M. Nawir
Sekber JRMK – Pusat Studi Kota dan Perubahan Sosial
Bahasa Indonesia merinci kata penataan dari kata dasar tata, yang berimbuhan pe- dan -an. Kata ini menjadi konsep yang luas sekali pemakaiannya dalam berbagai produk kebijakan pemerintah seperti peraturan Tata Ruang Kota yang mencakup konsep tentang Penataan Pemukiman, Penataan Peredaran Barang dan Jasa, dan lain-lain. Untuk memperjelas maksud dari penataan itu, digunakanlah kata penertiban, misalnya dalam kalimat penertiban pedagang kaki lima.
Secara eksplisit di dalam berbagai naskah peraturan, konsep penataan dan penertiban ini merujuk pada kewenangan pejabat (pemegang jabatan) atau pemerintah untuk mengatur, membangun, memperbaiki, dan mengendalikan objek dan subjek pembangunan. Jadi, tidak ada hubungan konseptualnya dengan kata atau istilah "penggusuran" (eviction). Bahkan di dalam peraturan itu sendiri tidak ada kata penggusuran. Itulah sebabnya, aparat pemerintah atau pun pejabat seringkali berdalih "kami hanya menertibkan, supaya pedagang ditata lebih baik". Padahal yang mereka lakukan adalah penggusuran dan pembongkaran.
Pada prakteknya, ada dua cara penataan/penertiban yang dilakukan pejabat/pemerintah. Pertama, bila sebuah kampung dipandang kumuh, maka dirancanglah perkampungan yang bersih, tertib dan aman. Yang terjadi kemudian, pemerintah membangun perumahan elit atau lods-lods mewah, yang tidak terjangkau oleh mayoritas rakyat. Penduduk aslinya direlokasi ke suatu tempat yang belum tentu lebih baik dari tempat semula.
Cara kedua, pemerintah memaksakan kehendaknya dengan cara menggusur dan memindahkan penduduk dari tempat semula. Alasannya tanah negara atau tanah umum maupun tanah swasta. Cara kedua ini seringkali memicu bentrokan fisik yang mengakibatkan kerugian materil dan kehancuran habitat sosial-ekonomi dari mereka yang tergusur. Sementara pejabat penggusur menghabiskan dana puluhan bahkan ratusan juta untuk mengongkosi semua keperluan aparat dan alat-alat penggusur. Kita pun sebagai pembayar pajak sebenarnya dirugikan. Sebagian atau pun seluruh dana penggusuran itu biasanya dianggarkan dalam APBD, atau dana taktis pejabat yang tidak terlaporkan.
Cara pertama maupun kedua sama-sama berdampak pada pemiskinan rakyat. Afrizal Malna mengungkapkan kenyataan itu dalam spanduk "rakyat yang digusur menjadi api dalam setiap nasi yang kita makan". Mereka yang tergusur kehilangan akses ekonomi, kehilangan rumah, relasi sosial-budaya, trauma dan perasaan benci yang berkepanjangan. Ibarat api dalam sekam. Pada waktunya, memunculkan persoalan sosial baru seperti migrasi/urbanisasi, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, sampai pada pembangkangan sosial. Akhirnya, kita-kita juga yang harus menanggung ongkos sosial dari semua dampak itu.
Stigma Orang Miskin
Ada stigma dari para pelaku penggusuran -- baik itu penguasa, pengusaha, juga lembaga pendidikan – yang menyatakan bahwa kaum miskin kota adalah sumber kekumuhan, ketidaktertiban, kemacetan kota, dan kejahatan. Dan karena itu, kaum miskin ini harus dijauhkan dari pandangan orang-orang kaya dan tamu-tamu pejabat.
Romo Magnis (dalam Neoliberalisme dan Tanggung Jawab Negara, 14 Desember 2004) menggambarkan relasi di antara para pelaku penggusuran itu sebagai koalisi diam-diam kelas elit dan menengah untuk memerangi kaum miskin. Mereka yang berkoalisi adalah aparat pemerintah, pengusaha, akademisi-profesional, politisi, dan aparat keamanan, juga "preman". Penguasa memproteksi proyeknya dengan peraturan seperti Perpres No. 36/2005 tentang pengambilan tanah untuk pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum. Pengusaha menanamkan modalnya untuk memperoleh keuntungan. Akademisi-professional menjadi konsultan perencanaan pembangunan sesuai pesanan penguasa. Politisi melancarkan proses pengambilan keputusan sesuai kepentingan golongannya. Aparat keamanan seringkali bergandengan tangan dengan "preman" untuk mengamankan pelaksanaan pembangunan dan penggusuran berdasarkan "juklak" koalisi.
