Konsep ‘Pawinruk’, ‘Tajang’ dan ‘Sadda’
Konsep Kesejahteraan
- tidak melebih-lebihkan perkataan,
- tidak mengurangi perkataan,
- melaksanakan tugas dengan baik,
- mengucapkan perkataan yang benar,
- melakukan perbuatan yang bermanfaat pada manusia,
- melakukan perbuatan dan mengucapkan kata-kata yang patut,
- memberikan bantuan kepada orang lain sesuai kewajaran, dan
- merendahkan diri sepatutnya.
Kesejahteraan masyarakat ditandai oleh melimpahnya bahan makanan, baik buah-buahan maupun meningkatnya hasil panen, terutama padi-padian. Hal itu terjadi bila:
- hakim berpantang,
- bila raja memerintah bersikap baik terhadap seisi rumahnya,
- bila bersatu-padu rakyat di dalam negeri, dan bila tidak ada pantangan sangiaserri di dalam negeri, (mappémmaliwi pabbicaraé, madécéng ri lalempolai arung mangkauk-é, masséuwana taué ri lalempanuwa, dékpa sapakna sangiaserri ri wanuwaé).
Kebaikan dalam istana raja ditandai perilaku raja yang jujur, teguh dan tegas berpegang pada kebenaran, raja tidak menjamah isi rumahnya, maksudnya raja tidak melakukan perbuatan tidak senonoh menurut aturan adat kepada dayang-dayangnya, dan tidak masuk ke istana raja barang hasil perbuatan sewenang-wenang.
Persatuan seluruh rakyat di dalam negeri yang merupakan salah satu tanda kesejahteraan masyarakat dibuktikan dengan
- rakyat yang seia sekata; dengan bersikap jujur kepada sesamanya;
- saling berkata benar di antara mereka;
- saling memelihara martabat dan harga diri;
- bersatu dalam duka dan suka;
- ke gunung sama mendaki dan tidak saling menarik ke lembah;
- tidak saling berhitung-hitung antarsesama; dan
- saling membenarkan dalam kebenaran sesuai apa adanya.
- Wanita hidup bersama (seketiduran) dengan pria;
- hidup seketiduran dengan saudaranya;
- orang seketiduran dengan hamba sahayanya[6];
- wanita yang berzinah atau beronani dengan alat kelamin buatan, mallaso pattik-é[7];
- pria yang hidup seketiduran dengan sesamanya pria;
- bersengketa rakyat di dalam negeri;
- hakim tidak berpantang dalam peradilan; dan
- raja yang memerintah berlaku tak senonoh terhadap isi rumahnya.
- berpikiran panjang (nawa-nawa malampék) sebelum melakukan sesuatu perbuatan atau mengucapkan sesuatu perkataan;
- menggunakan pertimbangan matang (tanngak);
- menggunakan akal dan kemampuan menentukan pilihan (pangilé);
- selalu memelihara martabat dan harga diri (sirik-é); dan
- memiliki sikap yang selalu berhati-hati (tikek-é).
Perilaku yang benar serta kata-kata yang benar, tempatnya pada orang yang berpikiran panjang; perbuatan yang patut dan tepat, tempatnya pada orang yang menggunakan pertimbangan matang; perkataan yang baik dan tidak serampangan, tempatnya pada orang pintar. Sedangkan perilaku jelek dan perkataan buruk tempatnya pada orang yang sesat; dan perilaku salah serta perkataan salah, tempatnya pada orang dungu.
Penegakan Supremasi Hukum
Kesejahteraan masyarakat sangat terkait dengan penegakan dan pelaksanaan hukum, panngadereng. Maccaé ri Luwu menguraikan pejelasan yang dimaksudkannya sebagai berikut: Adapun yang disebut peradatan lima jenisnya: pertama ialah adek maraja, adat agung; kedua, adek puraonro, adat yang telah mantap; ketiga ialah tuppu, pengurutan; keempat, ialah warik, pemilah, tatacara protokoler; kelima ialah rapang, ibarat, jurisprudensi. Itulah yang kujaga jangan sampai kupertukarkan. Kurentang beccik, garis pelurus yang telah kutetapkan. ("Naiya ri asenngé panngadereng, lima mpuangenngi: séuwani, adek maraja; maduanna, adek puraonro; matellunna, tuppu; maeppakna, warik; malimanna, rapang. Iyanaro uwalitutui ala upasisapik-sapik-i: sibawa upakgettenna beccik pura utaroé").
