Anwar Ibrahim
Suatu persidangan berlangsung di kerajaan Tosiwalu. Seorang pangeran bernama La Palalengi, anak kandung Raja Tosiwalu dihadapkan sebagai terdakwa. Persidangan dipimpin oleh seorang hakim perempuan, Putri Balala I Tenribali, kakak kandung La Palalengi. Persidangan berlangsung di pendopo kerajaan, disaksikan oleh seluruh rakyat Tosiwalu dan berlangsung alot serta menegangkan. Tuntutan dan pembelaan seluruhnya disertai dengan dalil-dalil hukum yang kuat, termasuk mengambil contoh yang disebut rapang atau jurisprudensi dari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya di kerajaan-kerajaan lain. Dari debat yang berkepanjangan itu (yang sesungguhnya bernilai sebagai debat penerapan hukum) Hakim Tenribali sampai pada keputusan yang berat.
Sebelum Hakim Tenribali menetapkan keputusan vonisnya, terlebih dahulu ia melepas fungsi dan peran hakimnya, dengan mengambil peran sebagai seorang kakak yang memanggil adiknya. Tenribali menumpahkan perasaan kasih sayangnya sebagai kakak kepada adiknya. Setelah itu, ia ‘mengenakan kembali’ perannya sebagai Hakim yang akan menjatuhkan vonis kepada terdakwa. Hakim Kerajaan Tosiwalu itu, I Tenribali kemudian memvonis mati adik kandungnya sendiri, karena terbukti telah menzinahi istri seorang prajurit ketika suaminya sedang berperang, yang mengakibatkan perempuan itu meninggal dunia. Raja dan permaisuri yang putra kandungnya divonis mati, menerima kenyataan penegakan hukum itu, serta tidak menggunakan kekuasaannya mengintervensi keputusan pengadilan. Cerita tersebut tertuang dalam satu karya sastra Bugis ‘Pallawagau na I Tenribali’.
Kerajaan Tosiwalu tidak ditemukan dalam deretan nama-nama kerajaan di Sulawesi Selatan. Ia merupakan kerajaan fiktif. Akan tetapi, dalam penceritaan karya sastra ‘novel’ Bugis itu, nama-nama kerajaan Sidenreng dan Wajo tertera di dalamnya, bahkan Pallawagau diceritakan sebagai putra mahkota kerajaan Sidenreng. Di samping itu diceritakan pula kerajaan Luwu, Toraja, dan disinggung pula kerajaan Bone. Nama Tosiwalu pertama disebut sebagai akronim dari kerajaan Toraja, Sidenreng, Wajo, dan Luwu; kemudian disebut, istilah Tosiwalu berarti saling menyantuni, tolong menolong dan semacamnya. Diceritakan bahwa kerajaan Tosiwalu didirikan oleh seorang bangsawan Wajo yang meninggalkan negerinya karena difitnah oleh pejabat-pejabat korup di Wajo, kemudian orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang dan terusir dari Toraja, Sidenreng, Wajo dan Luwu menyatu di kerajaan Tosiwalu itu.
***
Karya Sastra Bugis Pallawagau na Tenribali itu menceritakan kisah percintaan antara putra Sidenreng Pallawagau dengan I Tenribali yang dibumbui dengan cerita kepahlawanan dan peperangan antara kerajaan Tosiwalu dengan kerajaan fiktif lain yang berada di bawah perlindungan Wajo, serta perlawanan internal dari pasukan utara Tosiwalu yang dibantu Toraja, namun inti cerita yang sesungguhnya berkisar pada masalah penegakan hukum.
Prinsip-prinsip penegakan hukum Bugis seperti yang dikemukakan Puang ri Maggalatung dari Wajo, La Pagala Nénék Mallomo dari Sidenreng, Kajaolaliddo dari Bone, Maccaé ri Luwu, dan Arung Bila dari Soppeng, ‘didiskusikan’ dalam persidangan yang mengadili La Palalengi itu. Dalam ‘novel’ Bugiis itu dikemukakan antara lain, pegangan yang diyakini oleh hakim, raja dan permaisuri, yang dinyatakan secara puitik dalam karya sastra itu:
taro bicaranna warik-é
bicaranna poadaénngi culéwenngé
tomaégaétogi
pattuppuk wanuwatoggi
pawarik gauk toggi
napatujui salaé
napassalai tujué
nasulléni poraonro
taro bicaranna panngadereng
pettuang tenrirui,
teani temmakua
tajenni lépu jajaremmu
nasalossok-i ropok déwata
mallessek raukkajué
makkalappareng
maté lupuk tau olokolok lampenni tanaé,
lajok rakkoni.
yang pengertian bebasnya: “Barangsiapa menghindari pelaksanaan hukum yang telah ditetapkan (adek puraonro = adat atau hukum tetap), apakah orang banyak, penguasa dan pejabat negara, atau penegak hukum, yang membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar, seenaknya mengganti atau menafsirkan aturan hukum yang ditetapkan panngadereng, mau tidak mau, nantikanlah bencana akan menimpamu, diturunkan oleh dewata, kemarau berkepanjangan, dedaunan mengering, akan bergelimpangan manusia dan binatang mati kelaparan, dan tetumbuhan melayu kering”.
