SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, October 5, 2015

Dunia yang Buta dan Ompong


Alwy Rachman

“Dunia akan penuh dengan orang-orang buta dan orang-orang ompong”, begitu pendakuan Mahatma Gandhi tentang motivasi manusia untuk bertindak “mata bayar mata” dan “ gigi bayar gigi” dalam konflik dan peperangan. Sindiran reflektif sang Mahatma atas laku manusia, ibarat panggilan kembali atas manusia yang tak bisa keluar dari budaya perang. Budaya perang ibarat “budaya tua” yang mendudukkan manusia sebagai “tawanan”.

Perang dan konflik politik kini berlangsung keras di wilayah-wilayah Arab. Getarannya menjalar kemana-mana, termasuk di negeri sendiri. Getarannya dimunculkan lewat berbagai julukan: “fundamentalisme”, “terorisme”, dan “Isis”. Di media televisi, perang di wilayah-wilayah Arab lebih mirip tontonan, mirip permainan perang di ragam gadget. Peliputan perang di wilayah-wilayah ini, oleh kalangan ilmuan, malah dipindahkan ke metafor romantik. Mereka bilang, “ini adalah Arab Spring”, “musim semi Arab.” Bayangkan, “saling bunuh” di antara manusia Arab, masih saja dibilangkan sebagai “musim semi”.

“Arab Spring” beraroma jamak, mulai dari soal perebutan kuasa politik hingga benturan di antara aliran-aliran agama, mulai dari pembantaian jurnalis televisi hingga eksploitasi seksual perempuan. Di arena “Arab Spring”, para jurnalis televisi yang menjadi korban adalah orang-orang yang di tempatkan sebagai bagian dari lawan. Mereka adalah apparatus ideologi “negara-negara kapitalis”. Itu sebabnya, pembantaian para jurnalis mestinya dibaca sebagai propaganda perang “melawan kapitalisme”.

Tapi, para jurnalis adalah “korban-korban” yang dikenali dan telah direspon oleh negara-negara asalnya. Yang masih sayup dan tersamar adalah perempuan-perempuan yang “dijadikan pemuas seks tentara”.  Arena perang mirip arena budaya yang mendudukkan tubuh perempuan sebagai arena simbolik. Arena ini tak lebih dari “arena pemindahan rasa sakit”, “arena penaklukan atas lawan”, “arena untuk keluar dari rutinitas perang”, atau “arena kebanggaan simbolik”.

Di banyak budaya masa lalu, tubuh perempuan nyaris menjadi permainan lambang. Laku budaya ini dimunculkan kembali di arena perang. Arena perang menempatkan tubuh perempuan sebagai sasaran “sexual abuse” atau “sexual violence”.  Dengan bahasa benderang, tubuh perempuan menjadi sasaran perkosaan dan pengrusakan. Motivasinya, tentu saja,  untuk mempermalukan lawan. Para analis membilangkan laku ini bersandar pada dalil, “lawan yang perempuan-perempuannya di perkosa tak akan kembali ke wilayah peperangan. Mereka merasa malu.”

Bukan cuma itu.  Pemerkosaan perempuan adalah sebagai bagian dari cara keluar dari rutinitas perang. Komandan-komandan pasukan yang berwatak penjahat perang akan membiarkan hal itu terjadi. Laku ini dianggap sebagai “memberi hiburan seks” pada pasukan-pasukannya. Satu lagi nasib perempuan korban, yaitu “menjadi terhina” di masyarakatnya sendiri. Jadi, arena perang berdampak panjang terhadap perempuan.

Kisah perempuan sebagai korban perang ada di mana-mana. Arena perang Bosnia, misalnya, memunculkan korban pemerkosaan perempuan-perempuan muslim. Atau, paling mutakhir, beberapa perempuan muda dari beberapa negara yang semula tertarik pada Isis, akhirnya terperangkap sebagai “penghibur seks”.  Di jagat raya pemberitaan, muncul pula istilah baru, “jihad seks”. Sayang, pemimpin negara-negara, tempat perempuan itu berasal, tak merespon isu seperti ini secara politik. Pembantaian jurnalis media televisi rupanya lebih utama ketimbang nasib perempuan.

