SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Showing posts with label Bahasa dan Wacana. Show all posts
Showing posts with label Bahasa dan Wacana. Show all posts

Tuesday, December 15, 2015

Ujaran Kebencian dan Pengadilan di Ruang Maya

Wulan Winsbasardianty B

P
engadilan Socrates, dikenal sebagai Pengadilan Heliasts (Court of the Heliasts), merupakan pengadilan historis, dijadikan rujukan pro dan kontra terhadap ujaran kebencian (hate speech). Socrates diadili dengan tudingan bahwa ia menebar kebencian, meracuni pikiran generasi muda untuk berpikir kritis dalam apa yang disebut kebebasan berpendapat. Hidup Socrates pun berakhir dengan cara meminum racun, memilih mati ketimbang berkhianat pada ide-ide yang diajarkan kepada generasi muda pada saat itu.

Ide-ide dari Socrates mengajarkan kita untuk selalu berdialog --- dengan diri sendiri maupun dengan orang lain --- untuk mencari kebenaran, terutama yang menyangkut berbagai pandangan masyarakat terhadap persoalan-persoalan kehidupan, termasuk ranah politik ataupun sosial. Socrates menghendaki adanya dorongan mengekspresikan ide-ide dengan cara jujur terhadap apa yang kita tidak kehendaki. Sayang, dibalik pemikiran Socrates, di negeri sendiri, penyalahgunaan eksistensi dan makna ‘kebebasan berpendapat’ menjelma menjadi kebebasan yang tiada batas.

Seakan semuanya menjadi komplit setelah munculnya Surat Edaran (SE) Kapolri yang telah mengejutkan warga. Isi dari Surat Edaran membahas tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang secara tidak langsung, oleh banyak kalangan, “dinilai” mematahkan nilai demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia. Hate speech dinilai berpotensi menciptakan konflik antarindividu ataupun antargolongan di masyarakat. Hal-hal yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian adalah cara menghasut, memfitnah, pencemaran nama baik, diskriminasi dan lain-lain.

Respons masyarakat pun bermunculan dalam dua wajah: pro dan kontra. Sebagian masyarakat mengatakan, hate speech merupakan konsekuensi “belajar dari kebebasan” dan “penyelenggaraan hak berpendapat” untuk turut andil dalam menyampaikan aspirasi terhadap berbagai topik yang sedang hangat dibicarakan. Umumnya, para pelaku yang pro akan hate speech mengilhami diri mereka untuk bebas berkata-kata tanpa batasan sekalipun.

Aroma kata-kata yang mereka keluarkan pun bermacam-macam. Saling menjatuhkan antar kedua belah pihak serta pengutaraannya secara frontal di media-media sosial adalah sebuah contoh. Mereka yang pro akan hate speech sudah pasti memiliki banyak perbedaan tujuan. Ada yang menggunakan hate speech untuk menabrak ego seseorang atau kaum. Ada yang hanya sekadar melakukan hate speech untuk menjatuhkan. Pun ada yang menerapkan hate speech sebagai cara menyumbangkan tanggapan negatif terhadap isu-isu tertentu.

Mereka yang berdiri pada argumentasi ini berpendapat, bahwa hate speech mendorong masyarakat berkontribusi besar dalam menyuarakan pendapat, melatih masyarakat untuk berpikir terbuka terhadap permasalahan publik, dan menjadikannya sebagai cara untuk mengekspresikan diri guna melatih diri sebagai bagian dari pendewasaan.

Masyarakat yang kontra terhadap hate speech berpendapat Lain. Mereka menilai bahwa ujaran kebencian perlu dibatasi melalui penerapan hukum. Hate speech, dalam banyak kasus, memakan banyak korban. Contohnya dapat dilihat pada konflik antarras dan antaragama yang berujung kekerasan. Hate speech mesti ditangani karena akan merusak keteraturan sosial dan menghancurkan adab tutur di masyarakat. Dengan penghukuman, para pembenci tidak akan lagi semena-mena mengeluarkan ujaran kebencian untuk menjatuhkan individu atau golongan.