Kemudian, Maccaé ri Luwu mengemukakan perlunya kehati-hatian menghadapi empat jenis manusia yang kepadanya perlu dibentangkan tali pelurus yang tegas, ripagettengi beccik'[8] yaitu:
- orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, to mawatanngé,
- orang culas, to majékkoé,
- orang pintar, to maccaé, dan
- orang dungu, to benngoé.
Persatuan
- seia sekata di dalam negeri (massituruk-i ri lalempanuwa),
- jujur kepada sesamanya (sialempurenngi),
- saling berkata benar di antara mereka (siakkeda tongengenngi);
- saling memelihara sirik (siarisik-i;)
- dalam duka dan dalam suka mereka bersatu (jak nauruk, décéng nauruk);
- ke gunung sama mendaki, tidak saling menurunkan ke lembah, (sitéreng ribuluk-é, tessinoreng ri lompok-é);
- tidak saling berhitung-hitung di antara sesamanya dalam kewajaran (tessicirinnaianngi ri silasanaé);
- saling membenarkan menurut apa adanya (sipattongenngi ri akkunaé).
Terpeliharanya delapan sifat tersebut dalam masyarakat menyebabkannya disebut ”berbuluh sebatang, berbundar telur” (makbulo silappa, mallébu ittello). Maccaé ri Luwu menjelaskan makna persatuan yang bundar telur itu, dengan pendeskripsian: "Adapun telur itu, putih lagi bundar, intinya itulah menjadi ayam. Ayam itu menghasilkan telur. Maka yang dinamai bundar bagaikan telur, tak ada yang mendahuluinya, tidak ada pula di belakangnya." (Naiya ittellok-é, maputé na mallébu tampuk ulawu. Ulawué mancaji manuk. Manuk-é makkittelloreng ittello. Aga naiya riasenngé mallébu ittello, dék maddioloiwi, dékto makdimunringiwi)
Dalam konsep ini, persatuan lahir akibat adanya kesepakatan akan kebersamaan (assamaturuseng) untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, serta adanya rasa kesesamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Bila bersatu bulat bagaikan telur lebih terarah pada persatuan antarwarga masyarakat secara horizontal, maka persatuan 'bulat bagaikan beras' merupakan persatuan yang bersifat vertikal, yang terbina antara raja dengan rakyatnya. Persatuan bulat beras (mallébu berek) adalah persatuan bulat, berpalut dalam kebulatan antara raja, rakyat dan kerajaan, yang terjadi oleh adanya perjanjian antara raja dengan rakyat: "Tenggelam bersama dalam keburukan; muncul bersama dalam kebaikan. Tuan adalah angin, daun pepohonan si hamba; dibawa ke dalam duka dan suka, jauh maupun dekat. Apa yang akan menjadi kebesaran sang raja, akan menjadi kekuatan bagi sang hamba. Tidak saling curiga, tidak saling memandang sebagai orang lain. Si hamba tidak tengadah menginginkan kerajaan sang raja. Sang raja tidak merunduk menginginkan perhambaan sang hamba. Tidak saling merampas hak antara tuan dengan hamba. Tidak saling mendendam, tidak saling memarahi, sebab beras itu tidak punya dendam, tidak punya marah. Hanya kebulatan dan panjangnyalah yang menjadi miliknya. Maka yang disebut bundar beras, berkepanjangan baiknya terus hingga ke anak cucunya" (Sitellengeng ri majak-é, siomporeng rimadécénngé. Anging puanngé, raung kaju ataé; nariwawari perrik nyameng, ri mawék ri mabéla. Iya-iya napoarajang puanngé, napowatanngi ataé. Tessikira-kirai ataé, puanngé; tessitau-laingeng. Ata tecconga macinnaiwi akkarungenna puang-é, puang teccukuk maéloriwi angatangenna atanna. Tessiala olo ataé puanngé. Tessitampuk-tampukeng, tessiokkoreng wiwé. Apa iya berek-é dék tampukna, dékto wiwéna. Lébunnami napunnai enrenngé lampékna. Aga naiya riasenngé mallébu berek, malampék-i décénna, namannennungeng lettuk ri pakdimunrinna).
