Alwy Rachman
“Bahasa yang saya gunakan melawanmu bukan bahasaku. Bahasamu.”, begitu ucapan James Baldwin ke William Buckley. Ucapan ini muncul di acara debat bertajuk “Impian Amerika Mengorbankan Orang Kulit Hitam Amerika” yang dilangsungkan di Universitas Cambridge tahun 1965. Ucapan ini kemudian menjadi ikonik. Seluruh isi narasi debat Baldwin-Buckley menjalar ke mana-mana dan tiba di tangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu: kritik sastra, bahasa, budaya, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan politik.
Isi impian Amerika (American
Dream): setiap individu dapat meraih kesuksesan melalui kerja keras dan
ketekunan tanpa memandang latar asal-usul; dapat berpindah dari satu kelas
sosial ke posisi lebih tinggi melalui pendidikan dan prestasi; memiliki rumah
sendiri; menjalani hidup tanpa campur tangan otoritas berlebihan; dan
mendapatkan jaminan keamanan finansial dan sosial. Ideal memang impian ini,
meski ada pertanyaan fundamental, yaitu apakah ada pengakuan (recognition), keadilan (justice), dan kesetaraan (equality) untuk mewujudkannya?
Baldwin berkulit
hitam, Buckley berkulit putih. Baldwin seorang aktivis, esais dan novelis;
Buckley seorang penulis, komentator politik, perintis majalah konservatif National Review. Baldwin mewakili pikiran, perasaan, dan pengalaman kulit hitam;
Buckley meneguhkan sikap, posisi, dan tradisi konservatif kulit putih. Debat
Baldwin-Buckley, lalu menjelma menjadi debat “hitam-putih”, “aktivis-konservator”,
“reformis-status quo”,
“antirasisme-konservatisme”.
Di arena debat,
terjadi “pertempuran” argumen dari dua pengalaman rasial berbeda. Saking berkualitasnya,
debat Baldwin-Buckley diletakkan sebagai bagian penting dari sejarah
intelektual Amerika. Di sini, Baldwin berargumen bahwa impian Amerika dibangun
di atas eksploitasi dan derita orang kulit hitam Amerika. Di sini, Buckley menyatakan
pendirian, rasisme sistemik tak melekat pada impian Amerika.
Ada beberapa alasan
mengapa debat ini terkenal. Pertama, debat menyentuh isu sensitif pada saat
memuncaknya gerakan hak-hak sipil. Kedua, debat melibatkan Baldwin-Buckley sebagai
dua penulis ternama. Ketiga, debat diwarnai oleh argumen berkualitas dan kuat secara
emosional dari Baldwin, serta argumen terstruktur rapi dari Buckley. Keempat, debat
ini dianggap sebagai momen penting dalam sejarah hubungan ras di Amerika.
Terinspirasi oleh
ucapan ikonik Baldwin, Stuart Hall bilang, orang-orang berkuasa lebih
memaksakan bahasanya ke orang-orang terpinggir. Teoretikus budaya berkebangsaan
Jamaika ini mendalilkan, bahasa politik orang-orang berkuasa menimbun habis
bahasa kelompok terpinggir. Dominasi bahasa kekuasaan di lapis permukaan akan
mendorong orang-orang terpinggir ke lapis terdalam budaya bisu, budaya yang terhambat
untuk mengungkapkan pandangan, kebutuhan, dan pengalaman sosial mereka.
Hall tak sendiri dalam
menyoal bahasa sebagai wadah penguasa dan wadah kekuasaan. Luce Irigaray,
teoretikus feminis berkebangsaan Perancis, bilang bahwa bahasa tradisional dengan
struktur simboliknya, mencerminkan dan menguatkan dominasi patriarkal. Irigaray
menyebutnya sebagai bahasa falik (phallic language). Bahasa falik tak menangkap
kompleksitas kedalaman pengalaman perempuan. Bahasa falik mengaburkan identitas
dan subjektivitas perempuan.
Tak mudah
mendefenisikan bahasa falik, meskipun elemen verbal dengan elemen simbol
penyertanya dapat dikenali. Slogan politik “Membangun Indonesia Hebat”,
disertai elemen simbol tangan mengepal dari sang tokoh, bendera berkibar dengan
latar bangunan megah, adalah contoh spesifik bahasa falik. Di pidato dan
kampanye politik, bahasa falik terdengar heroik, mengundang sorak sorai: sorak
dari pendukung menyemangati sang tokoh, sorai dari sesama pendukung untuk menciptakan
suasana euforia.
Posisi akademik
Irigaray tak berarti tak punya penantang. Dia disebut ilmuan esensialis, terperosok
ke dalam dikotomi seksualitas, ingkar terhadap kompleksitas dan kelenturan identitas
gender. Lawan tanding akademiknya, Juddith Buttler datang dengan gagasan
performatif gender. Buttler bilang, gender bukan milik kita, bukan identitas
yang inheren pada individu. Gender tak lain adalah performa, yaitu kinerja
berupa tindakan, bahasa, dan perilaku sehari-hari, yang sesuai dengan ekspektasi
sosial.
Bahasa bukan entitas netral. Bahasa netral tercipta hanya jika berciri
inklusif, tak ofensif, tak diskriminatif, bebas dari stereotipe, dan jauh dari
interpretasi eksklusif. Bahasa netral memastikan setiap orang merasa dihormati dalam komunikasi. Jika ini terjadi, kita
bisa memutar ucapan ikonik Baldwin, dari “bukan bahasaku, bahasamu”
menjadi “bahasamu, bahasaku”.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, Makassar, 10 Agustus 2024