Monday, August 12, 2024

AKU-INDIVIDU, AKU-KOLEKTIF

Alwy Rachman

“//Aku ini binatang jalang //dari kumpulannya terbuang” (Chairil Anwar, Aku, 1943)

Sebagai eksistensi, sebagai diri, “aku” telah dicari dan dipertanyakan oleh ragam cendekia. Berabad lamanya, “aku” didudukkan di tempat tinggi (transenden), tempat menggantungkan pertanyaan besar dan rumit oleh kalangan seniman, psikolog, filsuf, dan pemikir. “Aku”, dengan demikian, menjadi medan wacana, tempat mencari identitas diri. “Aku” adalah pusat eksplorasi.

Di percakapan sehari-hari, penyebutan “aku” dan “saya” dipakai secara sejajar, secara manasuka (arbitrer). Keduanya dipakai dengan dasar citra dan rasa bahasa: santun atau tidak, tinggi atau rendah, formal atau tidak. Kemanasukaan  “aku” dan “saya” bergantung pada preferensi pribadi dan pada konteks tutur: apa situasinya, apa temanya, siapa dan apa status penutur dan petuturnya.

Di masa lalu, “aku” telah menyita perhatian akademik dari dua psikolog terkemuka: Sigmund Freud dan Carl Jung. Keduanya adalah kolaborator satu sama lain, sekalian lawan tanding akademik. Jika Freud menyodorkan  id, ego, dan superego, sebagai penggerak kepribadian manusia, Jung meyakini anima dan animus tersimpan sebagai penyeimbang pada diri manusia. Freud dikenal sebagai pemuka psikoanalisis, Jung dikenal sebagai pesohor psikologi analitik. Meski hidup sezaman, Jung satu generasi sesudah Freud.

Freud bilang aku” memuat id yang primal (pertama dan utama), dijembatani oleh ego menuju superego yang rasional dan dapat mencerap moral dan etika. Jung bilang “aku” menimbun anima dan animus. “Aku” yang lelaki membawa anima, berisi aspek femininitas tak tersadari, berfungsi menghubungkan “aku” ke sisi emosi, sensitivitas, dan intuisi.  “Aku” yang perempuan menyimpan animus, yaitu aspek maskulinitas yang membawa “aku” ke sisi rasionalitas dan keteguhan. “Aku” adalah psike (psyche) ganda: anima dan animus.

Interaksi “aku” sebagai diri dengan “aku” di individu lain bisa problematik, untuk tak mengatakan berpotensi berkonflik. Ketiadaan pengakuan (recognition) di antara dua “aku” bisa memicu kekerasan. Tanpa pengakuan, “aku-individu” bisa berubah secara cepat menjadi “aku-kolektif”. Dalam keadaan damai, “aku-kolektif” hanya bersuara sebatas kritis. Dalam keadaan ekstrem, “aku-kolektif” berwajah garang.

Wajah garang “aku-kolektif” telah terlihat pada malapetaka musim semi Arab (Arab Spring). Penyebutan “musim semi” terlanjur dipakai oleh jurnalis dan analis Barat. Cita rasa indah ibarat tersemat pada penyebutan ini, meski peristiwanya bersimbah darah, menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang, dan meruntuhkan pusat-pusat kekuasaan. Di musim semi Arab, “aku-kolektif” diekspresikan melalui kekerasan di sejumlah negara Arab.

Pemantik musim semi Arab adalah konflik dua “aku-individu” di Tunisia: Mohamed Bouazizi dan Faida Hamdi. Bouazizi adalah lelaki pedagang kaki-lima, Hamdi adalah perempuan pejabat pemeriksa kota. Dalam satu aksi penertiban, Bouazizi ditampar oleh Hamdi. Bouazizi protes pada otoritas dan mencari pengakuan atas ketidakadilan perlakuan sang pejabat. Kekuasaan tak merespon perasaan terhina, hingga akhirnya Bouazizi bertindak ekstrem: bakar diri.

Mohammed Bouazizi kehilangan anima, Hamdi mengalami penumpulan animus. Bouazizi kehilangan muka di atas budaya yang didominasi lelaki, sementara Hamdi merasa menjalankan perannya sebagai aparatus meski dengan kekerasan. Satu individu kehilangan harga diri, individu lain kehilangan kendali.  

Konflik Bouazizi dan Hamdi, pedagang kaki lima dan pejabat, menciptakan eskalasi setelah tersebar kabar Bouazizi tewas akibat bakar diri. Identitasnya sebagai pedagang kaki lima menjelma menjadi identitas kolektif dari himpunan besar yang mewakili “perasaan diperlakukan tak adil”.  Konflik dua individu ---- dua “aku” --- menjelma menjadi Revolusi Tunisia. Negara tetangga kena imbasnya: Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.

Revolusi Tunisia, oleh Francis Fukuyama, dibilangkan sebagai revolusi harga diri. Revolusi dimulai oleh tuntutan thymos, yaitu aspek universal pada kepribadian manusia untuk diakui, lalu segera berubah menjadi isothymia, yakni kebutuhan manusia untuk diperlakukan secara setara. Peristiwa yang semula kecil, lalu menjalar dan menjelma menjadi pemberontakan sosial berskala revolusi. Bakar diri Bouazizi menggeser perasaan publik. Identitas individu sebagai pedagang kaki lima berubah secara dramatik menjadi identitas massa yang merasa senasib dengan Bouazizi.

Harga diri memang berdimensi banyak. Ia terbentuk oleh keseimbangan id dan superego, sebagaimana pendakuan Freud. Ia pun terbangun melalui keseimbangan hubungan timbal balik antara anima dan animus, begitu kata Jung. Fukuyama lalu menambahkan, secara sosial dan politik, harga diri tidak ditentukan oleh diri sendiri. Harga diri hanya bisa tegak di atas kekuasaan yang memangku pengakuan (recognition) terhadap individu dan kelompok lain. Tanpa semua ini, “aku-individu” dan “aku-kolektif”, tetap terbuang. Persona “aku-lirik” Chairil Anwar penting disimpan di tugu ingatan.


Catatan: Tulisan pernah dimuat di Harian Fajar, Makassar, 31 Juli 2024