Alwy Rachman
Kuda Troya adalah kisah klasik tentang penyelundup dan
penyusup. Kisahnya diperkirakan dimulai pada sekitar
abad ke-13 Sebelum Masehi. Kuda Troya tak lain adalah wahana perang yang
terbuat dari kuda kayu raksasa yang dirancang pasukan Yunani berdasarkan ide
Odisseus. Wahana perang itu memuat sekitar 25 prajurit Yunani yang ditugasi
menyelundup ke dalam kota Troya. Tugas utama para prajurit ini adalah membuka
gerbang kota Troya sebagai jalan masuk bagi pasukan Yunani ke kota.
Sebagaimana dikisahkan, Perang Troya ini terjadi karena
Paris menculik Helene dari suaminya Menelaos, raja Sparta. Perang ini dianggap kisah
paling penting di antara kisah-kisah mitos Yunani purba dan diceritakan di
banyak karya literasi Yunani. Dua naskah penting tentang perang ini adalah Iliad dan Odisseia karya Homeros. Iliad
berkisah tentang tahun-tahun terakhir dari sepuluh tahun pengepungan Troya,
sedangkan Odisseia bercerita tentang perjalanan
pulang Odisseus.
Perang Troya bermula dari perselisihan antarperempuan---dewi
Athena, Hera, dan Aphrodite ---tentang siapa yang paling pantas menyandang
“status paling cantik”. Persaingan untuk dibilang “paling cantik” muncul setelah
Dewi Eris marah karena tak diundang dalam satu pertemuan. Dewi Eris melemparkan
buah apel emas yang bertuliskan "untuk yang paling cantik."
Dewi Athena, Hera dan Aphrodite segera saja berkompetisi dan
mendatangi Zeus untuk memastikan siapa yang paling berhak atas apel emas itu. Tapi,
Zeus tak ingin memihak dan meminta mereka mengikuti keputusan Paris. Paris pun menjadi
sasaran rayuan. Hera bersedia menyuap
Paris dengan kekayaan sementara Athena menjanjikan
promosi jabatan sebagai jenderal.
Aphrodite lain lagi. Ia menawarkan ke Paris perempuan tercantik
di dunia yaitu Helene. Paris akhirnya memilih Helene. Dengan begitu, Aphrodite pun
keluar sebagai pemilik apel emas sekaligus pemenang julukan “paling cantik”.
Tapi masalahnya tidak berhenti di sini. Helene sebenarnya punya
suami. Ia adalah permaisuri Menelaos, sang raja Sparta. Karena sudah bersuami, anak
Aphrodite yang bernama Eros dan bergelar dewa cinta segera saja membusur Helene
dengan anak panah cinta. Helene pun terkena dan jatuh cinta kepada Paris. Helene
akhirnya bersedia dibawa ke Troya.
Suami Helene, sang raja Menelaos marah bukan kepalang. Dibantu
saudaranya, Agamemnon yang dibilangkan sebagai raja Mikenai dan raja-raja
Yunani lainnya, Menelaos kemudian menyerang kota Troya. Pecahlah Perang Troya.
Sekuel mitos di atas adalah kisah tentang kekuasaan yang memasukkan
perempuan sebagai pernak-pernik. Kisah yang sarat dengan janji dan suap yang kemudian
diikuti dengan taktik menyelundup dan menyusup. Kini, kisah ini dipakai sebagai permisalan untuk
menandai tipu daya politik. Lalu, Kuda Troya pun menjadi metafor simbolik untuk
mengenali perilaku politik para politikus dalam mencari dan mengejar kekuasaan.
Pun Kuda Troya menjadi istilah yang dilekatkan ke dalam demokrasi. “Kuda Troya
demokrasi” lalu menjadi frasa yang dipakai secara luas untuk menemukenali siapa
saja dan apa saja yang tak kelihatan di latar depan praktik-praktik berdemokrasi
dari seorang politikus.
Mereka yang menyelundup dan menyusup di Kuda Troya Demokrasi
bisa bermacam-macam. Penyelundup dan penyusupnya boleh saja perusahaan-perusahaan
besar dari negara lain atau dari negeri sendiri. Bisa juga kelompok geng
politikus, anggota keluarga para politikus, atau kelompok-kelompok despotik politik.
Mereka-mereka ini yang membiayai, mengelolah, dan mengerahkan kekuatan untuk
memenangkan sang politikus menuju kursi kekuasaan. Kalau perlu, para
penyelundup dan penyusup memakai broker atau makelar.
Modusnya juga
macam-macam, mulai dari suap, beli suara rakyat, curang terhadap suara rakyat,
hingga korupsi atas nama jabatan. Para
penyelundup dan penyusup ini berupaya mengijon keputusan-keputusan penting atau
menyusupkan aturan-aturan yang akan ditetapkan kelak oleh sang politikus.
Tujuannya sangat pragmatis, yaitu memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Suara rakyat
suara tuhan adalah adegium klise dan tak masuk akal bagi mereka.
Pernak-pernik yang mengikuti modusnya pun tak jauh dari
kisah Kuda Troya, yaitu sederetan “perempuan paling cantik”. Baca saja cerita
di media tentang sang jenderal atau simak dengan baik kisah tentang seorang
presiden partai. Di situ ada kisah tentang perempuan. Jangan juga lupa tentang
kisah segelintir politikus di parlemen yang mengijon keputusan-keputusan ke
pihak-pihak penerima anggaran.
Perilaku Kuda Troya memang hanya beda dalam soal waktu. Kisah
Kuda Troya terjadi sebelum Masehi, sementara kisah “Kuda Troya Demokrasi” sang
jenderal dan sang presiden partai berlangsung di abad moderen. Rupanya, di atas
kekuasaan, politikus dan pemimpin tak mau berubah. Mereka tetap saja berwatak
purba meski melewati bentangan waktu ribuan tahun.
*catatan:
Tulisan ini dimuat di Harian Tempo Makassar, 4 Juni 2013, di halaman B15.