Sunday, August 25, 2024

Akademikus di Menara Gading

Alwy Rachman

Pendidikan tinggi sedang diserang”, begitu kalimat pembuka Henry A. Giroux, dalam tulisannya “Beyond The Ivory Tower: Public Intellectuals and the Crisis of Higher Education”, dipublikasi pada tahun 1995. Kampus pendidikan tinggi yang diserang atau berperang adalah kisah yang berfokus pada pertanyaan dasar tentang keabsahan representasi universitas. “Universitas mewakili keperluan siapa dan untuk kepentingan apa?”, kira-kira begitu pertanyaan yang muncul usai membaca uraian Giroux atas krisis yang dibilangkannya menimpa kampus.

“Saling serang” di antara ilmuan sayap kiri (left-wing intellectuals) dan ilmuan sayap kanan (right-wing intellectuals) adalah kisah lama. Debat akademis di kedua sayap ini berpusat pada pola hubungan antara otoritas dan pengetahuan. Itu sebabnya, serangan terhadap kampus-kampus pendidikan tinggi dinilai bermatra lintas ideologi dan lintas profesi. Bagi intelektual sayap kiri, otoritas harus dipersoalkan. Bagi intelektual sayap kanan, otoritas tak jadi masalah.

Salah seorang pesohor ilmuan kiri, Pierre Bourdieu, melalui Homo Academicus yang dipublikasi pada 1984, menggambarkan otoritas sebagai pemilik modal kebudayaan (cultural capital). Tapi, pengetahuan dan kepenguasaan para intelektual kampus juga bagian dari modal kebudayaan. Itu sebabnya, saling mengokupasi antara penguasa dan pemilik modal kebudayaan senantiasa memungkinkan. Isu lain dalam “perang antar akademikus” menyoal tanggung jawab segenap intelektual dalam menciptakan hubungan sosial yang demokratis, dan cara intelektual menghadirkan kultur kritis di kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.

Serangan terhadap pendidikan tinggi bersifat lintas ideologi, begitu tambah Giroux. Dengan menukil David Reiff, universitas dianggap sedang “berperang”: perang gagasan. Tapi, perang gagasan di kampus-kampus adalah perang yang kosong, perang di wilayah permukaan, dan tak relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Kultur kampus tak lebih dari “kultur konsumerisme” dan “kultur tontonan”, bukan “kultur curah-gagas” yang memperkuat masyarakat.

Padahal, universitas adalah institusi candradimuka, tempat para intelektual mempraktekkan peran dan aksi pedagogis untuk meredefinisi hubungan politik antara universitas dan masyarakat luas. Sebagai kawasan candradimuka, kampus sejatinya memandang dirinya sebagai benteng moral masyarakat dan juga sebagai ruang sosial politik. Di benteng dan di ruang seperti ini, para sarjana sejatinya memandang dirinya sebagai akademisi profesional, sebagai warga yang pengetahuan dan tindakannya mewakili visi kehidupan publik, menghadirkan visi komunitas dan memangku akuntabilitas moral publik.

Giroux berkehendak mendakukan bahwa akademikus di kampus-kampus bukanlah sarjana yang mendudukkan dirinya secara sepihak sebagai intelektual eksklusif. Akademikus kampus sejatinya tak lain adalah segenap intelektual yang memperkaya konteks demokrasi lokal, memperkuat institusi masyarakat lokal. Caranya adalah mengelola ruang kebebasan, memelihara rasa keadilan, dan menguatkan peran aktor-aktor akademikus: dosen dan mahasiswa.
***
Dalam sejarahnya, universitas terlanjur menanggung ragam julukan: sebagai menara air, menara api, dan menara gading. Sebagai menara air, universitas dibayangkan sebagai kampus sumber “mata air” yang menghidupi “kehidupan” di tempat-tempat lebih rendah. Dengan bahasa sederhana, kampus adalah sentra pengetahuan dan kepedulian yang diabdikan untuk masyarakat luas.

Sebagai menara api, universitas diibaratkan sebagai menara penerang bagi masyarakat. Nyala menara api di kampus-kampus adalah metafor dari nyala peradaban. Kampus adalah the last resort bagi peradaban. Peradaban kampus tak lain adalah kultur “lintas batas”, melampaui segala watak kultur masyarakatnya: kultur suku, kultur kelompok, dan kultur etnik. Mestinya, tak ada ruang untuk kultur dinasti, apalagi oligarki.