***
Dalam ‘novel’ Bugis tersebut ditunjukkan dalam bentuk perumpamaan yang pernah terjadi pada masa lalu di kerajaan lain, bentuk jurispudensi atau rapang, bencana-bencana yang ditimpakan dewata akibat kesalahan hakim menafsirkan, menginterpretasikan atau menerapkan hukum, apalagi hukum yanhg disebut ‘adek puraonro’.
Hukum itu, terutama adek puraonro, berasal dari dewata, dari Pawinruk-é, Sang Pencipta yang diturunkan untuk menata dan menertibkan kehidupan manusia dan untuk memelihara keseimbangan kosmos. Para penegak hukum itulah yang bertugas ‘mewakili’ Sang Pencipta untuk memelihara, menerapkan dan menegakkan pelaksanaan hukum pada manusia. Kelalaian hakim, yang tak disengaja sekalipun akan memperoleh ganjaran dari déwata, apalagi bila kesalahan penerapan hukum itu adalah kesalahan yang disengaja, termotivasi oleh pertimbangan kepentingan hakim itu sendiri.
Oleh karena hukum berasal dari Sang Pencipta, maka penerapan dan pelaksanaannya yang ‘diwakilkan’ kepada penegak hukum, kepada pabbicara, senantiasa berada di bawah tilikan dan pengawasan Sang Pencipta. Déwata memberikan sinyal lewat peristiwa alam bilamana penegak hukum keliru, salah memutuskan perkara atau menyalahgunakan kedudukannya sebagai penegak hukum. Kemudian, sanksi atau hukuman yang diberikan oleh déwata tidak hanya ditujukan kepada penegak hukum, melainkan akan menimpa seluruh kerajaan dan segenap lingkungan kehidupan: manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.
Oleh karena keyakinan seperti itulah maka Hakim I Tenribali sungguh-sungguh mengkaji dan mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. Demikian pula Raja dan permaisuri tidak mengintervensi keputusan Hakim Tenribali, sekalipun baik hakim maupun terdakwa adalah putra-putrinya sendiri. “Lebih baik menghilangkan telur busuk satu biji dari pada mengorbankan telur sekeranjang”, sekalipun telur busuk itu adalah putranya. Itulah pegangan yang diyakini kebenarannya oleh Raja dan permaisuri.
***
Dalam budaya hukum Bugis Makassar memang ditemukan berbagai peristiwa historik yang tertuang di dalam lontarak mengenai keteguhan sikap hakim melaksanakan tugasnya. Cendekiawan dan Hakim La Pagalla Nenek Mallomo, hakim Kerajaan Sidenreng (abad ke-17), dan Pabbicara Kayyang, Hakim Kerajaan Balannipa Mandar (abad ke-19) dikisahkan telah menghukum mati anak kandungnya sendiri. Nénék Mallomo menghukum mati putranya karena mengambil sebatang kayu yang sudah diruncing sebelah menyebelah ujungnya yang bukan miliknya atau bukan dia yang meruncingnya. Kayu itu adalah bagian dari alat membajak sawah. Pabbicara Kayyang dari Balannipa Mandar, seorang perempuan penegak hukum, memvonis dan mengeksekusi mati putranya di atas pangkuannya sendiri karena putranya telah berlaku sewenang-wenang kepada rakyatnya.
Demikian pula Arung Majang yang mengeksekusi mati cucunya sendiri yaitu raja Bone La Inca Matinroé ri Addénénna, karena kesewenang-wenangan Raja Bone itu, serta pengadilan adat Wajo yang menghukum mati raja Wajo Batara Wajo III, dan keputusan adat Gowa yang mempersona-non-gratakan raja Gowa Tunipasulu. Peristiwa histrorik itu adalah sebagian kecil dari contoh keteguhan sikap para hakim penegak hukum yang didokumenkan di dalam lontarak sebagai warisan kultural orang-orang Bugis-Makassar dan Mandar.
***
Walaupun cerita Pallawagau dan I Tenribali adalah karya sastra yang bersifat fiktif, namun diskusi dan debat hukum yang terkandung di dalamnya menunjukkan berbagai hal yang bersifat substantif dalam hukum, interpretasi dan penerapannya dalam kehidupan nyata. Cerita inipun menunjukkan intipati pandangan kultural orang Bugis-Makassar mengenai hukum.