ITA ROSVITA DAHRI
PSGBD
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
PSGBD
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
Barang atau objek ternyata mempunyai peran aktif
dalam mengatur dan mengonstruksi identitas.
Secara timbal balik, terjadi sebuah relasi pemaknaan
antara barang yang diberikan makna oleh seseorang
dan makna seseorang yang memiliki barang tersebut.
-Marcel Mauss-
KONTEKS:
Ketika Anda berada di atas angkutan, Anda duduk di samping orang-orang yang tengah bertutur dengan menggunakan bahasa yang ‘aneh’, apa reaksi Anda? Atau, Anda dihadapkan pada sebuah kondisi ketika menghadiri kenduri salah satu teman yang berbeda etnis dengan Anda, lalu orang kebanyakan menggunakan bahasa yang sulit diolah dan diterima oleh pikiran Anda, bagaimana pula reaksi Anda?
Indonesia adalah negara yang ditakdirkan sebagai negara multietnik. Survey Badan Pusat Statistik di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki etnis yang sangat tidak sedikit. Tidak tanggung-tanggung, Indonesia memiliki 1.128 etnik. Tidak hanya ditakdirkan sebagai negara multietnik, Indonesia juga ditakdirkan sebagai negara multibahasa. Tercatat di Pulau Sumatera terdapat 35 ragam bahasa asli, di Pulau Jawa-Bali terdapat 13 ragam bahasa asli, di Pulau Nusa Tenggara dan Maluku Barat Daya terdapat 74 ragam bahasa asli. Sementara itu, di Pulau Maluku yang terbagi atas Maluku Tengah dengan 54 ragam bahasa asli dan Maluku Utara dengan 25 ragam bahasa asli, di Maluku Selatan terdapat 46 ragam bahasa asli. Lain pula etnik di Pulau Kalimantan, yang terdapat 74 ragam bahasa asli, di Sulawesi terdapat 114 ragam bahasa asli, di Papua yang terbagi atas Papua Barat Laut dengan 62 ragam bahasa asli, dan Papua Timur dengan 272 ragam bahasa asli. Ada pula sumber lain yang merincikan jumlah bahasa asli sebanyak 726, yang terdiri atas 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang), dua bahasa sekunder tanpa penutur asli, dan lima bahasa tanpa diketahui penuturnya. Jadi wajarlah, jika Indonesia memiliki 36 rekor dunia, salah satunya yaitu “Negara dengan bahasa etnik terbanyak”.John Naisbitt dalam Global Paradox (1994) berpandangan bahwa era globalisasi telah memunculkan kecenderungan paradoksal. Pada satu sisi, kecenderungan terbentuknya kota buana (global city) semakin deras sebagai akibat dari dua penggerak utama --- kemajuan teknologi transformasi dan revolusi informatika --- yang kemudian menghadirkan “masyarakat modern”. Pada sisi lain, di saat yang hampir bersamaan, komunitas “masyarakat modern” seakan merindukan kembali nilai-nilai dan gaya primordial, terutama pada romantisme etnis. Paradoks terjadi karena bertemunya dua pengalaman. Pengalaman yang dibentuk oleh penggerak utama dari dunia “modern” dan pengalaman “primordial” yang terstruktur dan tertanam pada diri melalui proses panjang budaya etnis. Pengalaman yang satu datang dari luar dan pengalaman yang lain datang dari dalam. Kata “paradoks” sendiri berasal dari “para” yang berarti “di luar” dan “doksa” yang berarti “pengalaman sosial”. Pertemuan dua “doksa” ini lah kemudian disebut dengan “paradoks” yang secara faktual menimbulkan guncangan, gesekan dan konflik.
Naisbitt menyerukan bahwa kecenderungan paradoksal ini telah begitu mengeras, menjangkau berbagai kawasan di dunia, sehingga menjelma ke dalam berbagai peristiwa konflik. Naisbitt menggambarkan situasi seperti ini dengan menggunakan analogi menjalarnya “virus tribalisme”. Meskipun terma “tribalisme” dapat dianggap sebagai bagian dari cara menstigmatisasi negara-negara ketiga, ramalan Naisbitt perlu dicerna dalam konteks Indonesia sebagai bangsa. Indonesia memang adalah sebuah bangsa yang terdiri atas kaki-kaki bangsa (suku bangsa) dari berbagai macam latar etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa. Sebagai bangsa, dua keping realitas menjadi tidak terhindarkan bagi Indonesia --- sebagai negara multietnik dan sebagai negara multibahasa. Dalam pengalaman kebudayaan, konflik yang terstruktur di dalam dua realitas di atas tersimpan secara laten, ibarat “api dalam sekam”. Prasangka etnik dan prasangka bahasa (linguistic prejudice) pun berlangsung secara diam-diam.
Adalah Worchel dan kawan-kawan mendefinisikan prasangka sebagai sifat negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya. Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif yang mengarahkan kelompok pada individualis berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial. Bertalian dengan definisi Worchel tersebut, dapat dikatakan bahwa prasangka bahasa adalah sikap negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu bahasa dan kelompok pengguna bahasa atau individu anggota pemakai bahasa tertentu.