Hubungan persatuan antara negeri dengan negeri, raja dengan raja, baik hubungan antarnegeri di dalam kerajaan maupun hubungan antarkerajaan disebutnya sebagai persatuan bulat bambu (mallébu bulo). Konsep ini menunjukkan hubungan dan pembinaan persatuan antara satu negeri dengan negeri lainnya di dalam kerajaan, dengan mengamalkan perjanjian: "Satu dalam duka dan satu dalam suka. Tidak saling menghadang perbekalan. Berkata saling mempercayai, khilaf saling mengingatkan, hanyut saling menyelamatkan, jatuh saling membangkitkan, tidak saling menyembunyikan orang salah, tidak pula saling mengambil hak. Tidak saling berperkara; tidak akan mengurai yang sudah kukuh, tessiluka taro'[9]; tidak saling mengambil warisan. Tak mencegat orang melarikan barang yang sudah sepatutnya. Berumah terpencil, mabbola silellang'[10], satu khasanah, satu harta benda. Saling hormat bagaikan tamu di rumah masing-masing. Harta benda dan hewan ternak aman di tempatnya. Tidak saling menggeser batas, tidak menggunakan kekuatan. Ke gunung sama mendaki, ke lembah sama menurun. Tidak saling menunjukkan semak belukar (bukan aturan). Tak saling mengambil telur, tak saling menangkap (sembunyi-sembunyi) ikan di lubuk. Sama-sama beradatkan adatnya masing-masing, sama-sama melaksanakan peradilannya sendiri. Mereka juga mufakat, tak saling membunuh, tidak saling mengangkat senjata, tak saling diterbangkan asap api (tak saling membakar), 'tennarettek bessi, tennaluttureng rumpu api'[11]. Payung jadi robek, tongkat jadi aus, betis jadi penat (karena) terus-menerus saling mengunjungi, demi mencapai kebaikan bersama. Demikian itulah kebulatan antara negeri dengan negeri, dan raja dengan raja, sehingga disebut bulat bagaikan buluh sebatang. Sebab buluh itu bulat di dalam dan bulat pula di luar. Jika pecah, akan rusaklah yang di dalam maupun yang di luar. Mereka menamai negerinya bersatu dalam suka dan duka".
Kejayaan Negara atau Kerajaan
Oleh karena itulah, Maccaé ri Luwu menegaskan perlunya kebijaksanaan seorang raja untuk selalu mengambil ukuran pada diri sendiri dan kemampuannya, serta tetap menjalankan kebijaksanaan itu sesuai penggarisan dan di atas rel panngadereng dan hukum yang berlaku. "Olakku uakkolaki, sibawa uwatutuinna pangaderenngé…" (takaranku kupakai menakar serta kujaga peradatan…). Pandangan itu dijelaskannya dengan contoh praktis: "Tidak kusuruh seseorang tidur pada suatu tempat jika hatinya tidak mengiyakan menidurinya. Tidak juga kubebani seseorang, di luar kehendaknya. Tidak juga kusuruh seseorang membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Tidak juga kukenakan pada seseorang dua beban yang berat: tidak kusuruh ia mengerjakan dua pekerjaan yang sama, pada saat bersamaan" (Dék upaléwuriwi tauwé narékkok tennakadoiwi lléuriwi. Dékto upawawai tauwé ti tenngélokna. Dékto upatiwiriwi tauwé tennaulléwé. Dékto upakennaiwi tauwé dua doddosok, dékto upattenniwi dua alu).
Pelaksanaan kebijakan yang demikian merupakan penjabaran dari sikap 'tidak terlalu manis, dan tidak terlalu pahit' terhadap rakyat, serta pandangan yang menempatkan segala sesuatunya secara proporsional, yang dianggap oleh Maccaé ri Luwu akan menimbulkan perasaan tenteram dan terayomi pada warga masyarakat. Kejayaan negara dimungkinkan dengan terpenuhinya delapan persyaratan utama bagi para pejabat negara, paréwa tana, dan terutama oleh raja dan pejabat-pejabat negeri:
- melempukpi (memelihara kejujuran);
- makkeda tongeppi (selalu berkata benar);
- magettengpi (teguh pada pendirian yang benar);
- malélengpi (mawas diri);
- masémpopi (bermurah hati);
- manyameng-kininnawapi (memelihara sikap peramah);
- waranipi (memelihara keberanian) dan
- temmappasilaingeppi (tidak pilih kasih).
