Tuesday, August 30, 2016

Televisi, Peluka Kedua di Atas Duka

Alwy Rachman

Dalam habitat kebudayaan, jenazah diperlakukan terhormat. Sedemikian rupa jenazah dihayati sebagai waris keluarga. Itu sebabnya, aib jenazah dijaga sedemikian rupa. Laku terhadap jenazah menyimpan pesan imperatif bagi keluarga, yaitu “jangan engkau berlaku semena-mena atas jenazah” dan ”tutuplah aib sang tubuh tak bernyawa”. “Tubuh tak bernyawa adalah milikmu”, “engkau adalah pewaris atas jenazah”, begitu kira-kira norma dan laku kebudayaan. Pun norma dan laku agama-agama menegaskan seperti itu.

Tapi dalam laku media televisi, sang tubuh dimunculkan dengan paras yang jamak. Dalam tayangan entertainment, tubuh hidup menjadi penghibur yang “wah”. Pernak-pernik pasti menghiasi tubuh sang artis. Sering kali, gerak tubuh dieksplorasi dari sisi yang sensual dan seksual. Jika bukan soal sensualitas dan seksualitas, tubuh hidup menjadi olokan dan ejekan. Sang entertainer rela mengejek dan mengolok “cacat orang lain”. Atau, jika entertainer-nya yang “cacat”, “cacat tubuh” dieksploitasi sebagai komoditas tontonan. Sensualitas, seksualitas, olok-olok, dan ejekan, suka atau tidak, menjadi “pelayan gairah publik”. High narcissism and low comedy, begitu kira-kira.

Dalam tayangan tentang bencana dan kecelakaan, tubuh masih sebagai komoditas, meski tak lagi berjiwa. Tayangan atas bencana dan kecelakaan tentu wajar, meski nasib jenazah di depan kamera sering tak wajar. Jenazah, dalam banyak peliputan, “terampas” lewat kamera dan menjadi “komoditas untuk pemirsa”. Secara sepihak, publik dipersepsi sebagai pemirsa yang “rakus atas tragedi”. Satu lagi, bencana dan kecelakaan berskala besar biasanya diikuti pemediaan pakar yang menyediakan penjelasan teknokratis. Tak salah memang, cuma drama kemanusiaan tak tertangkap oleh empati. Rasa haru atas hidup manusia di sekitar bencana dan kecelakaan terampas oleh cara pikir teknokratis. Itu sebabnya, empati seperti mati rasa menonton musibah di media televisi Indonesia.
***
Tubuh adalah “rampasan” untuk “dijinakkan”, begitu posisi akademikus eksentrik Michel Foucault. Foucault mendalilkan, “tubuh cenderung dijinakkan oleh aparatus kuasa”. Kekuasaan punya motivasi dan keperluan untuk menjinakkan tubuh. Jadi, ungkapan “my body is my own”, “tubuhku adalah milikku” menjadi klise. Di bawah institusi aparatus kuasa, termasuk kuasa media, “your body is not your own”, “tubuhmu bukan milikmu”.

Tontonlah gerak tubuh di panggung fashion dan lihatlah gerak tubuh di institusi militer, sebagai contoh. Di sana, gerak tubuh tak lagi milik individu bebas. Di situ tak ada lagi gerak tubuh alamiah. Di sana dan di situ, gerak tubuh yang dikenali masyarakat “telah dijinakkan”. Begitu kira-kira gambaran sederhana tentang “tubuh yang dijinakkan”, meminjam istilah Foucault.

Dalam hal peliputan bencana dan kecelakaan, media tetap saja “merampas” tubuh yang sudah menjadi jenazah. Jenazah menjadi “obyek jinak” untuk komoditas media. Jenazah yang tak lagi berdaya “dirampas” dari kehendak dan perasaan keluarga sebagai pewaris, dirampas dari norma imperatif yang memandu laku budaya dan laku agama-agama. Jenazah menjadi bagian dari riuh dan gempita media, tetapi menyakitkan. Media menjadikan dirinya sebagai peluka kedua di atas duka yang dalam.
***
Peliputan kecelakaan udara AirAsia, baru-baru ini, adalah bukti “rampasan” jenazah oleh media televisi. Pasalnya, TvOne menayangkan proses evakuasi dengan gambar benderang terhadap sosok mayat yang “nyaris telanjang”. Kamera pasti tak bohong, tapi ideologi pengambilan dan penyiaran gambar nyatanya mengusik “moral keluarga” dan “moral publik”. Kalau saja, “engkau adalah pewaris atas jenazah yang nyaris telanjang”, apakah engkau akan rela bagian intim dan paling pribadi sang jenazah ditonton oleh publik?” Dalam bahasa kebudayaan, bagian intim dan paling pribadi disebut kemaluan. Kemaluan adalah bagian-bagian tubuh yang simbolik, tempat kita menjaga dan memelihara martabat atas rasa malu.