Terlepas dari posisi pro dan kontra terhadap hate speech, para pemimpin dan pendidik di negeri ini seharusnya mendidik masyarakat untuk membedakan ujaran kebencian dan kritikan. Soalnya, tak sedikit masyarakat yang salah kaprah terhadap kebijakan penanganan hate speech. Ujaran kebencian pasti menimbulkan ketidaksukaan yang mungkin mendorong konflik, tapi kritikan semestinya tak dianggap sebagai kebencian. Kritik sejatinya didudukkan sebagai aksi masyarakat untuk berpendapat menyoal kebijakan pemerintah guna perbaikan.

Kritikan semestinya tak dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Menganggap kritikan sebagai pencemaran akan berpotensi menghambat kebebasan dan kelenturan berpendapat. Mari kita pikirkan baik-baik bahwa manusia sejatinya didudukkan pada perbedaan. Ada orang yang bisa disadarkan ketika suara teguran mulai melejit ke awan-awan. Ada orang yang dapat disadarkan ketika ego-nya ditabrak. Juga ada yang bisa diajak melalui produksi tuturan yang lembut dan pelan. Individu manusia sama sekali tidak bisa disamakan, karena individu memang tak pernah sama.

Di belakang sikap pro dan kontra mengenai Surat Edaran (SE) Kapolri yang marak di nusantara dan isu hate speech yang menjadi wacana dunia, ada sesuatu yang tersembunyi. Di sini, kita dapat berasumsi bahwa pemerintah dan penguasa tak mungkin lolos dari sorotan masyarakat yang mulai beropini secara kritis, terutama dalam soal urusan publik. Anggota masyarakat biasa pun bisa jadi sasaran. Boleh dibilang, melalui peradaban gadget yang canggih, hate speech adalah bagian dari cara netizen menghukum siapa saja, untuk tidak mengatakan wadah netizen menciptakan “pengadilan sosial di ruang maya internet”.


Sunday, December 13, 2015

Beri Saya Keadilan Wicara

Wiwiniarmy Andi Lolo

“Kita adalah sekumpulan pikiran yang
saling menerkam saat diumpan dengan isu”

S
aya adalah manusia yang memiliki hak asasi yang di dalamnya terdapat hak untuk berpendapat. Setiap orang juga begitu. Ya, idealnya seperti itu. Meski demikian, tak jarang, kita tak sadar bahwa koridor untuk menyampaikan pendapat adalah hak yang sering “diatur” oleh hal-hal yang sering terlupakan. Isu yang dilempar segera saja menjadi “umpan” yang memerangkap. Di sana, kita kemudian saling menerkam.

Di segenap puspa ragam media sosial, ruang berpendapat menjadi gemuk, luas, panjang dan lebar. Di sana, nyaris setiap orang mengunggah, menyimpan dan membakukan pikiran. Semua untuk dan atas nama dan atas dalil “kebebasan berpendapat”. Di sana pula, respons balik menghadirkan dirinya. Ada pihak yang merasa dirugikan dan dicemarkan. Lalu, mereka yang rugi dan tercemar menuntut balik. Senapan “pasal pencemaran nama baik” pun ditodongkan.

Dilema? Ya, bagi sebagian orang. Tidak, untuk sebagian lainnya. Yang pasti, pada 8 Oktober 2015, Kepala Polri mengeluarkan surat edaran bernomor SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian. Edaran yang membuat banyak orang kelabakan, merasa tertodong, dan mungkin juga merasa akan terkena peluru dari senapan, terlepas sang peluru akan melesat “direct to the point” atau sekadar “nyasar”.

Hak atas “kebebasan berpendapat”, bukan hak yang semata-mata berdiri di atas prerogatif individu. Bukan pula hak istimewa kelompok per kelompok. “Kebebasan berpendapat” adalah wujud eksistensial manusia untuk saling memperhadapkan pendapat secara inter-subjektif. Subjek bertemu subjek untuk sebuah keadilan bagi publik.