Bagi mereka ini, kaum miskin adalah potensi gangguan terhadap kelancaran pembangunan. Kaum miskin di perkotaan pertama-tama adalah mereka yang tidak memiliki akses ke pusat-pusat ekonomi, sosial dan politik dominan. Mereka ini menggantungkan kehidupannya pada kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial-ekonomi yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan subsistennya. Informalitas menjadi cara hidup, yang tampak pada relasi sosial, bentuk pemukiman dan cara bekerja. Mereka menempati lahan-lahan yang tidak tergarap, menghindari pajak atau pun ongkos sewa ketika berjualan. Cara hidup inilah yang sesungguhnya bertolak belakang dengan gaya hidup kelas elit-menengah. Dan karena itu, seringkali kaum miskin ini diposisikan sebagai objek sekaligus pengganggu kelancaran pembangunan. Dengan alasan formal seperti tanah negara, kepentingan umum, ketertiban, penguasa membuat sendiri konsep penataan dan penertiban sebagai dasar untuk melakukan penggusuran.
Matinya Konsep Penataan
Matinya konsep penataan dibuktikan dengan ketiadaan alternatif dari cara pejabat maupun pemerintah dalam memecahkan masalah kemiskinan dan tata ruang. Sulit dimengerti, bila pemerintah atau pejabat selalu berdalih bahwa kaum miskin tidak memiliki alas hak atas tanah maupun tempat usaha. Dengan dalih itu, sebenarnya pemerintah tidak perlu lagi membuat konsep atau kebijakan penataan/penertiban. Cukup membuat petunjuk pelaksanaan penggusuran terhadap rakyat miskin yang dianggap tidak berhak.
Serendah-rendahnya bukti formal yang dimiliki kaum miskin atas tanah maupun tempat usaha, mereka tetap memiliki hak yang dijunjung oleh konstitusi, UU HAM dan konvensi tentang hak-hak asasi rakyat atas tanah dan perumahan, hak mendapat perlakuan adil/keadilan, menikmati kebebasan dasar, serta terhindar dari tindak kekerasan/penggusuran. Dengan bukti formal yang minim pun, kaum miskin tetaplah manusia. Sedangkan binatang pun yang dipindahkan tetap saja membutuhkan perlindungan tempat tinggal. Di sinilah pentingnya ruang negosiasi yang imbang untuk memecahkan masalah dan memenuhi rasa keadilan. Dalam prakteknya, ruang negosiasi itu sangat sempit, bahkan tertutup. Konsep penataan yang digagas dan disiapkan oleh pemerintah bersama kaum akedemisi-profesional tidak berarti apa-apa. Semuanya bisa berubah menjadi tindak kekerasan, penggusuran, dan akhirnya pemiskinan.
*****
Yang diinginkan oleh kaum miskin dan pemerhati masalah kemiskinan adalah menjadikan konsep dan kebijakan penataan itu menjadi nyata. Dalam bahasa yang simpel; bila suatu tempat dipandang kumuh, tidak teratur, tidak indah, menyebabkan kemacetan, maka gagasan pemecahannya adalah bagaimana cara membangun agar tempat itu bersih, teratur dan tertib, indah, dan lancar; Bila sebuah lokasi dianggap tidak aman, orang-orangnya tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, maka jalan pemecahannya adalah mengaktifkan pengamanan, menanamkan rasa bertanggung jawab, juga kewajiban-kewajiban mereka. Memusuhi dan menggusur orang miskin jelas melawan keadilan. Karena, bila ini jalan satu-satunya, pemerintah dan akademisi profesional tidak perlu susah payah membuat perencanaan tata ruang kota. Inilah hakikat dari tata pembangunan; rakyat miskin dilindungi, diperbaiki kehidupannya, diberdayakan untuk mencapai kesejahteraannya.
catatan:
Tulisan ini pernah dimuat Tribun Timur Makassar, 6 Juni 2005.