Kamera memang tak pernah bohong. Tapi mengapa peliputan tsunami di Jepang tak mendudukkan jenazah sebagai komoditas, padahal korbannya tak sedikit? Kamera memang tak pernah dusta, tapi mengapa peliputan jenazah korban konflik di Palestina tak seekstrem di media televisi Indonesia, meski jenazah ditonton di tengah iringan massa yang marah? Kamera tak pernah bohong, tapi ideologi tayangan tak selalu jujur.

Pada akhirnya, lewat kuasa media, jenazah didudukkan sebagai elemen dramatik peristiwa, dipindahkan dari “milik keluarga” menjadi “tontonan publik”, digeser dari “waris keluarga” menjadi “milik media”. Itu sebabnya, “hak publik” kini merenggang hak privat keluarga. Saking renggangnya, teknologi media yang direct, canggih, dan berjangkau luas tak lagi menjamin perlindungan sensitif terhadap moral keluarga, moral budaya, dan moral agama-agama atas jenazah.

Pada ujungnya, kalau sudah begini, mari kita baca kembali kegeraman Dan Brown. Penulis The Da Vinci Code ini bilang, “Media is the right arm of anarchy”, “media adalah tangan kanan anarki”.


Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo, Makassar

Monday, August 29, 2016

Manusia Petarung

Alwy Rachman

The natural state of humanity is war.”
                                       Thomas Hobbes

Keadaan paling alami dalam pengalaman kemanusiaan adalah perang. Begitu cakrawala Thomas Hobbes tentang manusia sebagaimana ungkapan di atas. Ungkapan terkenal lain dari Hobbes, “homo homini lupus”, “manusia adalah serigala bagi makhluk lainnya”.

Hobbes adalah seorang filsuf politik yang melihat manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berhenti berperang. Hobbes adalah generasi pendahulu John Locke. Keduanya tumbuh dalam suasana perang sipil di Inggris yang berlangsung panjang, dari 1642 hingga 1689. Kesaksian kedua pemikir ini terhadap posisi kemanusiaan selama perang sipil membawa keduanya kepada satu dalil, bahwa manusia bisa dibilangkan sebagai “makhluk perang”. Refleksi Hobbes dan Locke kemudian diabadikan ke dalam teori-teori tentang hubungan kontrak politik antara rakyat dan pemerintah.

Cakrawala kedua pemikir ini terhadap manusia dan kemanusiaan dimulai ketika keduanya berimajinasi tentang apa gerangan yang bakal terjadi jika manusia hidup tanpa konstitusi, tanpa undang-undang, tanpa aturan, tanpa struktur sosial, apalagi tanpa ketertiban sosial. Kedua pribadi ini, secara meyakinkan, membilangkan bahwa manusia akan menjadi makhluk sebebas-bebasnya tanpa hambatan dan tanpa aral.

Dengan situasi tanpa aral sedikit pun, manusia dipastikan akan saling menyerang atas nama berbagai alasan dan kepentingan. Manusia akan saling merusak, saling merampas, dan kalau perlu saling meniadakan. Suasana chaos pun tak terhindarkan dan memaksa manusia menjadi serigala bagi manusia lain. Manusia akan menjelma menjadi binatang liar dan buas.