Wow… tapi jangan lupa, universitas juga diolok dan disindir sebagai menara gading. Para kritikus membilangkan, di menara ini para akademikus cuma asyik pada kelompoknya sendiri. Di sini, para sarjana tak mengafirmasi dirinya sebagai “suara masyarakat”. Di sini, laku intelektual mirip laku pengecer. “Kampus adalah pusat pengecer ilmu pengetahuan”, begitu wacana sindir di sekitar paruh kedua tahun 1980-an di Indonesia. Dengan aroma yang sama, kritikus pendidikan Amerika menyebut kampus di negerinya sebagai “pusat pasar komoditas”. Bukankah kita sering bilang bahwa pendidikan adalah komoditas?.

Adalah benar, kampus sebagai “pusat pasar komoditas” mengundang kontroversi. Soalnya, di Piagam Hak Azasi Manusia Universal 1948, pendidikan dibilangkan sebagai hak setiap orang dan mestinya dapat diakses secara setara. Tapi, universitas sekarang diselenggarakan mirip bisnis dan mirip pasar. Institusi kampus bekerja sebagai provider sementara mahasiswa sebagai consumer. Lihat saja struktur pembidangan ilmu pengetahuan di kampus-kampus.

Di situ ada “fakultas basah” dan “fakultas kering”. Struktur pembidangan ilmu mirip kekuasaan. Seleksi untuk masuk di “bidang basah” dan “bidang kering” adalah paras kontribusi universitas terhadap kekuasaan. Kampus mengindoktrinasi kekuasaan di situ. Di sana, kapital budaya (cultural capital) untuk kekuasaan direproduksi, begitu kira-kira analisis dan pandangan kritis sang filsuf dan intelektual kiri ini, Pierre Bourdieu.

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo, Makassar


Saturday, August 17, 2024

BAHASAMU, BAHASAKU

Alwy Rachman

Bahasa yang saya gunakan melawanmu bukan bahasaku. Bahasamu.”, begitu ucapan James Baldwin ke William Buckley. Ucapan ini muncul di acara debat bertajuk “Impian Amerika Mengorbankan Orang Kulit Hitam Amerika” yang dilangsungkan di Universitas Cambridge tahun 1965. Ucapan ini kemudian menjadi ikonik. Seluruh isi narasi debat Baldwin-Buckley menjalar ke mana-mana dan tiba di tangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu: kritik sastra, bahasa, budaya, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan politik.

Isi impian Amerika (American Dream): setiap individu dapat meraih kesuksesan melalui kerja keras dan ketekunan tanpa memandang latar asal-usul; dapat berpindah dari satu kelas sosial ke posisi lebih tinggi melalui pendidikan dan prestasi; memiliki rumah sendiri; menjalani hidup tanpa campur tangan otoritas berlebihan; dan mendapatkan jaminan keamanan finansial dan sosial. Ideal memang impian ini, meski ada pertanyaan fundamental, yaitu apakah ada pengakuan (recognition), keadilan (justice), dan kesetaraan (equality) untuk mewujudkannya?

Baldwin berkulit hitam, Buckley berkulit putih. Baldwin seorang aktivis, esais dan novelis; Buckley seorang penulis, komentator politik, perintis majalah konservatif National Review. Baldwin mewakili pikiran, perasaan, dan pengalaman kulit hitam; Buckley meneguhkan sikap, posisi, dan tradisi konservatif kulit putih. Debat Baldwin-Buckley, lalu menjelma menjadi debat “hitam-putih”, “aktivis-konservator”,  “reformis-status quo”, “antirasisme-konservatisme”.

Di arena debat, terjadi “pertempuran” argumen dari dua pengalaman rasial berbeda. Saking berkualitasnya, debat Baldwin-Buckley diletakkan sebagai bagian penting dari sejarah intelektual Amerika. Di sini, Baldwin berargumen bahwa impian Amerika dibangun di atas eksploitasi dan derita orang kulit hitam Amerika. Di sini, Buckley menyatakan pendirian, rasisme sistemik tak melekat pada impian Amerika.

Ada beberapa alasan mengapa debat ini terkenal. Pertama, debat menyentuh isu sensitif pada saat memuncaknya gerakan hak-hak sipil. Kedua, debat melibatkan Baldwin-Buckley sebagai dua penulis ternama. Ketiga, debat diwarnai oleh argumen berkualitas dan kuat secara emosional dari Baldwin, serta argumen terstruktur rapi dari Buckley. Keempat, debat ini dianggap sebagai momen penting dalam sejarah hubungan ras di Amerika.