Perang menyisakan rasa sakit berkepanjangan dan menghempaskan harga diri perempuan dalam waktu lama. Sedikitnya, begitu pengalaman negeri ini dalam perang kemerdekaan. Duka perempuan Indonesia yang dipaksa sebagai “penghibur seks” telah dikisahkan oleh A. Budi Hartono dan Dadang Juliantoro. Publikasi yang bertajuk Derita Paksa Perempuan pada tahun 1977 ini, berisi kesaksian atas kesakitan 249 perempuan Indonesia yang menjadi “penghibur-penghibur seks” tentara Jepang. Perempuan-perempuan ini dibilangkan sebagai “Jugun Ianfu.”  

Di publikasi Jugun Ianfu, Budi dan Dadang bilang, pengisahan kembali perempuan korban, “bukan soal membuka luka lama. Ini soal moral kemanusiaan. Soal tanggung jawab Jepang terhadap apa yang dilakukannya tempo dulu.”  Mari  kita berdialog secara imajiner dengan sang Mahatma. Ia akan bilang, “jika perang senantiasa memerkosa perempuan, dunia akan penuh lelaki tak bermartabat”. Mari kita merefleksi tutur sang rasul, Muhammad, yang bilang, “Ibumu…, ibumu…, ibumu…”, ketika ditanya siapa yang paling pantas dihormati. Atau, ketika sang nabi mendakukan putrinya sendiri sebagai ibunya. 

Catatan:
Pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, Selasa 14 April 2015

Monday, July 27, 2015

Ada Setan, Ada Hantu

Alwy Rachman

Mengapa setan dan hantu ikut-ikutan muncul dengan wajah budayanya? Mengapa paras buruk keduanya hadir sebagaimana cara bangsa melihat dirinya sendiri? Begitu pertanyaan seloroh seorang sahabat pada saya. Teman itu bilang sembari menyodorkan bukti dan argumentasi. Budaya Barat, misalnya, percaya vampir dan drakula, tapi tak percaya ada kuntilanak dan genderuwo. Sementara itu, budaya Nusantara percaya ada kuntilanak dan genderuwo, tapi tak percaya vampir dan drakula hadir di arena budayanya. Vampir dan drakula tak lebih dari tontonan dari negeri seberang.

Jadilah kuntilanak dan genderuwo di Timur dan vampir serta drakula di Barat. Budaya Nusantara mempersepsi kuntilanak tak lain seorang perempuan yang pemunculannya tak banyak bicara kecuali tawa cekikikan berganti tangis pedih menakutkan. Berbaju putih, berambut panjang menyeramkan, dan di  bagian belakang tubuhnya bolong. Akan halnya kuntilanak, genderuwo yang lelaki, berpenampilan gondrong, gempal, dan dekil. Juga tak banyak bicara, tapi muncul berkuku panjang menakutkan. Kuntilanak dan genderuwo datang dan pergi tak ketahuan. Keduanya tak pernah mesra.

Budaya Barat mempersepsi setan dan hantunya secara berbeda. Vampir dan drakula berpakaian necis, jahitan pakaiannya dan pernak-perniknya di tubuhnya berkelas. Vampir dan drakula membawa trisula. Vampir dan drakula akan memberi tahu cara mereka datang dan pergi, cara mereka lari dan terbang. Vampir dan drakula akan memberi tahu cara mereka mematerialisasi diri, membelah diri, menggandakan diri, dan memetamoforsis diri. Keduanya bisa mesra sebelum mengisap darah sang korban.

Bagi Jose Hernandez, penyair Argentina, setan dan hantu adalah pihak yang tahu banyak dengan dua alasan. Pertama, mereka memang setan, mereka adalah hantu. Kedua, mereka memang makhluk tergolong tua. Tak ada manusia yang mau tahu seberapa tua sang hantu dan sang setan. Yang ada hanya spekulasi yang bilang, “Usia kehadiran setan dan hantu itu, setua dengan upaya mencari kebaikan oleh manusia.”

