Anwar Ibrahim
Bertolak dari paham bahwa kebudayaan adalah kata kerja, Rahman Arge dalam dialog budaya ‘Himpunan Indonesia untuk Pemberdayaan Pengetahuan dan Ekspresi Budaya Tradisional’ di Makassar menekankan perlunya dihayati kembali makna kata réso, yang dipadankannya dengan istilah etos kerja. Arge melihat, orang Bugis Makassar sesungguhnya memiliki etos kerja tinggi. Disebutnya orang Bugis-Makassar yang merambah hutan-hutan di Papua dan di Kalimantan, serta perantau-perantau Bugis-Makassar di berbagai tempat di nusantara, dengan réso-nya melakukan ‘kerja keras’ bertarung berhadapan dengan berbagai tantangan, bahkan dengan mempertaruhkan hidupnya, sekalipun.
Apa sebetulnya yang dianggap réso oleh Rahman Arge itu? Bila diperhatikan esei-esei yang pernah ditulisnya, akan ditemukan beberapa eseinya yang mengutip pandangan Gunnar Myrdal, penulis buku Asian Drama. Myrdal menyebutkan tiga belas isi etos kerja yang perlu dimiliki bila pembangunan di Asia mau disebut berhasil: efisiensi, kerajinan, tepat waktu, sederhana, jujur, rasional mengambil keputusan atau melakukan tindakan, terbuka untuk perubahan, gesit memanfaatkan kesempatan, bekerja enerjik, mandiri, bersedia kerja sama, dan memiliki pandangan ke depan. Perwujudan nilai réso seperti itulah kiranya yang dimaksudkan Arge sebagai sikap mantap atau perwatakan yang dimiliki oleh orang Bugis-Makassar perantauan.
Memang acapkali terdengar cerita sukses orang-orang Bugis-Makassar di perantauannya. Dalam arena Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar, misalnya, senantiasa tampil berbicara perantau-perantau Bugis-Makassar yang berprofesi sebagai saudagar yang telah memperoleh keberhasilan, menceritakan kiat-kiat kesuksesannya. ‘Success story’ seperti tu menjadi cerita bersambung’ yang memberi masukan kepada masyarakat sehingga tertanam dalam ‘kepercayaan’ bahwa perantau-perantau Bugis-Makassar adalah orang-orang yang memiliki etos kerja tinggi. Akan tetapi terdapat pula sisi kecenderungan lain dalam penyebaran cerita sukses tersebut. Cerita keberhasilan orang-orang Bugis-Makassar perantauan senantiasa dikaitkan dengan ‘kemiskinan’ mereka yang menetap di daerah kelahirannya di Tanah Bugis-Makassar, terutama mereka yang begelut dengan kehidupan sebagai petani padi. Lalu muncul anggapan, orang perantauan memiliki etos kerja yang tinggi, sedang petani penggarap sawah senantiasa dianjurkan untuk meningkatkan etos kerjanya. Seringkali orang tergelincir pada anggapan bahwa kaum tani Bugis-Makassar yang tetap menetap dan berkerja di daerahnya sendiri mengalami kemiskinan, karena etos kerja mereka yang rendah. Anggapan seperti itu pernah dilontarkan Huntinton yang menggunakan istilah ‘the lazy Malay’, si Melayu malas, yang ditujukan kepada penduduk nusantara.
Oleh karena itu, perlu dihindari kecenderungan menyerukan peningkatan etos kerja yang didasari pandangan dan penilaian bahwa yang menjadi sasaran seruan itu malas, tidak memiliki etos kerja memadai, karena etosnya tidak sesuai dengan harapan atau keinginan sang penyeru. Perlu disadari, etos kerja tidak tumbuh dari seruan dalam pidato pejabat, simposium atau seminar akademisi dan intelektual, atau anjuran otoritas-otoritas dalam masyarakat. Etos, seperti dikemukakan Myrdal adalah suatu ‘sikap mantap’ yang mempengaruhi bagaimana seseorang atau sekelompok orang mendekati atau melakukan sesuatu. Penumbuhan ‘sikap mantap’ itu bukan secara mendadak. ‘Sikap mantap’ itu tumbuh dan berkembang melalui suatu proses yang panjang, melalui suatu proses budaya.
