Alwy Rachman
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
Ketika terlahir ke dunia, seorang anak akan memulai hidupnya melalui interaksi intensif dengan seorang ibu. Awal kehidupannya dibangun secara sepotong-sepotong di rentang waktu yang ringkas menuju jalan hidup yang panjang. Kemampuan sang anak disusun sepenggal demi sepenggal di atas realitas tak bertepi, realitas yang berserakan dan terhampar luas di hadapan kehidupan. Melalui ibu, dunia lambang dan dunia bahasa serta dunia makna diekspresikan tanpa tatabahasa, lalu kemudian disodorkan kepada sang anak di titik awal jalan kehidupan.
Unik dan ajaib, interaksi dan komunikasi ibu-anak bergerak dalam proses tanpa tatanan, tanpa kekuasaan. Segalanya berjalan "tanpa aturan", tetapi tanpa kekerasan. Yang ada adalah empati dan kesabaran untuk sebuah penyesuaian di antara keduanya; antara “yang tahu” dan “yang belum tahu”, antara yang “bisa berbahasa" dan yang "tak bisa berbahasa”, antara “yang tangguh” dan “yang lemah”, antara “yang berdaya” dan “yang tak berdaya”, dan antara “pemilik pengalaman” dan “pemula pengalaman.” Inilah dunia mungil yang lazim disebut dengan “nature”, dunia yang menjadi penanda awal kehidupan yang diprakarsai, diperankan, dan dilakonkan oleh perempuan. Inilah dunia yang dibangun di atas pemaknaan tanpa melalui tatabahasa. Inilah dunia dimana ekspresi yang dipakai oleh seorang ibu patut disebut sebagai bahasa ibu atau lidah ibu, mother language atau mother tongue.
Meskipun demikian, dunia ini adalah dunia yang ringkas dan akan terampas serta terpangkas dari pemiliknya, berpindah dari otoritas seorang ibu ke kekuasaan seorang bapak. Melalui bapakisme, dunia mungil ini akan terserabut oleh tatanan patriarki, tergeser dari dunia “tanpa tatanan” ke dunia “yang bertata”, dari “dunia yang alami” (nature) menjadi “dunia yang terstruktur” (culture) menurut kepentingan nilai-nilai kebapakan. Dalam bentang waktu yang tak terlalu lama, kepemilikan atas sang anak akan berpindah, dari tangan ibu yang "bukan pemilik kekuasaan” ke tangan bapak yang “pemilik kekuasaan”. Pergeseran dan perpindahan inilah yang disebut dengan abjeksi (abjection) . Oleh para sarjana psikologi dan sarjana linguistik, pergeseran ini adalah penyerahan “dunia perempuan” yang biasanya diikuti oleh rasa sakit dan terhina. Oleh para akhli jender, di sinilah persoalan dan ketimpangan dimulai.
***
Ketika keluar dari dunia abjeksi, kebanyakan perempuan sesungguhnya bergerak ke dunia yang telah diobjektivasi secara terstruktur menurut kepentingan, nilai dan perspektif tatanan. Bahasa pun bergerak dari bahasa abjektif menjadi bahasa objektif. Dengan cara seperti ini, kebanyakan perempuan bergerak ke dunia rasional objektif yang tak selalu berpihak kepadanya. Di luar sana, bahasa yang tersedia adalah bahasa bapak (father language), bahasa yang terstruktur secara patriarki. Bahasa inilah yang dijadikan arena bersaing (panggung kontestasi) di antara para lelaki yang kemudian menjadikan tubuh perempuan sebagai wadah untuk mengekspresikan konflik dan kekerasan. Itu pula sebabnya, Irrigaray, seorang sarjana feminis, beranggapan bahwa struktur sosial dan tatabahasa adalah dua wilayah yang patut ditelusuri untuk mengenali sumber-sumber konflik dan kekerasan.
Melalui cara imajinatif, Irrigaray menyusun piramida konflik yang terdiri atas ranah biologi, ranah sosial dan ranah simbolik. Bagi Irrigaray, di ranah biologi, entitas perempuan dan lelaki masih berada dalam keadaan setara. Hakikat kesetaraan (state of equity) tertetapkan oleh hukum alam (nature), terberi secara egaliter dan berhubungan secara komplementer. Oleh karenanya, perempuan bukan sebagai “pesaing lelaki” sebagaimana lelaki bukan sebagai “pesaing perempuan”. Ranah biologi, dengan demikian, adalah ranah ilahiah yang tak teringkari dan tak tertolak. Keanekaragaman biologi adalah pilar dasar untuk melanjutkan kehidupan. Ingkar terhadap semua ini sama artinya dengan menciptakan kematian.
Tidak sama dengan ranah biologi, Irrigaray kemudian menilai bahwa ranah sosial justru bersifat problematik. Di ranah ini, tatanan kebudayaan dibangun sebagai sandingan bagi tatanan sosial. Di ranah ini, konflik seringkali dimanfestasikan dan diekspresikan ke dalam bentuk-bentuk kekerasan dengan bermacam aspeknya. Di sini, mekanisme “pengutamaan” dan “pengingkaran” dijalankan, mekanisme “pengidolaan” dan “pembencian” difungsikan.