Saking misteriusnya dan saking terbatasnya pengetahuan manusia, seorang penulis lakon, Samuel Butler, dalam Higgledy-Piggledy: An apology for the Devil, merasa perlu “minta maaf” kepada sang setan dan sang hantu. Sang penulis ini bilang, “maaf ya, kami memandangmu secara sepihak”, “kami hanya tahu tentangmu dari satu sisi”, “kami hanya tahu kehadiranmu berdasarkan peristiwa-peristiwa di versi naskah-naskah yang dianggap keramat.”

Ibarat gayung bersambut, Augosto Boal, juga dramawan, bilang, “Setan dan hantu tak pernah ada pada naskah-naskah yang berisi kekejaman. Naskah-naskah kekejaman bukanlah wahana untuk mengerti siapa sang setan, siapa sang hantu. Lagi pula, tak ada autobiografi tentang setan. Apa pun yang kita tahu tak lebih dari penentangan terhadap setan, legitimasi setan senantiasa ditolak. Ekspresi setan dan hantu yang dekil di budaya Nusantara tetapi modis di budaya Barat adalah semata-mata cara kedua bangsa ini melihat diri sendirinya terhadap ‘apa ada yang di luar kebaikan’”.

Itu sebabnya, logika seorang filsuf, Plotinus, misalnya, mengandaikan, “setan dan hantu” bukan soal “inspirasi yang menggairahkan”, bukan juga soal “daging dan tulang” tubuh manusia. Di situ ada punishment and reward, “hukuman dan hadiah”. Di sana, ada soal stick and carrot, “tongkat dan wortel”. Di situ, yang dianggap jahat  “kena pentungan” sementara yang dianggap baik, dianugerahi hadiah.

Sang filsuf menegaskan punishment and reward serta stick and carrot menjelma menjadi semacam “dalil tentang sesuatu”, yaitu: dalil yang memenangkan kelompok kuasa dan senjata terhadap kelompok tak berdaya. Plotinus menambahkan, “mereka yang tak punya fakultas kebaikantak  berkemampuan bertindak untuk mengenali kebaikanatau  mereka yang hanya tahu keburukan, maka dari pengalaman merekalah kebaikan akan terlihat semakin jelas.”

Untuk itu, soal setan dan hantu adalah soal keadilan. Pasti ada yang mengambil keuntungan di atas vampir dan drakula yang berparas modis, pun pasti ada yang mengambil kesempatan di atas kuntilanak dan genderuwo yang berwajah dekil. Di situ ada relasi kuasa antara yang kaya dan yang miskin, antara kaya dan kaya, dan antara miskin dan miskin. Yang kaya mengancam yang kaya dan yang kaya menindas yang miskin. Lalu, sesama miskin tinggal ketakutan atas kehadiran sang kuntilanak dan genderuwo.

Meski demikian, sang filsuf masih menghibur. Ia bilang, “Keburukan tetap saja berkontribusi pada keseluruhan.” Jadi, hantu dan setan akan mendatangkan dampak sampingan, yaitu: menyadarkan, membangun spirit dan kecerdasan, dan membuat setiap orang menyadari bahwa kebaikan yang sangat besar adalah kebajikan. Vampir dan drakula yang modis serta kuntilanak dan genderuwo yang dekil akan menyadarkan manusia bahwa “manusia baik bukan setan, pun bukan hantu”.


Tuesday, June 23, 2015

Televisi, Peluka Kedua di atas Duka

Alwy Rachman

Di habitat kebudayaan, jenasah diperlakukan terhormat. Sedemikian rupa, jenasah dihayati sebagai waris keluarga. Itu sebabnya, aib jenasah dijaga sedemikian rupa. Laku terhadap jenasah menyimpan pesan imperatif bagi keluarga, yaitu “jangan engkau berlaku semena-mena atas jenasah” dan ”tutuplah aib sang tubuh tak bernyawa”. “Tubuh tak bernyawa adalah milikmu”, “engkau adalah pewaris atas jenasah”, begitu kira-kira norma dan laku kebudayaan. Pun norma dan laku agama-agama menegaskan seperti itu. 