Franz Magnis Suseno dengan tegas mengemukakan, etos adalah sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki, dan yang tidak dapat dipaksakan. Pertama-tama etos adalah istilah deskriptif, menggambarkan sikap mental yang ada, namun kemudian menjadi istilah normatif. Hal itu disebabkan oleh karena adanya orang atau otoritas yang mengharapkan bahkan menuntut adanya sikap tertentu seperti yang diharapkannya dan menilai sikap tertentu yang dimiliki orang lain sebagai tidak memadai. Otoritas itu menilai, etos yang dimiliki orang lain ‘tidak sesuai’ dan perlu disesuaikan dengan kehendak otoritas itu.
Memang, etos dapat dikonstruk dalam proses sosial. David M. Clelland yang melakukan eksperimen di kaki pegunungan di India yang terkenal dengan The Achieving Society-nya menunjukkan bahwa ‘need for achievement’ adalah sesuatu yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan, dengan menciptakan ‘iklim’ lingkungan yang mendorongnya. Artinya, ‘iklim’ lingkungan sanga berpengaruh pada pengembangan etos kerja masyarakat.
***
Arge benar dengan pernyataannya bahwa orang Bugis-Makassar pada umumnya memiliki etos kerja tinggi, mampu menghayati dan mewujudkan makna kata réso dalam kehidupannya. Kaum tani yang tetap setia menggarap sawah di tanah kelahirannya tidak terkecuali. Budaya masyarakat Bugis-Makassar mengajarkan lewat ungkapan puitiknya, bahwa hanya réso atau usaha keraslah, yang menjadi jalan bagi Tuhan untuk melimpahkan kasihnya, “résopa temmanginngik nalétéi pammasé dewata. Ungkapan puitik lebih ‘keras’, yang mengajarkan perlunya ketekunan dan kerja keras tampak dalam puisi (kélong) berbahasa Makassar: “ri émpoang katallasang, maté assongok céraka, bajikanngiya, na maté tannganréya” atau ‘di dalam kehidupan, mati berkeringat darah, masih lebih baik, dari pada mati tidak makan (kelaparan).
Budaya ideal Bugis-Makassar melengkapi réso itu dengan perangkat nilai-nilai budaya. Dalam cerita-cerita rakyat Bugis-Makassar, baik tersirat maupun tersurat ‘diwariskan’ nilai-nilai yang harus menyatu dengan réso seperti tampak dalam cerita rakyat dari Bone, di bawah.
“Seorang kakek ketika hendak meninggal dunia memberikan harta modal yang sama besarnya kepada dua orang cucunya, disertai dengan pesan: “gunakan modal ini berusaha. Akan tetapi, dalam berusaha ada tiga hal yang kamu lakukan, yaitu kamu tidak boleh terkena sinar matahari, kalau kamu makan harus makan yang enak, dan kalau kamu tidur harus tidur yang nyenyak. Kedua cucu itu berangkat pergi berusaha. Cucu yang tua menuju ke Balannipa, Sinjai. Pekerjaan pertama yang dilakukannya ialah membuat kereta dan payung. Itulah yang digunakannya pergi berusaha, sehingga tidak pernah terkena sinar matahari. Di tempat berusahanya, dia memesan makanan yang serba enak serta menyiapkan tempat tidur yang empuk (dalam cerita disebut kasur besusun tujuh). Alhasil 6 bulan kemudian, dia bankrut. Dia pun marah menganggap pesan kakeknya itu pesan yang salah. Akan tetapi, cucu kedua yang berusaha di Sengkang, Wajo melakukan hal berbeda. Subuh sebelum fajar menyingsing dia sudah berangkat ke tempat berusaha dan pulang sesudah sholat maghrib. Dia pun tidak pernah terkena sinar matahari. Dia makan setelah perutnya sungguh-sungguh telah keroncongan, dan tidur pada saat dia sungguh-sungguh tidak mampu lagi menahan rasa kantuknya. Maka makannya terasa sangat enak, dan tidurnya terasa sangat nyenyak.
Cerita rakyat di atas secara tersirat menunjukkan nilai budaya yang seharusnya melekat dalam makkaréso, yaitu nilai tekun, rajin dan hemat. Secara tersirat ditunjukkan nilai yang dapat menghancurkan réso, yaitu perilaku memanjakan diri (disebut: memanjakan tubuh), hedonistik, dan konsumptivistik. Dalam cerita rakyat dari perbatasan Enrekang dan Sidenreng Rappang secara tersurat disebutkan sejumlah nilai budaya yan seharusnya melekat dalam makkaréso.
