SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Showing posts with label Bahasa dan Sastra. Show all posts
Showing posts with label Bahasa dan Sastra. Show all posts

Wednesday, December 2, 2015

Mencari “Jiwa dari segala jiwa”

Alwy Rachman

Ada sebuah kisah dan refleksi lama tentang kualitas pemimpin. Kisahnya dibilangkan sebagai “The Conference of the Birds”, “Pertemuan Para Burung”. Kisah konferensi burung ini ditulis jauh di masa lampau, di sekitar paruh akhir abad ke-11. Kisahnya dipapar ke dalam bahasa simbolik, ke dalam puisi panjang yang mencapai sekitar 4500 baris. “Pertemuan Para Burung” ini ditulis oleh seniman Persia, Farid ad-Din Attar.

Di literasi puisi Attar itu, burung-burung dibilangkan datang dari berbagai belahan dunia. Di tengah zaman kegelapan dan penuh kekacauan, para burung ini berkumpul dan berdiskusi tentang dunia yang gelap. Burung-burung sedunia disergap rasa ingin tahu cara keluar dari kegelapan. Kegelapan adalah kekacauan, begitu anggapan pertemuan itu. Di tengah kegelapan, jatuhlah sehelai bulu brung yang kemilau bercahaya.

Burung yang dibilang paling bijaksana, Meragai, bilang, “kemilau bulu yang jatuh adalah tanda dari sebuah ramalan visioner” dari sang legenda Simorgh. Meragai pun segera memimpin burung dari segala jenis, segala bentuk, untuk terbang bersama. Pencaharian besar-besaran pun dimulai.

Terbang bagikan guntur ke langit gelap untuk mencari sumber sang cahaya. Sang legenda dipercaya akan menerangi kegelapan. Tapi, pencaharian itu sejatinya melewati tujuh lembah, sebagaimana dikisahkan. Wilayah pencaharian terbentang tak terbatas, dari lembah kerinduan hingga lembah kecintaan dan dari lembah kefanaan hingga lembah ketauhidan.

Dari lembah ke lembah, kelompok burung demi kelompok burung tersesat habis. Pada akhirnya, hanya tiga puluh burung yang mencapai tempat sang legenda Simorgh. Simorgh tak lain adalah sebuah danau, tempat yang memungkinkan bagi ketiga puluh burung itu melakukan refleksi. Refleksi akhirnya: “kita hanya bisa tiba jika ada kesediaan, pengorbanan, dan kesetiaan”.  

***
Bagi Ilmuan Barat seperti Clarissa Pinkola Estes, kisah Simorgh dan Meragai dalam “Pertemuan Para Burung” adalah kisah simbolik. Clarissa yang juga penyair sekaligus berprofesi sebagai spesialis pasca-trauma dan sekaligus psikoanalis bilang, “bukankah Farid ad-Din Attar ingin menyampaikan bahwa angka 30 adalah angka siklus hidup. Angka 30 hari membentuk nama-nama bulan, begitu argumennya. Angka 30 adalah siklus lengkap dimana manusia dapat melihat, mencari, jatuh, mati, lahir dan bangun, tambahnya. 

Clarissa, sarjana psikoanalis  yang sering menggunakan puisi dan seni panggung untuk terapi ekspresif untuk orang lain, menambahkan bahwa kisah “Konferensi Para Burung” adalah deskripsi tentang psyche manusia. Kisah perjalanan ke ketujuh lembah, dengan tingkat kesulitan masing-masing, memetakan kondisi psyche manusia. Sebagian psyche akan menyerah karena tak tahan menderita, sebagian lagi merasa sengsara. Sebagian psyche diliputi rasa permusuhan, sebagian lagi tak mampu menanggung visi yang menakutkan. Sebagian mengalami psyche yang tersobek oleh keraguan, sementara yang lain memelihara psyche yang penuh sesal.

Esensi 30 hari adalah wadah untuk membangun psyche kesediaan, psyche kerelaan berkorban, dan psyche memelihara kesetiaan. Kemilau bulu Simorgh yang dikisahkan jatuh dari langit dan menerangi bumi tak lain adalah representasi dari ketiga kualitas psyche tadi. Di luar dari itu, dunia tetap saja gelap.

Kisah di “Pertemuan Para Burung” bukan satu-satunya sumber hikayat yang dapat dipakai secara akademis untuk merefleksi kualitas psyche manusia. Di tengah kegelapan, kekacauan, kekerasan dan penindasan, manusia biasanya kembali belajar tentang kualitas binatang. Mandela, misalnya, membawa Afrika Selatan dengan menumpang literasi “The Flamingo” yaitu burung Bangau. Burung Bangau katanya adalah gambaran psyche tahu diri.

Ketika muda, Bangau akan memimpin, mengajak bersama, tapi kalau sudah tua ia segera tahu diri. Bangau tua akan lengser ke pinggir, memberi kesempatan pada bangau muda, tanpa perlu meninggalkannya. Psyche tua tak lain adalah kesediaan untuk lengser sebagai pemimpin, rela berkorban untuk generasi mudanya, dan tetap setia pada jalan kebenaran.  Di luar itu, yang ada hanya “burung kertas” yang merasa bisa mencapai matahari.

Pada akhirnya, Clarissa meyakini bahwa penyair Persia, Farid ad-Din Attar adalah sosok seniman mistik sufistik yang bercerita tentang potensi bahaya yang mengancam psyche manusia. Hikayat Simorgh dalam “Pertemuan Para Burung” adalah gambaran representatif tentang resiko yang benderang dalam perjalanan psyche mencari “The Soul of souls”, “Jiwa dari segala jiwa”.


Saturday, January 1, 2011

Dua Realitas, Dua Prasangka

ITA ROSVITA DAHRI
PSGBD
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Barang atau objek ternyata mempunyai peran aktif
dalam mengatur dan mengonstruksi identitas.
Secara timbal balik, terjadi sebuah relasi pemaknaan
antara barang yang diberikan makna oleh seseorang
dan makna seseorang yang memiliki barang tersebut.
-Marcel Mauss-

KONTEKS:
Ketika Anda berada di atas angkutan, Anda duduk di samping orang-orang yang tengah bertutur dengan menggunakan bahasa yang ‘aneh’, apa reaksi Anda? Atau, Anda dihadapkan pada sebuah kondisi ketika menghadiri kenduri salah satu teman yang berbeda etnis dengan Anda, lalu orang kebanyakan menggunakan bahasa yang sulit diolah dan diterima oleh pikiran Anda, bagaimana pula reaksi Anda?

Indonesia adalah negara yang ditakdirkan sebagai negara multietnik. Survey Badan Pusat Statistik di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki etnis yang sangat tidak sedikit. Tidak tanggung-tanggung, Indonesia memiliki 1.128 etnik. Tidak hanya ditakdirkan sebagai negara multietnik, Indonesia juga ditakdirkan sebagai negara multibahasa. Tercatat di Pulau Sumatera terdapat 35 ragam bahasa asli, di Pulau Jawa-Bali terdapat 13 ragam bahasa asli, di Pulau Nusa Tenggara dan Maluku Barat Daya terdapat 74 ragam bahasa asli. Sementara itu, di Pulau Maluku yang terbagi atas Maluku Tengah dengan 54 ragam bahasa asli dan Maluku Utara dengan 25 ragam bahasa asli, di Maluku Selatan terdapat 46 ragam bahasa asli. Lain pula etnik di Pulau Kalimantan, yang terdapat 74 ragam bahasa asli, di Sulawesi terdapat 114 ragam bahasa asli, di Papua yang terbagi atas Papua Barat Laut dengan 62 ragam bahasa asli, dan Papua Timur dengan 272 ragam bahasa asli. Ada pula sumber lain yang merincikan jumlah bahasa asli sebanyak 726, yang terdiri atas 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang), dua bahasa sekunder tanpa penutur asli, dan lima bahasa tanpa diketahui penuturnya. Jadi wajarlah, jika Indonesia memiliki 36 rekor dunia, salah satunya yaitu “Negara dengan bahasa etnik terbanyak”.

John Naisbitt dalam Global Paradox (1994) berpandangan bahwa era globalisasi telah memunculkan kecenderungan paradoksal. Pada satu sisi, kecenderungan terbentuknya kota buana (global city) semakin deras sebagai akibat dari dua penggerak utama --- kemajuan teknologi transformasi dan revolusi informatika --- yang kemudian menghadirkan “masyarakat modern”. Pada sisi lain, di saat yang hampir bersamaan, komunitas “masyarakat modern” seakan merindukan kembali nilai-nilai dan gaya primordial, terutama pada romantisme etnis. Paradoks terjadi karena bertemunya dua pengalaman. Pengalaman yang dibentuk oleh penggerak utama dari dunia “modern” dan pengalaman “primordial” yang terstruktur dan tertanam pada diri melalui proses panjang budaya etnis. Pengalaman yang satu datang dari luar dan pengalaman yang lain datang dari dalam. Kata “paradoks” sendiri berasal dari “para” yang berarti “di luar” dan “doksa” yang berarti “pengalaman sosial”. Pertemuan dua “doksa” ini lah kemudian disebut dengan “paradoks” yang secara faktual menimbulkan guncangan, gesekan dan konflik.

Naisbitt menyerukan bahwa kecenderungan paradoksal ini telah begitu mengeras, menjangkau berbagai kawasan di dunia, sehingga menjelma ke dalam berbagai peristiwa konflik. Naisbitt menggambarkan situasi seperti ini dengan menggunakan analogi menjalarnya “virus tribalisme”. Meskipun terma “tribalisme” dapat dianggap sebagai bagian dari cara menstigmatisasi negara-negara ketiga, ramalan Naisbitt perlu dicerna dalam konteks Indonesia sebagai bangsa. Indonesia memang adalah sebuah bangsa yang terdiri atas kaki-kaki bangsa (suku bangsa) dari berbagai macam latar etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa. Sebagai bangsa, dua keping realitas menjadi tidak terhindarkan bagi Indonesia --- sebagai negara multietnik dan sebagai negara multibahasa. Dalam pengalaman kebudayaan, konflik yang terstruktur di dalam dua realitas di atas tersimpan secara laten, ibarat “api dalam sekam”. Prasangka etnik dan prasangka bahasa (linguistic prejudice) pun berlangsung secara diam-diam.

Adalah Worchel dan kawan-kawan mendefinisikan prasangka sebagai sifat negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya. Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif yang mengarahkan kelompok pada individualis berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial. Bertalian dengan definisi Worchel tersebut, dapat dikatakan bahwa prasangka bahasa adalah sikap negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu bahasa dan kelompok pengguna bahasa atau individu anggota pemakai bahasa tertentu.

Prasangka bahasa merupakan sikap negatif yang bersumber pada favoritisme dan etnosentrisme, yang dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ketidaksetaraan status dengan prasangka. Hal ini akan menggiring kepada hal yang negatif. Misalnya menganggap bahasa etnis komunitas lain tidak sebaik dengan bahasa etnis yang kita miliki. Kedua, identitas etnik dan bahasa. Identitas etnik dan bahasa merupakan bagian untuk menjawab “Siapa aku?” yang dapat dijawab bila kita memiliki keanggotaan terhadap sebuah bahasa atau etnik. Kita mengidentifikasikan diri kita dengan kelompok bahasa tertentu (language in group), sedangkan ketika kita dengan kelompok bahasa lain, kita cenderung untuk memuji kebaikan kelompok bahasa kita sendiri. Ketiga, kepribadian yang dinamis. Untuk dapat merasakan diri kita memiliki status, kita memerlukan adanya orang yang memiliki status di bawah kita. Adanya perasaan superior terhadap bahasa etnis sendiri. Misalnya, jika kita menggunakan bahasa etnik kita, kita akan merasa dianggap memiliki status yang lebih baik. Keempat, bahasa mayoritas versus bahasa minoritas. Penutur bahasa yang mayoritas akan merasa hebat ketika mereka bertutur di antara penutur bahasa yang minoritas. Sebaliknya, penutur bahasa yang minoritas akan terkerdilkan dengan adanya penutur bahasa mayoritas.

Sebuah komunitas kultural secara eksistensial ditunjukkan melalui komposisi bahasa yang dimiliki untuk menangkup dan menuangkan kompleksitas gagasan dunia mereka. Sejalan dengan seluk-beluk yang melingkari prasangka bahasa, Koentjaraningrat di dalam Pengantar Ilmu Antropologi yang membahas tentang ras, bahasa, dan kebudayaan, mengungkapkan bahwa sejumlah manusia yang memiliki ciri-ciri ras tertentu sama, belum tentu juga mempunyai bahasa induk yang termasuk satu keluarga bahasa, apalagi mempunyai satu kebudayaan yang tergolong satu daerah kebudayaan. Perbedaan bahasa induk dan perbedaan daerah kebudayaan menimbulkan prasangka laten dan prasangka manifes. Di satu sisi multibudaya menjadi sumber perekat keragaman etnis, tetapi secara bersamaan, keberagaman ini juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu manifes saat semangat primordialisme tidak mampu dikelola dan dikendalikan secara mawas dan bijaksana.

Pengetahuan tentang seluk-beluk dan proses kebudayaan yang melatenkan prasangka bahasa ternyata memberikan manfaat. Begitu pun dengan pengetahuan tentang prasangka bahasa itu sendiri. Pertama, memahamkan posisi dan perilaku kita terhadap pengguna bahasa-bahasa etnik lain yang ada di sekeliling kita. Kedua, memahamkan tentang cara dan sikap kita memperlakukan dan berkomunikasi terhadap penutur bahasa yang berbeda etnik dengan kita. Ketiga, memahamkan bahayanya berprasangka bahasa terhadap bahasa etnik lain dan dampak yang akan ditimbulkan dengan menghadirnya prasangka bahasa. Keempat, memahamkan kita bahwa betapa bermaknanya pilar negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Perbedaan bahasa pada setiap etnis bukanlah sebagai pemecah, tetapi perbedaan itu adalah pemerkaya. Tak hanya manfaat pada diri yang diberikan dengan adanya pengetahuan tentang prasangka bahasa. Lembaga akademis, termasuk pihak universitas bersama fakultas yang terkait dapat memiliki kepekaan untuk menyediakan ruang kepada etnik-etnik minoritas yang ada di Sulawesi Selatan untuk merawat keberlangsungan bahasa etniknya.