Tapi di laku media televisi, sang tubuh dimunculkan dengan paras yang jamak. Di tayangan entertainment, tubuh hidup menjadi penghibur yang “wah”. Pernak-pernik pasti menghiasi tubuh sang artis. Seringkali, gerak tubuh dieksplorasi dari sisi yang sensual dan seksual. Jika bukan soal sensualitas dan seksualitas, tubuh hidup menjadi olokan dan ejekan. Sang entertainer rela mengejek dan mengolok “cacat orang lain”. Atau, jika entertainernya yang “cacat”, “cacat tubuh” dieksploitasi sebagai komoditas tontonan.  Sensualitas, seksualitas, olok-olok dan ejekan, suka atau tidak, menjadi “pelayan gairah publik”. Low narcissism and low comedy, begitu kira-kira.

Di tayangan tentang bencana dan kecelakaan, tubuh masih sebagai komoditas, meski tak lagi berjiwa. Tayangan atas bencana dan kecelakaan tentu wajar, meski nasib jenasah di depan kamera sering tak wajar. Jenasah, dalam banyak peliputan, “terampas” lewat kamera dan menjadi “komoditas untuk pemirsa” lewat institusi media. Secara sepihak, publik dipersepsi sebagai pemirsa yang “rakus atas tragedi”. Satu lagi, bencana dan kecelakaan berskala besar, biasanya diikuti pemediaan pakar yang menyediakan penjelasan teknokratis. Tak salah memang, cuma drama kemanusiaan tak tertangkap oleh empati. Haru biru atas hidup manusia di sekitar bencana dan kecelakaan terampas oleh cara pikir teknokratis. Itu sebabnya, empati seperti mati rasa menonton musibah di media televisi Indonesia.
***
Tubuh adalah “rampasan” untuk “dijinakkan”, begitu posisi akademikus eksentrik Michel Foucault. Foucault mendalilkan, “tubuh cenderung dijinakkan oleh aparatus kuasa”. Kekuasaan punya motivasi dan keperluan untuk menjinakkan tubuh. Jadi, ungkapan “my body is my own”, “tubuhku adalah milikku” menjadi klise. Di bawah institusi aparatus kuasa, termasuk kuasa media, “your body is not your own”, “tubuhmu bukan milikmu”. 

Tontonlah gerak tubuh di panggung fashion dan lihatlah gerak tubuh di institusi militer, sebagai contoh. Di sana, gerak tubuh tak lagi milik individu bebas. Di situ tak ada lagi gerak tubuh alamiah. Di sana dan di situ, gerak tubuh yang dikenali masyarakat “telah dijinakkan”. Begitu kira-kira gambaran sederhana tentang “tubuh yang dijinakkan”, meminjam istilah Foucault. 

Dalam hal peliputan bencana dan kecelakaan, media tetap saja “merampas” tubuh yang sudah jenasah. Jenasah menjadi “obyek jinak” untuk komoditas media. Jenasah yang tak lagi berdaya “dirampas” dari kehendak dan perasaan keluarga sebagai pewaris, dirampas dari norma imperatif yang memandu laku budaya dan laku agama-agama. Jenasah menjadi bagian dari riuh dan gempita media, tetapi menyakitkan. Media menjadikan dirinya sebagai peluka kedua di atas duka yang dalam.
***
Peliputan kecelakaan udara Air Asia, baru-baru ini, adalah bukti “rampasan” jenasah oleh media televisi. Pasalnya, TvOne menayangkan proses evakuasi dengan gambar benderang terhadap sosok mayat yang “nyaris telanjang”. Kamera pasti tak bohong, tapi ideologi pengambilan dan penyiaran gambar nyatanya mengusik “moral keluarga” dan “moral publik”. Kalau saja, “engkau adalah pewaris atas jenasah yang nyaris telanjang”, “apakah engkau akan rela bagian intim dan paling pribadi sang jenasah ditonton oleh publik?”. Dalam bahasa kebudayaan, bagian intim dan paling pribadi disebut kemaluan. Kemaluan adalah bagian-bagian tubuh yang simbolik, tempat kita menjaga dan memelihara martabat atas rasa malu. 

