Alwy Rachman
Konteks 1:
Di India, di dalam Masyarakat Hindu Ortodoks, seorang lelaki akan mengumpul kekayaan pada 3 tahap pertama dalam daur hidupnya --- masa muda, masa dewasa, dan masa setengah baya--- dan kemudian menjadi sannyasa di usia tua dengan cara mengabaikan keluarga, melepaskan ikatan-ikatan kekerabatan dan mengembara di seluruh India dengan cara mengemis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius. Bagi Hindu Ortodoks, kesejahteraan tidak akan pernah membebaskan manusia dari ilusi kehidupan,tidak akan pernah mendatangkan kedamaian abadi.
Konteks 2:
Di Amerika, masa tua harus dikalkulasi secara ketat. Orang Amerika akan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, karena hari tua dilihatnya sebagai hari-hari yang ikut ditentukan oleh sistem ekonomi kapitalis yang menekankan konsumsi material ketimbang eksplorasi spiritual.
Dua konteks di atas mewakili dua dunia --- Timur dan Barat. Dua dunia dengan dua lambang dan dengan dua commonsense. India mengutamakan dunia dalam (inner world) dan Amerika lebih mengedepankan dunia luar (outside world). India bersandar pada dunia batin dan Amerika berpegang pada dunia materi. Yang satu termotivasi oleh kultur dan yang lain oleh ideologi.
Commonsense adalah communal sense, logika kolektif yang dimotivasi oleh kepentingan kebudayaan yang seringkali menaturalisasi kepercayaan-kepercayaan yang pada kenyataannya hanya bersifat sosial dan bersifat konvensional. Perempuan dan kemiskinan seringkali diletakkan ke dalam kerangka commonsense seperti ini. Itu pula yang menjadi penjelas, mengapa di masyarakat yang memegang nilai-nilai patriarki secara kuat, commonsense tentang perempuan banyak dijumpai. Domestikasi perempuan, kompetisi lambang-lambang melalui tubuh perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan (trafficking), incest, pornografi, hingga pornolinguistik adalah sederetan contoh multiplier effect dari naturalisasi tubuh perempuan yang sesungguhnya dapat dijelaskan berdasarkan pola hubungan kekuasaan yang hidup di masyarakat.
Naturalisasi tubuh sesungguhnya merupakan bagian penting dari cara memahami realitas kemiskinan yang menimpa perempuan. Pemahaman tentang kultur kemiskinan, tanpa mengaitkannya dengan jaring-jaring lambang dalam nature, hanya akan membangun argumen-argumen yang benar-benar terjerumus. Kultur kemiskinan akan dilihat sebagai masalah besar, sebagai penyakit sosial, dan sebagai penghambat kemajuan. Teori “kultur kemiskinan” sendiri sesungguhnya diperkenalkan oleh Oscar Lewis pada saat mempelajari kemiskinan di Meksiko, Puerto Rico, San Juan, dan New York.
Teori ini memandang bahwa kelompok miskin memiliki kecenderungan “berpikir-yang-penting-ada-sekarang” (present-mindedness) dan “gila-akan-konsumsi” (obsessive consumption). Kecenderungan ini dianggap sebagai penghalang utama dari mobilitas ekonomi kelompok-kelompok miskin. Dalam keadaan demikian, kelompok-kelompok miskin akan mengembangkan karateristik dan nilai yang tidak sama dengan kelompok-kelompok bukan-miskin. Karakteristik ini dikenali dalam bentuk “hilangnya masa kanak-kanak”, “terjadinya inisiasi seks bebas di usia dini”, “perkawinan bebas”, “menelantarkan istri dan anak”, “berkembangnya keluarga yang berpusat pada ibu”, “tidak adanya ruang-ruang pribadi”, dan “hancurnya solidaritas keluarga sebagai akibat dari persaingan antara saudara”.
Teori ini juga percaya bahwa kelompok-kelompok seperti ini akan bersikap apatis terhadap politik, memperbesar keluarga-keluarga broken-home, sekaligus pasif terhadap keadaan ekonomi mereka. Dan, kelompok-kelompok miskin percaya bahwa mereka tidak dapat mengentaskan dirinya dari situasi sosial seperti ini, sekalipun mereka tidak miskin lagi.
Teori ini mendapat perlawanan dari berbagai kalangan, terutama kalangan sosiolog, ekonom, dan antropolog. Ketiga kalangan ini berpendapat bahwa kultur, nilai, dan kesadaran sosial kelompok-kelompok miskin sama saja dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Kurangnya peluang dan tidak adanya kendali atas faktor-faktor di sekitar mereka, membuat kelompok-kelompok miskin ini lebih mengembangkan kultur sebagaimana yang digambarkan oleh Lewis. Ketiga kalangan ini justru menyarankan agar teori tentang “kultur kemiskinan”, sebaiknya dikubur saja. Teori ini dianggap akan semakin menjerumuskan kelompok-kelompok miskin.
Sikap oposisi terhadap perspektif teoretis Lewis membawa ilmuan-ilmuan sosial mencari perspektif baru di dalam memahami akar-akar kemiskinan. Lambang-lambang sosial yang ditarik dari situasi sosial mutakhir kelompok-kelompok miskin dianggap tidak lagi memadai untuk mengurai penyebab-penyebab kemiskinan. Perempuan-perempuan miskin akan kehilangan sejarahnya sendiri di hadapan perspektif seperti ini. Kerja keras, solidaritas, empati di antara sesama, daya tahan atas derita, strategi survival, dan kepemimpinan perempuan tidak lebih dari sehelai “daun gugur” yang tak pernah berarti apa-apa. Lalu, tanggungjawab kolektif masyarakat, sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi, dan daya dukung kebudayaan dianggap tidak bermasalah, dan bukan menjadi bagian dari jejaring awal penyebab kemiskinan. Ternyata, pada akhirnya, banyak ilmuan sosial menjadi “narapidana” oleh “present-mindedness” (“berpikir-yang-penting-ada-sekarang”).