Terinspirasi oleh ucapan ikonik Baldwin, Stuart Hall bilang, orang-orang berkuasa lebih memaksakan bahasanya ke orang-orang terpinggir. Teoretikus budaya berkebangsaan Jamaika ini mendalilkan, bahasa politik orang-orang berkuasa menimbun habis bahasa kelompok terpinggir. Dominasi bahasa kekuasaan di lapis permukaan akan mendorong orang-orang terpinggir ke lapis terdalam budaya bisu, budaya yang terhambat untuk mengungkapkan pandangan, kebutuhan, dan pengalaman sosial mereka.

Hall tak sendiri dalam menyoal bahasa sebagai wadah penguasa dan wadah kekuasaan. Luce Irigaray, teoretikus feminis berkebangsaan Perancis, bilang bahwa bahasa tradisional dengan struktur simboliknya, mencerminkan dan menguatkan dominasi patriarkal. Irigaray menyebutnya sebagai bahasa falik (phallic language). Bahasa falik tak menangkap kompleksitas kedalaman pengalaman perempuan. Bahasa falik mengaburkan identitas dan subjektivitas perempuan.

Tak mudah mendefenisikan bahasa falik, meskipun elemen verbal dengan elemen simbol penyertanya dapat dikenali. Slogan politik “Membangun Indonesia Hebat”, disertai elemen simbol tangan mengepal dari sang tokoh, bendera berkibar dengan latar bangunan megah, adalah contoh spesifik bahasa falik. Di pidato dan kampanye politik, bahasa falik terdengar heroik, mengundang sorak sorai: sorak dari pendukung menyemangati sang tokoh, sorai dari sesama pendukung untuk menciptakan suasana euforia.

Posisi akademik Irigaray tak berarti tak punya penantang. Dia disebut ilmuan esensialis, terperosok ke dalam dikotomi seksualitas, ingkar terhadap kompleksitas dan kelenturan identitas gender. Lawan tanding akademiknya, Juddith Buttler datang dengan gagasan performatif gender. Buttler bilang, gender bukan milik kita, bukan identitas yang inheren pada individu. Gender tak lain adalah performa, yaitu kinerja berupa tindakan, bahasa, dan perilaku sehari-hari, yang sesuai dengan ekspektasi sosial.

Banyak contoh bagaimana bahasa menjadi wadah kokoh di tangan pemimpin politik yang manipulatif. Kritik linguistik terhadap pidato-pidato politik Hitler dan kritik sastra terhadap buku Mein Kampf yang ditulisnya menemukan banyak hal. Dari kedua kritik ini, Hitler diketahui sebagai sosok demagog tulen: memanipulasi emosi pendengar dan pembacanya, menciptakan rasa takut dan kebencian, menggunakan metafora untuk musuh-musuhnya, memakai hiperbola untuk menggalang dukungan massa.

Bahasa bukan entitas netral. Bahasa netral tercipta hanya jika berciri inklusif, tak ofensif, tak diskriminatif, bebas dari stereotipe, dan jauh dari interpretasi eksklusif. Bahasa netral memastikan setiap orang merasa dihormati dalam komunikasi. Jika ini terjadi, kita bisa memutar ucapan ikonik Baldwin, dari “bukan bahasaku, bahasamu” menjadi “bahasamu, bahasaku”.


Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, Makassar, 10 Agustus 2024


Monday, August 12, 2024

AKU-INDIVIDU, AKU-KOLEKTIF

Alwy Rachman

“//Aku ini binatang jalang //dari kumpulannya terbuang” (Chairil Anwar, Aku, 1943)

Sebagai eksistensi, sebagai diri, “aku” telah dicari dan dipertanyakan oleh ragam cendekia. Berabad lamanya, “aku” didudukkan di tempat tinggi (transenden), tempat menggantungkan pertanyaan besar dan rumit oleh kalangan seniman, psikolog, filsuf, dan pemikir. “Aku”, dengan demikian, menjadi medan wacana, tempat mencari identitas diri. “Aku” adalah pusat eksplorasi.

Di percakapan sehari-hari, penyebutan “aku” dan “saya” dipakai secara sejajar, secara manasuka (arbitrer). Keduanya dipakai dengan dasar citra dan rasa bahasa: santun atau tidak, tinggi atau rendah, formal atau tidak. Kemanasukaan  “aku” dan “saya” bergantung pada preferensi pribadi dan pada konteks tutur: apa situasinya, apa temanya, siapa dan apa status penutur dan petuturnya.

Di masa lalu, “aku” telah menyita perhatian akademik dari dua psikolog terkemuka: Sigmund Freud dan Carl Jung. Keduanya adalah kolaborator satu sama lain, sekalian lawan tanding akademik. Jika Freud menyodorkan  id, ego, dan superego, sebagai penggerak kepribadian manusia, Jung meyakini anima dan animus tersimpan sebagai penyeimbang pada diri manusia. Freud dikenal sebagai pemuka psikoanalisis, Jung dikenal sebagai pesohor psikologi analitik. Meski hidup sezaman, Jung satu generasi sesudah Freud.

