Saturday, August 17, 2024

BAHASAMU, BAHASAKU

Alwy Rachman

Bahasa yang saya gunakan melawanmu bukan bahasaku. Bahasamu.”, begitu ucapan James Baldwin ke William Buckley. Ucapan ini muncul di acara debat bertajuk “Impian Amerika Mengorbankan Orang Kulit Hitam Amerika” yang dilangsungkan di Universitas Cambridge tahun 1965. Ucapan ini kemudian menjadi ikonik. Seluruh isi narasi debat Baldwin-Buckley menjalar ke mana-mana dan tiba di tangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu: kritik sastra, bahasa, budaya, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan politik.

Isi impian Amerika (American Dream): setiap individu dapat meraih kesuksesan melalui kerja keras dan ketekunan tanpa memandang latar asal-usul; dapat berpindah dari satu kelas sosial ke posisi lebih tinggi melalui pendidikan dan prestasi; memiliki rumah sendiri; menjalani hidup tanpa campur tangan otoritas berlebihan; dan mendapatkan jaminan keamanan finansial dan sosial. Ideal memang impian ini, meski ada pertanyaan fundamental, yaitu apakah ada pengakuan (recognition), keadilan (justice), dan kesetaraan (equality) untuk mewujudkannya?

Baldwin berkulit hitam, Buckley berkulit putih. Baldwin seorang aktivis, esais dan novelis; Buckley seorang penulis, komentator politik, perintis majalah konservatif National Review. Baldwin mewakili pikiran, perasaan, dan pengalaman kulit hitam; Buckley meneguhkan sikap, posisi, dan tradisi konservatif kulit putih. Debat Baldwin-Buckley, lalu menjelma menjadi debat “hitam-putih”, “aktivis-konservator”,  “reformis-status quo”, “antirasisme-konservatisme”.

Di arena debat, terjadi “pertempuran” argumen dari dua pengalaman rasial berbeda. Saking berkualitasnya, debat Baldwin-Buckley diletakkan sebagai bagian penting dari sejarah intelektual Amerika. Di sini, Baldwin berargumen bahwa impian Amerika dibangun di atas eksploitasi dan derita orang kulit hitam Amerika. Di sini, Buckley menyatakan pendirian, rasisme sistemik tak melekat pada impian Amerika.

Ada beberapa alasan mengapa debat ini terkenal. Pertama, debat menyentuh isu sensitif pada saat memuncaknya gerakan hak-hak sipil. Kedua, debat melibatkan Baldwin-Buckley sebagai dua penulis ternama. Ketiga, debat diwarnai oleh argumen berkualitas dan kuat secara emosional dari Baldwin, serta argumen terstruktur rapi dari Buckley. Keempat, debat ini dianggap sebagai momen penting dalam sejarah hubungan ras di Amerika.

Terinspirasi oleh ucapan ikonik Baldwin, Stuart Hall bilang, orang-orang berkuasa lebih memaksakan bahasanya ke orang-orang terpinggir. Teoretikus budaya berkebangsaan Jamaika ini mendalilkan, bahasa politik orang-orang berkuasa menimbun habis bahasa kelompok terpinggir. Dominasi bahasa kekuasaan di lapis permukaan akan mendorong orang-orang terpinggir ke lapis terdalam budaya bisu, budaya yang terhambat untuk mengungkapkan pandangan, kebutuhan, dan pengalaman sosial mereka.

Hall tak sendiri dalam menyoal bahasa sebagai wadah penguasa dan wadah kekuasaan. Luce Irigaray, teoretikus feminis berkebangsaan Perancis, bilang bahwa bahasa tradisional dengan struktur simboliknya, mencerminkan dan menguatkan dominasi patriarkal. Irigaray menyebutnya sebagai bahasa falik (phallic language). Bahasa falik tak menangkap kompleksitas kedalaman pengalaman perempuan. Bahasa falik mengaburkan identitas dan subjektivitas perempuan.

Tak mudah mendefenisikan bahasa falik, meskipun elemen verbal dengan elemen simbol penyertanya dapat dikenali. Slogan politik “Membangun Indonesia Hebat”, disertai elemen simbol tangan mengepal dari sang tokoh, bendera berkibar dengan latar bangunan megah, adalah contoh spesifik bahasa falik. Di pidato dan kampanye politik, bahasa falik terdengar heroik, mengundang sorak sorai: sorak dari pendukung menyemangati sang tokoh, sorai dari sesama pendukung untuk menciptakan suasana euforia.

Posisi akademik Irigaray tak berarti tak punya penantang. Dia disebut ilmuan esensialis, terperosok ke dalam dikotomi seksualitas, ingkar terhadap kompleksitas dan kelenturan identitas gender. Lawan tanding akademiknya, Juddith Buttler datang dengan gagasan performatif gender. Buttler bilang, gender bukan milik kita, bukan identitas yang inheren pada individu. Gender tak lain adalah performa, yaitu kinerja berupa tindakan, bahasa, dan perilaku sehari-hari, yang sesuai dengan ekspektasi sosial.

Banyak contoh bagaimana bahasa menjadi wadah kokoh di tangan pemimpin politik yang manipulatif. Kritik linguistik terhadap pidato-pidato politik Hitler dan kritik sastra terhadap buku Mein Kampf yang ditulisnya menemukan banyak hal. Dari kedua kritik ini, Hitler diketahui sebagai sosok demagog tulen: memanipulasi emosi pendengar dan pembacanya, menciptakan rasa takut dan kebencian, menggunakan metafora untuk musuh-musuhnya, memakai hiperbola untuk menggalang dukungan massa.

Bahasa bukan entitas netral. Bahasa netral tercipta hanya jika berciri inklusif, tak ofensif, tak diskriminatif, bebas dari stereotipe, dan jauh dari interpretasi eksklusif. Bahasa netral memastikan setiap orang merasa dihormati dalam komunikasi. Jika ini terjadi, kita bisa memutar ucapan ikonik Baldwin, dari “bukan bahasaku, bahasamu” menjadi “bahasamu, bahasaku”.


Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, Makassar, 10 Agustus 2024