Tapi, di suasana chaos itulah manusia belajar menginspirasi kesepakatan damai di antara sesamanya. Lalu, kesepakatan seperti ini yang kini dibilangkan sebagai “kontrak sosial”. Semangat dan isi kontrak sosial tidak lain adalah untuk mengekang dan membatasi kebebasan kelompok manusia kuat terhadap manusia lain. Tidak berarti bahwa kelompok manusia lemah tidak bisa menjadi serigala bagi manusia lainnya. Spirit kontrak sosial adalah berbagi kebebasan, menghormati kebebasan sendiri sembari menyesuaikan diri dengan kebebasan orang lain. Kebebasan manusia hanya bermakna jika ia menghormati kebebasan manusia lain.

Hobbes adalah pemikir yang menolak revolusi, apa pun bentuknya. Bagi Hobbes, dorongan alami (impuls) manusia untuk mendudukkan atau menyebut dirinya sebagai “manusia perang” atau “manusia petarung” adalah hal menakutkan. Impuls untuk berperang adalah sesuatu yang jahat. Perang tidak menyisakan apa-apa kecuali degradasi atas kemanusiaan, begitu pendirian Hobbes, meskipun sebagian pemikir mendaku bahwa perang justru menghidupkan dan meninggikan peradaban.

Berbeda dengan Hobbes, Locke mendaku bahwa impuls “manusia perang” adalah hal yang alami. Dorongan bertarung dapat dipakai untuk menegosiasi ulang kepentingan di antara kelompok-kelompok manusia. Impuls berperang dapat dipakai guna menyeimbangkan pola hubungan antara manusia sebagai rakyat dan manusia sebagai pemerintah, antara pemberi dan penerima mandat kekuasaan.

“Manusia perang” ataupun “manusia petarung”, sebagaimana pendakuan Hobbes, bermuara pada tiga impuls utama manusia, yaitu impuls berkompetisi, tidak percaya kepada orang lain, dan perayaan atas kekaguman diri. Impuls berkompetisi dipakai untuk mencari keuntungan. Keuntungan yang digapai lalu dijaga dengan cara mencurigai orang lain. Ketidakpercayaan pun digunakan untuk mengamankan diri. Dan, setelah itu, keuntungan dirayakan sebagai sebuah reputasi.

Kompetisi lebih sering dijalankan melalui kekerasan. Melalui kekerasan, manusia mengatribusi dirinya sebagai seorang master yang menguasai banyak hal. Lalu, semua itu dirayakan dengan kata dan senyum, baik untuk dan atas namanya sendiri, kelompoknya, profesinya, ataupun untuk dan atas nama bangsanya.

Dengan cara inilah manusia menjelmakan diri sebagai “manusia perang” atau “manusia petarung”. Selama tidak ada kekuasaan yang bisa digenggam, manusia tidak pernah kagum atas dirinya. Impuls “manusia perang” atau “manusia petarung” akan tetap mencari media perang dan akan berlangsung dari waktu ke waktu di hampir semua tatanan, meskipun perang tidak selalu diartikan sebagai perkelahian. “Perang ibarat cuaca yang lagi buruk. Dan cuaca buruk tidak bisa berbohong kepada kamar mandi,” begitu pendakuan Hobbes.

Dahi kita bisa mengerut atas pernyataan Hobbes, “the natural state of humanity is war”, “kondisi alamiah kemanusiaan adalah perang” atau pada pernyataannya “homo homini lupus”, “manusia adalah serigala bagi manusia lain,” yang keduanya seolah-olah merendahkan kualitas spiritual manusia. Tentu saja kita bisa dan pasti tergores jika hanya tiba di permukaan dua pernyataan ini. Tapi, seperti banyak pendirian ahli, Hobbes dikukuhkan sebagai filsuf politik antirevolusi, apa pun bentuknya.


Sunday, August 28, 2016

Revolusi Candu dan Gladiator Global

Alwy Rachman

Nun jauh di masa lalu, 1830-1840-an, ada sebuah kisah tentang candu. Kisah yang dalam sejarah kemudian dibilangkan sebagai Perang Candu ini bermula dari hubungan dagang antara dua negara berperadaban tinggi, yaitu antara Inggris dan Cina. Oleh sebagian kalangan, kisah ini dibilangkan sebagai Revolusi Candu.