Di kisah awalnya, “kebebasan berpendapat” telah diadvokasi melalui Areopagatica yang mashyur. Areopatica sendiri adalah nama sebuah puncak di Yunani, tempat manusia pertama kali berbicara dan berpendapat secara intersubjektif. Nama puncak ini kemudian menandai karya John Milton yang merupakan cuplikan Isocrates, seorang Yunani pendiri sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Di Areopagitica, Milton bertutur, “Give me the liberty to know, to utter, and to argue freely according to conscience, above all liberties,” di tengah kecamuk perang sipil di Inggris.

***
Saya ingin mendudukkan Areopagitica Milton sebagai rujukan paling historis, paling inspiratif, dan dengan demikian, paling relevan dengan apa yang sedang kita bahas. “Kebebasan berpendapat” dapat dikatakan sebagai hak eksistensial manusia yang mesti diekspresikan oleh setiap orang, tanpa hambatan apalagi dihambat. Ia disebut hak, karena berpendapat adalah bagian dari “penyelamatan manusia” dari tirani yang memungkinkan

Sayang, “kebebasan berpendapat” sering terusik dan diusik oleh “adab tutur” yang belum mapan. Saya meyakini bahwa para pecandu “gadget”, terutama mereka yang memperbaharui statusnya, “tahu” arti ungkapan seperti “I hate you!”, “Damn it!”, “Shit!”, “Fuck!”, “Ass!” di aneka ragam media sosial. Tapi, saya tak percaya bahwa mereka “mengerti”. Bagi saya, “tahu” dan “mengerti” adalah dua hal yang sangat berbeda.

Saya tertarik untuk merujuk pandangan akademia Prof. Stanislaus Sandarupa, M.A, Ph.D di rubrik opini, Harian Kompas, 20 November 2015 lalu. Di situ, Stanis menulis, “…agak susah dipaham ijika surat edaran tersebut dilihat sebagai aturan pembatas kebebasan berpendapat. Pada tingkat bahasa justru dibutuhkan aturan-aturan kegiatan akal untuk menyanggupkan kita membangun defenisi, menggabung dan memisahkan ide, serta mengonstruksi silogisme. Apabila bahasa merupakan instrument pikiran, selanjutnya perlu aturan-aturan tata bahasa untuk mengungkap pendapat yang bebas.”  


Saya menyetujui pendapat beliau. Saya berpendapat, bahasa yang disampaikan melalui ujaran adalah buah pikiran yang dapat menggambarkan pikiran itu sendiri, meskipun dalam produksinya perlu keadaban tutur untuk kebebasan. Pendapat kedua saya dirujuk ke Austin, khususnya tindak tutu perlokusi. Hate speech, menurut pemahaman saya, sejalan dengan apa yang dimaksud tindak tutur perlokusi, yakni menyimpan niat pada penuturnya untuk memperoleh responds dari objek tutur.

Austin berpendapat, bahasa mempengaruhi pikiran serta perasaan kita. Hate speech adalah hal yang mengganggu pikiran serta menggugah perasaan. Penutur hate speech mungkin tidak pernah memikirkan sejauh itu, bahkan mungkin tidak peduli. Padahal, ia menyakitinya orang lain atau ia yang sakit hati.

Standing position saya dilatari oleh lingkungan konteks tinggi dan dilatari oleh upaya untuk memaksimalkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Seringkali, suara saya bergetar saat menyampaikan kritik secara langsung kepada seseorang. Saya selalu dibayangi ketakutan, setelah saya mendalami konteks budaya saya.

Masyarakat Toraja, khususnya di keluarga saya, menggunakan bahasa yang halus puitis. Saya selalu merindukan kembali teguran ayah setiap kali saya berbuat salah. Ia sebenarnya marah, tapi membuat saya ingin tetap mendengarnya. Saya menghayati “marah seorang ayah” yang disampaikan dengan wicara indah tapi tajam. Alhasil, saya tidak terluka namun tetap mampu mengintrospeksi diri.