Freud bilang aku” memuat id yang primal (pertama dan utama), dijembatani oleh ego menuju superego yang rasional dan dapat mencerap moral dan etika. Jung bilang “aku” menimbun anima dan animus. “Aku” yang lelaki membawa anima, berisi aspek femininitas tak tersadari, berfungsi menghubungkan “aku” ke sisi emosi, sensitivitas, dan intuisi.  “Aku” yang perempuan menyimpan animus, yaitu aspek maskulinitas yang membawa “aku” ke sisi rasionalitas dan keteguhan. “Aku” adalah psike (psyche) ganda: anima dan animus.

Interaksi “aku” sebagai diri dengan “aku” di individu lain bisa problematik, untuk tak mengatakan berpotensi berkonflik. Ketiadaan pengakuan (recognition) di antara dua “aku” bisa memicu kekerasan. Tanpa pengakuan, “aku-individu” bisa berubah secara cepat menjadi “aku-kolektif”. Dalam keadaan damai, “aku-kolektif” hanya bersuara sebatas kritis. Dalam keadaan ekstrem, “aku-kolektif” berwajah garang.

Wajah garang “aku-kolektif” telah terlihat pada malapetaka musim semi Arab (Arab Spring). Penyebutan “musim semi” terlanjur dipakai oleh jurnalis dan analis Barat. Cita rasa indah ibarat tersemat pada penyebutan ini, meski peristiwanya bersimbah darah, menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang, dan meruntuhkan pusat-pusat kekuasaan. Di musim semi Arab, “aku-kolektif” diekspresikan melalui kekerasan di sejumlah negara Arab.

Pemantik musim semi Arab adalah konflik dua “aku-individu” di Tunisia: Mohamed Bouazizi dan Faida Hamdi. Bouazizi adalah lelaki pedagang kaki-lima, Hamdi adalah perempuan pejabat pemeriksa kota. Dalam satu aksi penertiban, Bouazizi ditampar oleh Hamdi. Bouazizi protes pada otoritas dan mencari pengakuan atas ketidakadilan perlakuan sang pejabat. Kekuasaan tak merespon perasaan terhina, hingga akhirnya Bouazizi bertindak ekstrem: bakar diri.

Mohammed Bouazizi kehilangan anima, Hamdi mengalami penumpulan animus. Bouazizi kehilangan muka di atas budaya yang didominasi lelaki, sementara Hamdi merasa menjalankan perannya sebagai aparatus meski dengan kekerasan. Satu individu kehilangan harga diri, individu lain kehilangan kendali.  

Konflik Bouazizi dan Hamdi, pedagang kaki lima dan pejabat, menciptakan eskalasi setelah tersebar kabar Bouazizi tewas akibat bakar diri. Identitasnya sebagai pedagang kaki lima menjelma menjadi identitas kolektif dari himpunan besar yang mewakili “perasaan diperlakukan tak adil”.  Konflik dua individu ---- dua “aku” --- menjelma menjadi Revolusi Tunisia. Negara tetangga kena imbasnya: Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.

Revolusi Tunisia, oleh Francis Fukuyama, dibilangkan sebagai revolusi harga diri. Revolusi dimulai oleh tuntutan thymos, yaitu aspek universal pada kepribadian manusia untuk diakui, lalu segera berubah menjadi isothymia, yakni kebutuhan manusia untuk diperlakukan secara setara. Peristiwa yang semula kecil, lalu menjalar dan menjelma menjadi pemberontakan sosial berskala revolusi. Bakar diri Bouazizi menggeser perasaan publik. Identitas individu sebagai pedagang kaki lima berubah secara dramatik menjadi identitas massa yang merasa senasib dengan Bouazizi.

Harga diri memang berdimensi banyak. Ia terbentuk oleh keseimbangan id dan superego, sebagaimana pendakuan Freud. Ia pun terbangun melalui keseimbangan hubungan timbal balik antara anima dan animus, begitu kata Jung. Fukuyama lalu menambahkan, secara sosial dan politik, harga diri tidak ditentukan oleh diri sendiri. Harga diri hanya bisa tegak di atas kekuasaan yang memangku pengakuan (recognition) terhadap individu dan kelompok lain. Tanpa semua ini, “aku-individu” dan “aku-kolektif”, tetap terbuang. Persona “aku-lirik” Chairil Anwar penting disimpan di tugu ingatan.


Catatan: Tulisan pernah dimuat di Harian Fajar, Makassar, 31 Juli 2024