Di kisah Revolusi Candu, Cina menjadi pecundang dan Inggris sebagai pemenang. Cina takluk lewat taktik Inggris yang menjerat rakyat Cina sebagai pecandu. Pasokan candu secara besar-besaran ke Cina, pada masa itu, membuat Cina penuh dengan rakyat pemabuk. Penguasa-penguasa Cina pun pusing tujuh keliling dan akhirnya menutup semua pintu pelabuhan bagi kapal-kapal dagang Eropa. Menutup akses pelabuhan inilah yang kemudian mendorong Inggris menyatakan perang terhadap Cina. Muncullah episode Perang Candu antara Inggris dan Cina.

Hari-hari ini, di negeri ini dan di negeri-negeri lain, istilah candu menjadi usang. Istilah candu diperbarui menjadi narkotik. Narkotik pun diberi label haram meski sebagian pihak menjelaskannya sebagai golongan obat analgesik yang berfungsi menghilangkan rasa sakit. Racikan dan jenisnya pun semakin canggih dan bervariasi: opium, ganja, kokain, amfetamin, dan segala senyawa barbital lainnya.
Istilah kecanduan pun berubah menjadi istilah sakau yang menyakitkan. Pun kampanye atas penanggulangan bahaya narkotik memakai bahasa yang menyakitkan: “penjara, gila, atau mati”.

“Revolusi Candu belum usai,” begitu kira-kira pantas kita bilangkan. Revolusi Candu di abad globalisasi bukan lagi urusan dua negara yang bertikai, sebagaimana Inggris dan Cina pada masa lalu. Kini, urusan narkotik adalah urusan antara kelompok-kelompok kartel internasional dan para pemimpin negara-bangsa.

Alvin Toffler, seorang pemuka pemikir futuristik (pemikir masa depan), malah mempromosikan julukan baru bagi kelompok-kelompok kartel ini sebagai The Empire of Cocaine atau “Kerajaan Kokain”. Sedangkan James Mills membilangkannya sebagai The Underground Empire, sepadan dengan “Kerajaan Bawah Tanah”.

Baik Toffler maupun Mills mengkonfirmasi dan menyetujui bahwa “Kerajaan Kokain” dan “Kerajaan Bawa Tanah” ini adalah aktor baru di panggung globalisasi. Kedua penulis ini mengkonfirmasi bahwa aktor baru ini berwatak petarung dan pembunuh. Aktor baru ini pantas dibilangkan sebagai “gladiator global”.

Kedua pemikir masa depan ini mendaku bahwa “Kerajaan Kokain” yang sekaligus “Kerajaan Bawah Tanah” ini dapat mengalahkan kekuatan senjata, lebih sejahtera, serta melampaui status dan kedudukan sejumlah negara di dunia. Meski eksistensi “Kerajaan Kokain” ini tidak disimbolkan lewat bendera sebagaimana kelakuan negara-negara lain, mereka punya pasukan yang bersenjata canggih, punya lembaga intelijen, punya kurir, punya jaringan internasional, dan punya kemampuan diplomasi yang melebihi beberapa negara.

Para pemimpin “Kerajaan Kokain Bawah Tanah” ini mampu mengorupsi pemimpin negara-bangsa yang gemar disuap. Jangankan bupati, wali kota, dan gubernur, presiden dari satu negara-bangsa pun dapat dilumpuhkan lewat suap dan terorisme. Begitu kira-kira pendakuan Toffler dan Mills yang berisi peringatan bagi para pemimpin negara-bangsa. Eksistensi negara-bangsa kini mendapat pesaing baru dengan munculnya “Kerajaan Kokain Bawah Tanah”, yang berkiprah sebagai aktor baru di abad globalisasi.

Adalah sikap kekanak-kanakan jika pemimpin negara-bangsa menganggap “Kerajaan Kokain” gampang dikalahkan. Pemimpin negara-bangsa yang terlalu birokratis membuat reaksi dan responsnya terhadap dampak narkotik berjalan tertatih dan lambat. Pemimpin negara-bangsa sibuk pada urusan konsultasi dan urusan menyusun memory of understanding (MoU) dengan negara lain yang dianggap lawan. Pun terbirit-birit menangani keperluan kelompok kepentingan politik dalam negeri. Lalu, kasip bereaksi terhadap aksi proaktif para pangeran narkotik.

