SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, April 3, 2017

Adab Tutur Para Bangsawan

Alwy Rachman

Aku ada karena aku berpikir,” demikian tutur Rene Descartes jauh di masa silam. Tutur semacam ini terus mengalir dari satu zaman ke zaman lain, melompati rintangan peradaban dari waktu ke waktu dan masih difungsikan oleh para ilmuwan dan oleh mereka yang gemar berfilsafat. Tentu saja, warisan tutur masa lampau seperti ini diekspresikan ulang guna mempertanyakan eksistensi manusia.

Manusia memang makhluk unik. Ia adalah makhluk bertutur, makhluk berbicara. Tanpa tutur, tanpa bicara, manusia tak bisa berkisah. Dan, tanpa kisah manusia, tidak akan bisa beradab. Peradaban tak bisa diwariskan tanpa tutur. Peradaban segera menjadi berhala jika kisah dan cerita di sekitarnya mati tak tertuturkan. Tutur dan peradaban, dengan demikian, menjadi wadah bagi manusia untuk menghidupi hidupnya.

Itu sebabnya doktrin John Langshaw Austin, seorang filsuf bahasa, seolah menegaskan pendakuan bahwa, “Aku ada karena aku bertutur.” Tak apa jika sang filsuf sedikit berbeda dengan Descartes, “Aku ada karena aku berpikir.” Pun, tak apa kalau mirip dengan pendakuan filsuf Bugis tak bernama di masa lampau, “Saddamappabbati ada, ada mappabbatigau’, gau’mappanessa tau”, “bunyi menandai kata, kata menandai tindak, dan tindak mempertegas keberadaban manusia.”

“Berpikir”, “bertutur”, dan “bertindak” oleh karena itu menjadi tanda kemanusiaan. Berpikir, bertutur, dan bertindak menjadi lorong waktu kehidupan dan dijadikan sebagai wadah eksistensial bagi manusia untuk menulusuri alir dan alur kehidupan. Di sana manusia mengalirkan dirinya, memimpin dirinya, serta mengalurkan tatanan dan paras peradaban kaumnya dari waktu ke waktu.

Atau, di sana pula manusia berpotensi menghancurkan peradaban. Dalam khazanah Islam, tutur dibilangkan berpotensi buas, “mulutmu harimaumu”. Lewat tuturmu, engkau bisa menerkam pikiran orang lain, dan dengan tuturmu engkau bisa mengoyak habis peradaban.

Austin bilang, manusia hadir dalam dua paras tutur. Paras pertama disebutnya sebagai “paras tutur konstatif”, yaitu tutur yang bisa diukur, bisa dipercaya, konsisten, dan bisa dipakai untuk bertindak. Paras kedua adalah paras performatif, yaitu tutur yang tak stabil, tak bisa diverifikasi, dan tak bisa dipakai untuk bertindak.

Dengarkan tutur Kennedy, “Jangan bertanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tanyalah dirimu apa yang telah engkau berikan untuk negara.” Dengarkan pula, tutur Hitler, “Darah Arya adalah darah putih.” Tutur Kennedy bisa dibilangkan sebagai tutur bangsawan karena ia berbicara untuk kepentingan bangsa. Bangsawan memang hanya bisa dilekatkan pada mereka yang memikirkan dan mengabdi atas nama kebangsaan. Bangsawan tidak identik dengan raja-raja. Suara bangsawan adalah suara bangsa, bukan suara para monarki.

Tutur Hitler, sebaliknya, tak bisa dibilangkan sebagai tutur bangsawan, pun tak bisa dianggap sebagai tutur negarawan. Tutur Hitler tak lebih dari tutur partai, yaitu tutur Partai Nazi. Tutur Hitler adalah tutur politikus, tutur kelompok yang rasis—begitu bahasa sederhananya. Jadi, tutur semacam Hitler tak bermaksud mengatakan apa-apa, kecuali ia sedang mempraktekkan kuasa untuk menindas bangsa lain.

Tutur memang berpotensi tak adil, begitu kritik terhadap dalil teoretis “situasi tutur ideal” Jurgen Habermas. Sebagai filsuf, Habermas memang berimajinasi tentang keadilan dalam bertutur. Ia berkehendak bahwa manusia seharusnya berjuang menciptakan “situasi ideal dalam bertutur”. Tutur seharusnya dihadirkan oleh semua pihak secara demokratis, tak ada penindasan verbal, tak ada bahasa sok kuasa, tak ada dominasi, dan tak ada tutur yang beraroma rasis.

Tapi Habermas dianggap terlalu idealis, terlalu manusiawi. Ia dianggap mengabaikan naluri dasar manusia yang suka berkuasa, senang mendominasi manusia lain, dan gemar menindas secara verbal. Doktrin bertutur secara demokratis menurut cita-cita Habermas dibilangkan sebagai “cita-cita atas citra tutur” yang kelewat utopis. Doktrin utopis ini seolah bertolak belakang dengan peringatan dini warisan Islam bahwa manusia bisa menjadi harimau lewat tutur. Manusia berpotensi menjadi binatang lewat kata, “mulutmu adalah harimaumu.”

Para pendiri bangsa membilangkan negeri ini adalah negeri bangsa. Negara bangsa, begitu bahasa formalnya. Sejauh ini, ratusan bangsa yang beragam bersedia menjadi pilar bangsa. Pun bangsa-bangsa di negeri ini merelakan dirinya disebut suku. Suku berarti kaki. Suku dengan demikian adalah kaki-kaki bangsa. Di sana, pasti ada tutur para bangsawan, betapa pun sederhananya. Di sana, pasti ada tutur kebangsaan, meskipun semua itu tak lebih dari “tutur kaki-kaki”, bukan “tutur kepala-kepala”.

Jadi, mari kita dengarkan dengan cermat bahasa tutur para politikus. Mari kita ikuti tutur kepala-kepala partai, orang-orang partai, dan mari kita simak dengan hati-hati adab tutur kepala-kepala pemerintahan di semua lapisan. Di situ, kita bisa belajar untuk tahu apakah mereka adalah bangsawan, negarawan, atau mereka tak lebih dari politikus. Jangan-jangan, di mulutnya bermunculan binatang buas.

Catatan: tulisan ini dimuat di Harian Tempo Makassar, 17 Desember 2013


 
Alwy Rachman.