Prasangka bahasa yang dapat dipahami melalui interaksi tutur di antara etnik di Sulawesi Selatan dapat terjadi pada kehidupan sehari-hari yang kadang tidak disadari. Misalnya saja pendatang Bugis yang belajar di Makassar. Ketika berada di tengah-tengah mahasiswa penutur bahasa Makassar, tentu saja sang pendatang akan merasa risih bahkan boleh jadi berpikiran negatif. Muncul sense pada dirinya kalau yang diperbincangkan mahasiswa Makassar itu adalah hal buruk tentang dirinya.

Bahasa etnik adalah bagian dari grand perspective tentang bahasa yang membentuk sebuah kesatuan dan kompleksitas sebuah komunal etnik. Bahasa etnik adalah sebuah sistem simbolis yang merupakan ekspresi makna dari keseluruhan representasi kehidupan manusia. Bahasa etnik menjadi sebuah ruang besar yang mengekspresikan sebuah relasi kompleks dari ekspresi diri dan realitas kehidupan manusia dan komunalitasnya yang bersifat historis, materialis, politis, ideologis, dan kultural. Bahasa etnik adalah bagian penting yang menangkup sebuah keutuhan dimensi sebuah komunitas etnik. Sebagai penghormatan terhadap bahasa-bahasa etnik, diperlukanlah langkah-langkah untuk merawat bahasa etnik itu sendiri. Paling tidak, ada beberapa tindakan untuk mengapresiasi bahasa-bahasa etnik, terutama etnik minoritas. Pertama, menghidupkan muatan-muatan lokal dalam pembelajaran dengan memanfaatkan bahasa etnik sebagai media penyampaian pembelajaran. Kedua, pemerintah tetap menghormati hak-hak etnik. Ketiga, negara memberikan perlindungan terhadap wilayah-wilayah keadatan bagi suatu etnik. Keempat, menyelenggarakan pendidikan multikultural. Masih lemahnya pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis antarsesama menempatkan pendidikan multikultural sebagai alat wahana penting untuk penanaman nila-nilai kebhinekaan. Multiculturalism menekankan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas, dilihat dari sisi etnik, agama, ras dan warna kulit. Ini adalah sebuah konsep untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri atas berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya, dan bahasa.

Peneguhan konstitusional terhadap hak etnik atas bahasa asli telah lama ‘diprasastikan’ dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III). Peneguhan ini termaktub pada Hak Budaya pasal 28 (3) yang berbunyi: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pada pasal 32 (2) berbunyi: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jelaslah kedua pasal di atas adalah bentuk penghormatan hak etnik atas bahasa asli.

Sebelum akhir, ada dua pertanyaan yang mengemuka. Pertanyaan pertama adalah “Mengapa hak etnik atas bahasa asli perlu dibela?”. Paling tidak ada beberapa jawaban untuk ini. Pertama, bahasa asli adalah bagian penting dari kerangka kerja pengetahuan dari tafsir sosial sebuah etnik. Bahasa etnik harus menunjukkan sebuah fakta tentang indegeneous lokal yang terkait dengan posisi bahasa yang dimiliki oleh suatu etnik dan tafsir sosial tentang sebuah situasi spesifik yang menjadi ciri antropologikultural manusia di dalam etnik itu. Kedua, sebab bahasa etnik merupakan bagian penting yang mengakomodasi kekayaan simbolis dan makna-makna yang berperan secara fungsional yang menunjukkan sebuah pengalaman sosial komunitas suatu etnik. Ketiga, sebab bahasa etnik adalah simbol spiritual dan ritual secara kultural. Pertanyaan kedua adalah “Apa kerugian jika etnik-etnik minoritas Sulawesi Selatan kehilangan bahasa aslinya?”. Pun ada beberapa jawaban untuk ini. Pertama, akan terjadi kegagalan spiritual dan kesalahan ritual secara kultural. Kedua, simbol-simbol dan nilai makna akan mengendap. Ketiga, pemikiran terhadap suatu etnis tidak akan terkonstruksi dalam sebuah pengalaman sosial yang dikenal. Keempat, pencitraan atau penceritaan sejarah suatu etnik akan mengalami diskontinuitas yang mengakibatkan etnik minoritas kehilangan keutuhan diri secara eksistensial. Kelima, budaya etnik minoritas tidak akan menemukan budayanya. Sebab, bahasa adalah bagian penting dari cultural boundary yang menjadi induk konseptualisasi dunia yang menghubungkan antara logika internal dalam budaya dengan realitas sosial. Paling tragis, jika etnik minoritas kehilangan bahasa aslinya, maka ia akan miskin simbol, simbol yang menyimpan nilai makna otentik yang pernah dimilikinya, sebagai identitasnya.

Kalau bahasa adalah bagian dari identitas yang “dipertukarkan”, ungkapan Marcel Mauss yang disemat di awal tulisan ini menjadi benar. Peran aktif di antara pemilik dan penerima akan menciptakan “makna” dalam mengatur dan mengonstruksi identitas bagi kepentingan keduanya. Secara timbal balik akan tercipta relasi pemaknaan penutur dan petutur. Tentu saja, bukan relasi yang menyuburkan prasangka bahasa dan prasangka etnik atau mengerdilkannya dengan cara menyuburkan pemartabatan etnik diri sendiri secara berlebihan.


Bacaan Pemerkaya

Anwar, Ahyar, 2007. “Bahasa sebagai Genetika Kultural: Materialisme Bahasa dan Habitus Orang Bugis Makassar”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.

Arya Hadi Dharmawan. 2006. Konflik Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio Budaya. www.psp3ipb.or.id./ diakses 27 Desember 2010.

Dahri, Ita Rosvita. 2010. Bahasa Daerah Ibarat ID Card. (Online) http://www.alwyrachman.blogspot.com. diakses 25 Oktober 2010.

Echols, John.M & Hassan Shadily. 2003 Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

JPM Nasional. 2010. Indonesia memiliki 1.128 Suku Bangsa. Nasional Sosial. (Online) www.jpnn.com. Diakses 27 Desember 2010.

Kaskus. 2009. Jumlah Ragam Bahasa di Indonesia. (Online) http://archive.kaskus.us. Diakses 27 Desember 2010.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 1990. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 1986. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bahasa. Flores: Nusa Indah.

Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.Poerwadarminta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Saturday, September 26, 2009

SITUASI TEKS, DI TENGAH KONFLIK ANTARMUKA


Konteks 1
Bahasa yang kita gunakan bukanlah refleksi sejati atas dunia. Bahasa justru merupakan pembiasan dunia, tempat kita berada lalu bersaing untuk mengalami perubahan.
Ronald Carter dan Paul Sipmson,
dalam Bahasa, Wacana dan Sastra


Alwy Rachman

Konteks 2
Sastra yang hidup selalu menyediakan refleksi sensitif terhadap nilai dan cara-pandang-dunia. Sastra yang hidup meng-alir-alur-kan sejarah dan kebudayaan dari generasi ke generasi dan dari wilayah ke wilayah.

J. Lin Compton,
dalam Indigenous Konwledge system and development.

Jikalau bahasa adalah ‘teks’ dan jikalau sastra adalah ’teks’, teks kemudian menjadi terma bersaing. Teks kemudian menjadikan dirinya ’agak kepala batu’ untuk dipahami dan digunakan secara netral. Oleh karenanya, konflik pemaknaan atas teks menjadi tidak terhindarkan. Di dunia akademis, konflik antarmuka di antara pemuka pemikir bahasa dan pemuka pemikir sastra tentang teks telah dan akan berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara intuitif, aspirasi kawasan di antara keduanya tidak akan menuju ’aspirasi ketiga’ sebagai pintu keluar yang dapat menghubungkan pemikiran tentang teks bahasa dan pemikiran tentang teks sastra. Terma teks kemudian menjadi problematik, digunakan untuk dua kepentingan, untuk tidak mengatakan untuk dua mainstream --- bahasa dan sastra. Meskipun demikian, secara akademis, teks bahasa dan teks sastra dicoba dijembatani melalui pengembangan model analisis oleh sekelompok ilmuan.

Dua konteks di atas, jika ditelusuri, berakar dari dua mazhab berpikir yang secara radikal berbeda. Konteks 1 dapat ditelusuri ke hulu pemikiran Bourdieu, seorang pemikir sosial kritis yang oleh kalangan ilmuan lain dianggap ”pemikir kiri”. Posisi akademis Bourdieu yang paling kontroversial adalah ketika ia memandang bahwa ”manusia adalah mahluk yang tidak bermoral”. Man is plastic man, "manusia adalah mahluk plastik" yang sangat ditentukan oleh habitus dan arena. Jika manusia hidup dalam habitus dan arena yang bermoral, maka manusia menjadi bermoral. Jika ia hidup dalam habitus dan arena yang jahat, maka ia menjadi manusia jahat.

Habitus, dalam pandangan Bourdieu, terdiri atas 3 hal. Pertama, apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor. Kedua, interaksi sedemikian rupa dari apa yang ada ”di dalam kepala” seorang aktor dengan apa yang ada ”di dalam kepala” aktor lain. Dengan latar lingkungan yang tersedia, cara berbahasa, cara bergerak, cara mencipta diproduksi melalui interaksi ini. Ketiga, apa yang ada ”di dalam kepala” dan ”interaksi yang menyertainya” inilah yang membentuk pengalaman indrawi manusia. Dengan kata lain, Bourdieu meletakkan tubuh manusia sebagai ”sarana ingatan mnemonic” yang merupakan dasar utama kebudayaan dan dasar utama sejarah.

Di dalam habitus terdapat arena. Arena adalah panggung sosial dimana manusia bertarung, bermanuver dan bersaing untuk merebut sumber-sumber spesisfik, memperjuangkan kepentingan dan mencari akses. Gaya hidup (life style), gaya tutur, gaya rumah, pendidikan, penguasaan tanah, kekuasaan politik dan prestise adalah produk nyata dari struktur pertarungan yang diterima begitu saja. Oleh karenanya, dengan bahasa sederhana, arena dapat dimengerti sebagai sistem posisi sosial yang terstruktur dan dikuasai oleh individu dan institusi.

***
Konteks 2, jika dicermati, lebih terhubung dengan kawasan berpikir Paulo Freire. Kawasan berpikir Freire tidak melihat sastra hanya sebagai sastra, atau sastra untuk sastra. Dayaguna (utility) sastra harus dicari dan ditransformasikan ke dalam sistem pengetahuan dan ke dalam pendidikan budaya dan pendidikan teknis lainnya. Dengan kawasan berpikir seperti ini, Freire sebenarnya menghubungkan sastra (literature) dan keaksaraan (literacy). Sastra tanpa keaksaraan adalah titik tolak keprihatinan Freire.

Argumentasi Freire dibangun di atas pengalaman eksprerimentasi-keaksaraan. Eksperimentasi-keaksaraan (literacy-experiment) disusun melalui tiga tahap. Tahap pertama disebutnya sebagai tahap riset. Pada tahap ini, keunikan dan kode-kode prilaku, kesadaran atas ruang dan situasi, termasuk di dalamnya gaya tutur, idiom-idiom yang terpakai, kosa kata, dan pengucapan ditelusuri sedemikian rupa. Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan tema-tema generatif dari suatu komunitas, yang kemudian akan dipakai untuk tahap berikutnya.

Tahap kedua adalah tahap pendidikan kebudayaan. Tahap ini bertujuan mendialogkan tema-tema generatif dengan komunitasnya. Tema-tema ini kemudian dirancang untuk menemukan pikiran dan pengetahuan komunitas (cultural insight).

Tahap ketiga adalah tahap pendidikan teknis. Tahap ini untuk membuka keaksaraan komunitas dengan tiga pengetahuan; (1) pengetahuan untuk membedakan alam (nature) dan budaya (culture), (2) pengetahuan bahwa kebudayaan dibangun oleh lelaki dan perempuan, dan (3) keaksaraan harus dibuka melalui lelaki dan perempuan karena keduanya adalah kreator budaya.

Melalui tiga tahap ini, Freire meyakini bahwa sastra dan keaksaraan adalah jalan untuk membuka kebutaaksaraan dan dapat dipakai untuk memobilisasi penduduk lokal. Pendekatan tiga-tahap ini berakar dari kepercayaan bahwa manusia --- apa pun sebutannya, ”moderen” atau ”tradisional” --- adalah makhluk kreatif dan kreativitasnya dieskpresikan melalui budaya. Formalisasi idiom-idiom lokal pasti mengandung pengetahuan dan dapat dipakai untuk mengembangkan kredibilitas dan empati terhadap kebudayaan.

***
Di manakah kita harus meletakkan sastra kepulauan? Apakah teks sastra kepulauan harus dilihat dari sisi dinamika konflik etnik-negara (etno-state conflict)? Atau teks sastra kepulauan harus dibangun berdasarkan akar keaksaraan lokal? Mengapa kita harus melawan mainstream? Apa dan siapakah mainstream? Inilah sederetan pertanyaan yang tidak perlu dijawab dengan segera, apalagi terburu-buru. Anakronisme sebaiknya dihindari.

Refleksi terhadap sebelas tahun reformasi bisa dijadikan pijakan. Setidaknya terdapat tiga isu yang semestinya direspon. Pertama, pada paruh pertama reformasi, terjadi pendarahan budaya (cultural bleeding). Konflik Aceh, Sampit, Ambon, Poso, dan Papua adalah contoh telanjang. Dari konflik di kawasan-kawasan kebudayaan ini, kita ternyata tidak memiliki data dan pengetahuan tentang apa yang terjadi pada sastra dan keaksaraan di wilayah-wilayah itu. Jika habitus dan arena budaya berdarah, maka dapat dipastikan bahwa sastra dan keaksaraan juga ikut berdarah. Itu pun kalau kita meyakini hulu pikir Bourdieu. Oleh karenanya, strategi yang dapat dibangun adalah:

Strategi 1

  • Menjernihkan kembali teks sastra dan mentransformasikan keaksaraan lokal menjadi pengetahuan lokal. Utilitas teks sastra harus dicari melalui pendidikan keaksaraan.
Kedua, konflik antaretnik (inter-ethnic-conflict) atau antara negara dengan etnik (etno-state conflict), selama era reformasi, telah membuka mata kita bahwa struktur dan mozaik kebudayaan Indonesia tidak sama besar dan tidak sama lebar. Kawasan budaya Jawa yang relatif lebar dan stabil tidak sebanding dengan budaya-budaya kecil di luar Jawa yang relatif kecil dan fragil. Membiarkan budaya-budaya kecil tetap fragil tidak hanya mengingkari prinsip-prinsip kesetaraan, tetapi juga berakibat meluasnya konflik yang membawa dampak pada sastra dan keaksaraan. Moralitas habitus dan arena budaya-budaya kecil pun akan terancam. Strategi yang diperlukan di sini adalah strategi membangun kesetaraan budaya di hadapan negara.

Strategi 2

  • Mengamandemen kedudukan budaya dalam konstitusi. Pernyataan “Budaya Indonesia adalah puncak-puncak budaya daerah” tidak lagi memadai menampung gagasan kesetaraan kebudayaan di hadapan negara.
Ketiga, praktik pemekaran wilayah yang justru membesar di kawasan-kawasan budaya kecil berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kawasan budaya Jawa. Di tengah praktik pemekaran itu, idiom lokal dan sastra lokal serta keaksaraan lokal sering dipakai dalam dua modus; memperbesar konflik lokal atau mengukuhkan kekuasaan lokal. Strategi yang diperlukan di sini adalah:

Strategi 3

  • Mengembalikan sastra ke habitat dan ke arena yang fungsional bagi keperluan pengembangan kesadaran, pengetahuan, dan kolektivitas komunitas. Bukan untuk kekuasaan politik.
Sastra kepulauan dapat direfleksi dari sini. Metafor ”pulau”, tanpa bermaksud memenjarakan kreativitas berekspresi, tidak perlu dibawa ke mana-mana. Negeri ini adalah negeri kepulauan, budayanya adalah budaya kepulauan, pengetahuannya adalah pengetahuan yang tumbuh dari keaksaraan kepulauan. Kepulauan mewakili diversitas dan dengan demikian diversitas adalah keniscayaan bagi habitat dan arena kepulauan. Maka, teks-teks penyeragam dan etos-etos institusi penyeragam perlu direspon secara kritis dan radikal.


Bacaan Pemerkaya

Bourdieu, Pierre, 1992, Language and Symbolic Power, Cambridge: Polity Press.
Brokensha, David, dkk. 1980. Indigenous Knowledge Systems and Development, London: University Press of America.

Carter, Ronald,. dan Paul Simpson., 1992. Bahasa, Wacana, dan Sastra (terjemahan), Wellington: Unwin Hyman. Ltd.

Jenkins, Richard, 2002, Pierre Bourdieu, edisi revisi, Canada: Routledge.

Pruitt Dean G., dan Feffrey Z. Rubin, 1986, Teori konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roderick, Rick, 1986, Habermas and The Foundation of Critical Theory, Hampshire; MacMillan.

PS.
Tulisan ini pernah didiskusikan pada pertemuan “Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya VII", Baruga Colliq Pujie, Desa Pancana, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 15-17 Mei 2009.



Wednesday, August 26, 2009

SASTRA 'PASENG'

Anwar Ibrahim

(1)

Karya sastra ‘tradisi’ lisan, seperti sastra paseng orang Bugis, yang tumbuh dari rahim budaya masyarakat dan diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi, tidak dapat dipandang terlepas dari konteks budaya pemilik tradisi lisan itu. Bahkan, sejumlah pakar sastra ‘modern’ seperti Rene Wellek, Teeuw, dll. beranggapan bahwa karya sastra modern pun cenderung dapat dianggap demikian. Mereka mengemukakan bahwa karya sastra tidaklah lahir dari kevakuman budaya. Antropolog dan ahli folklore, Alan Dundes mempelajari karya sastra tradisional yang disebutnya sastra rakyat sebagai bagian dari studi folklore, tidak terlepas dari konteks budayanya. David Bidney, yang dikutip Makhan Jha, menggolongkan sastra ‘tradisi’ lisan itu dalam kelompok menti-facts; sebagai salah satu di antara empat ‘facts’ yang harus dipelajari dalam studi kebudayaan. Tiga ‘facts’ lainnya adalah socio-facts, arti-facts, dan agro-facts.

Sastra ‘tradisi’ lisan itu dipandang sebagai sesuatu yang fungsional dalam kehidupan kultural masyarakat. William Bascom, seorang Antropolog, dalam esainya “Four Function of Folklore”, (dimuat dalam Study of Foklore yang disunting Dundes), mengemukakan empat fungsi folklore, yaitu a) sebagai sistem projeksi, b) sebagai alat pengesahan pranata dan ritual-ritual, c) sebagai alat pendidikan, dan d) sebagai alat pemaksa agar nilai-nilai dan norma-norma ditaati.

Telaah sosiologi sastra yang berkembang pun bertumbuh dari anggapan bahwa karya sastra tidak dapat dipisahkan dari konteks kehidupan sosial masyarakat, tempat karya itu dilahirkan. Di Indonesia, selain telaah sosiologi sastra tumbuh pula ‘aliran’ kajian sastra kontekstual yang dalam pengkajiannya senantiasa mengaitkan karya sastra dengan konteks sosialnya.

Boggart melangkah lebih jauh, memperkenalkan pendekatan yang disebutnya literary cultural analysis yang berusaha memahami karya sastra dengan mengkaji pula konteks budayanya. Boggart menyebutkan istilah ‘reading for tone’, dan ‘reading for value’ sebagai langkah awal untuk menemukan dan mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat di dalam karya sastra. Langkah yang disarankan Boggart kemudian adalah berusaha memperoleh pengertian mengenai konteks kultural dengan bantuan ilmu lain, seperti antropologi, sejarah, ilmu agama, bahkan filsafat.

(2)

Sastra paseng adalah pesan-pesan atau wasiat orang-orang tua yang disampaikan turun temurun secara lisan dan literer dari generasi ke generasi. Ia merupakan hasil dari pengalaman luas dan penghayatan dalam mengenai hakikat kehidupan manusia. Sastra paseng merupakan suatu genre karya sastra yang lahir: 1) dari rahim budaya dan diwariskan turun temurun dalam masyarakat, 2) sebagai bentuk pengekspresian nilai budaya masyarakatnya; 3) mengemban fungsi-fungsi pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai budaya dan 4) merupakan pemaduan dan intipati watak peradaban masyarakatnya. Dari bentuk penyampaiannya, paseng dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu paseng berbentuk puisi, dan paseng berbentuk prosa. Paseng berbentuk prosa menggunakan bahasa dengan makna denotatif yang secara langsung mengemukakan isi pesan atau wasiat itu. Paseng prosais umumnya disampaikan seseorang yang memiliki otoritas: orang bijaksana, cerdik cendekiawan, atau orang tua yang memiliki pengalaman dan wawasan yang luas mengenai hakikat makna kehidupan. Paseng jenis ini biasanya singkat dan mudah dipahami. Sebagai contoh dikemukakan di bawah ini:

a. Paseng Mengenai Lima Pegangan Hidup

Uwappasengenngi makkatenning ri limaé akkatenningeng:
Mammulanna, ada tongenngé,
Maduana, lempuk-é,
Matellunna, gettenngé,
Maeppakna, sipakataué,
Malimanna, mappesonaé ri pawinruk séuwaé,

Aku memesankan berpegang pada lima pegangan:
Pertama, perkataan yang benar,
Kedua, kejujuran,
Ketiga, keteguhan pada keyakinan,
Keempat, saling menghargai sesama manusia,
Kelima, berserah diri kepada Pencipta yang tunggal.


b. Paseng Ramalan Keadaan

Engka séuwa wettu
Napolé sosarak marajaé
Muttamakikl ri alek-é, nasopék-sopékkik macang
Nonnokkik ri salok-é, naemmekkik buaja
Naiyami salamak
Masobbué di padang tajanngé, makkatenning ri cinagurié

Ada suatu masa
Akan terjadi prahara besar
Kita masuk ke hutan, dicabik-cabik macan
Kita turun ke sungai, ditelan buaya.
Yang selamat hanyalah
Yang bersembunyi di padang terang
Berpegang pada pohon cinaguri.


c. Paseng Ramalan Mengenai Perilaku Manusia

Engka séuwa wettu narirapik
Polé ri timunna tauwé massuk ada-ada alusuk na patuju
Takkajennek maneng tauwé, nakkacoék, naiyakiya
Barangkauk pangkaukanna pappada ulak-é,
Macanngé, na lebbipa koritu,
Sabak nanré muwisa inanna, amanna, silessurenna, anakna;
Élok cinnana naturusi, napopuang.
Lisusikik sianré balé.

Akan terjadi pada suatu waktu, ditemukan
Keluar dari mulut kata-kata halus dan berguna
Orang-orang terlena dan menjadi pengikut, tapi
Perbuatan dan perilaku bagaikan ular
Atau macan, bahkan lebih dari itu
Ia akan memangsa ayah, ibu, saudara, dan anaknya sendiri
Nafsu keinginan dan kepentinganlah yang dipertuhan.
Kita akan kembali saling memangsa bagaikan ikan.


Selain itu terdapat pula paseng yang berbentuk dialog, misalnya dialog antara cerdik cendekiawan kerajaan Bone, La Mellong Kajaolaliddo dengan Raja Bone, yang berisi wejangan dan nasihat kepada Raja Bone mengenai cara-cara mengatur negara dan pemerintahan; dialog antara Maccaé ri Luwu (cerdik cendekiawan dari Luwu) dengan calon Datu Soppeng, La Basok To Akkarangeng, yang berisi wejangan mengenai tata cara pengaturan negara, penegakan hukum, dan cara memerintah orang Soppeng. Dalam paseng-paseng tersebut, tercermin dengan jelas nilai-nilai utama budaya orang Bugis, yang dianggap sebagai pedoman dalam kehidupan kulturalnya. Paseng jenis ini sebagian telah ditulis di dalam lontarak dan menggunakan aksara lontarak orang-orang Bugis.

(3)

Puisi paseng dalam kesusastraan orang Bugis, adalah pesan atau wasiat orang-orang tua yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi dalam bentuk puitik. Paseng puitis atau sebutlah puisi paseng umumnya dikemukakan secara singkat dan padat. Makna setiap kata yang digunakan memerlukan pengungkapan lebih lanjut. Di bawah ini dipilih untuk dibahas satu puisi paseng, beserta konteks sosial budayanya, sebagai contoh:

Sadda mappabbati ada,
Ada mappabbati gauk,
Gauk mappannessa tau.

Temmettok nawa-nawa majak
Tellessuk ada-ada bellé
Teppugauk gauk macéko
Temmakkatuna ri padanna Tau
Tettakkalupa ri apoléngenna
.

Suara mewujudkan kata,
Kata mewujudkan perbuatan,
Perbuatan membuktikan manusia.

Tak membersitkan pikiran jahat
Tak mengeluarkan kata dusta
Tak melakukan perbuatan culas
Tak menghinakan sesama manusia
Tak melupakan asal kedatangan (pencipta)-nya.


[Sumber: Matowa Ujung Coa (berusia 110 tahun ketika meninggal) tahun 1972]

Pemiliknya menganggap paseng ini sakral. Ia menurunkannya kepada anak cucunya, setelah ia merasa telah berada di ujung perjalanan hidupnya. Alasannya jelas. Ia menjadikan paseng ini sebagai ‘pakaian kelaki-lakian’, serta kuatir anak cucunya yang belum matang menyalahgunakannya.

Pada bait pertama terdapat kata kunci, sadda, yang secara denotatif berarti ‘suara’. Namun, kata sadda dalam puisi paseng ini, memiliki dimensi religius, yaitu ‘suara yang dibisikkan sang Pencipta ke dalam hati manusia’, sejenis firman dalam terminologi agama. Kata sadda dalam puisi paseng ini, memiliki konteks religius dalam budaya masyarakat Bugis, baik sebelum maupun setelah masuknya agama Islam. Ia merupakan salah satu kata kunci dalam ilmu kebatinan Bugis yang disebut pappéjeppu atau ilmu makrifat. Penuntut ilmu pappéjeppu percaya, bahwa sadda berasal dari sang Pencipta, disebut saddanna pawinruk-é’ (suara sang Pencipta). Oleh karenanya, sadda dianggap memiliki kualitas sakral. Walaupun semua manusia memiliki aparatus yang dapat menerima sadda, yaitu ati macinnong atau hati nurani, namun tidak semua orang mampu menerima sadda yang sakral tersebut.

Dalam ilmu pappéjeppu disebutkan, ada dua hal yang diturunkan sang Pencipta kepada manusia, yaitu tajang (cahaya, nur) dan sadda. Keduanya hanya dapat diterima ati macinnong. Akal pikiran tidak mampu menerimanya secara sempurna, seperti diungkap dalam puisi Bugis:

Sellukkak ri alek kabo,
Pusa nawa-nawa,
Ati mallolongang

Menyuruk aku di hutan belantara,
Akal pikiran tersesat,
Nuranilah menemukan jalan

Ati macinnong dipercaya sebagai aparatus dalam diri manusia yang suci murni sehingga ia mampu menerima nilai sakral yang berasal dari sang Pencipta. Ilmu papéjeppu menyebutkan bahwa ati macinnong tidak pernah berdusta. Mulut dapat berdusta, akan tetapi ati macinnong akan mengingkari kedustaan mulut. Iapun tidak dapat didustai. Oleh karena sifat murninya, maka hanya hati nuranilah yang mampu menemukan yang mallinrung atau yang gaib, yang rahasia serta yang mampu menerima kebenaran. Dipercaya oleh penuntut ilmu papéjeppu bahwa ‘yang rahasia, kebenaran’ berada di balik yang tampak wujud, yang tallé. Materi yang tallé apalagi bila dipandang oleh mata yang terbelit keinginan dan kepentingan, bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Ia hanya kebenaran tipuan. Akan tetapi, kejernihan dan kemurnian ati macinnong dapat tertutupi oleh sesuatu yang bernama élok cinna, atau keinginan, nafsu dan kepentingan.

Makanya, dalam rangkaian paseng tersebut disebutkan pula faktor pendorong dalam diri manusia sehingga mengucapkan kata-kata dusta, ada bellé, yaitu: maraja cinna na makurang pétannga, maloppo élok na mapélloreng, terlalu besar keinginan dan kurang pertimbangan, terlalu besar kemauan dan pengecut. Disebutkan pula bahwa orang yang sering mengumbar kedustaan adalah orang “pintar dan licik, berani dan sewenang-wenang, serta kaya dan rakus”, atau maccai na mabulusuk, waraniwi na maggauk bawang, sugik-i na mangowa. “Orang berani tetapi pendusta sesungguhnya adalah pengecut”, tau warani na pabbelléng, to mapélolloreng muwa ritu.

Sadda yang diterima ati macinnong itulah yang dipesankan untuk dijelmakan atau diwujudkan sebagai ‘ada’, kata atau ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena ada (kata) adalah perwujudan saddanna pawinruk-é, maka kata-kata yang terlontar dari mulut adalah kata-kata yang benar atau disebut dalam paseng sebagai ada tongeng. Kata-kata benar itu pun harus terwujud dalam perbuatan, sesuai ungkapan puitik ‘toddokpuli temmapettu, taro ada, taro gauk’ (tekad bulat, tak terputus, menaruh kata, menaruh perbuatan). Mewujudkan sadda ke dalam kata, dan mewujudkan kata ke dalam perbuatan itulah yang membuktikan seseorang sebagai manusia.

Bait kedua puisi paseng tersebut merupakan uraian penjelas bait pertama. Seseorang yang memelihara hati nuraninya agar tidak tertutupi élok cinna sehingga dapat menerima saddanna pawinruk-é, akan mampu membuktikan dirinya sebagai manusia, dengan mengamalkan sifat-sifat dan perilaku seperti yang tercermin pada bait kedua puisi ini, yaitu:

  • Temmettok nawa-nawa majak, tak membersitkan pikiran jahat. Dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya, manusia itu tidak pernah membersitkan pikiran melakukan perbuatan jahat, terhadap orang lain;
  • Tellessuk ada-ada bellé, tak mengucapkan kata-kata dusta;
  • Teppugauk gauk macéko, tak melakukan perbuatan culas;
  • Temmakatuna ri padanna tau, tak menghinakan sesama manusia;
  • Tettakkalupa riapoléngenna, tak melupakan asal kedatanagan (pencipta)-nya.

Seseorang yang mewujudkan isi paseng ini dalam kehidupannya disebut sebagai manusia yang memelihara martabat dan harga dirinya atau memelihara sirik di dalam dirinya. Profil manusia seperti itulah yang disebut sebagai tau tongeng-tongeng, manusia yang sesungguhnya manusia. Dalam ilmu pappéjeppu, manusia seperti itulah yang memiliki kompetensi:

massadda tenribali,
mappau tenrisuppa,
maggauk tenriéwa,
tuwo lolang tenrigangka’

bersuara tak terlawan,
berkata-kata tak terbantah,
berbuat tak terlawan,
hidup ke sana ke mari tak terukur.

Kompetensi yang terkandung dalam ilmu pappéjeppu seperti itulah yang dicari manusia Bugis yang berusaha menjadi orang perkasa, to maseggek, yang dilengkapi dengan mantra kelaki-lakian, seperti:

Iyak lawarapang tau pomataénngi essoé,
Powatanngénngi maégaé lima,
kuilek malluruk
Rupakku esso mattappa’
La Makkatutu asenna tudanngé ri tau-tau matakku

Aku bagaikan manusia bermatakan matahari,
Dengan kekuatan tubuh dengan lengan banyak.
Kumenatap lurus tajam,
Wajahku matahari bersinar,
Si berhati-hati namanya yang bertahta di biji mataku.


Kompetensinya dicari untuk menjadi to maseggek, sehingga paseng di atas dianggasp sakral dan dijadikamn ‘pakaian kelaki-lakian’, namun seringkali melupakan atau tidak mewujudkan substansi paseng yang sebenarnya.

(4)

Puisi paseng yang diuraikan di atas sesungguhnya memiliki makna yang sama dengan paseng prosa yang disebutkan pertama di atas, yang memesankan untuk berpegang pada lima pegangan. Bila dalam paseng prosa disebutkan lima pegangan: adatongeng (berkata-kata benar), lempuk (kejujuran), getteng (konsistensi, tegas dan teguh pada prinsip), sipakatau (saling memanusiakan), dan mappésona ri pawinruk séuwaé (berserah diri pada Sang Pencipta yang Esa), maka dalam puisi paseng disebutkan: tak membersitkan pikiran jahat, tak mengucapkan kata dusta, tak melakukan perbuatan culas, tak menghinakan sesama manusia, dan tak melupakan penciptanya.

Puisi paseng tersebut memiliki hubungan kontekstual dengan paseng prosais dari Petta Matinroé ri Lariangbanngi yang berupa ramalan mengenai perilaku manusia: Polé ri timunna tauwé massuk ada-ada alusuk na patuju ..... Barangkauk pangkaukanna pappada ulak-é, macanngé, na lebbipa koritu, (Keluar dari mulut kata-kata halus dan berguna .... Perbuatan dan perilaku bagaikan ular, atau macan, bahkan lebih dari itu...).

Makna yang terkandung dalam puisi paseng tersebut memiliki pula hubungan kontekstual dengan pemikiran para to acca, cendekiawan Bugis masa lalu, seperti cendekiawan Bugis akhir abad ke-15, Kajaolaliddo, dan Arung Bila pada awal abad ke-16, yang menyebut nilai-nilai tersebut sebagai paramata mattappa (permata bersinar) dalam kehidupan manusia. Ia dianggap sebagai nilai-nilai dasar yang ideal dalam kehidupan kultural orang-orang Bugis.

Bila diamati secara saksama, nilai-nilai dasar itulah yang diterjemahkan dan diimplementasikan dalam panngadereng (sistem budaya) yang meliputi norma-norma, aturan-aturan, dan adat istiadat orang Bugis. Panngadereng itu meliputi:

  • adek (adat dan tatacara kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara);
  • bicara (hukum);
  • rapang (sejenis jurisprudensi, atau keputusan-keputusan hukum yang pernah dilaksanakan dalam kerajaan atau oleh kerajaan lain yang dijadikan perumpamaan atau ibarat dalam pelaksanaan hukum), dan
  • warik (aturan yang menetapkan klasifikasi dan peringkat-peringkat manusia dan barang, serta aturan protokoler dalam kehidupan bernegara).