Kata janci (janji) yang dihubungkan dengan sikap getteng (keteguhan dan ketegasan pada prinsip yang benar), dijelaskannya sebagai bukan hanya janji secara personal antarorang perorang, melainkan terutama pada janji untuk melaksanakan adek allébung (adat keberpaduan) dan bicara assituruseng (hukum permufakatan). Adek allébung ialah yang berpatutan pada keserasian, wajar dalam tatacara dan aturan stratifikasi, sesuai dengan peraturan dan keteguhan pada janji-janji, (sitinajai ri tuppuk-é, na silasa ri warik-é, nasellempuk ri rapanngé, namassek ri jancié). Adek assituruseng dijelaskannya sebagai berikut: Adapun sehingga disebut permufakatan karena disepakati membuatnya sepadan dengan keserasian, serta menjadikannya berpatutan dengan keperingkatan, bersesuaian dengan peraturan, (naiya nariaseng bicara assituruseng, sabak riassiturusinna pasitinajai ri tuppuk-é, enrenngé pasitinajai ri warik-é, passellempuk-i ri rapanngé). Hal-hal itulah yang disebut sebagai dipegang teguhnya janji-janji, dan disebut pula hukum kebenaran tiga serangkai, bicara tongettellu, yaitu tuppu, warik dan rapang.
Seluruh pemikiran Maccaé ri Luwu untuk penciptaan negara/kerajaan yang jaya, berdasar pada nilai-nilai ada tongeng, lempuk, getteng dan beberapa nilai lainnya. Untuk menopang kejayaan kerajaan/negara, diperlukan adanya pejabat negara, paréwa tana, yang harus memenuhi minimal empat kriteria, yaitu 1) malempukpi (kejujuran), 2) kénawa-nawapi (berpikiran panjang), 3) sugikpi (kekayaan) dan 4) waranipi (keberanian). Untuk menjelaskan apa yang dimaksudkannya, Maccaé ri Luwu memberi keterangan:
Adapun tanda orang kaya (sugik)[13] ialah : a) kaya perkataan, b) kaya pemikiran, c) kaya pekerjaan, dan d) kaya belanja.
Berbagai prinsip yang dikemukakan Maccaé ri Luwu untuk kejayaan negara/kerajaan selalu dikaitkannya dengan kejujuran, lempuk. Seorang raja yang menginginkan ketenangan dan kekekalan dalam kerajaannya, raddek ri akkarungenna, harus mempraktikkan lima hal:
- Jujur kepada 'dewata', kepada sesamanya raja, kepada negeri tetangganya dan kepada rakyatnya. Selain itu, jujur kepada dirinya sendiri dan kepada seisi rumahnya. Jujur kepada semua yang terpandang mata, terdengar telinga. Itulah kejujuran yang sesungguhnya;
- apa saja yang akan dilakukan atau mau diperkatakan, terlebih dahulu dipertimbangkan latar depan dan latar belakangnya. Dimintakannya pertimbangan pada pabbicara, kepada rakyatnya dan kepada hati nuraninya;
- bersikap murah (mudah) melakukan perbuatan membantu orang lain dalam suka dan duka dalam batas-batas kewajarannya; murah perkataan dan nasihatnya dalam batas-batas kepatutannya; murah kasih sayang kepada sesamanya manusia;
- teguh pada prinsip kebenaran (getteng) dengan tidak mengingkari janji, tidak mengkhianati ikrar (-antarnegara), dan tidak membatalkan hukum yang telah tetap, adek puraonro. Demikian juga tidak melampaui garis-pemisah, pembatas (beccik), tidak melebih-lebihkan perilakunya atau mengurangi perilakunya[15], tidak melebih-lebihkan atau mengurangi perkataannya, atau melebih-lebihkan penyaksian pengalaman dari apa yang telah dilihatnya;
- berani melakukan perbuatan yang sepatutnya dalam keadaan sulit atau tidak sulit; berani memutuskan kebenaran perkara berat atau perkara ringan; berani memberi peringatan atau nasihat kepada para pembesar, dan kepada rakyat kecil; berani membuat perjanjian dengan sesamanya raja sesuai kewajaran; berani melihat yang luas dan yang sempit, yang mulia dan yang hina, yang besar yang kecil; berani mendengar kata-kata yang jelek atau kata-kata yang baik.