Sebaliknya, para gladiator global, terutama kelompok-kelompok gerilyawan dan kartel-kartel narkotik, bergerak tanpa birokrasi. Para gladiator ini justru dipimpin oleh bos karismatik yang justru tidak dikenali oleh pemimpin negara. Pemimpin gladiator global ini justru dapat menciptakan daya kejut dan daya bunuh dengan efisien dan cepat. Pemimpin gladiator ini dapat membeli pemimpin negara-bangsa dengan cara paling canggih. “Quick respons”, begitu kira-kira dalil para gladiator ini.

Pada akhirnya, segenap “gladiator global” ini terpingkal-pingkal menyaksikan para pemimpin negara-bangsa yang menjadikan “narkotik” sebagai isu selebritas yang dibumbui oleh cerita tentang sang gembong dengan perempuan-perempuan cantik di sekitarnya—boleh artis, boleh model. Pada ujungnya, baru kita mengerti mengapa bahasa kampanye melawan bahaya narkotik di negeri ini hanya mengancam bangsa sendiri, yaitu “penjara, gila, atau mati”. Rupanya, bahasa kita adalah bahasa buta huruf di hadapan segenap gladiator global.

Friday, August 26, 2016

Wajah Kerumunan

Alwy Rachman

Di salah satu saluran radio swasta, menjelang tengah malam, 7 September lalu, sedang berlangsung tanya-jawab antara seorang penyiar dengan seorang narasumber di Australia. Tanya-jawab itu berkisar tentang penyelenggaraan gaya kampanye pemilu di Australia. Sang penyiar bertanya, apakah kampanye di Australia juga seramai di Indonesia?

Tak ada kampanye gaya Indonesia di sini. Tak ada umbul-umbul. Tak ada baliho yang dipasang di mana-mana. Tak ada kota yang disesaki oleh gambar dan foto dari mereka yang berkompetisi secara politik. Pun tak ada kerumunan pengendara motor berkeliling kota. Keramaian hanya terlihat di kantor-kantor partai, begitu kurang-lebih jawaban sang narasumber.

Gaya kampanye politik di Indonesia sejauh ini memang gaya kerumunan. Kerumunan, oleh para politikus, dipakai sebagai alat politik dalam berbagai skala. Dari kerumunan tingkat kampung, kecamatan, hingga kerumunan tingkat kota. Pun gaya berkerumun mereka macam-macam. Dari lesehan di kampung-kampung, kumpul-kumpul di lapangan terbuka, hingga kerumunan menggunakan motor dan mobil untuk berkeliling kota.

Kerumunan pun dilengkapi ragam sarana untuk mengikatnya. Dari baju kaus, umbul-umbul, slogan-slogan, nomor urut calon, hingga mobil-mobil kecil-besar yang telah di-branding sebagai personifikasi sang politikus. Melalui semua itu, sang pencari kuasa berkehendak mempengaruhi hak politik publik.

Kerumunan memang adalah sejarah awal media massa, begitu pendakuan Alvin Toffler, penulis dan futurolog asal Amerika. Dilihat dari perspektif sejarah, kerumunan adalah wajah komunikasi masyarakat agraris yang belum mengenal surat kabar, radio, apalagi televisi. Komunikasi kerumunan dipastikan berlangsung dari mulut ke telinga—kita sering membilangkannya sebagai komunikasi dari mulut ke mulut. Gaya komunikasi kerumunan adalah gaya gelombang pertama yang dinilai usang, dilihat dari sisi tersedianya berbagai sarana media sebagai konsekuensi berlangsungnya revolusi media.

Jika bukan mainan yang digerakkan oleh sang politikus, inti pesan politik kerumunan adalah “You are not alone”, “Engkau tak sendiri”, wahai sang pencari kuasa. Atau, bisa juga sebaliknya, kerumunan bisa mendatangkan sensasi kepada sang politikus, seolah-olah ia sedang berkuasa secara penuh karena sedang dikelilingi oleh ratusan bahkan ribuan peserta kerumunan. Sensasi yang menciptakan suasana mirip ekstasi atas kuasa, begitu penilaian Toffler. Kalau kerumunan adalah mainan politik, sang pencari kuasa hendak mengatakan pada publik, “I am not alone”, “Saya tak sendiri”.