Kini, saya tidak mampu mengeritik orang lain, karena saya tak bisa memproduksi kata-kata seindah bahasa ayah saya. Saya takut bahwa orang tersebut akan terluka dan mendendam pada saya. Saya “menginginkan perlakuan yang sama dari orang lain”. Saya tahu pasti, tidak semua orang adalah saya. Namun, saya berharap keadilan bagi semua orang untuk mengutarakan pendapat dengan jaminan bagi objek ujaran. Maka saya mendukung pengawalan ujaran dari Polri.


Saturday, April 3, 2010

BAHASA DAERAH, IBARAT Id Card

ITA ROSVITA DAHRI
Mahasiswa Program Sarjana Guru Bahasa Daerah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

“Dihadapan homogenisasi yang semakin bertumbuh,
Kita semua akan berusaha melestarikan identitas kita,
Apakah itu agama, kultur, kebangsaan, bahasa, atau ras.”

                                        John Naisbitt dan Patricia Aburdene

Pada saat anda menghadiri seminar atau pertemuan lainnya, lazimnya anda mendapat Id Card, Kartu Identitas. Di kartu itu, anda menuliskan nama dan kualitas diri anda. Lalu anda menyemat kartu itu di bagian depan baju anda. Melalui kartu itu, anda dikenali, disapa dan dihormati oleh orang lain. Anda menghadir dan mengada melalui nama dan kualitas yang dimediasi melalui kartu identitas --- “Saya ada karena saya punya identitas”. Lalu, apa kira-kira yang terjadi jika tanda diri anda tercecer dan hilang?

Ibarat Id Card, bahasa daerah merupakan lambang identitas lokal. Ia merupakan cipta-rasa-karsa yang kemudian membentuk semesta budaya yang berfungsi sebagai identitas. Ia patut dipertahankan dengan cara menyediakannya ruang hidup agar ia tetap berkembang, berfungsi, dan tetap menjadi sumber mata air bagi pembelajaran semesta budaya dari satu kaum.

Bahasa adalah kepemilikan khas yang membedakan secara signifikan antara manusia dan hewan. Ia tidak dibawa lahir secara serta merta. Bahasa justru dibudayakan pada paska kelahiran manusia berdasarkan konteks dan habitus kebudayaan dimana manusia lahir. Pembudayaan bahasa berlangsung dalam bentang waktu yang panjang dan berpindah dari satu ranah ke ranah lain dengan segala dinamikanya. Bahasa dibudayakan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan dipindahkan dari ranah bahasa abjektif ke bahasa objektif, dari ranah bahasa ibu ke ranah bahasa rasional, dari bahasa daerah ke bahasa nasional serta internasional.

Gerak zaman yang demikian cepat dan revolusi teknologi komunikasi yang demikian radikal memunculkan proses homogenisasi sebagaimana tesis John Naisbitt. Proses ini mempercepat perpindahan bahasa, dari bahasa abjektif ke bahasa objektif atau dari bahasa daerah ke bahasa nasional serta internasional yang kemudian membawa sejumlah konsekuensi. Pertama, fungsi bahasa daerah sebagai penanda diri dan semesta budaya secara perlahan akan tercecer dan kemudian hilang. Semesta identitas lokal dan kehormatan etnik seperti Bugis, Makassar, dan Tana Toraja akan tergerus dari satu generasi ke generasi lain.

Kedua, homogenisasi akan meminggirkan kekayaan etnik yang sebagian tersimpan di bahasa-bahasa etnik. Terdapat dua penanda penyebab proses peminggiran ini. Penanda pertama adalah lahirnya generasi 1980-an dan 2000-an yang bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia. Dua generasi ini mencerap doktrin bahasa nasional sebagai bahasa yang lebih bergengsi dan memiliki fungsi-fungsi lintas etnik. Penanda kedua adalah hadirnya kebutuhan terhadap bahasa asing untuk merespon interaksi internasional dan kerja-kerja lintas negara.