Kejayaan kerajaan atau negara tergantung pula pada cara seorang raja menjalankan pemerintahan. Maccaé ri Luwu mengemukakan bahwa rakyat dalam suatu kerajaan harus: a) diperintah sesuai dengan kesenangan dan aspirasinya, cenning atinna; b) diperintah dengan menjaga harga diri dan martabatnya, sirikna, dan c) diperintah dengan menimbulkan keseganannya. Hal tersebut dijelaskan Maccaé, sebagai berikut:
- Rakyat diperintah dengan cenning atinna ialah bila pemerintahan dijalankan sesuai dengan hukum yang tetap, adek pura onro, serta dilaksanakan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku. Tidak pula dimentahkan aturan hukum yang telah mereka (rakyat) putuskan bersama, serta tidak dihalangi melakukan perjanjian dengan sesamanya orang merdeka. Raja tidak memaksakan kehendaknya, dan raja menegakkan kebenaran rakyat. Kepada rakyat pun tidak diberikan beban di luar kemampuannya, dan tidak diberi dua beban berat secara bersamaan.
- Rakyat diperintah dengan sirikna ialah dengan mengasihi rakyat sekali pun rakyat belum menunjukkan jasanya, dibujuk agar mau bekerja dan diberi penghargaan setelah melaksanakan pekerjaan. Kesalahan rakyat dimaafkan baik kata-kata maupun perbuatannya yang patut dimaafkan. Raja harus menghindarkan mengeluarkan kata-kata atau perbuatan kurang baik pada mereka. Maccaé ri Luwu menegaskan: 'jangan lakukan perbuatan yang menimbulkan rasa malu dan menurunkan martabat seseorang. Hanya karena sirik-nya itulah yang hendak dijagakan, maka rakyat menghambakan dirinya'.
- Diperintah dengan menimbulkan rasa keseganan rakyat kepada rajanya ialah dengan tidak memperlakukan rakyat secara sewenang-wenang, serta raja tidak melakukan tindakan semena-mena, serta tidak menegur rakyatnya dengan perkataan yang tak senonoh. Dengan melakukan hal-hal tersebut di atas, kerajaan/negara akan menjadi lebih jaya dan memberi pengayoman bagi rakyat untuk mencapai kesejahteraannya.
Alur Pemikiran Maccaé ri Luwu
Pemikiran Maccaé ri Luwu yang mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat, secara sistematis dapat digambarkan sebagai berikut: Ati macinnong (hati nurani) adalah instansi awal dan utama dalam diri manusia. Ati macinnong adalah esensi manusia. Dialah manusia yang sesungguhnya manusia, tau tongeng-tongeng, tempat tajang (cahaya, nur) pada diri manusia dan yang mampu menerima tajang dari pawinruk-é (Sang Pencipta). Hanya ati macinnong yang dapat menerima sadda, firman sang Pencipta. Ati macinnong menjadi penerima kebenaran sang Pencipta dan menjadi sumber kebenaran manusia. Makanya ati macinnong tidak pernah dapat berdusta. Bila akal pikiran manusia masih dapat tersesat, karena masih terikat oleh berbagai keinginan dan kepentingan, maka ati macinnong yang dapat membawa manusia keluar dari kesesatan, dan menemukan kebenaran.
Gauk patuju dan ada patuju yang sesungguhnya berasal dari dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata sehari-hari oleh manusia yang madécéng kalawing ati, memperoleh 'pengawalan' dan pengarahan panngadereng atau penegakan supremasi hukum yang konsisten. Manusia adalah makhluk yang setiap saat dapat melakukan kekhilafan dan kesesatan, sehingga segenap perilakunya harus dijaga dan diarahkan oleh hukum. Panngadereng dan penegakan supremasinya, mencegah manusia melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai ilahiyah (tajanna pawinruk-é). Dalam pemikiran Maccaé ri Luwu, penegakan supremasi hukum merupakan syarat-mutlak untuk menjaga perilaku manusia dan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Perilaku manusia yang dituntun oleh décéng kalawing ati, dan yang diarahkan oleh panngadereng, selain akan menciptakan persatuan juga akan lebih memperkokoh kerajaan/negara. Persatuan yang dimaksudnya adalah persatuan antara rakyat dengan rakyat yang terbina di dalam hubungan horizontal, persatuan antara rakyat dengan raja dan kaum bangsawan dalam hubungan vertikal, dan persatuan antara kerajaan dengan kerajaan-kerajaan lain atas dasar hubungan saling menghargai eksistensi dan kedaulatan masing-masing, saling menjaga sistem peradatan dan saling menjaga kehormatan masing-masing. Hal itu pun akan menjadikan negara/kerajaan menjadi jaya dan kokoh. Dalam pemikiran Macccaé ri Luwu, dengan hal-hal tersebut, kesejahteraan rakyat, kesejahteraan masyarakat dan kerajaan akan tercipta.
Pelanggaran atas nilai dan norma panngadereng, yang tidak memperoleh sanksi atau hukuman akan berakibat terjadinya ketidakseimbangan kosmos dan menimbulkan kemurkaan sang Pencipta. Bencana alam, gagalnya panen dan mala petaka lain yang terjadi, dianggap sebagai hukuman atas perilaku manusia yang melanggar nilai dan norma-norma panngadereng , serta kelalaian raja dan/atau pabbicara, jaksa dan hakim menegakkan panngadereng.
Sebagai tanggung jawab moral, bilamana mala petaka, bencana alam atau panen gagal terjadi di dalam negeri, maka raja pertama-tama harus berkaca-diri, nyilik-i ati macinnonna, memeriksa diri dan hati nuraninya, mempertanyakan perbuatan yang telah dilakukannya yang melanggar nilai-nilai dan norma-norma panngadereng.[18] Selanjutnya raja memeriksa isi rumahnya, lisek saorajana, kemudian hakim dan jaksanya, serta kepada rakyatnya, sampai ditemukannya pelanggaran panngadereng yang mengakibatkan bencana yang terjadi itu.
Rangkuman dan Penutup
Perilaku yang terwujud dari dialog dengan ati macinnong, hati nurani manusia, yang selanjutnya diatur dengan mewujudkan pelaksanaan panngadereng, selain akan menciptakan persatuan antarrakyat, antara raja dengan rakyat, dan antara kerajaan dengan kerajaan; juga akan menciptakan negara yang kokoh dan jaya; yang memberikan pengayoman kepada seluruh rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal, 1999a, CAPITA SELECTA SEJARAH SULAWESI SELATAN, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang
------ 1999b, CAPITA SELECTA KEBUDAYAAN SUlAWESI SELATAN, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang
Enre, Fachruddin A. ddk., (1986) Pappasenna To Maccaé ri Luwuq sibawa Kajao Laliqdong ri Bone, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo, Makassar
Hamid, Abu, 1996, "Sistem Nilai Islam Dalam Budaya Budaya Makassar" di dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta, Yayasan Mesjid Istiqlal
Ibrahim, Anwar, 2002, Sulesana, Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar
Kern, R.A. 198.. I LAGALIGO, Gajah Mada University Press, Jogyakarta.
Kolhoof, Sirtjo & Roger Tol, 1995, I LAGALIGO, Menurut Naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa, KITLV & Djambatan, Jakarta
Machmud, A. Hasan, 1976, SILASA, Setetes Embun Ditanah Gersang, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Makassar
Matthes, B.F, 1872, Boegeenesche Chrestomatie, Amsterdam, C.A. Spin & Zoom
-- -- 1883, MACASSARSCHE CHRESTOMATHIE. C.A. Spin & Zoom. Amsterdam
Mattulada, H.A. 1995, LATOA, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang,
----- 1998, SEJARAH, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang
Marzuki, Laica, H.M., 1995, SIRI', Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Hasanuddin University Press. Ujung Pandang
Millar, Susan Bolyard, 1989, BUGIS WEDDINGS, Rituals of Social Location in Modern Indonesia, Center for South and Southeast Asia Studies, University of California at Berkeley
Patunru, Abdurrazak Daeng, 2003, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Pusat Kajian Indonesia Timur dan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Makassar
Pelras, Christian, 1996, The Bugis, Blackwell Publishers, Cambridge, Massachussetts, USA
Yoesoef, Wiwiek P., 1982, Biografi Kajaolaliddo di Bone, Ujung Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Koleksi Pribadi: Lontarak, Pappaseng dan karya-karya Sastra Bugis-Makassar.
catatan:
[1] Abdurrazak Daéng Patunru menulis: pada umumnya orang berpendapat bahwa orang Soppéng berasal dari Luwu, dan seorang pejabat yang disebut Arung Bila ditugaskan mewakili Datu Luwu untuk mengatur negeri Soppéng.