Kamera memang tak pernah bohong. Tapi mengapa peliputan Tsunami di Jepang tak mendudukkan jenasah sebagai komoditas, padahal korbannya tak sedikit?. Kamera memang tak pernah dusta, tapi mengapa peliputan jenasah korban konflik di Palestina tak seekstrim di media televisi Indonesia, meski jenasah ditonton di tengah iringan massa yang marah?. Kamera tak pernah bohong, tapi ideologi tayangan tak selalu jujur.

Pada akhirnya, lewat kuasa media, jenasah didudukkan sebagai elemen dramatik peristiwa, dipindahkan dari “milik keluarga” menjadi “tontonan publik”, digeser dari “waris keluarga” menjadi “milik media”. Itu sebabnya, “hak publik” kini merenggang hak privat keluarga. Saking renggangnya, teknologi media yang direct, canggih dan berjangkau luas tak lagi menjamin perlindungan sensitif terhadap moral keluarga, moral budaya  dan moral agama-agama atas jenasah. 

Pada ujungnya, kalau sudah begini, mari kita baca kembali geram Dan Brown.  Penulis The Da Vinci Code ini bilang, “Media is the right arm of anarchy”, “media adalah tangan kanan anarki”.


 

Saturday, February 7, 2015

Animator-Animasi di Manusia Robot

Alwy Rachman

Membaca ikhwal robot memberi kesan sekejap: canggih! Menonton Robocop memberi sensasi: robot polisi dapat diandalkan. Padahal, robot dan robocop hanyalah mesin humanoid yang dirancang untuk meniru intelejensia manusia. Bahasa teknologinya “Artificial Intelligence”. Mesin ini dirancang melalui keterampilan dan kecerdasan manusia sungguhan.  Di keseharian, robot dan robocop diidealkan secara ambisius, dipekerjakan untuk banyak hal, di industri canggih hingga ke industri sederhana. Di tontonan, robot dan robocop menjadi “tontonan pop” yang menghibur. Menghibur karena robot didudukkan sebagai pekerja tak kenal lelah, sementara Robocop dikarakterkan sebagai polisi pemenang.

Robot tak lebih dari animasi, Robocop pasti fiksi. Animasi dan fiksi adalah hasil imajinasi. Imajinasi ini kemudian menghadirkan fashion teknologi. Animasi dan fiksi malah kini menjadi buruan ilmuan dewasa ini. Saking ambisiusnya, praktisi “robot” ingin menggantikan peran manusia politikus menjadi robot politikus. Sedikitnya begitu motif dan visi salah satu perusahaan robot di Amerika yang ditulis oleh Bob Kolodney. Perusahaan ini berhendak memproduksi “robot yang lebih manusiawi” ketimbang manusia manusia politikus.

Bob Kolodney beralasan, manusia politikus tak menarik. Pidatonya membosankan. Tutur katanya melelahkan untuk didengar. Matanya pucat mirip Zombie. Ganti saja dengan robot politikus. Robot politikus selalu segar, bermata merah cerah, dan terus menerus memancarkan antusiasme dan memancing hasrat pendengar dan penontonnya. Robot politikus tetap segar meskipun telah melakukan ribuan presentasi, begitu alasan Bob Kolodney.

***
Imajinasi “manusia robot” berakar jauh di masa lampau: ada di legenda, di mitos dan di kisah. Akarnya hadir di kisah Dewa Hephaestus di Yunani Awal, sebagaimana legenda Golems di masyarakat Yahudi. Di kisah Archytas, matematikawan terkemuka pada zamannya, sang tokoh berhasil membuat “robot merpati” di sekitar abad 400 sebelum masehi. Pun di legenda Cadmus yang menabur gigi-giginya yang kemudian menjelma menjadi tentara. Mitos tentang Pygmalion yang patungnya bernama Galatea digambarkan menjelma menjadi manusia. Atau patung Hephaestus yang berubah dan menciptakan pembantu-pembantu mekanistis.