Prasangka bahasa merupakan sikap negatif yang bersumber pada favoritisme dan etnosentrisme, yang dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ketidaksetaraan status dengan prasangka. Hal ini akan menggiring kepada hal yang negatif. Misalnya menganggap bahasa etnis komunitas lain tidak sebaik dengan bahasa etnis yang kita miliki. Kedua, identitas etnik dan bahasa. Identitas etnik dan bahasa merupakan bagian untuk menjawab “Siapa aku?” yang dapat dijawab bila kita memiliki keanggotaan terhadap sebuah bahasa atau etnik. Kita mengidentifikasikan diri kita dengan kelompok bahasa tertentu (language in group), sedangkan ketika kita dengan kelompok bahasa lain, kita cenderung untuk memuji kebaikan kelompok bahasa kita sendiri. Ketiga, kepribadian yang dinamis. Untuk dapat merasakan diri kita memiliki status, kita memerlukan adanya orang yang memiliki status di bawah kita. Adanya perasaan superior terhadap bahasa etnis sendiri. Misalnya, jika kita menggunakan bahasa etnik kita, kita akan merasa dianggap memiliki status yang lebih baik. Keempat, bahasa mayoritas versus bahasa minoritas. Penutur bahasa yang mayoritas akan merasa hebat ketika mereka bertutur di antara penutur bahasa yang minoritas. Sebaliknya, penutur bahasa yang minoritas akan terkerdilkan dengan adanya penutur bahasa mayoritas.
Sebuah komunitas kultural secara eksistensial ditunjukkan melalui komposisi bahasa yang dimiliki untuk menangkup dan menuangkan kompleksitas gagasan dunia mereka. Sejalan dengan seluk-beluk yang melingkari prasangka bahasa, Koentjaraningrat di dalam Pengantar Ilmu Antropologi yang membahas tentang ras, bahasa, dan kebudayaan, mengungkapkan bahwa sejumlah manusia yang memiliki ciri-ciri ras tertentu sama, belum tentu juga mempunyai bahasa induk yang termasuk satu keluarga bahasa, apalagi mempunyai satu kebudayaan yang tergolong satu daerah kebudayaan. Perbedaan bahasa induk dan perbedaan daerah kebudayaan menimbulkan prasangka laten dan prasangka manifes. Di satu sisi multibudaya menjadi sumber perekat keragaman etnis, tetapi secara bersamaan, keberagaman ini juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu manifes saat semangat primordialisme tidak mampu dikelola dan dikendalikan secara mawas dan bijaksana.
Pengetahuan tentang seluk-beluk dan proses kebudayaan yang melatenkan prasangka bahasa ternyata memberikan manfaat. Begitu pun dengan pengetahuan tentang prasangka bahasa itu sendiri. Pertama, memahamkan posisi dan perilaku kita terhadap pengguna bahasa-bahasa etnik lain yang ada di sekeliling kita. Kedua, memahamkan tentang cara dan sikap kita memperlakukan dan berkomunikasi terhadap penutur bahasa yang berbeda etnik dengan kita. Ketiga, memahamkan bahayanya berprasangka bahasa terhadap bahasa etnik lain dan dampak yang akan ditimbulkan dengan menghadirnya prasangka bahasa. Keempat, memahamkan kita bahwa betapa bermaknanya pilar negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Perbedaan bahasa pada setiap etnis bukanlah sebagai pemecah, tetapi perbedaan itu adalah pemerkaya. Tak hanya manfaat pada diri yang diberikan dengan adanya pengetahuan tentang prasangka bahasa. Lembaga akademis, termasuk pihak universitas bersama fakultas yang terkait dapat memiliki kepekaan untuk menyediakan ruang kepada etnik-etnik minoritas yang ada di Sulawesi Selatan untuk merawat keberlangsungan bahasa etniknya.
Prasangka bahasa yang dapat dipahami melalui interaksi tutur di antara etnik di Sulawesi Selatan dapat terjadi pada kehidupan sehari-hari yang kadang tidak disadari. Misalnya saja pendatang Bugis yang belajar di Makassar. Ketika berada di tengah-tengah mahasiswa penutur bahasa Makassar, tentu saja sang pendatang akan merasa risih bahkan boleh jadi berpikiran negatif. Muncul sense pada dirinya kalau yang diperbincangkan mahasiswa Makassar itu adalah hal buruk tentang dirinya.
Bahasa etnik adalah bagian dari grand perspective tentang bahasa yang membentuk sebuah kesatuan dan kompleksitas sebuah komunal etnik. Bahasa etnik adalah sebuah sistem simbolis yang merupakan ekspresi makna dari keseluruhan representasi kehidupan manusia. Bahasa etnik menjadi sebuah ruang besar yang mengekspresikan sebuah relasi kompleks dari ekspresi diri dan realitas kehidupan manusia dan komunalitasnya yang bersifat historis, materialis, politis, ideologis, dan kultural. Bahasa etnik adalah bagian penting yang menangkup sebuah keutuhan dimensi sebuah komunitas etnik. Sebagai penghormatan terhadap bahasa-bahasa etnik, diperlukanlah langkah-langkah untuk merawat bahasa etnik itu sendiri. Paling tidak, ada beberapa tindakan untuk mengapresiasi bahasa-bahasa etnik, terutama etnik minoritas. Pertama, menghidupkan muatan-muatan lokal dalam pembelajaran dengan memanfaatkan bahasa etnik sebagai media penyampaian pembelajaran. Kedua, pemerintah tetap menghormati hak-hak etnik. Ketiga, negara memberikan perlindungan terhadap wilayah-wilayah keadatan bagi suatu etnik. Keempat, menyelenggarakan pendidikan multikultural. Masih lemahnya pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis antarsesama menempatkan pendidikan multikultural sebagai alat wahana penting untuk penanaman nila-nilai kebhinekaan. Multiculturalism menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas, dilihat dari sisi etnik, agama, ras dan warna kulit. Ini adalah sebuah konsep untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri atas berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa.
Peneguhan konstitusional terhadap hak etnik atas bahasa asli telah lama ‘diprasastikan’ dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III). Peneguhan ini termaktub pada Hak Budaya pasal 28 (3) yang berbunyi: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pada pasal 32 (2) berbunyi: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jelaslah kedua pasal di atas adalah bentuk penghormatan hak etnik atas bahasa asli.
Sebelum akhir, ada dua pertanyaan yang mengemuka. Pertanyaan pertama adalah “Mengapa hak etnik atas bahasa asli perlu dibela?”. Paling tidak ada beberapa jawaban untuk ini. Pertama, bahasa asli adalah bagian penting dari kerangka kerja pengetahuan dari tafsir sosial sebuah etnik. Bahasa etnik harus menunjukkan sebuah fakta tentang indegeneous lokal yang terkait dengan posisi bahasa yang dimiliki oleh suatu etnik dan tafsir sosial tentang sebuah situasi spesifik yang menjadi ciri antropologikultural manusia di dalam etnik itu. Kedua, sebab bahasa etnik merupakan bagian penting yang mengakomodasi kekayaan simbolis dan makna-makna yang berperan secara fungsional yang menunjukkan sebuah pengalaman sosial komunitas suatu etnik. Ketiga, sebab bahasa etnik adalah simbol spiritual dan ritual secara kultural. Pertanyaan kedua adalah “Apa kerugian jika etnik-etnik minoritas Sulawesi Selatan kehilangan bahasa aslinya?”. Pun ada beberapa jawaban untuk ini. Pertama, akan terjadi kegagalan spiritual dan kesalahan ritual secara kultural. Kedua, simbol-simbol dan nilai makna akan mengendap. Ketiga, pemikiran terhadap suatu etnis tidak akan terkonstruksi dalam sebuah pengalaman sosial yang dikenal. Keempat, pencitraan atau penceritaan sejarah suatu etnik akan mengalami diskontinuitas yang mengakibatkan etnik minoritas kehilangan keutuhan diri secara eksistensial. Kelima, budaya etnik minoritas tidak akan menemukan budayanya. Sebab, bahasa adalah bagian penting dari cultural boundary yang menjadi induk konseptualisasi dunia yang menghubungkan antara logika internal dalam budaya dengan realitas sosial. Paling tragis, jika etnik minoritas kehilangan bahasa aslinya, maka ia akan miskin simbol, simbol yang menyimpan nilai makna otentik yang pernah dimilikinya, sebagai identitasnya.
Kalau bahasa adalah bagian dari identitas yang “dipertukarkan”, ungkapan Marcel Mauss yang disemat di awal tulisan ini menjadi benar. Peran aktif di antara pemilik dan penerima akan menciptakan “makna” dalam mengatur dan mengonstruksi identitas bagi kepentingan keduanya. Secara timbal balik akan tercipta relasi pemaknaan penutur dan petutur. Tentu saja, bukan relasi yang menyuburkan prasangka bahasa dan prasangka etnik atau mengerdilkannya dengan cara menyuburkan pemartabatan etnik diri sendiri secara berlebihan.
Bacaan Pemerkaya
Anwar, Ahyar, 2007. “Bahasa sebagai Genetika Kultural: Materialisme Bahasa dan Habitus Orang Bugis Makassar”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.
Arya Hadi Dharmawan. 2006. Konflik Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio Budaya. www.psp3ipb.or.id./ diakses 27 Desember 2010.
Dahri, Ita Rosvita. 2010. Bahasa Daerah Ibarat ID Card. (Online) http://www.alwyrachman.blogspot.com. diakses 25 Oktober 2010.
Echols, John.M & Hassan Shadily. 2003 Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
JPM Nasional. 2010. Indonesia memiliki 1.128 Suku Bangsa. Nasional Sosial. (Online) www.jpnn.com. Diakses 27 Desember 2010.
Kaskus. 2009. Jumlah Ragam Bahasa di Indonesia. (Online) http://archive.kaskus.us. Diakses 27 Desember 2010.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bahasa. Flores: Nusa Indah.
Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.Poerwadarminta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.