[2] Datu Soppeng ke-9, La Manussak To Akkarangeng Matinroé ri Tanana.
[3] Tulisan ini menguraikan pemikiran Maccaé yang tertuang dalam dialog Maccaé dengan La Basok
[4] Arung Bila adalah gelar. Sebelum Manurunngé ri Sekkanyili, Arung Bila adalah pejabat yang mewakili Datu Luwu di Soppeng. Setelah Manurunngé, Arung Bila memegang jabatan sebagai seorang panngépak pejabat yang mendampingi raja di dalam menjalankan pemerintahan. Seorang Arung Bila yang bernama La Waniaga terkenal sebagai seorang cendekiawan, to acca.
[5] 'madécéng kalawing ati', sesungguhnya bermakna selalu memperhatikan bisikan hati nurani. Dalam budaya Bugis, ati macinnong, adalah inti manusia yang sesungguhnya, sedangkan anggota-anggota tubuh lainnya, hanyalah 'organ orang' yang menumpang pada 'manusia'.
[6] ungkapan 'nasoppa tekkenna', 'tertusuk oleh tongkatnya', bermakna 'wanita bangsawan yang mempersuamikan atau melakukan hubungan seks dengan hambanya. Petta MatinroE ri Lariang Banngi secara panjang lebar mengemukakan 'bicara' (hukum) yang berkenaan dengan 'tau-nasoppa tekkenna' ini. (Lihat: Boegeeneesche Chrtestomathie)
[7] 'mallaso-pattik', semacam alat kelamin laki-laki yang terbuat dari kemenyan, yang digunakan wanita untuk memuaskan diri.
[8] ripagettengi beccik' bermakna ukuran-ukuran sesuai aturan hukum sungguh-sungguh dilaksanakan dengan tegas, sesuai prinsip 'getteng'.
[9] Ungkapan 'tessiluka taro', tidak akan mengurai yang sudah kukuh, mengandung makna tidak akan menggugat, mengkhianati, atau membatalkan secara sepihak, perjanjian yang sudah dikukuhkan bersama.
[10] 'mabbola silellang', berumah terpencil (tunggal), mengandung makna menghormati hak-hak orang lain, tidak saling mengganggu satu dengan yang lain.
[11] 'tennarettek besi, tennaluttureng rumpu api', secara harfiah berarti 'tidak terpotong besi, tak diterbangkan asap api', yang bermakna antara keduanya tidak saling memerangi dan tidak membumihanguskan kerajaan.
[12] Menjadi keharusan tradisi bahwa seorang raja atau bangsawan senantiasa mempersiapkan makanan yang lebih banyak pada waktu-waktu makan, siang dan malam, sebagai persiapan bila ada rakyatnya yang bertamu.
[13] Kata 'sugik' dalam penjelasan Maccaé ri Luwu, lebih mengarah pada makna kata 'masagéna' yang digunakan oleh Kajaolaliddo.
[14] Maksudnya, ketika mendengarkan 'kareba' (berita) ia tidak memperlihatkan perubahan wajah, namun demikian setiap berita yang didengarnya dipertimbangkannya dengan matang.
[15] Artinya, tidak menutup-nutupi perilakunya; bertindak selalu sesuai kewajarannya
[16]Puisi Bugis: Temmetto nawa-nawa majak, tellessuk ada-ada bellé, teppugauk gauk macéko, temmakkatuna ri padanna Tau, tettakkalupa ri apoléngenna
[17] Lima mpuangenngi tennakdimunringi sessekalé. Mula-mulanna, nawa-nawaé; maduanna, tanngak-é; matellunna, pangiléwé; maeppakna, sirik-é; malimanna, tikek-é.
[18] Datu Soppeng La Baso To Akkarangeng, misalnya pernah menghukum dirinya sendiri, akibat terjadinya kegagalan panen di Soppeng. Gagal-panen itu dianggap hukuman Pawinruk-E, karena Datu Soppeng pernah memungut sekantung barang dan tidak disalurkan sebagaimana mestinya. Untuk mencegah hukuman Pawinruk-E terhadap seluruh rakyat kerajaannya, Datu Soppeng menjalani hukuman yang diputuskannya sendiri sesuai petunjuk panngadereng/hukum.