Alwy Rachman
Nelson Mandela telah pergi. Ia berpulang 4 hari lalu, pergi
bersama kenangan atas peradaban damai. Ia dikenang karena telah
mentranformasikan dirinya, dari seorang pelawan menjadi pemaaf, dari seorang
yang gelisah tentang rasisme menjadi pribadi yang mengedepankan humanitas.
Mandela, sekaligus, telah mentranformasikan bangsanya dengan cara memindahkan kualitas dirinya sebagai pemimpin,
dari sosok yang berkesempatan memimpin revolusi sosial menjadi pemimpin
transformasi sosial di atas kualitas pemaafan tiada tara.
Beberapa saat keluar dari penjara yang merampas
kemerdekaannya selama 27 tahun, Mandela berpidato, “Saya akan memerdekakan dua
pihak. Pihak pertama yang saya merdekakan adalah pihak tertindas, karena harkat
dan martabatnya telah terampas oleh para penindas. Pihak kedua yang saya akan
merdekakan adalah para penindas, karena harkat dan martabatnya telah terampas
oleh hati nuraninya sendiri.” Mandela segera mengubah situasi politik yang berpotensi
“banjir darah”, menjadi “potensi berpikir dan bertindak bersama” di atas
kepentingan kebangsaan Afrika Selatan. Pesan peradabannya, “kalahkan lah
lawanmu tidak dengan cara membunuhnya”.
Di bawah karisma dan integritas Mandela, bersama 25 pemimpin
yang mewakili kelompok sosial politik yang saling berhadapan, kebanyakan
pelawan pemerintah, Afrika Selatan diubah dan berubah dengan rujukan empat
skenario perubahan sosial. Detil perubahan disusun dan dianalisis secara
bersama, lalu dikomunikasikan ke seluruh rakyat Afrika Selatan. Jadilah skenario
induk yang dibilangkan “The Mont Fleur”. Penamaan skenario ini diinspirasi dari
kata Fleur Du Maquis, yang berarti "bunga Maquis". “Mont Fleur” bisa diartikan
sebagai “Bunga Bukit”, bunga yang hadir dan tumbuh di ruang ketinggian.
“Mont Fleur” berisi empat imajinasi atas peristiwa masa
depan, dari “masa depan terburuk” hingga “masa depan untuk semua”. Uniknya,
setiap skenario peristiwa diberi judul metaforis dengan nama-nama “hewan”. Keempat
skenario itu dibilangkan sebagai “Ostrich”, yaitu skenario “burung Unta”, “Lame
Duck”, yaitu skenario “Bebek pincang”, “Icarus” yang dimisalkan sebagai skenario
“burung kertas terbang menggapai matahari”, dan “Flight of the Flamingos” yang
dicitrakan sebagai skenario “burung Bangau yang terbang bersama.” Dengan
cakrawala yang saling berbeda, para pelawan ini membangun “peta jalan bersama”
bagi masa depan Afrika Selatan untuk 10 tahun, yaitu dari 1992 hingga 2002 .
Skenario Ostrich berkisah tentang pemerintahan kulit putih yang
tidak representatif bagi Afrika Selatan. Laku pemerintahan seperti ini ibarat laku
burung Unta, yaitu menyembunyikan kepala di pasir untuk menghindari penyelesaian
yang dinegosiasikan oleh mayoritas masyarakat kulit hitam. Cerita skenario Lame
Duck lain pula. Laku pemerintahan ini dipersamakan dengan “Bebek pincang” yang
tertatih-tatih mengelola transisi yang panjang di bawah pemerintahan yang lemah.
Sebagaimana “burung Unta”, pemerintahan
“Bebek pincang” tak punya harapan.
Pun skenario Icarus berkisah lain. Laku Icarus digambarkan
sebagai pemerintahan yang konstitusional dengan gelombang dukungan rakyat. Pemerintahan
seperti ini dimulai dengan laku belanja publik besar tapi tak konsisten. Dalam
makna skenario perubahan sosial Afrika Selatan, pemerintahan seperti ini akan terbang
tinggi dalam sekejap, lalu terhempas terbakar sebagaimana “burung-burung
kertas” yang mencoba “menggapai matahari”. Pada akhirnya, segenap pelawan ini memilih
“Flight of the Flamingos”, “terbang bersama” meski sedikit lambat.
Literasi dan kisah tentang “bunga” dan “burung”, dengan
demikian, menjadi inspirasi bagi para politikus di bawah integritas Mandela,
bukan teori dan bahasa politik yang “rumit” dan “berwajah ganda.” Selain hubungan
“burung” dan “bunga” memang menyembunyikan rahasia kebenaran alam, rakyat
Afrika Selatan agaknya bisa mencerna literasi seperti ini. Literasi seperti ini
memang terpatri pada mitos dan cerita rakyat Afrika Selatan. Benar adanya, jika
para filsuf mendaku, “kebenaran sesungguhnya tersimpan dan tersembunyi di
lipatan-lipatan alam.”
Dengan mengabaikan skenario terburuk, Mandela juga tak
berkehendak agar bangsanya mengembangkan laku Icarus, laku “burung-burung
kertas yang terbang ingin menggapai matahari”. Laku kepemimpinan Mandela seolah
meyakini, “tak ada gunanya menaklukkan matahari, karena engkau akan terbakar
habis.”
Mandela mengajak bangsanya belajar dari bunga di ketinggian
bukit dan dari Bangau yang bersedia terbang bersama. Bangau yang tua dan lelah
akan ke pinggir dan digantikan oleh yang muda. Mandela seolah mengajari
bangsanya bahwa kebenaran matahari adalah kebenaran alam atas api yang maha
panas. Mandela, pada kenyataannya, menolak menjadi presiden untuk jabatan
kedua.
Mandela telah bertutur secara senyap dalam bahasa politik
yang puitik, “jika laku engkau adalah laku Icarus, engkau hanyalah burung-burung
kertas yang mencoba menggapai matahari. Engkau tak pernah sampai untuk
selamanya. Engkau yang tua dan engkau yang muda akan lapuk terbakar dan menjadi
debu yang jatuh entah ke mana. Engkau yang tua dan engkau yang muda akan hilang
dari peradaban. Hilang tak berbekas dan menjadi tiada tak terkenang.”
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, Selasa 10 Desember 2013, di rubrik Literasi, di halaman A15.
No comments:
Post a Comment