Ketiga, homogenisasi secara faktual telah menghilangkan satu bahasa etnik setiap dua pekan. Pada abad ke-21, homogenisasi diperkirakan akan menelan 50% dari 5000 bahasa di planet ini. Para pakar bahasa berargumen bahwa bahasa-bahasa yang tidak memiliki 100 ribu penutur akan sulit bertahan melawan homogenisasi. Dengan argumen seperti ini, para pakar bahasa mencemaskan bahasa-bahasa yang penuturnya tidak lebih dari 10.000 orang. Bahasa-bahasa etnik hanya bisa bertahan jika penuturnya minimal satu juta orang. (Mer/L-4, 2009)

Pernyataan UNESCO juga mencemaskan. Menurut UNESCO, sepuluh bahasa punah setiap tahun. Kepunahan ini lebih disebabkan oleh doktrin ataupun keterpaksaan bahwa bahasa lain diasosiasikan lebih maju dan lebih moderen. Di luar pernyataan UNESCO, terdapat 726 bahasa etnik yang berhadapan dengan konsekuensi dari proses homogenisasi, globalisasi dan revolusi teknologi.

Kecemasan serupa juga muncul pada pidato pengukuhan Arief Rachman sebagai guru besar di Universitas Negeri Jakarta pada 22 Mei 2007. Arief Rachman dalam “Kepunahan Bahasa Daerah karena Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta Upaya Penyelamatannya” merinci kepunahan bahasa derah sebagai berikut. Dari 50 bahasa daerah di Kalimantan, satu terancam punah. Di Sumatra, dari 13 bahasa daerah yang ada, satu terancam punah dan satu sudah punah. Di Jawa, tidak ada bahasa daerah yang terancam punah. Di Sulawesi, dari 110 bahasa daerah, 36 terancam punah dan satu sudah punah. Di Maluku, dari 80 bahasa daerah, 22 terancam punah dan 11 punah. Di daerah Timor, Flores, Bima dan Sumba, 8 dari 50 bahasa terancam punah. Di Papua dan Halmaherah, 56 dari 271 bahasa terancam punah. Frans Rumbrawer lebih menegaskan bahwa pada tahun 2006, sembilan bahasa dinyatakan punah, 32 segera punah dan 208 terancam punah. (jurnalnet, 2007)

Apa yang harus dilakukan sekarang dalam menghadapi kecemasan seperti ini di Sulawesi Selatan? Peran apa yang patut dimainkan oleh kaum muda sebagai pemilik kepentingan dalam mempertahankan identitas dan semesta budaya etnik Sulawesi Selatan? Setidaknya ada tiga jawaban untuk ini. Pertama, memfungsikan bahasa Bahasa Bugis, Makassar dan Bahasa Toraja serta bahasa-bahasa etnik lainnya sebagai semesta pengungkapan kreativitas dan suasana batin. Kedua, menyediakan alih generasi seniman-seniman etnik yang tetap dapat memfungsikan keterampilan dan keaksaraan kultural. Sebut saja, passinrilik di Makassar dan pammosong di Bugis. Ketiga, menginstalasi susastra daerah beserta nilai-nilai etik yang menyertainya ke dalam berbagai ranah dan jenjang pendidikan.

Pada akhirnya, dengan meminjam pepatah-petitih etnik, kaum muda jangan ibarat “kacang yang lupa pada kulitnya”. Jika lupa, Id Card kaum muda akan tercecer. Kaum muda akan segera kehilangan kartu identitas. Jika semuanya tercecer dan hilang, maka: “saya tidak ada karena saya tidak punya identitas”. Oleh karenanya, John Naisbitt benar bahwa kita semua seharusnya berusaha melestarikan identitas kita.