Seorang kakek ketika hendak meninggal dunia mewariskan uang tiga sen kepada cucunya yang sudah yatim piatu, disertai pesan bahwa uang itu harus digunakan membeli ‘ilmu’. Setelah kakeknya meninggal dunia, sang cucu pun pergi meninggalkan kampungnya, merantau untuk ‘membeli ilmu’. Dalam perantauannya, dia bertemu seorang tua yang tampaknya bijaksana. Kepada orang tua itu dia bertanya, adakah ilmu yang bisa diturunkan kepadanya? Orang tua mengiyakan, tetapi ilmu itu harus dibeli dengan harga tinggi, yaitu satu sen. Mereka pun sepakat, duduk bersila dengan khusyuk di atas batu datar. Sambil menjabat tangan si murid, orang tua itu berkata, “jangan membedakan yang sedikit dengan yang banyak”. Anak muda itu bertanya, “hanya ilmu itu?”. Selanjutnya anak muda itu melanjutnya perjalanan, dan bertemu lagi seorang tua berambut putih. Dia pun minta kesediaan orang tua itu menurunkan ilmunya.”Ya, ilmunya ialah, ‘bila kau bekerja pada orang lain, jangan mengambil sesuatu yang bukan hakmu’ artinya kamu harus selalu berlaku jujur”. Ilmu itupun dibayar satu sen. Dalam perantauan selanjutnya, dia bertemu lagi dengan seorang tua berjenggot putih. Setelah berdialog, sang orang tua berkata: “Kalau kamu diberi kepercayaan atau amanah, kau harus menjaga kepercayaan itu, tidak boleh mengkhianatinya” Habislah uang tiga sen warisan kakeknya.
Diapun mencari tempat bekerja. Dia diterima bekerja sebagai penjaga toko oleh seorang saudagar kaya, namun gajinya sangat kurang. Akan tetapi, dia ingat ilmu pertamanya, tidak membedakan yang sedikit dengan yang banyak. Dia tetap bekerja dengan tekun. Berdasar pada ilmunya yang kedua, dia tidak pernah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dia jujur menjalankan usaha majikannya. Suatu waktu majikannya mau pergi berlayar. Dia diberi tugas menjaga anak gadis dan istri majikannya selama majikan itu alam pelayaran. Berkali-kali dia tergoda oleh kecantikan dan kemanjaan anak gadis majikannya, bahkan pada istri majikannya. Namun berkat ilmunya yang ketiga, dia berhasil mengatasi godaan itu.
Setelah sang majikan pulang berlayar, dan melihat kenyataan bahwa usaha yang ditingalkanya berkembang pesat, maka sang majikan menyerahkan sebagian usahanya serta mengawinkannya dengan anak gadisnya. Cerita rakyat tersebut secara tersurat menunjukkan tiga nilai yang melekat pada makkaréso, yaitu rasa syukur dengan mensyukuri apa pun yang diperoleh tanpa memandang perbedaan jumlahnya, memelihara kejujuran, dan menjaga kepercayaan atau amanah yang diberikan oleh orang lain.
Sesungguhnya banyak pesan, pappaseng yang tertuang dalam bentuk puisi, cerita rakyat, dan ungkapan kultural Bugis-Makassar yang berkenaan dengan etos kerja atau réso dan nilai-nilai budaya yang menyertainya. Umumnya pesan-pesan kultural itu menghubungkan perilaku makkaréso dengan nilai-nilai moral dan akhlak menjalankan usaha atau pekerjaan. Orang Bugis-Makassar, baik yang melakukan perantauan maupun tetap tinggal makkaréso di negeri Bugis-Makassar sesungguhnya memiliki warisan kultural réso atau etos kerja yang tinggi. Réso tumbuh dan berkembang dari rahim budaya mereka.
***
Dalam konteks makakaréso tersebut, bilamana diperhatikan kehidupan masyarakat di desa kediaman petani dengan mata dan hati terbuka, maka akan sulit ditemukan alasan kuat membenarkan tesis dan ungkapan ‘the lazy Malay’ dari Huntinton. Sebaliknya akan disaksikan berbagai hal mencengangkan, dan ironik: etos kerja petani berjalan beriring bergandengan dengan kemiskinan. Petani-petani penggarap sawah di Tiroang Pinrang, atau di Amparita Sidrap, atau di Lebbak-é Soppeng, atau di Béngo Bone Barat, seusai sholat subuh telah meninggalkan rumahnya menuju ke sawah mereka. Lalu mereka bekerja sepanjang hari. Dari pagi hari sampai matahari berada di atas ubun-ubunnya mereka mencangkul atau membajak, lalu istirahat makan siang (yang diantarkan dari rumahnya), sholat lohor, bekerja lagi, lalu sholat azar. Pulang ke rumah ketika matahari telah terbenam di barat.