Di ranah simbolik, Irrigaray menyodorkan bukti konseptual dan bukti konkret, bahwa di hampir semua kebudayaan, tubuh lelaki dipersepsi dan diekspresikan sebagai tubuh yang mewakili kualitas Tuhan (the Authority Principle of God), sementara tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas pemberontakan Setan (the Rebellious Principle of Satan). Penelusuran terhadap bukti-bukti kekerasan yang muncul, mulai dari arena rumah tangga, arena budaya hingga ke arena perang, menunjukan bahwa energi dan akar kekerasan terhadap perempuan dimulai dari persepsi dan ekspresi budaya seperti ini. Ranah simbolik, menurut Irrigaray, adalah ranah paling kuat dalam memadatkan nilai-nilai kekerasan, lalu disebar ke ingatan kolektif dan dipindahkan ke dalam ritus-ritus kebudayaan. Ritus-ritus, di banyak kebudayaan, seringkali memperlihatkan dengan telanjang bahwa keperluan lelaki atas simbol justru dititipkan ke tubuh perempuan. Menjadilah tubuh perempuan sebagai arena persaingan simbolik bagi lelaki yang berkuasa atas kebudayaan. Oleh karenanya, di ujung timur negeri ini, di masa lalu, seorang perempuan yang dipersepsi sebagai “perempuan mulia” adalah perempuan yang harus mengekspresikan dirinya dengan cara merelakan setiap ruas jari tangannya untuk dipenggal atas nama kebudayaan dan atas nama kemuliaan keluarga.
Melalui cara imajinatif, Irrigaray menyusun piramida konflik yang terdiri atas ranah biologi, ranah sosial dan ranah simbolik. Bagi Irrigaray, di ranah biologi, entitas perempuan dan lelaki masih berada dalam keadaan setara. Hakikat kesetaraan (state of equity) tertetapkan oleh hukum alam (nature), terberi secara egaliter dan berhubungan secara komplementer. Oleh karenanya, perempuan bukan sebagai “pesaing lelaki” sebagaimana lelaki bukan sebagai “pesaing perempuan”. Ranah biologi, dengan demikian, adalah ranah ilahiah yang tak teringkari dan tak tertolak. Keanekaragaman biologi adalah pilar dasar untuk melanjutkan kehidupan. Ingkar terhadap semua ini sama artinya dengan menciptakan kematian.
Tidak sama dengan ranah biologi, Irrigaray kemudian menilai bahwa ranah sosial justru bersifat problematik. Di ranah ini, tatanan kebudayaan dibangun sebagai sandingan bagi tatanan sosial. Di ranah ini, konflik seringkali dimanfestasikan dan diekspresikan ke dalam bentuk-bentuk kekerasan dengan bermacam aspeknya. Di sini, mekanisme “pengutamaan” dan “pengingkaran” dijalankan, mekanisme “pengidolaan” dan “pembencian” difungsikan.
Di ranah simbolik, Irrigaray menyodorkan bukti konseptual dan bukti konkret, bahwa di hampir semua kebudayaan, tubuh lelaki dipersepsi dan diekspresikan sebagai tubuh yang mewakili kualitas Tuhan (the Authority Principle of God), sementara tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas pemberontakan Setan (the Rebellious Principle of Satan). Penelusuran terhadap bukti-bukti kekerasan yang muncul, mulai dari arena rumah tangga, arena budaya hingga ke arena perang, menunjukan bahwa energi dan akar kekerasan terhadap perempuan dimulai dari persepsi dan ekspresi budaya seperti ini. Ranah simbolik, menurut Irrigaray, adalah ranah paling kuat dalam memadatkan nilai-nilai kekerasan, lalu disebar ke ingatan kolektif dan dipindahkan ke dalam ritus-ritus kebudayaan. Ritus-ritus, di banyak kebudayaan, seringkali memperlihatkan dengan telanjang bahwa keperluan lelaki atas simbol justru dititipkan ke tubuh perempuan. Menjadilah tubuh perempuan sebagai arena persaingan simbolik bagi lelaki yang berkuasa atas kebudayaan. Oleh karenanya, di ujung timur negeri ini, di masa lalu, seorang perempuan yang dipersepsi sebagai “perempuan mulia” adalah perempuan yang harus mengekspresikan dirinya dengan cara merelakan setiap ruas jari tangannya untuk dipenggal atas nama kebudayaan dan atas nama kemuliaan keluarga.
***
Sama arahnya dengan Irriagaray, Anthony Giddens, seorang teorisi sosial, dengan jelas menegaskan bahwa budaya sesungguhnya dapat dianggap sebagai struktur-struktur penekan. Kerangka konseptual seperti ini dapat dipakai untuk mengenali konflik dan kekerasan terhadap perempuan dengan cara menganalisis kerja dan fungsi struktur-struktur tersebut. Budaya, sebagai suatu tradisi, menurut Anthony Giddens, dipelihara melalui lima aspek, yaitu: memori kolektif (collective memory), kebenaran formulaik (formulaic truth), ritus (rite), tokoh (actor), dan Nilai (value). Memori kolektif biasanya berfungsi untuk mengorganisasikan kepentingan masa lalu, sementara kebenaran formulaik adalah kebenaran yang dipelihara sesuai kepentingan budaya. Ritus berfungsi untuk menstabilisasi tatanan yang dipertahankan, sementara tokoh adalah orang-orang yang bekerja menjaga tatanan. Nilai budaya akan tercermin pada rangkaian dari apa yang disebutkan di atas. Oleh karenanya, penting untuk menelusuri akar-akar kekerasan yang bersembunyi dan secara mapan berdiam pada aspek-aspek tradisi sebagaimana yang dipikirkan Irrigaray dan Giddens.
CATATAN:
Tulisan ini adalah pokok-pokok pikiran dalam satu diskusi "Kekerasan terhadap Perempuan", diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan.