SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Showing posts with label Budaya dan Gender. Show all posts
Showing posts with label Budaya dan Gender. Show all posts

Monday, December 12, 2016

Silessureng, Kita Hadir Sejalan Lahir

Alwy Rachman

“Kita telah terbang ke angkasa ibarat burung,
telah menyelam ke samudra bagai ikan. Kita belum belajar
berjalan di bumi sebagai orang-orang yang bersaudara.”

                                                                
Martin Luther King Jr.

T
iba-tiba saja, bersama kolega-kolega muda-tua, saya terlibat dalam percakapan tentang pola sapaan “yang hidup” dan “yang tak hidup” di masyarakat. Sebagian peserta percakapan bilang, masyarakat kita tak sama dengan masyarakat di seberang sana. Di sana, mungkin maksudnya di negara-negara yang berbahasa Inggris, ekspresi “I am sorry” dan “Thank you” sering terdengar ketimbang di negeri sendiri.

“Maaf” dan “terima kasih” menjadi ekspresi yang jarang “muncul” dalam interaksi kecil sehari-hari. Malah, di rumah sendiri, kata dan ekspresi ini jarang dilatihkan kepada anak-anak. Oleh karena itu, anak-anak tumbuh dengan “ketiadaan konteks kecil” untuk belajar mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih”. Di kalangan orang dewasa, kata dan ekspresi “maaf” dan “terima kasih” menjadi langka, baik kepada sesama dewasa maupun kepada anak-anak.

Jadilah kita keluarga yang tak membiasakan diri berucap “maaf” atau “terima kasih”. Situasi ini menjalar ke masyarakat, menjalar ke tingkat yang lebih tinggi, negara. Di masyarakat, peristiwa sekecil apapun yang menganggu orang lain, jarang kita menerima atau mengucapkan “maaf” atau “terima kasih”. Di tingkat negara, jarang pula kita menyaksikan permintaan “maaf” dan “terima kasih” para pemimpin ke masyarakat, begitu kira-kira argumen dalam percakapan.
***
Pengucapan “maaf” dan “terima kasih” adalah kode interaksi sosial di masyarakat yang mengajarkan dan menghidupkan “brotherhood-sisterhood”, yaitu “persaudaraan”. Persaudaraan yang dilatih dan terlatih, dimulai dari rumah dan dipraktekkan di ruang publik. Persaudaraan yang merembes ke dunia politik dan dikristalkan melalui motto “liberty, equality, and fraternity”. Fraternity kemudian memayungi “persaudaraan” sebagai perangkat etika sosial yang mengatur hubungan antar-orang berdasarkan love and solidarity.

“Liberti, equality, dan fraternity” telah dijadikan kode politik kebangsaan Perancis. Tak berarti, bangsa-bangsa lain tak punya kode serupa, meski melalui pernyataan atau afirmasi lain. Indonesia punya sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai kode kebangsaan. Di sini, keadilan bagi seluruh --- kecil dan besar--- bersifat imperatif ideologi. Keadilan yang dibangun di atas solidaritas luas.

Solidaritas luas adalah buah pikir Ernest Renan, filsuf kebangsaan yang buah pikirannya banyak menjadi rujukan. Renan bilang, fondasi nasionalisme justru hanya dapat dikukuhkan di atas solidaritas luas. Tanpa solidaritas luas, tak akan ada keadilan. Keadilan sosial sebagai kode kebangsaan Indonesia, dengan demikian, mesti dibaca sebagai perintah ideologi. Keadilan sosial mencakup pemenuhan hak-hak beragama, berorganisasi, berpendapat, berumah tangga, dan berkebudayaan.

***
Di tingkat kebudayaan, Sulawesi Selatan mengekspresikan “maaf” dan “terima kasih” dengan sikap kultural. Kata “tabe”, sembari sedikit membungkukkan diri, setara dengan pernyataan “maaf”. Menepuk-nepuk pundak “orang yang lebih muda” bisa dicerna sebagai “terima kasih”. Malah, di Bugis dan Toraja, ekspresi “kurru sumange” menjadi penanda “terima kasih” secara khas..

“Kurru sumange” tak sematra dan “tak setubuh” dengan “thank you”. Di ekspresi “kurru sumange”, si pengucap mengajak “jiwa” pada yang disapa untuk bangkit. Ekspresi “thank you” tak menyapa “jiwa”, tetapi “persona”. “Kurru sumange”, secara harafiah dan secara kultural, bisa diartikan “bangkitlah wahai sang jiwa”. Menyapa “sang jiwa” untuk berterima kasih adalah asupan kultural yang jauh lebih reflektif, lebih ke dalam diri dari sekadar “berterima kasih”.

Makassar dan Bugis mengekspresikan “brotherhood-sisterhood” melalui kata sederhana tapi dalam: “saribattang” dan “silessureng”. Keduanya adalah metafor “perut ibu”. Keduanya adalah mimesis dari entitas “tubuh ibu”. “Ibu” dihadirkan kembali melalui kode-kode persaudaraan. “Saribattang” adalah ajakan bahwa kita berasal dari perut yang sama: “seperut”. “Silessureng” adalah peringatan bahwa kita semua hadir melewati jalan di antara mulut rahim dan pintu vagina: “sejalan lahir”.

Mari kita gunakan kode budaya Sulawesi Selatan untuk mendudukkan bangsa ini. Kita memang banyak, dari ratusan etnik, ratusan bangsa. Kita yang banyak, “hadir” dari analogi yang sama, yaitu “perut ibu Pertiwi”. Kita “hadir” secara multikultural di jalan lahir yang sama, “jalan kebangsaan nusantara”. Kita “saribattang”, kita pun “silessureng”. “Seperut” dan “sejalan lahir” adalah takdir.


Wednesday, December 2, 2015

Anak-anak di Meja “Sarapan Pagi”

Alwy Rachman
 
“Kehadiran anak-anak di dunia adalah pertanda bahwa
Tuhan masih mengizinkan dunia agar tetap berlanjut”
                                                                 Carl Sandburg

Adakah dunia tanpa kekerasan? Pertanyaan ini pasti utopis, sama utopisnya dengan senandung John Lenon dalam Imagine, senandung yang berkehendak mengeritik agama-agama dan negara-negara pelaku kekerasan. Imagine bukan lagi mimpi tentang manusia yang setia pada ideologi. Ia adalah suara lirih utopis yang berkehendak menarik manusia keluar dari kekerasan.

Ideologi dan utopia adalah soal cara pikir, ibarat berpikir di atas permainan teka-teki “serupa tapi tak sama”, genre yang pertama kali muncul di media cetak New York World pada tahun 1913, edisi hari Minggu. Ideologi bukan utopia. Ideologi adalah “cita-cita bersama” tentang masa depan berdasarkan pengalaman, sementara utopia adalah “cita-cita bersama”, juga di masa depan, tapi tak didasarkan pada pengalaman.

Imagine adalah genre yang tak lagi percaya bahwa manusia masih menaruh hormat pada pengalaman manusiawi. Di sini, manusia didakukan telah tersungkur dari “pengalaman hidup bersama”, kehilangan kapasitasnya sendiri sebagai makhluk yang berpotensi sebagai manusia. Imagine adalah cermin retak, tempat manusia bisa memandang dirinya yang hadir sebagai makhluk lain yang “biadab” terhadap sesama.
***
Hari-hari ini, di ragam pemberitaan media, kekerasan menjadi produksi untuk bacaan utama. Di negeri sendiri, produksi bacaan atas kekerasan antar orang  dewasa, antar lelaki-perempuan, antar orang dewasa-anak, dan antar anak-anak, semakin deras. Wujud kekerasan pun beragam: dari penculikan, penganiayaan, pemerasan, begal, pelecehan seksual, hingga perkelahian. Di negeri sana, kekerasan pun diproduksi lewat berita perang dan pemboman di bangsa yang sama.

Produksi bacaan atas kekerasan kini ibarat hidangan di meja “sarapan pagi”.  Kekerasan dihidangkan di meja “real time”, dikonsumsi lewat piring, garpu, dan sendok gadget telpon pintar. Dengan satu ambilan telunjuk, kekerasan sebagai hidangan segera dipilih, dikonsumsi satu per satu, pelan tapi pasti, hingga tuntas. Setiap pagi,  kita kenyang dengan hidangan kekerasan, dan besok kita yakin masih ada “sarapan pagi”.

Pagi ini, di meja “sarapan pagi”, hidangan yang tersedia adalah kekerasan seksual dan pembunuhan terhadap gadis sembilan tahun di Kalideres, Jakarta Barat. “Sarapan pagi” yang sama, pernah terhidang di pagi-pagi kemarin, beberapa saat lalu. Pelakunya orang dewasa, ibu angkat, guru, teman, dan orang-orang terdekat. Para pelaku ini “menyantap anak-anak secara keji”, kemudian “dihidangkan” sebagai “sarapan pagi” bagi mereka yang leluasa mengakses “meja makan”.

Meja “sarapan pagi” tak lagi punya ideologi, apalagi utopia. Berita “sarapan pagi” nyatanya tak menggerakkan masyarakat luas untuk bertindak sebagaimana mestinya. Masyarakat telah kehilangan cita-cita dan pengalaman terbaik tentang cara mengasuh dan mengasihi anak-anak. Di meja yang sama, masyarakat kehilangan utopia, kehilangan imajinasi tentang pengalaman  baru setelah kehilangan pengalaman ideologi.
***
Di meja “sarapan pagi”, nasib malang anak-anak tak lebih dari “bacaan” dan “tontonan”. Drama yang menyakiti anak-anak, hanya berakhir pada “pengetahuan”, tak lebih dari itu. Drama ini tak lagi mampu  mendidik orang-orang dewasa untuk kembali ke “budaya kepengasuhan”, kosong dari orang-orang dewasa yang mampu mengimajinasikan utopia anak-anak. “Sarapan pagi” akhirnya berlangsung di meja yang meranggas, kerontang dari mata batin manusiawi.

Anak-anak mungkin, karena tak paham, tak hidup dalam dunia “ideologi”, tetapi menyukai “utopia”. Sayangnya, mereka hadir dan berada di sekitar orang-orang dewasa yang telah kehilangan ideologi dan kosong utopia. Padahal, dengan ideologi, anak-anak bisa terselamatkan, dan dengan utopia, anak-anak tetap bisa berimajinasi atas masa depan.

Mari tak terburu-buru marah ke John Lenon, cuma karena ia menyindir agama-agama dan menyentil negara-negara pelaku kekerasan. Darinya kita bisa tahu bahwa di atas pengalaman ada pengalaman, di atas ideologi ada utopia. Dari sang seniman yang hidupnya berakhir melalui kekerasan oleh penggemarnya, kita sepatutnya tercerahkan, “kita tak perlu kehilangan ideologi, tak pantas kekosongan utopia.”  Kehilangan keduanya menjadikan kita makhluk bukan pemimpi: hewan.

Ideologi dan utopia memang ibarat teka-teki “serupa tapi tak sama”. Hidangan kekerasan di meja “sarapan pagi” yang dari hari ke hari, tahun ke tahun, itu-itu lagi, seringkali membuat kita takluk tak berdaya. Akhirnya, “serupa tapi tak sama” memaksa kita hanya duduk, membaca, atau sekadar menonton. Kita adalah mayat-mayat yang sedang menyantap “sarapan pagi”.

 

Saturday, June 9, 2012

Abjeksi, Dunia Mungil yang Terhina

Tulisan ini masih berbentuk Draft. Oleh karenanya, tidak layak dikutip.

Alwy Rachman
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin



Ketika terlahir ke dunia, seorang anak akan memulai hidupnya melalui interaksi intensif dengan seorang ibu. Awal kehidupannya dibangun secara sepotong-sepotong di rentang waktu yang ringkas menuju jalan hidup yang panjang. Kemampuan sang anak disusun sepenggal demi sepenggal di atas realitas tak bertepi, realitas yang berserakan dan terhampar luas di hadapan kehidupan. Melalui ibu, dunia lambang dan dunia bahasa serta dunia makna diekspresikan tanpa tatabahasa, lalu kemudian disodorkan kepada sang anak di titik awal jalan kehidupan.

Unik dan ajaib, interaksi dan komunikasi ibu-anak bergerak dalam proses tanpa tatanan, tanpa kekuasaan. Segalanya berjalan "tanpa aturan", tetapi tanpa kekerasan. Yang ada adalah empati dan kesabaran untuk sebuah penyesuaian di antara keduanya; antara “yang tahu” dan “yang belum tahu”, antara yang “bisa berbahasa" dan yang "tak bisa berbahasa”, antara “yang tangguh” dan “yang lemah”, antara “yang berdaya” dan “yang tak berdaya”, dan antara “pemilik pengalaman” dan “pemula pengalaman.” Inilah dunia mungil yang lazim disebut dengan “nature”, dunia yang menjadi penanda awal kehidupan yang diprakarsai, diperankan, dan dilakonkan oleh perempuan. Inilah dunia yang dibangun di atas pemaknaan tanpa melalui tatabahasa. Inilah dunia dimana ekspresi yang dipakai oleh seorang ibu patut disebut sebagai bahasa ibu atau lidah ibu, mother language atau mother tongue.

Meskipun demikian, dunia ini adalah dunia yang ringkas dan akan terampas serta terpangkas dari pemiliknya, berpindah dari otoritas seorang ibu ke kekuasaan seorang bapak. Melalui bapakisme, dunia mungil ini akan terserabut oleh tatanan patriarki, tergeser dari dunia “tanpa tatanan” ke dunia “yang bertata”, dari “dunia yang alami” (nature) menjadi “dunia yang terstruktur” (culture) menurut kepentingan nilai-nilai kebapakan. Dalam bentang waktu yang tak terlalu lama, kepemilikan atas sang anak akan berpindah, dari tangan ibu yang "bukan pemilik kekuasaan” ke tangan bapak yang “pemilik kekuasaan”. Pergeseran dan perpindahan inilah yang disebut dengan abjeksi (abjection) . Oleh para sarjana psikologi dan sarjana linguistik, pergeseran ini adalah penyerahan “dunia perempuan” yang biasanya diikuti oleh rasa sakit dan terhina. Oleh para akhli jender, di sinilah persoalan dan ketimpangan dimulai.

***
Ketika keluar dari dunia abjeksi, kebanyakan perempuan sesungguhnya bergerak ke dunia yang telah diobjektivasi secara terstruktur menurut kepentingan, nilai dan perspektif tatanan. Bahasa pun bergerak dari bahasa abjektif menjadi bahasa objektif. Dengan cara seperti ini, kebanyakan perempuan bergerak ke dunia rasional objektif yang tak selalu berpihak kepadanya. Di luar sana, bahasa yang tersedia adalah bahasa bapak (father language), bahasa yang terstruktur secara patriarki. Bahasa inilah yang dijadikan arena bersaing (panggung kontestasi) di antara para lelaki yang kemudian menjadikan tubuh perempuan sebagai wadah untuk mengekspresikan konflik dan kekerasan. Itu pula sebabnya, Irrigaray, seorang sarjana feminis, beranggapan bahwa struktur sosial dan tatabahasa adalah dua wilayah yang patut ditelusuri untuk mengenali sumber-sumber konflik dan kekerasan.

Melalui cara imajinatif, Irrigaray menyusun piramida konflik yang terdiri atas ranah biologi, ranah sosial dan ranah simbolik. Bagi Irrigaray, di ranah biologi, entitas perempuan dan lelaki masih berada dalam keadaan setara. Hakikat kesetaraan (state of equity) tertetapkan oleh hukum alam (nature), terberi secara egaliter dan berhubungan secara komplementer. Oleh karenanya, perempuan bukan sebagai “pesaing lelaki” sebagaimana lelaki bukan sebagai “pesaing perempuan”. Ranah biologi, dengan demikian, adalah ranah ilahiah yang tak teringkari dan tak tertolak. Keanekaragaman biologi adalah pilar dasar untuk melanjutkan kehidupan. Ingkar terhadap semua ini sama artinya dengan menciptakan kematian.

Tidak sama dengan ranah biologi, Irrigaray kemudian menilai bahwa ranah sosial justru bersifat problematik. Di ranah ini, tatanan kebudayaan dibangun sebagai sandingan bagi tatanan sosial. Di ranah ini, konflik seringkali dimanfestasikan dan diekspresikan ke dalam bentuk-bentuk kekerasan dengan bermacam aspeknya. Di sini, mekanisme “pengutamaan” dan “pengingkaran” dijalankan, mekanisme “pengidolaan” dan “pembencian” difungsikan.

Di ranah simbolik, Irrigaray menyodorkan bukti konseptual dan bukti konkret, bahwa di hampir semua kebudayaan, tubuh lelaki dipersepsi dan diekspresikan sebagai tubuh yang mewakili kualitas Tuhan (the Authority Principle of God), sementara tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas pemberontakan Setan (the Rebellious Principle of Satan). Penelusuran terhadap bukti-bukti kekerasan yang muncul, mulai dari arena rumah tangga, arena budaya hingga ke arena perang, menunjukan bahwa energi dan akar kekerasan terhadap perempuan dimulai dari persepsi dan ekspresi budaya seperti ini. Ranah simbolik, menurut Irrigaray, adalah ranah paling kuat dalam memadatkan nilai-nilai kekerasan, lalu disebar ke ingatan kolektif dan dipindahkan ke dalam ritus-ritus kebudayaan. Ritus-ritus, di banyak kebudayaan, seringkali memperlihatkan dengan telanjang bahwa keperluan lelaki atas simbol justru dititipkan ke tubuh perempuan. Menjadilah tubuh perempuan sebagai arena persaingan simbolik bagi lelaki yang berkuasa atas kebudayaan. Oleh karenanya, di ujung timur negeri ini, di masa lalu, seorang perempuan yang dipersepsi sebagai “perempuan mulia” adalah perempuan yang harus mengekspresikan dirinya dengan cara merelakan setiap ruas jari tangannya untuk dipenggal atas nama kebudayaan dan atas nama kemuliaan keluarga.

***

Sama arahnya dengan Irriagaray, Anthony Giddens, seorang teorisi sosial, dengan jelas menegaskan bahwa budaya sesungguhnya dapat dianggap sebagai struktur-struktur penekan. Kerangka konseptual seperti ini dapat dipakai untuk mengenali konflik dan kekerasan terhadap perempuan dengan cara menganalisis kerja dan fungsi struktur-struktur tersebut. Budaya, sebagai suatu tradisi, menurut Anthony Giddens, dipelihara melalui lima aspek, yaitu: memori kolektif (collective memory), kebenaran formulaik (formulaic truth), ritus (rite), tokoh (actor), dan Nilai (value). Memori kolektif biasanya berfungsi untuk mengorganisasikan kepentingan masa lalu, sementara kebenaran formulaik adalah kebenaran yang dipelihara sesuai kepentingan budaya. Ritus berfungsi untuk menstabilisasi tatanan yang dipertahankan, sementara tokoh adalah orang-orang yang bekerja menjaga tatanan. Nilai budaya akan tercermin pada rangkaian dari apa yang disebutkan di atas. Oleh karenanya, penting untuk menelusuri akar-akar kekerasan yang bersembunyi dan secara mapan berdiam pada aspek-aspek tradisi sebagaimana yang dipikirkan Irrigaray dan Giddens.


CATATAN:
Tulisan ini adalah pokok-pokok pikiran dalam satu diskusi "Kekerasan terhadap Perempuan", diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan.

Wednesday, October 28, 2009

KELAMIN: Tak Membatas, Tak Tampak atau Tak Berbahasa?

Perspektif Debat Demarkasi Jender

Alwy Rachman

Manusia ditakdirkan lahir untuk kemudian
menjadi narapidana di dalam pikirannya sendiri.
Satre


ISU JENDER DAN KEKERASAN kini dipikirkan ulang. Di dalam satu publikasi Rethinking Violance Against Women (1998), antologi yang membahas masalah-masalah jender dan kekerasan secara meluas dan kaya perspektif, Irigaray menyusun model pemisah-batasan (demarkasi) antara tubuh secara biologis, tubuh secara sosial dan tubuh secara simbolik. Model pemisah-batasan ini kemudian dipromosikan sebagai “Hirarki Ontologi Seksualitas”.

Model ini tersusun dari tiga aras yang secara hirarkis menempatkan “biologi” sebagai dunia yang statis (static world) dan “simbol” sebagai dunia yang cair (fluid world). Keduanya dihubungkan oleh “dunia sosial” (social world) yang berfungsi sebagai aras perantara (intermediate level).

Hirarki Ontologi Seksualitas ini dibangun dan disusun berdasarkan filosofi yang berfokus pada adanya kontradiksi antara seksualitas taktil perempuan (tactile sexuality of women) dan seksualitas pallik lelaki (phallic sexuality of man). Ia kemudian dipakai untuk mencari penjelas terhadap perbedaan-perbedaan di kedua seksualitas perempuan dan lelaki, menyangkut cara berpikir dan cara berbahasa. Perbedaan tubuh secara biologi dan perbedaan karakteristik seksualitas banyak dipotret berdasarkan analisis di setiap susunan aras di hirarki ini.

Di aras biologi, perbedaan seksualitas adalah perbedaan yang bersifat alami. Oleh karenanya, perbedaan biologi adalah sesuatu yang bersifat statis. Dengan pengungkapan lain, sejauh bersifat biologis, seksualitas perempuan dan lelaki sama sekali tidak conflicting,kecuali pada`cara menggunakan terminologi berdasarkan bukti-bukti biologi.

Aras biologi telah memunculkan isu inti yang banyak mengalami pengayaan dari para peneliti. Di satu sisi, bagi kelompok peneliti tertentu, faktor biologi merupakan kunci untuk membedakan seks dan jender. Melalui uraian lebar panjang tentang konsekuensi penggunaan terminologi seks dan jender, Douglas A. Gentile (1998) yang bekerja pada institut pertumbuhan anak-anak, misalnya, pada akhirnya menyarankan agar terminologi seks sebaiknya dipahamami sebagai properti biologi (misalnya, perempuan dan lelaki) sementara terminologi jender sebaiknya dimengerti sebagai properti sosiokultural (misalnya, maskulinitas dan feminitas).

Di sisi lain, bagi kelompok peneliti lain, terminologi seks sebagai properti biologi memunculkan problematika sendiri. Anne-Sterling(1933), misalnya, agak keberatan dengan konsepsi dua seks --- perempuan dan lelaki. Meskipun demikian, Anne sangat sadar bahwa kebudayaan Eropa secara sangat dalam hanya committed pada konsepsi dua seks. Anne kemudian menambahkan 3 (tiga) seks lain selain female dan male. Secara keseluruhan, konsepsi 5 (lima) seks diintrodusir ke dalam satu tulisan “The Five Sexes: Why Male and Female are Not Enough”. Dalam bahasa Anne, selain female dan male, rincian 3 seks itu, masing-masing; (1) The Herms (hermaphrodites) yang memiliki satu testis dan satu ovary; (2) The Merms (the male pseudohermaphrodites) yang memiliki testis dan dalam banyak aspek, memiliki female genetalia tetapi tanpa ovary; (3) The Ferms (female pseudohermaphrodites) yang memiliki ovary dan dalam banyak aspek memiliki male genetalia tetapi tanpa testis.

Berbeda dengan aras biologi, persoalan-persoalan seksualitas perempuan-lelaki justru menemukan momentumnya dan membesar di aras perantara (intermediate level), yaitu di aras sosial. Momentum dan pembesaran masalah ini lebih disebabkan oleh berbagi hal. Pertama, kultur yang hidup di dunia sosial tidak bersifat homogen. Cara pandang terhadap peran perempuan dan peran lelaki menampakkan diri secara berbeda dari satu kaum ke kaum yang lain. Kedua, otoritas sosial dan juga ikatan-ikatan sosial yang menghubungkan perempuan dengan lelaki juga berbeda. Otoritas dan ikatan sosial semacam inilah yang menjadi kawasan eksplorasi bagi para ilmuan untuk memahami masalah-masalah jender. Itu pula sebabnya, para peneliti jender berkecenderungan menempatkan isu jender sebagai isu yang harus dipandang berdasarkan pemahaman lintas-budaya (cross-cultural), jika tidak ingin dikatakan sebagai isu lintas-bangsa (cross-national).

Cara memandang masalah jender, secara lintas-budaya dan lintas-bangsa, lebih didasari oleh kemawasan jender oleh para peneliti (gender awareness) bahwa cara memandang seperti ini akan mampu memunculkan aspek-aspek dan faktor-faktor perbedaan yang mencakup, misalnya; geografi, sumberdaya alam, pola migrasi, sejarah, sistem politik dan religi yang secara keseluruhan mempengaruhi ketimpangan ataupun kesetaraan jender.

Dengan kemawasan seperti ini, para ilmuan dapat mengetahui bahwa setiap kultur menyediakan pengetahuan dan cara pandang (world view) terhadap jender secara berbeda dari satu tradisi ke tradisi lain. Sebagai contoh, jika di tradisi Barat jender secara tradisional dikategorikan ke dalam dua seks utama --- perempuan dan lelaki --- maka lain halnya dengan komunitas Hua. Di tradisi Hua, maskulinitas dianggap sebagai status tinggi, tetapi secara fisik lemah dan tanpa otoritas. Justru di tradisi Hua, maskulinitas lelaki akan memudar sejalan dengan pertambahan usia dan akan tergantikan oleh perempuan melalui pengasuhan anak. Perempuan yang telah melahirkan tiga anak, di tradisi ini, diberi hak untuk berpartisipasi dalam upacara ritual lelaki. Dan, dengan demikian, otoritas perempuan semakin membesar sejalan dengan pertambahan usianya dan kemampuannya mengayomi anak-anak.

Di tradisi masyarakat kontemporer, kesetaraan jender disorot berdasarkan kerangka berpikir untuk meniadakan kekerasan dan kekejaman, baik dari sisi struktural maupun dari sisi fisikal. Analisis jender juga dijadikan sebagai wahana untuk menyorot masyarakat yang sedang tertekan, sebagai akibat lanjut dari modernisasi, kolonisasi, terorisme, perang, konflik politik atau sebagai akibat dari perubahan sosial dan konflik komunal.

Di aras simbolik, dengan mengikuti alur pikir Irigaray, perempuan dan lelaki terekspresikan melalui basis simbolik yang berbeda. Sistem simbol yang berbeda tampaknya mempertalikan secara erat hubungan antara morfologi bahasa dengan morfologi genital. Dengan merujuk Freud, Irigaray menganggap bahwa bahasa dibentuk oleh unsur visual. Dan, seksualitas perempuan dianggap tidak visual dan dengan demikian dianggap tak berbahasa.

Irigaray dengan sangat tajam mempersoalkan penggunaan simbol-simbol bahasa, baik yang terpakai melalui kekuasaan dan otoritas maupun yang terpakai dan diintrodusir oleh pemikiran-pemikiran teologi. Sorotan dan kritik Irigaray tertuju pada pandangan bahwa kelamin perempuan bersifat jamak (plural), tak membatas (undelimited) dan tak tampak (unseen). Baginya, pandangan seperti ini mendislokasi kelamin perempuan sebagai entitas yang tidak eksis, yang menempatkan kelamin perempuan sebagai “penerima” (receiver) saja. Bagi Irigaray, pandangan seperti ini menyimpan dua dualitas (duality) yaitu, secara spesifik, Dualitas Kekejaman dan Kasih Sayang (The Duality of Abuse and Affection) yang termanifestasi ke dalam simbol-simbol bahasa serta Dualitas Prinsip Kekuasaan Tuhan dan Prinsip Pemberontakan Setan (The Authority of Principle of God and The Rebellious Principle of Satan) yang terdengar melalui pemikiran-pemikiran teologi. Dua dualitas ini yang menyebabkan perempuan agak risih menemukan dan menjelaskan aspek-aspek kekejaman yang muncul di antara pola hubungan perempuan dan lelaki.

*****

TERLEPAS DARI KETAJAMAN IRIGARAY, hirarki yang disusunnya mengundang reaksi dan respon dari berbagai pihak. Pertama, Evan Lundgren, seorang mahaguru Feminist Studies in Sociology, menganggap bahwa hirarki Irigaray justru merupakan cara mentransendensi “kekuatan” seksualitas lelaki. Kalau Irigaray mencoba membangun hubungan antara morfologi genital dan morfologi bahasa, Irigaray seharusnya membuktikan bahwa ia tidak hanya dapat mempertalikan secara signifikan sistem bahasa yang berstruktur maskulin, sebelum kalangan feminis melakukan “pemberontakan” bahasa dan mengindentifikasi bahasa seksualitas perempuan dan kemudian membangun komunikasi alternatif berdasarkan bahasa berstruktur feminin. Itu pula sebabnya, menurut Evan, kegelisahan pada seksualitas perempuan yang dianggap tak tampak dan tak visual sesungguhnya tidak lebih dari monopoli bahasa.

Monopoli bahasa seperti ini, lanjut Evan, tidak membuka kemungkinan untuk membangun pemahaman kultur secara bersama dalam mempelajari bahasa dari dua seksualitas, terlepas apakah kedua seksualitas itu bersifat phallic, visible, explicit, undelimited, atau tangible. Irigaray seharusnya membangun keakraban terhadap morfologi seksualitas perempuan, bukan yang selama ini dilihatnya sebagai hasil penaklukan jender (gender subjugation) dan bukan juga sebagai morfologi seksualitas yang secara awal diinterpretasi sebagai entitas yang tak tampak, defisit, dan vacum.

Kedua, hirarki Irigaray terhadap kelamin perempuan-lelaki disusun berdasarkan azas pasangan-pertentangan (binary-opposition), bukan azas yang menempatkan kelamin yang satu adalah alternatif eksklusif bagi kelamin lain. Di hadapan Evan, Irigaray tidak menciptakan satu dorongan untuk memodifikasi keterbatasan yang terdapat pada definisi seksualitas, tetapi malah larut dalam ironi, mimetik dan peniruan.

Ketiga, dunia sosial adalah ruang yang sarat dengan sosialisasi, termasuk proses pengenalan dan pemaknaan atas tubuh perempuan dan tubuh lelaki. Dunia sosial lah yang menempatkan tubuh sebagai sebuah arena dan sebagai titik tolak (point of departure). Dunia sosial adalah dunia jender, bukan sekedar dunia kelamin. Itu pula sebabnya, tangan dan kaki serta gerak anggota tubuh lainnya dapat dimasukkan ke dalamnya. Kemajemukan dunia sosial adalah arena yang dapat dipakai untuk mengembangkan dan merumuskan norma-norma jender yang fleksibel, mencakup variasi yang dapat membuka peluang terjadinya perubahan terhadap rumusan norma-norma jender, termasuk di dalamnya cara bereaksi, cara berkomunikasi dan cara membangun simbol.

Keempat, persoalan ketidaksetaraan jender selama ini terletak pada kekerasan seksual. Kekerasan seksual di mana-mana bersifat korporealitas (corporeality), suatu realitas kekerasan badaniah yang terstruktur melalui hukum-hukumnya sendiri. Melalui umpan balik dari peneliti lain, kekerasan seksual yang fenomenal terhadap perempuan dikenali melalui delapan modus, masing-masing:

  1. Kekerasan dalam bentuk pemerkosaan oleh kelompok-kelompok gang, perdagangan perempuan (traficking in women), pemaksaan menjadi pekerja seks. Kesemua kekerasan ini berhubungan dengan gravitasi tubuh perempuan dalam situasi perang dan konflik.
  2. Pemerkosaan perempuan di setiap peristiwa perang adalah pengrusakan (retaliation) terhadap kepemilikan lelaki dan juga berfungsi sebagai pesan kepada musuh.
  3. Pemerkosaan adalah pernyataan atau pesan yang diletakkan ke tubuh perempuan.
  4. Pemerkosaan adalah pembersihan teritori lelaki karena lelaki tidak akan pulang ke lokasi tempat ia dihinakan.
  5. Perempuan yang diperkosa oleh tentara, dapat dikorbankan lagi oleh lelakinya sendiri (keluarga sendiri) dengan alasan pemerkosaan itu telah menghancurkan kehormatan dan martabat pribadi atau keluarga.
  6. Perkosaan terhadap perempuan oleh tentara dimaksudkan untuk mengeliminasi frustrasi terhadap hirarki kehidupan militer.
  7. Pemerkosaan juga dimaksudkan untuk mempertahankan moral militer dan membangkitkan semangat perang.
  8. Pemerkosaan yang disebabkan oleh perilaku seksual agresif dan dominatif. Ketergantungan sosial dan ketergantungan ekonomi membatasi perempuan menegosiasi seks secara lebih aman. Di dalam situasi konflik, perempuan dipaksa membarter seksnya demi keselamatannya sendiri. Terhadap modus seperti di atas, banyak pakar berpendapat bahwa modus-modus ini berakar pada pandangan bahwa perempuan memang sebagai properti lelaki.

Kelima, pemikiran-pemikiran teologi, dalam kenyataannya, tidak selalu bersahabat dengan perempuan. Pemikiran-pemikiran sebagaimana yang dimaksud, tanpa disadari, sering menjelma menjadi tempat terkonsentrasinya dinamika simbol jender, yang kemudian memanifestasi ke dalam ketidaksetaraan jender. Dualitas, sebagaimana digambarkan sebelumnya, oleh Evan, adalah bangunan eksistensi, kosmik di satu pihak dan etik di lain pihak.

Terakhir, demarkasi jender memang masih sangat hidup dan secara kepala batu berdiam di dunia sosial. Diskursus atau wacana pembedaan jender dengan cara seperti ini justru akan menciptakan polarisasi secara kuat. Tidak mengherankan, jika tindakan pelintasan terhadap demarkasi jender seringkali dianggap sebagai tindakan “berbahaya” dan “terlarang”.

 
Alwy Rachman.