Bacaan Pemerkaya
Art van Zoest. 1993. Semiotika, Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Anwar, Ahyar, 2007. “Bahasa sebagai Genetika Kultural: Materialisme Bahasa dan Habitus Orang Bugis Makassar”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa. Jakarta: Nusa Indah.
Mer/L-4. 2009. Rekan Jejak Kemusnahan Bahasa. http://www.koran-jakarta.com/. Diakses 20 Desember 2009.
Muhammad Darwis. 2007. “Hubungan antara Pemertahanan Bahasa dan Pemertahanan Budaya: Kasus Bahasa Bugis”. Makalah disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan I. Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel, Hotel Clarion Makassar, 22-25 Juli 2007.
Nurdin Yatim. 2008. “Problematika Pembelajaran Bahasa Bugis-Makassar sebagai Bahasa Ibu (Mother Tongues)”. Makalah disajikan pada Seminar Internasional Pertemuan Linguistik Tahunan Pertama (Pelita I) kerjasama Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) dengan Jurusan Sastra`Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 22 Mei 2008.
Rht. 2007. Waspadai Kepunahan Bahasa Daerah. Jurnalnet. http://www.jurnalnet.com/ Diakses 20 Desember 2009.
Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa: Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Catatan:
Tulisan ini bersumber dari tugas akhir semester mahasiswa Program Sarjana Guru Bahasa Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin untuk tahun 2009. Judul asli tulisan adalah “Pemertahanan Bahasa Daerah Demi Lestarinya Identitas Diri”. Atas seizin penulisnya, naskah asli diedit ulang dan judul tulisan diubah oleh Alwy Rachman.

Friday, December 4, 2009

NARASI DAN KONSTITUSI YANG HILANG



Pengetahuan mengalir lewat cerita, cerita tentang peristiwa,
tentang kehendak, tentang keberhasilan.
Guru yang baik adalah pencerita yang baik.
Kita sesungguhnya belajar dari cerita.”
Frank Smith


Alwy Rachman
Perspektif Analisis Wacana Kritis

Wacana kini menjadi fokus eksplorasi di kalangan ilmuan. Setidaknya, kini, terdapat dua ranah yang saling bergerak, untuk tidak mengatakan saling berhadapan . Di satu sisi, wacana didekati secara teknokratik yang hanya melihat bahasa dari sisi analisis penggunaan (language use), meskipun dikatakan analisis semacam ini tidak membatasi dirinya semata-mata pada deskripsi linguistis secara otonom. Di sisi lain, teorisi yang menyatakan dirinya sebagai intelektual critical discourse analysis berkecenderungan mengintegrasikan wacana ke dalam ilmu-ilmu sosial.

Dua fokus ini, secara historis, sesungguhnya dapat dirujuk pada perbedaan filosofi yang mendasar antara tradisi Plato dan tradisi Aristotle. Adalah Plato yang menganggap bahwa lambang bahasa, natural dan konvensional, adalah representasi yang tidak sempurna. “Kata” selalu bersifat inferior betapa pun canggihnya dan bagaimana pun cantiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan Plato, pengetahuan yang termediasi lewat lambang bahasa (mediated knowledge) selalu berada pada posisi inferior terhadap kebenaran dibanding dengan pengetahuan langsung (immediate knowledge).

Aristotle sendiri memandang lambang bahasa sebagai simbol dari keserupaan (likeness). Keserupaan, dalam pandangan Aristotle, adalah kesan mental yang terhubung dengan aktualitas empirik. Tradisi Plato-Aristotle kemudian dikenal dengan tradisi langit-bumi. Plato meyakini kebenaran ultimate sementara Aristotle percaya pada kebenaran empirik.

Lima Wilayah Eksplorasi

Analisis wacana kritis menandai 5 (lima) wilayah eksplorasi. Pertama, analisis wacana kritis tidak dapat dipersamakan dengan analisis wacana linguistik. Jika analisis wacana linguistik, misalnya, diaplikasikan pada ranah sosiolinguitik atau analisis percakapan, analisis wacana kritis justru diaplikasikan melalui analisis tekstual ke dalam perspektif yang tersedia dan disediakan oleh teori-teori sosial.

Kedua, analisis wacana kritis mengabdikan diri pada masalah-masalah sosial. Oleh karena itu, analisis wacana kritis berfokus pada cara menjelaskan karakteristik linguistik sebagai produk dari proses sosial dan proses budaya dan menguak pola hubungan kekuasaan yang tersembunyi pada proses-proses tadi. Dengan cara seperti ini, analisis wacana kritis dapat menjelaskan tentang cara pola hubungan sosial dan pola kekuasaan dipraktikan dan dinegosiasi melalui wacana.