Banyak filsuf memandang, kisah, legenda dan mitos seperti ini menyembunyikan spirit slavery, semangat perbudakan. Akar humanoid berhulu pada siapa yang kuasa. “Manusia robot adalah budak”, dipekerjakan untuk keperluan perang, penguasaan ekonomi, dan penaklukan secara politik. Pendek kata, ide “manusia robot” tak netral. Di belakang semua itu, setumpuk motif bisa ditelusuri. Meski demikian, ada juga pemikir yang bilang bahwa rancang bangun mesin humanoid adalah wujud “kegelisahan jiwa manusia” terhadap tubuhnya sendiri.  

Banyak pemikir yang menyoal bahwa “Jiwa” memang “gelisah”. Jiwa hanya mengokupasi materi paling lemah, paling tak berdaya, yaitu tubuh. Lalu tubuh menyerah menyerah begitu saja untuk dianimasi. Ringkasnya, memakai bahasa robotik, “Jiwa adalah animator tubuh”. Konflik animator-animasi lalu menjadi pengalaman dramatik yang tersembunyi, jauh di dalam diri manusia.  Boleh jadi, peristiwa dramatik inilah yang dikeluarkan oleh manusia ke dalam atribut “artificial intelligence”. Maka, muncullah drama lain di luar diri manusia: “manusia sungguhan” berhadapan “manusia artifisial”, “manusia otentik” berhadapan “manusia robot”, dan “manusia animator” berhadapan “mesin humanoid”. Manusia telah memindahkan peristiwa dramatik dalam dirinya ke luar dari dirinya.
***
Tapi, konflik di antara hubungan jiwa dengan tubuh telah direspon oleh Plotinus, filsuf yang hidup tak jauh dari spirit zaman perbudakan.  Adalah Plotinus yang mempertajam apa yang dimaksud dengan kebajikan (virtue). Baginya, manusia sungguhan terhubung dengan kebajikan. Kebajikan manusia terhubung dengan tiga eksistensi: “Yang Satu” (The One), “Yang Tahu” (The Intellect), dan “Yang Jiwa” (The Soul). “Yang Satu” adalah absolut terhadap “Yang Tahu”, pun terhadap “Yang Jiwa”. “Yang Satu” adalah sebab dari segala sebab, dan menjadi penyebab dari semua yang hidup di alam semesta, tambah Plotinus.

 “Yang Satu” memancarkan kebajikan pada “Yang Tahu” sebagaimana pada “Yang Jiwa”. “Yang Satu” ibarat cahaya yang menyinari. Bukankah “Cahaya putih yang membentuk warna warni pelangi?” Begitu analogi para pembaca Plotinus untuk paham renungan sang filsuf. Tubuh manusia ibarat matematika rumit, tambah para pembaca Plotinus.

“Di tubuh manusia,  “Yang Satu”, “Yang Tahu” dan “Yang Jiwa” terhubung satu sama lain. “Yang Satu” lah yang menurunkan “Yang Tahu”. Dan “Yang Tahu” lah yang melalukan aktifitas berfikir. Itu sebabnya, “Yang Tahu” disebut sebagai identitas kognitif. Jika “Yang Tahu” yang berpikir, maka “Yang Jiwa” yang berkehendak. Dengan kata lain, aktivitas “Yang Jiwa” adalah cermin dari “Yang Tahu”. Plotinus mendaku, aktivitas “Yang Jiwa” yang terlepas dari “Yang Tahu”, akan menghasilkan kejahatan (evil).

Inilah drama yang berlangsung jauh di dalam diri manusia. Drama ini kemudian membuat manusia merasa aneh pada tubuhnya sendiri. Inilah yang memotivasi manusia untuk menganimasi dirinya sendiri lewat robot atau robocop. Boleh jadi, ini yang dicerna Bob Kolodney hingga ia menulis bahwa perusahaannya akan memproduksi robot politikus yang lebih manusiawi ketimbang manusia politikus.

Gagasan nakal. Business Harvard School menyebutnya sebagai bisnis paling buruk. Manusia memang usil, terhadap dirinya, terhadap di luar dirinya. Begitu pendakuan Fuad Hasan, filsuf eksistensial dari negeri sendiri.




 
Alwy Rachman.