‘Sikap réso mantap’ yang tumbuh dari rahim budayanya tidak pernah mengizinkannya untuk ‘mammatu-matu’, bermalas-malasan. Dibimbing ‘kearifan lokal’ tradisionalnya, mereka tidak membiarkan tanah mereka menganggur. Tanah garapan mereka sungguh-sungguh diolah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa perlu ada anjuran untuk menanam palawija di antara musim panen dan musim tanam, kaum tani menanam kacang-kacangan, jagung, sayur-sayuran, dan produk pertanian lain yang mungkin tumbuh di lahannya. Mereka terus-menerus ‘makkaréso’, melakukan kerja sebagai perwujudan dari etos yang mereka miliki.
Akan tetapi, sensus kemiskinan dari Biro Pusat Statistik menunjukkan, justru golongan masyarakat dengan etos kerja seperti itu yang paling banyak tercatat sebagai orang-orang miskin. Petani penggarap sawah masih hidup dengan ekonomi ‘sambung nyawa’. Merekalah merupakan golongan masyarakat terbesar yang menjadi penerima santunan Rp. 100.000,- per-bulan, santunan yang merupakan perwujudan dari kebijakan ‘kebajikan’ pemerintah, yang berperan sebagai sinterklas.
Keluarga petani penggarap sawah, produsen beras, masih merupakan golongan masyarakat yang mengalami kesulitan luar biasa menyekolahkan anak-anaknya, bahkan untuk sampai ke tingkat SLTA sekalipun. Awal tahun 2000-an lalu, hanya sekitar 12 – 15 orang anak petani penggarap sawah yang terdaftar sebagai mahasiswa di antara kurang lebih 25.000 mahasiswa Universitas Hasanuddin. Itupun karena pembiayaan mereka dibantu secara patungan oleh kaum kerabatnya, “demi mengangkat nama dan harkat keluarga”.
***
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa etos kerja tinggi kaum tani di negara kita bukanlah jaminan untuk hidup layak. Kemiskinan kaum tani tidaklah terutama disebabkan karena mereka tidak memiliki etos kerja, atau karena mereka adalah ‘the lazy Malay’. Ada faktor determinan lain yang rupanya lebih menentukan. Etos kerja petani dapat saja menjadi mandeg atau tersumbat oleh proses sosial ekonomi dan politik yang berlangsung di sekitarnya, yang memberi pengaruh besar pada kehidupannya.
Secara teoretik ‘kerja’ harus berimbang dengan penghasilanyang diperoleh dari hasil kerja itu. Etos kerja petani selayaknya menerima imbalan memadai yang memungkinkannya terlepas dari kemiskinan dan kondisi ekonomi ‘sambung nyawa’. Dan itulah yang belum diterima para petani. Betapa pun tinggi etos kerjanya, betapa pun rajinnya mereka bekerja, dan berapa pun padi atau beras yang diproduksinya, mereka tetap belum beranjak dari realitas kehidupannya yang diliputi ketidakcukupan.
Program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian, memang relatif dapat meningkatkan produksi padinya, akan tetapi efeknya tetap tidak signifikan dalam perubahan kehidupan petani. Walaupun daerah Sulawesi Selatan surplus beras, dengan produksi 1,2 juta ton, sehingga dapat menyuplei daerah lain, namun berapa besar pengaruhnya pada kehidupan petani? Mereka tetap saja menjadi penerima santunan kemiskinan. Bahkan andaikata tesis John Dixon, Gulliver, dan Gibbon dalam buku mereka yang diterbitkan oleh FAO dan The World Bank tahun 2001 berhasil diaplikasikan, belum juga ada jaminan bahwa kaum tani dapat memperoleh perbaikan taraf kehidupan mereka. Dixonet.al. dalam Farming System and Poverty: Improving Farmer’s Livelihood’s in a Changing World, menawarkan 5 jalan keluar yaitu (1) Intensifikasi produksi, (2) Diversifikasi aktivitas pertanian, (3) Memperluas lahan perkebunan, (4) Mencari mata pencaharian lain, dan (5) Meninggalkan sistem pertanian tradisional dan melakukan inovasi dalam pertanian.