Ketiga, analisis wacana kritis juga berurusan dengan kerja-kerja ideologis. Kerja-kerja ideologis tentu saja tidak dapat dipahami melalui analisis teks, tetapi juga memerlukan pemahaman tentang tindakan-tindakan diskursif, termasuk cara teks dinterpretasi, dicerap, dimengerti, dan konsekuensinya terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Keempat, analisis wacana kritis menekankan konteks historis sebuah wacana. Elemen-elemen ekstralinguistik seperti proses dan interaksi sosial dan interaksi budaya dan cara wacana mengikatnya dan mengintegrasikannya menjadi bagian penting dari analisis wacana kritis.

Kelima, analisis wacana kritis bersifat interpretatif dan eksplanatori. Proses interpretasi berikut penjelasannya, tentu saja, memerlukan latar belakang bacaan sosial, budaya dan sejarah. Oleh karenanya, banyak ilmuan mengklaim bahwa kerja-kerja analisis wacana kritis bersifat terbuka dan dinamis, dan memerlukan prinsip-prinsip berpikir hermeneutik.

Narasi dan Konstitusi

Di negara-negara yang lebih maju, debat intelektual kini dibangun, menyangkut isu-isu di sekitar pengembangan kerangka dan perspektif pendidikan serta arah institusi bahasa dan institusi sastra. Debat ini sesungguhnya adalah refleksi dari ambang batas rasionalitas terhadap kerja-kerja teknokratis yang otonom terhadap bahasa dan sastra. Bahasa, misalnya, seringkali didefinisikan sebagai “alat”, sebagai “medium”, sebagai “ekspresi”, yang secara keseluruhan membuatnya diterima sebagai instrumen.

Dalam kapasitasnya sebagai instrumen, elemen-elemen linguistik, dari terkecil hingga terbesar, disusun secara hirarkis dan dijenjang secara taxonomi, dan diteknokrasi ke dalam teori. Di hadapan pendekatan teknokratis, bahasa kemudian kehilangan konteks, kehilangan pengalaman sosial, kehilangan sejarah, dan mungkin kehilangan power. Berpikir konstitutif yang tersembunyi di dalam konteks dan di dalam pengalaman tetapi menjadi manifest di dalam bahasa, kemudian mejadi samar, untuk tidak mengatakannya, hilang.

Nasib sastra setali tiga uang. Sastra tidak lagi menjadi narasi akulturasi bagi kelas menengah dan tidak lagi dipakai untuk melihat dan berempati pada proses marginalisasi manusia. Penguasaan teori sastra kemudian menggantikan peran sastra tinggi (high literature) dan menjadi penanda bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Orang boleh saja mengatakan bahwa Shakespeare bukan lagi bankir sastra, tetapi generasi Shakespeare berkontribusi secara konkrit. Narasi sastranya diinstalasi ke dalam jenjang-jenjang pendidikan, dikonstitusi ke dalam interaksi sosial dan interaksi politik. Makanya, bukan suatu kebetulan jika negarawan-negarawan Inggris tidak memerlukan konstitusi tertulis dalam mengatur negaranya. Konstitusi tampaknya telah “tertanam di kepala” para negarawan Inggris. Pasti bukan kebetulan, jika narasi sastra berhubungan erat dengan cara berpikir konstitutif.

Di Sulawesi Selatan, kapasitas serupa bisa ditelusuri jauh ke belakang, di rentang abad 16-17. Interaksi kekuasaan antara raja dengan raja, antara raja dengan rakyat dilangsungkan melalui narasi, dan diekspresikan melalui kompetensi literer. Interaksi sosial dan transaksi ekonomi antarrakyat juga berlangsung secara serupa.

Kini, segalanya telah hilang, setidaknya dalam praktik kekuasaan dan praktik sosial. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tidak berempati pada sejarah. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tidak pernah menghormati pengalaman sendiri. Satu diantara penyebabnya adalah, karena kita tergesa-gesa menyeberangi pengalaman orang lain. Satu diantara penyebabnya, karena kita tidak lagi ingin bercerita. Satu per satu hilang. Akhirnya kita kehilangan banyak. Persis ungkapan Frank Smith, kita kehilangan pengetahuan karena kita kehilangan cerita. Kita kehilangan narasi.
 
Alwy Rachman.