Piramida dan Hirarki Kemiskinan
Di bulan Mei 1998, Nilüfer Catagay menulis satu kertas kerja yang kemudian dipublikasi oleh UNDP. Di dalam kertas kerja itu, dengan merujuk Bob Baulch, Catagay menuliskan konseptualisasi baru dalam memandang kemiskinan. Konseptualisasi konfigurasi piramida kemis-kinan dapat dilihat sebagai berikut:
1. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _PC _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
2. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _PC+CPR_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
3. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ PC+CPR+SPC_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
4. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ PC+CPR+SPC+Assests_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
5. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _PC+CPR+SPC+Assets+Dignity_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
6. _ _ _ _ _ _ _ _PC+CPR+SPC+Assets+Dignity+Autonomy_ _ _ _ _ _ _
Keterangan:
PC, private consumption = konsumsi perorangan
CPR, common property resources = sumberdaya umum
SPC, state-provided commodities = ketersediaan komoditas
Assets= aset
Dignity=martabat
Autonomy=otonomi
Dengan piramida kemiskinan seperti ini, mencari hubungan antara gender dan kemiskinan semakin tidak gampang. Status dan hubungan antara konsumsi, properti, komoditas, aset, martabat, dan otonomi kelompok-kelompok miskin menjadi penting. Memandang kemiskinan perempuan semata-mata dari sudut status kelamin benar-benar akan menjadi kritis, untuk tidak menyebutnya cara seperti ini justru mempertegas “feminisasi kemiskinan”.
Catagay, berdasarkan latar piramida kemiskinan di atas, meyakini bahwa kemiskinan adalah sebuah proses, bukan sekedar konsep statis. Kelompok-kelompok miskin tidak dapat dilihat sebagai “korban” yang memerlukan uluran tangan semata. Mereka sebaiknya dipandang sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang sedang berjuang mendapatkan sumberdaya dan properti serta aset. Atau, kalau mau dibalik, akses ke sumberdaya, pemilikan property dan pemeliharaan aset kelompok-kelompok miskin menjadi tanggungjawab bersama, terutama dari sisi pemerintahan.
Kebiasaan menggusur kelompok-kelompok miskin, dengan cara merusak properti yang menjadi miliknya, mengusir dari tanah yang menjadi asetnya, tidak hanya merupakan gambaran “buas” dari satu pemerintahan dan kelompok-kelompok kaya, tetapi juga merupakan tindakan yang antipengetahuan sekaligus melanggengkan kemiskinan. Tiba saatnya, pembangunan tidak hanya (meng)“ganti rugi” atas akses, properti, dan aset kelompok-kelompok miskin. Pembangunan seharusnya membenarkan dan mengakui bahwa di wilayah pusat-pusat bisnis, misalnya, aset tanah kelompok-kelompok miskin tetap saja dapat diakses oleh pemiliknya.
Dari sisi kebudayaan lokal, lambang-lambang kemiskinan juga dapat dikenali di Sulawesi Selatan ini. Hirarki lambang-lambang lokal ini, tentu saja, tidak sama dan tidak sebangun dengan model hirarki piramida kemiskinan Bob Baulch. Lambang-lambang kemiskinan tidak diisolasi dan ditakar pada dirinya sendiri. Lambang-lambang itu secara kebudayaan tersusun secara terbalik dan disandingkan dengan lambang-lambang kesejahteraan. Oleh karenanya, hirarki lambang-lambang ini, secara tentatif, dapat disebut “hirarki kemiskinan-kesejahteraan”, sebagai berikut:
2. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __Tau Masagena _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
3. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Tau Kasiasi _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
4. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _Tau Kasiasi Puppu _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
(Yahya, Maret 2006).
Lambang “hirarki kemiskinan-kesejahteraan” ini bersifat statis. Ia tidak dapat dipakai untuk menjelaskan proses awal dari suatu kemiskinan. Hirarki ini, secara lambang, hanya memetakan dua keadaan yang diikuti dengan dua kategori; Sejahtera dengan kategori Tau Sugi dan Tau Masagena, dan Miskin dengan kategori Tau Kasiasi dan Tau Kasiasi Puppu.
Tidak tersedianya lambang-lambang kemiskinan yang dapat dipahami sebagai satu proses, mungkin menjadi penanda langsung bahwa pemahaman masyarakat Sulawesi Selatan atas kemiskinan, belum berubah. Kemiskinan tidak dapat diurai berdasarkan perubahan struktur sosial yang horizontal. Kedua, lambang-lambang kemiskinan yang masih statis di tingkat masyarakat, mungkin akan menjadi penghalang utama bagi upaya pengentasan kemiskinan. Ketiga, lambang-lambang statis seperti ini, boleh jadi menjadi penanda bahwa kelompok-kelompok miskin belum atau sama sekali tidak terintegrasi ke dalam perubahan sosial menuju demokrasi. Ilmu tentang lambang-lambang (semiotika sosial) memang bukan bagian dari “penyelesaian masalah”. Semiotika sosial sama sekali tidak dimaksudkan untuk menjawab “apa yang harus dipikirkan”. Ia hanya mengajak “bagaimana berpikir” dan “bagaimana menggeledah” apa yang terdapat di bawah permukaan.