Parlemen bukanlah institusi yang berkisah manis, bukan juga institusi
yang berkisah tentang orang-orang besar atau merasa besar yang melulu diagungkan,
lalu dengan demikian selalu disetujui ataupun diiyakan. Boleh saja mereka
membilangkan kehadirannya di parlemen atas kehendak “suara rakyat suara tuhan”,
atau boleh juga mereka meyakini bahwa mereka adalah representasi “suara partai
suara rakyat”. Tapi mereka juga sejatinya percaya bahwa selalu saja ada
perlawanan terhadap parlemen, untuk tidak mengatakan ada saja rakyat yang menganggap
dirinya tidak terwakili oleh parlemen.
Jauh di masa lampau, pada sekitar 408 tahun lalu, di Inggris,
ada kisah tentang seorang pembenci parlemen. Tokohnya dibilangkan sebagai Guy
Fawkes. Sang tokoh, bersama dengan 12 orang lainnya dianggap berkonspirasi untuk
meledakkan Parlemen Inggris, yaitu “The House of Lords”, “Parlemen para
Bangsawan”. Tujuannya adalah membunuh Raja James I. Dalam sejarah parlemen Inggris,
skenario konspirasi ini disebut sebagai "Gunpowder Plot , 5 November 1605".
Skenario gagal ini diperkirakan akan menggunakan 36 barel bubuk
peledak. Lalu, komplotan konspirator pun tertangkap, dan tentu saja, dihukum
mati, kecuali Fawkes yang akhirnya meninggal dalam upayanya melarikan diri dari
pelaksanaan eksekusi. Di masyarakat Inggris, kisah dan peristiwa ini kemudian
dikukuhkan sebagai “Guy Fawkes Day”. Pada setiap 5 November setiap tahun, orang-orang
di Inggris dan di bagian dunia lain memperingatinya dengan kembang api dan api
unggun sembari membakar topeng dan patung Guy Fawkes.
Tapi, akhir-akhir ini, kisah Guy Fawkes seolah menginspirasi perlawanan
rakyat negara-negara maju terhadap apa yang dianggapnya sebagai “kapitalisme
yang berkuasa” secara sepihak. Permisalannya dapat dilihat pada ratusan
demonstran yang menduduki Wall Street selama berhari-hari, beberapa saat lalu,
untuk melawan kapitalisme global sembari memakai topeng Guy Fawkes yang
berparas “senyum mengejek” dan “kumis
tak biasa”.
Lalu, kisah nyata Guy Fawkes pun berubah. Suka atau tidak, kisahnya
kini dipakai secara simbolik. Wajahnya yang di abad ke 17 dianggap menjijikkan
karena dianggap berkhianat, kini dipindahkan ke dalam tirai topeng yang dipakai
untuk melawan. Wajah sang tokoh ditransformasikan untuk keperluan berpolitik di
parlemen jalanan. Politik topeng, kira-kira begitu bahasa sederhananya.
Tentang politik topeng di parlemen jalanan, menarik juga
membaca analisis Thomas Neil dari University of Denver. Neil mendaku bahwa
politik topeng bertujuan menolak representasi politik partai dan negara.
Politik topeng bisa dibilangkan sebagai strategi politik baru yang menolak
representasi partai politik dan politik identitas. Politik topeng berkontribusi
terhadap demokrasi langsung secara setara.
Neil juga membilangkan bahwa politik topeng menciptakan
universalisme politik . Dengan menggunakan tirai wajah topeng, siapapun dapat berpartisipasi
dalam melawan neoliberalisme. Topeng mendukung demokrasi yang egaliter. Politik topeng membantu menciptakan konsensus
yang bertujuan memenuhi kebutuhan semua orang, bukan mendukung keputusan yang
mengecualikan kebutuhan minoritas.
Topeng, tambah Neil, memfasilitasi demokrasi dengan cara menciptakan
lembaga politik kolektif anonim. Di kolektivitas anonim seperti ini, setiap
orang tidak mendahulukan identitasnya, dan dengan demikian setiap orang dapat
berpartisipasi secara bebas dalam memprotes parlemen. Identitas kelompok dan
ideologi kelompok yang berbeda-beda tidak ditolak, tetapi didudukkan sebagai bagian
dari universalisme politik.
Politik topeng juga dimaksudkan untuk melemahkan hirarki dan
otoritarianisme dengan menghilangkan penanda otoritas, termasuk wajah para demonstran
dalam gerakan ini. Contohnya, dengan ratusan orang berdemonstrasi dengan tirai
topeng Guy Fawkes di Washington, akan membuat siapa pun yang menontonnya, tidak
akan dapat membedakan kelompok siapa yang sesungguhnya sedang memperjuangkan
kepentingannya.
Tapi, Guy Fawkes adalah kisah warisan dari masa lalu. Kisah
serupa tak ada dalam literasi demokrasi di Indonesia, meski parlemen Indonesia
pernah diduduki oleh mahasiswa 15 tahun silam. Pun kisah para demonstran yang menggunakan
“topeng Guy Fawkes” hanya terjadi di
luar sana.
Di negeri sendiri, kisah mutakhir tentang parlemen kaya akan
aroma korupsi. Barangkali ini satu tanda bahwa yang ada di negeri ini bukan
politik topeng, tapi topeng politik. Topeng politik memang menjadi modus bagi
banyak politikus untuk bersembunyi di balik politik demi memperkaya diri, kelompok
atau keluarga. Tanda bahaya di masa
depan adalah jika setiap orang di republik ini akan memilih posisi dirinya
sebagai “pembenci parlemen”.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, Selasa, 26 November 2013, di rubrik Literasi, di halaman A15.