Keseluruhan ayat-ayat dalam panngadereng dapat ditemukan akar dan hubungan kontekstualnya dengan lima nilai dasar ideal yang tercakup dalam puisi paseng di atas. Oleh karena itulah, dalam pemilihan dan penetapan seseorang untuk menjadi raja, misalnya, diadatkan persyaratan bahwa track record seseorang yang akan dipilih dan ditetapkan itu, telah menunjukkan pembuktian diri sebagai manusia sesungguhnya, tau tongeng-tongeng, yang tercermin dalam ungkatan kata dan perbuatannya. La Katak dari Pinrang mengungkapkan paseng dalam konteks ini:

Ikkeng warisik-é, jiji-bémpai aléta, nattannga laéga. Nigi-nigi paccolli awwara, palorong worokkaju, papolé asaléwangeng, sanrék riluruk unga panasaé, tettong ri tajanngé, mappésabbi ri mappancajié, iyana maka mancaji pangulu wawang, porépok-I la baiccuk.

(Sumber informasi: La Katak, 73, Paleteang, tahun 1979)

Kalian para pewaris, berbaris berbanjarlah kalian, agar si orang banyak dapat memandang. Barang siapa yang menguncupkan tetanaman, menjalarkan tumbuh-tumbuhan, mendatangkan ketenteraman, berdasar pada kebenaran, berdiri di tempat terang, mempersaksikan diri pada sang Pencipta, maka dialah yang berhak menjadi pemimpin, menata kehidupan si kecil.

Track record dan kata-kata seseorang itu telah terbukti dapat dipegang dan dipercaya; kejujurannya sungguh terjamin; konsistensi, keteguhan, serta ketegasannya dapat dipertanggungjawabkan; penghargaannya kepada manusia, serta ketakwaan kepada penciptanya terwujud dalam perbuatan dan perilaku kehidupan sehari-harinya, maka itulah yang disebut ‘manusia sesungguhnya’ atau tau tongeng-tongeng, yang layak dijadikan panutan dan pemimpin, atau pangulu wawang. Secara historik dapat dibuktikan:

  • Sawerigading, putra mahkota kerajaan Luwu, seorang pemberani, maddara takkuk atau berdarah murni turunan tomanurung, ditolak Dewan Adat untuk menjadi Datu kerajaan Luwu karena Sawerigading terbukti tidak menepati janji, sumpah atau kata-kata yang telah diucapkannya. Sawérigading bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Tana Luwu karena tidak diizinkan mengawini saudara kembarnya, namun ternyata kemudian dia kembali juga ke Tana Luwu.

  • Raja Bone, La Inca Matinroé ri Addénénna, divonis hukuman mati oleh Dewan Adat karena melakukan kesewenang-wenangan kepada rakyatnya;

  • Raja Wajo bergelar Batara Wajo ke-3 dihukum mati oleh Dewan Adat kerajaan Wajo karena keserakahan dan kesewenang-wenangannya.

Oleh karena ketaatan pada nilai-nilai dan panngadereng itu pulalah yang menyebabkan Datu Soppeng La Basok To Akkarangeng melakukan persidangan mengadili dan menjatuhkan hukuman kepada dirinya sendiri, karena telah menemukan, memungut, dan menyimpan satu pundi-pundi yang lupa diserahkannya kepada yang berhak.

Tidak kurang dari 20 orang raja dan datu dari kerajaan-kerajaan di daerah Bugis yang telah dihukum mati, diturunkan dari tahta, diasingkan ke negeri lain dan tidak diizinkan pulang kembali ke negerinya (ripaoppangi tana) karena perbuatan dan perilakunya tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai dasar ideal yang tertuang dalam panngadereng.

Panngadereng, hukum dan aturan, yang berdasar pada nilai-nilai dasar yang bersumber dari saddanna pawinruk-é itu dipercaya sebagai sesuatu yang sakral sehingga wajib dijalankan. Kelalaian melaksanakannya akan memperoleh ganjaran dari pawinruk-é, sang Pencipta, berupa bencana, baik bencana alam seperti kemarau panjang, gagal panen, gempa bumi, tanah longsor, banjir, wabah penyakit menular dan semacamnya, maupun bencana akibat perbuatan manusia, misalnya perselisihan, konflik, dan peperangan. Pelaksanaan hukum senantiasa berada di bawah tilikan pengawasan sang Pencipta.

Puisi paseng merupakan salah satu bentuk pengekspresian nilai-nilai budaya orang Bugis yang dalam suatu kurun waktu panjang telah berfungsi sebagai media pendidikan, menanamkan nilai-nilai yang turut membentuk kepribadian orang Bugis.

Puisi itu memiliki hubungan kontekstual dengan aspek-aspek kehidupan sosiokultural masyarakat, dengan sistem budaya atau panngadereng yang menata kehidupan kekeluargaan, kemasyarakatan dan kenegaraan.


Bahan Bacaan
Abidin, Andi Zainal, 1999a, Kapita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang


Abdin, Andi Zainal, 1999b, Kapita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

Abu Hamid, H. 2002. Budaya Politik dan Kepempinan di Sulawesi Selatan. (Makalah). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar.

Abu Hamid, H. 2004. PASOMPEK, Pengembaraan Orang Bugis. Pustaka Refleksi. Makassar.

Ammarel, Gene. 2004. Sistem Navigasi Bugis Makassar. Hasanuddin University Press, Makassar.

Boggart, Richard. 1979. Contemporary Cultural Studies. An Approach to the Study of Literature and Society. Startford-Upon-Avon Studies, Edward Arnold (Publishers) Ltd. London

Dundes, Alan, 1965. The Study of Folklore. Prentice Hall, Inc., Englewood, N.J.

Errington, S., 1977. Sirik, Darah dan Kekuasaan Politik di dalam Kerajaan Luwu Zaman Dahulu. Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Tahun 1(2) September, 40-62. Ujung Pandang.

Jha, Makhan, 2003, An Introduction to Social Anthropology (Second Revised Edition), Vikas Publishing House PVT LTD, India

Manyambeang, A. Kadir, dkk., 1988, Jiwa Laut Dalam Sastra Makassar, Lembaga Penelitian Unhas, Ujung Pandang

Marzuki, Laica, 1995, SIRIK, Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang (Makassar)

Matthes, B.F, 1872, Boegeenesche Chrestomatie, Amsterdam, C.A. Spin & Zoom

Matthes, B.F. 1864, Boegeenesche en Macassarsche Poezie, C.A. Spin & Zoom, Amsterdam

Mattulada. 1995. LATOA, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang

Mukhlis. (ed.) 1986. Dinamika Bugis Makassar. Diterbitkan untuk Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial PLPIIS-YIIS. Makassar.

Rahim, A. Rahman, 1985, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin: Ujung Pandang

Wellek, R. dan Austin Warren, 1989. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). PT. Gramedia. Jakarta




 
Alwy Rachman.