Tapi, apa pun bentuknya, Toffler melanjutkan, kelemahan komunikasi kerumunan terletak pada kualitasnya yang “ephemeral”. “Ephemeral” yang dimaksudkan Toffler di sini tak lain adalah pesona komunikasi yang berlangsung “hanya satu hari”. Komunikasi “ephemeral” tak mampu menanamkan pesan politik yang kuat dan tertanam lama ke segenap kelompok masyarakat yang heterogen dalam waktu dan kecepatan yang bersamaan.

Dengan kualitas yang “ephemeral”, kerumunan bisa dipersamakan dengan “durable medium”, yaitu media komunikasi yang gampang retak dan pecah. Begitu kerumunan bubar, peserta kerumunan malah tak tahu apa sebenarnya pesan politik yang dibawanya dan kepada siapa pesan politik itu ditujukan. Dengan pernyataan lain, pesan politik pun hancur begitu kerumunan bubar.

Negeri ini pasti tak bisa lagi dibilangkan sebagai negeri agraris. Faktanya, jumlah petani semakin berkurang dari waktu ke waktu. Tak juga bisa dibilang miskin dari teknologi komunikasi. Buktinya, surat kabar, televisi, laptop, handphone, sudah tiba di kampung-kampung. Tapi politikus negeri ini memang hanya percaya pada demokrasi massa. Kerumunan-kerumunan dengan sengaja dibangun dari kampung ke kampung, lalu dijadikan massa sebagai cara berpolitik.

Lalu, massa itu digerakkan ke hampir setiap ruang publik. Itu pun dengan kepercayaan, semakin besar massa yang digerakkan, semakin besar pengaruhnya pada publik. Massa telanjur dinilai sebagai bagian dari legitimasi politik. Massa yang besar seolah identik dengan dukungan besar terhadap sang pencari kuasa.

Kerumunan malah—jauh sebelumnya—telah dimanipulasi. Lihatlah iklan-iklan politik di surat-surat kabar. Di sana-sini, wajah sang politikus dilatarbelakangi oleh gambar-gambar kerumunan banyak orang. Pesona kerumunan disisipkan sebagai bagian dari iklan sang pencari kuasa. Dengan cara itu, sang politikus ingin mengatakan, “I am not alone.”

Jadi, masalahnya bukan pada penilaian Toffler yang membilangkan bahwa kerumunan adalah modus komunikasi politik yang berciri “pra-teknologi”. Toh, Indonesia kaya akan infrastruktur teknologi komunikasi. Masalahnya, di negeri ini politikus memang hanya percaya pada demokrasi kerumunan. Namanya berkerumun, pasti tak hanya ramai. Malah bising.


Thursday, August 25, 2016

Nyanyian Duka Sang Penyair, Kofi Awoonor

Alwy Rachman

“Aku
berada di sudut ekstrem dunia,
Aku tak duduk di baris depan
Tetapi mereka yang beruntung
Duduk di tengah dan lupakan
Aku berada di sudut ekstrem dunia
Aku hanya bisa lampaui dan lupakan.”

                                             Kofi Awoonor

Kira-kira begitu terjemahan enam larik dari bait kedua puisi Song of Sorrow yang ditulis oleh Kofi Awoonor. Sang penyair sekaligus penulis terkemuka Ghana ini ikut menjadi korban serangan teroris di Westgate Shopping Mall, Nairobi, Kenya, oleh kelompok militan Al-Shabaab, 21 September 2013, Sabtu lalu. Kematian sang penyair yang juga menyandang status mahaguru ini sangat memukul kalangan penulis dan penyair internasional.

Duka dan lara datang bertubi karena pada Sabtu malamnya, hari di mana peristiwa itu terjadi, Awoonor dijadwalkan mengisi acara dan diminta berbicara di forum festival penulis dan story telling, yang dimaksudkan untuk membangkitkan minat membaca dan literasi di kalangan anak muda Kenya.

Oleh komunitas literasi internasional, sang penyair dianggap sebagai representasi “suara Afrika”. Ia dianggap sebagai pemuka literasi Afrika yang puisi-puisi dan tulisan-tulisan lainnya lahir dari kemampuan puitika yang autentik, yang berkemampuan mengekspresikan lipatan-lipatan kehidupan di benua hitam. Sedemikian dukanya, hingga seseorang pengagumnya menulis di jejaring media sosial dengan nada keras dan berang, “’Literasi Afrika’ benar-benar dirampas dan dicabik.”

