Alwy Rachman
“Kata” selalu bersifat inferior betapa pun canggihnya dan bagaimana pun cantiknya. Karena itu, pengetahuan yang kita terima lewat bahasa akan menjadi pengetahuan yang—oleh kalangan filsuf—dibilangkan sebagai mediated knowledge. Kebenaran di atas pengetahuan seperti ini selalu berada di posisi yang berbeda dengan kebenaran yang didasarkan pada pengetahuan langsung (immediate knowledge).
Dalil seperti ini tampaknya dapat dipakai untuk mengamati “kata-kata” yang diproduksi oleh para politikus era Reformasi di tingkat lokal dan di tingkat nasional. “Kata-kata” yang disebar serta ditebar di berbagai peraga kampanye agaknya tak melampaui hal itu, meminjam bahasa gaul kaum muda, yakni bahasa “lebay” dan juga “alay”. “Kata-kata” yang bercampur aduk sedemikian rupa menimbulkan “makna yang campur aduk” pula. Lagi pula, “kata-kata”-nya sering kali menjadi akronim yang anakronis.
Tak usah berharap bahwa “kata-kata” politikus tergolong bahasa konstitusional. Aroma konstitusi dalam “kata-kata” peraga kampanye menjadi hilang tak berjejak. Meski agak risi saat mendengar sindiran beberapa kalangan, barangkali ada benarnya, bahwa bahasa politikus lebih baik dianggap sebagai “bahasa pesolek”.
Aristotle, seorang pemikir Yunani Kuno, mendaku bahwa kata adalah simbol dari keserupaan (likeness). Keserupaan adalah gambaran mental sang aktor yang terhubung dengan dunia empiris. Jadi, kalau berpegang pada pendakuan Aristotle, “kata-kata” yang diproduksi oleh politikus adalah gambaran langsung dari mental sang politikus. Kata-kata yang dipakainya tak lain adalah cermin dari cara sang politikus memandang bangsanya dan cara mendudukkan rakyat sebagai pemilik sah atas kekuasaan.
Di negara-negara yang menerapkan high-tech democracy, bahasa didudukkan sebagai institusi. Cakrawala yang menempatkan bahasa sebagai institusi—termasuk sastra—mengharuskan bahasa politiknya mencerminkan sistem politiknya, bukan bahasa politik yang di sana-sini memistifikasi diri sang politikus. Bukan juga bahasa politik yang membuat sang politikus berharap rakyat memandangnya sebagai “tokoh mistik” yang penuh pesona.
Cakrawala seperti ini adalah refleksi untuk mengatasi ambang batas kerja-kerja teknokratis demokrasi. Dengan kata lain, sejauh ini bahasa politik demokrasi yang berwatak prosedural hanya menempatkan bahasa sebagai “peralatan politikus ” yang secara keseluruhan membuatnya diterima sebagai instrumen, bukan sebagai gambaran mental sang politikus dalam berdemokrasi.
Di hadapan demokrasi yang bermatra teknokratis, transaksional, dan bersuasana pasar malam, bahasa politik kemudian kehilangan konteks, kehilangan pengalaman sosial, kehilangan sejarah, dan mungkin kehilangan konstitusi sebagai sumber moral kekuasaan.
Akhirnya, “kata-kata” yang diproduksi oleh politikus bukanlah gambaran berpikir konstitutif yang tersembunyi di dalam konteks pengalaman politik kebangsaan. “Kata-kata” mereka, sejauh ini, adalah ekspresi yang samar, untuk tak mengatakannya “kata-kata inkonstitusional”.
Bahasa politik seperti ini tak akan menjadi institusi yang akan membiarkan akulturasi demokrasi bagi kelas menengah dan tak juga akan menjadi institusi yang mentransformasikan kelas bawah dalam berdemokrasi. Bahasa politik masa kini bukan lagi penanda bagi politikus yang berpendidikan tinggi.
Para kritikus membilangkan bahwa Shakespeare bukan lagi bankir bahasa dan sastra. Tapi, bahasa Shakespeare berkontribusi secara konkret bagi generasi bangsanya. Bahasa sastranya diinstalasikan ke dalam jenjang pendidikan, dikonstitusikan ke dalam interaksi politik, dan dilembagakan ke dalam interaksi sosial.
Makanya, bukan suatu kebetulan jika negarawan-negarawan Inggris tak memerlukan konstitusi tertulis dalam mengatur negaranya. Bahasa konstitusi telah “tertanam di kepala” para negarawan Inggris. Pasti bukan kebetulan bila bahasa sastra berhubungan erat dengan cara berpikir konstitutif.
Di Sulawesi Selatan, kemampuan serupa bisa ditelusuri jauh ke belakang, di rentang abad ke-16-17. Interaksi kekuasaan antara raja dan raja, antara raja dan rakyat dilangsungkan melalui narasi, dan diekspresikan melalui kompetensi atas literasi kebudayaan lokal.
Kini, segalanya telah hilang, setidaknya dalam praktek bahasa politik. Penyebabnya adalah karena kita tak lagi berempati pada sejarah tutur kita sendiri. Kita tak lagi menghormati pengalaman dalam berbahasa dengan orang lain sesama bangsa. Rupanya, kita amat tergesa-gesa menyeberangi pengalaman demokrasi orang lain. Lalu kita kehilangan kemampuan berbahasa politik secara jujur, dan tak lagi elegan bertutur dengan adab budaya sendiri.
Satu per satu hilang. Akhirnya kita kehilangan banyak. Kita kehilangan adab tutur karena kita tak mau tahu lagi tentang semesta bahasa konstitusi bangsa sendiri.
Catatan: Pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 30 Juli 2013