Faktor-faktor non-pertanian justru lebih berpengaruh. Walaupun produk beras hasil kerja petani secara politis dinilai tinggi di negeri ini oleh penentu kebijakan, yang memperoleh sebutan mentereng sebagai ‘komoditi strategis’, namun karena penilaian itu pulalah sehingga produk beras petani memperoleh penghargaan rendah yang tidak setimpal dengan ‘etos’ kerja dan modal produksi lainnya yang dikeluarkan petani dalam proses produksinya. Sistem politik ekonomi yang tampaknya terlalu memanjakan pemodal-pemodal besar, belum menunjukkan tanda-tanda akan berpihak kepada petani, berpihak kepada mayoritas pendududk Indonesia.
Memang, penentu kebijakan dengan sistematis membentuk sejumlah instansi yang mengurusi ‘komoditi strategis produksi petani’ ini. Dahulu ada yang disebut UBMR (Urusan Bahan Makanan Rakyat), kemudian Yayasan BAMA (Bahan Makanan), YBMR (Yayasan Bahan Makanan Rakyat), Dolog (Depot Logistik), BULDA (Badan Urusan Logistik Daerah), lalu ada KUD, PUSKUD, dan semacamnya; yang semuanya kemudian menjadi perusahaan penting. Ironiknya, produk beras petani tetap dinilai tinggi sebagai ‘komoditi strategis’, akan tetapi harganya ditekan sampai batas minimum, sehingga kehidupan petani tetap saja tidak dapat mengalami peningkatan. Ironiknya lagi, instansi yang mengurusi produk petani itu, tampak seperti yang telah dibuktikan di pengadilan, menjadi tempat sejumlah orang melakukan korupsi memperkaya diri sendiri.
***
Beras adalah produksi perorangan atau atau produk keluarga petani. Artinya bukan produk dari suatu perusahaan besar. Jumlah keluarga petani produsen beras mencapai seratusan juta lebih. Hal ini memang berbeda dengan ‘komoditi strategis’ lainnya seperti BBM, atau listrik, atau telepon, yang dikelola oleh perusahaan besar yang melibatkan penentu kebijakan, sebagai pemegang saham, langsung atau tidak langsung. ‘Komoditi strategis’ jenis terakhir ini (BBM, listrik, telepon) memperoleh penilaian dan penghargaan yang lumayan tingginya. Setiap pemerintahan merasa perlu, dengan berbagai alasan, setiap tahunnya meningkatkan harga produk perusahaan tersebut. Akan tetapi produk petani yang menyangkut peningkatan kesejahteraan lebih separuh dari jumlah penduduk Indonesia, tetap harus dipertahankan serendah mungkin; bahkan ditekan lagi dengan kebijakan impor beras, dengan alasan klasik: menjaga stok pangan nasional.
Maka etos kerja petani pun tetap tidak memperoleh imbalan yang proporsional, dan cukup ‘dihibur’ dengan santunan kompensasi kenaikan harga BBM Rp. 100.000,- per bulan oleh pemerintah yang bergaya sinterklas. Artinya, penentu kebijakan tetap memelihara, menyantuni, dan mempertahankan kemiskinan mayoritas penduduknya.
***
Etos kerja petani, bahkan etos kerja pada umumnya yang tumbuh dari rahim budaya dalam proses selanjutnya senantiasa menghadapi kemungkinan mengalami kemandegan, tersumbat oleh proses sosial ekonomi dan politik yang terjadi di sekitarnya. Menyerukan peningkatan etos kerja, apalagi kepada pekerja keras yang tetap mengalami kemiskinan, yang tidak disertai kebijakan untuk memberikan imbalan proporsional dan perbaikan proses sosial ekonomi dan politik di sekitarnya, hanya akan menimbulkan rasa mual dan rasa sekit pada mereka. Lalu kita sang pemakan nasi beras produksi petani tanpa penelitian yang serius dengan latah mengikuti ungkapan Huntington mengenai ‘the lazy Malay’ tanpa menyadari bahwa sesungguhnya setiap kali kita makan nasi beras berarti kita menerima subsidi dari petani sekitar Rp. 2.000,- perliter beras. Tanpa rasa terima kasih yang wajar kepada kaum tani, kita bahkan ikut latah menuding dan mempersalahkan petani sebagai tidak mewujudkan nilai budaya réso atau etos kerja dalam kehidupannya.
Untuk memahami hal ini, kita perlu menjadi manusia yang membuka mata hati dan hati nurani. Kiranya begitulah, Pak Arge.