-generasi tumbuh dan berkembang sebagai hasil dan bagian dari proses-proses sosiokultural masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam usaha mempersiapkan generasi baru yang dapat berperan lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, iklim dan suasana sosiokultural yang sehat merupakan suatu conditio sine qua non., suatu syarat mutlak.

Saya yakin, sekalipun syair lagu Yabélalé tercipta pada abad ke-16 atau ke-17 di negeri Bugis-Makassar, namun isi dan makna yang terkandung di dalamnya adalah mutiara universal, yang dapat menjadi rujukan bagi pembinaan generasi muda baik oleh lembaga pemerintahan, lembaga kemasyarakatan, maupun oleh partai-partai politik. Nilai ‘macca na malampék nawa-nawa’, ‘makkéati macinnong na masagéna attarong’ dan ‘mapanré na matinuluk’ agaknya tidak berbeda dengan apa yang disebut 3-H oleh UNESCO, yaitu pengisian Head, Heart dan Hand. Dengan pengisian Head dan Heart dengan masukan berkualitas, maka generasi yang bakal lahir adalah generasi yang mampu membebaskan diri dari kepicikan kepentingan kelompok. Bila menjadi politisi, maka generasi itu akan menjadi politisi yang negarawan dan beradab, seperti yang pernah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh K. H. Agussalim, Sutan Syahrir atau Muhammad Hatta; bukan sekedar politisi Machiavellist durjana yang ‘berkacamata kuda bendi’, yang hanya memperjuangkan kepentingan perut diri dan kelompok kecilnya.