Suasana duka bagi literasi Afrika mirip dengan nyanyian Song of Sorrow, Nyanyian Duka, yang ditulis oleh Awoonor. Puisi duka yang ditulis ini dianggap unik karena terdiri atas dua tema berbeda. Bagian pertama puisi ini berkisah tentang kemiskinan yang merajalela di sekitar kehidupan sang penyair Awoonor. Sedangkan pada bagian kedua bercerita tentang ratapan atas kematian keluarga dan para tetangganya. Puisi-puisinya, oleh banyak kalangan, dianggap wakil dari tradisi lisan Afrika.

Sang penyair memang bukan penyair biasa. Ia juga berpolitik. Puitika dan literasinya dipakai untuk berjuang. Ia pernah menyandang jabatan sebagai Duta Besar Ghana untuk Persatuan Bangsa-Bangsa pada paruh pertama 1990-an dan pernah aktif melawan apartheid. Ia juga pernah belajar sastra di University of London dan menulis beberapa drama radio untuk BBC. Pada 1975, Awoonor memimpin Departemen Bahasa Inggris di University of Cape Coast.

Nasib buruk penyair dan penulis di hadapan orang-orang bersenjata memang jamak. Jika para penulis dan penyair menjadikan bahasa sebagai senjata dalam melawan penguasa lalim, menjadikan bahasa simbol untuk menyuarakan apa yang pantas untuk diperjuangkan, orang-orang bersenjata justru sebaliknya. Orang-orang bersenjata, di bawah asuhan penguasa otoriter atau oleh kelompok-kelompok teror, selalu memilih jalan kekerasan.

Kisah yang sama tapi tak serupa juga ada di negeri ini. Baca saja kisah tentang Mochtar Lubis yang berkali-kali keluar-masuk penjara tanpa peradilan. Atau baca juga tentang cerita penyair W.S. Rendra yang juga masuk penjara karena puisi-puisi dan karya sastranya dianggap mengganggu penguasa. Atau novelis Pramoedya Ananta Toer yang dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun tanpa peradilan. Atau, Widji Tukul, yang terkenal dengan idiomnya, “hanya satu kata: lawan!”, yang hilang entah ke mana.

Song of Sorrow menempatkan “aku sang penyair” berada di sudut ekstrem dunia. Profesor Kofi Awoonor mengakhiri hidupnya di dunia yang bisa dibilangkan ekstrem, yakni di tangan para ekstremis. Tapi, Profesor! Engkau telah melampauinya, seperti yang engkau bilang dalam puisimu. Engkau tetap saja bapak literasi dari anak-anak Afrika yang dikelilingi oleh kelaparan dan kematian, sebagaimana yang juga engkau bilangkan di puisimu.

Profesor! Kini bukan engkau yang meratap. Kematianmu telah dikabarkan ke seluruh dunia. Engkau telah melupakannya, tapi anak-anak Afrika tetap saja mengenang bahwa engkaulah yang membawa puitika Afrika ke panggung literasi dunia.


Politikus dan Bahasa Tak Bernegara

Alwy Rachman

P
ada 27 Oktober 1993, Gerson Poyk menulis opini di harian Suara Pembaruan. Judulnya “Sebuah Satir tentang Akronim”. Melalui opini ini, sang sastrawan “menghidupkan kembali” Wage Rudolf Supratman secara imajiner. “Seandainya Wage Rudolf Supratman bangkit lagi dan berjalan-jalan di Kramat Raya, ia akan bingung tujuh keliling,” begitu pendakuan Poyk dalam pertemuan abstrak dengan sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Poyk adalah sosok yang gemar menulis syair, cerpen, dan prosa. Dedikasinya pada dunia literasi membawanya sebagai penerima hadiah Adinegoro, hadiah sastra ASEAN, Sea Write Award, dan Lifetime Achievement Award dari harian Kompas. Sosok ini juga pernah bekerja sebagai jurnalis Sinar Harapan sepanjang 1962-1970.

