Kaila ilona Meira
Sejarah politik pendidikan di Indonesia,
lewat empat tokoh utamanya, menyimpan jejak dan pesan benderang: kesukarelaan
atas nama kebangsaan. Siapa lagi keempat relawan pendidikan Indonesia kalau
bukan Ki Hajar Dewantara, R.H. Oemar Said Tjokroaminoto, Kyai Ahmad Dahlan, dan
Muh. Syafei. Keempatnya, dengan ideologi dan keyakinan yang beda, telah mempraktekkan
aksi pedagogis yang juga beda tapi dengan satu tujuan: atas nama bangsa, untuk
kebangsaan, dan untuk anak-anak bangsa.
Secara akademia, aksi pedagogis
diartikan sebagai manifestasi langsung dari pesan dan ideologi yang tersimpan
pada literasi pendidikan. Itu sebabnya,
literasi pendidikan setara dengan model representasi politik pendidikan untuk dapat
menjawab “atas nama siapa, untuk apa, dan untuk siapa pendidikan dijalankan?”. Jawaban
atas pertanyaan ini, sesungguhnya, akan menjelaskan dengan benderang kepada
siapa pendidikan itu memihak.
Kita tak perlu meragukan keempat
bangsawan pendidikan Indonesia di atas. Ki Hajar Dewantara, misalnya, memfokuskan
diri pada “nasionalisme”, “atas nama bangsa dan untuk bangsa sendiri”. Oemar Said Tjokroaminoto mendedikasikan diri
pada pendidikan untuk kebangsaan Indonesia. Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Organisasi Islam Muhammadiyah,
menyerahkan dirinya untuk pendidikan anak-anak yatim. Dan Muh. Syafei, sang
entrepreneur ini, mengkontribusikan aksi
pedagogiknya untuk kemandirian dan kemerdekaan anak-anak bangsa. Jadi, dengan
aksi pedagogis berbeda, keempat bangsawan pendidikan ini berada pada arah yang
sama: pendidikan untuk dan atas nama kebangsaan.
***
“Atas nama siapa, untuk apa dan untuk siapa
pendidikan dijalankan” adalah pertanyaan
kontraktual yang berisi perjanjian sosial antara masyarakat dan bangsa dengan
lembaga-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Lebih sederhana, apakah
lembaga-lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud memenuhi janjinya. Bukankah
pembiayaan lembaga-lembaga pendidikan ikut ditanggung oleh masyarakat?.
Pertanyaan kontraktual seperti ini pula yang dipakai oleh Henry A. Giroux dan
Susan Searls Giroux, dua kritikus pendidikan bagi kaum muda di Amerika, dalam
menagih janji universitas. Dalam publikasi Take
Back Higher Education, 2004, kedua kritikus ini menyusun afirmasi, “anak-anak
muda semestinya didudukkan sebagai bagian dari masa depan, bukan malah dilihat
sebagai pembawa masalah”.
Keprihatinan kedua kritikus ini berfokus
pada gejala kapitalisme neoliberal dalam praktek-praktek aksi pedagogis di
pendidikan tinggi. Sedemikian kerasnya, Henry dan Susan menganggap kapitalisme
neoliberal telah menerobos sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Di
sana, kapitalisme neoliberal menyerang dan memerangi anak-anak muda. Perang ini
dapat ditelusuri melalui praktek-praktek rakus dan anti sosial. Di sana, kultur
akademis yang diturunkan dari Plato dan Aristoteles, kultur yang mengabdikan
diri pada kebaikan publik, digantikan dengan kultur “privat” yang berwatak korporat.
Di sana, “ruang sosial” pembelajar dianggap evil
dan pembawa masalah.
Itu sebabnya, Stanley Aronowitz
menyebutkan, "Presiden universitas bukan lagi intelektual publik. Presiden
universitas adalah intelektual yang mirip dan setara dengan Pejabat Chief
Executive perusahaan, yang bekerja menggalang dana dan mencari untung. Sang
presiden dengan segenap perangkatnya akan bekerja berdasarkan logika dan budaya
korporat. Lihatlah Bill Gates dan Michael Eisner yang kini menggantikan
pemimpin-pemimpin pendidikan seperti John Dewey dan Robert Hutchins. Dengan cara
ini, kampus-kampus akademis berubah menjadi kampus korporat yang berfokus pada
upaya menjual jasa ke kontraktor, bermitra dengan perusahaan lokal, mencari paten
baru, dan membuat perjanjian lisensi.
Globalisasi yang ditandai oleh
kecanggihan teknologi dan sarat modal pada akhirnya akan menempatkan
lembaga-lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, khusus di Indonesia
untuk memilih dua jalan. Jalan pertama adalah tetap setia pada ideologi
literasi awal, yaitu setia pada perjanjian kebangsaan. Jalan kedua adalah
tunduk dan takluk pada neoliberal yang akan memaksakan syarat-syarat
pengelolaan pendidikan. Ahli-ahli di bidang hubungan internasional menyebutnya
tunduk pada globalution. Jika pilihan
jatuh pada yang jalan kedua, mari kita lupakan dan ucapkan “selamat tinggal
untuk keempat bangsawan pendidikan” di republik ini.