Melalui gaya tulis satire, Wage Rudolf Supratman digambarkan kebingungan menyaksikan manusia Indonesia yang suka bikin akronim atau singkatan. Saking bingungnya, Wage Rudolf Supratman diceritakan menemui dua profesor bahasa Indonesia, yaitu Jus Badudu dan Anton Mulyono. Kedua profesor ini, nyatanya, sedang menggerutu atas tabiat orang Indonesia yang maniak membuat singkatan. “Sampai parah kerongkongan kami menganjurkan agar orang jangan terlalu banyak membuat akronim di negeri ini. Di mana-mana, di negeri ini, ada manusia akronim maniak,” begitu gerutu salah satu profesor tadi.

Satire imaginer Poyk diakhiri dengan pidato Wage Rudolf Supratman, “Rasanya, akronim maniak Indonesia bersaudara kandung dengan belantara birokrasi Indonesia. Orang senang sekali menyusun biro-biro, mengangkat kepala biro, wakil kepala biro, dan tetek-bengek lain, sampai meminta orang yang dilayani memutar leher dari meja ke meja, dari laci ke laci, dan dari kantong ke kantong.”

Tapi itu dua puluh tahun lampau. Maniak akronim masa lalu bukan lagi endemi yang menyergap kalangan birokrat, tapi kini berpindah dan berubah menjadi epidemi akronim dan singkatan di kalangan politikus. Sejak era reformasi, entah siapa yang memulai, kalangan politikus ramai-ramai membuat akronim atau singkatan untuk atas namanya sendiri atau atas nama dirinya dan pasangannya. Mulai di tingkat nasional hingga di tingkat lokal, di seluruh tanah republik ini, bahasa politikus menjelma hamparan samudra akronim dan singkatan.

Lihat saja akronim dan singkatan di baliho para politikus, baca saja surat kabar yang mewartakan ucapan dan pernyataan-pernyataan mereka, atau tonton saja ketika para pencari kekuasaan ini sedang berbicara di televisi. Segera saja pikiran menjadi sesak, patah, tak mengalir, sebagai akibat dari tabiat baru yang menggunakan bahasa tak bernegara. Bilang saja, kita semua sedang menonton para maniak baru, para pembelajar baru bahasa dan demokrasi.

Entah siapa yang memulai dan entah apa pula alasannya, akronim, dan singkatan para politikus itu, nyatanya dijadikan “bahasa gagah” dalam kampanye. Maniak akronim dan singkatan telah “menggagahi” suasana batin dan pikiran masyarakat secara murah, sepihak, dan tedeng aling-aling. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan kata tedeng aling-aling dipakai untuk menutupi rahasia (perbuatan buruk).

Tak masalah memang, jika akronim atau singkatan lain dipakai secara terbatas untuk komunikasi efektif. Tapi, jika para politikus ini menganggap akronim dan singkatan sebagai wahana pendidikan demokrasi bagi masyarakat, rasanya tak pantas dan tak etis. Atau barangkali semua ini adalah gambar benderang dari tabiat yang tak mau pusing dengan “bahasa langit” demokrasi. Pakai saja “bahasa lantai” atau “bahasa tanah” dalam berdemokrasi. Para pemilik suara toh dianggap sebagai orang-orang yang tak paham “bahasa langit”. Usir saja segenap “bahasa langit” untuk kembali ke langit.

Kalau sudah begini, tak usah lagi kita menunggu sang politikus berfungsi sebagai pembawa inspirasi dan imajinasi tentang bahasa kemanusiaan, tentang bahasa negara, tentang bahasa kerakyatan, tentang bahasa kedamaian, tentang bahasa kebudayaan, atau tentang bahasa agama. Kita akhiri saja dengan membaca puitika “bahasa langit” sang Kiayi, A. Mustofa Bisri, di bawah ini,

Sajak Atasnama
 

Ada yang atasnama Tuhan melecehkan Tuhan
Ada yang atasnama negara merampok negara
Ada yang atasnama rakyat menindas rakyat
Ada yang atasnama kemanusiaan memangsa manusia
Ada yang atasnama keadilan meruntuhkan keadilan
Ada yang atasnama persatuan merusak persatuan
Ada yang atasnama perdamaian mengusik kedamaian
Ada yang atasnama kemerdekaan memasung kemerdekaan

Maka atasnama apa saja atau siapa saja
Kirimlah laknat kalian
Atau atasnamaKu perangilah mereka
Dengan kasih sayang