Alwy Rachman
Genderang kampanye pemilu sudah ditabuh. Partai-partai politik
kini dan beberapa minggu ke depan akan sibuk menyediakan panggung politik di
mana-mana. Di sana, berbagai aroma orasi politik dituturkan. Di sana, aneka janji
politik ditawarkan. Tujuannya, tentu saja, mengajak sang demos yang didalilkan
sebagai representasi suara Tuhan, untuk menjatuhkan
pilihan kepada sang calon legislator dari partai yang bersangkutan.
Laku politik di paras awal kampanye seperti ini, sebagaimana
pemilu-pemilu sebelumnya, seolah mengkonfirmasi pendakuan Joseph Schumpeter
tentang performance democracy, yaitu
demokrasi yang diselenggarakan mirip festival, atau serupa “demokrasi pasar
malam”. Model, proses dan modus demokrasi pasar malam berfokus pada isu yang
dibilangkan dan ditawarkan sebagai “common
good” kepada pemilik suara, semacam laku politik yang memenuhi kebutuhan praktis
dan pragmatis bagi para pemilik suara.
Itu sebabnya, sejak awal, rakyat sebagai pemilik suara digiring
untuk berpikir instrumental. Serupa cara berpikir untuk bersedia menerima
imbalan jangka pendek dari para politikus. Pun itu sebabnya, banyak di antara calon
legislator yang kini sedang bertarung merasa tak penting mengedukasi segenap
pemilik suara untuk berbagi kepentingan dengan warga lain atau komunitas lain untuk
jangka panjang.
“Demokrasi pasar malam”, setidaknya begitu pendakuan Schumpeter,
memperlakukan dan menjadikan politik sebagai “pasar raksasa”. Di arena pasar seperti
ini, partai-partai melalui calon legislatornya menawarkan produk politik kompetitif.
Dan sesuai dengan argumentasi Schumpeter, yang akan keluar sebagai pemenang
adalah partai yang mampu menggerakkan sekaligus menarik perhatian koalisi di
antara konsumen politik. Dalam bahasa lain yang lebih sederhana, “demokrasi
pasar malam” mengandaikan kedudukan politikus sebagai produsen politik dan
pemilih sebagai konsumen politik.
***
Di cakrawala berpikir lain,
oleh para teoretikus politik, kedudukan legislator biasa juga disandingkan
dengan “The kingly man”, yaitu “orang-orang yang dirajakan”. Julukan “the
kingly man” dipakai untuk menyandingkan sekaligus membandingkan peran dan
fungsi legislator di tatanan demokrasi dengan raja dan pangeran di tatanan
monarki dan tatanan aristokrasi. Meskipun demikian, julukan “the kingly man” bukan
dimaksudkan sebagai rujukan untuk kuasa sang raja, “the king”. Pun bukan dimaksudkan
sebagai kuasa sang pangeran, “the prince”.
“The kingly man”, di dunia demokrasi, diandaikan lahir dan datang dari ibu kandung
masyarakat politik. Laku politik legislator sebagai “orang-orang yang
dirajakan” tak sama dengan laku “monarki” yang mewarisi kekuasaan kepada sang
raja berdasarkan keturunan dan bersandar pada kehormatan. Pun tak serupa dengan
para despotis yang mengelola kekuasaan berdasarkan perkawanan karena rasa takut
terhadap orang lain yang akan merusak kekuasaanya.
Di arena demokrasi, legislator menyatakan dirinya secara benderang
di arena lingkar permainan kekuasaan, yaitu merebut kuasa, menjadi penguasa, melembaga
kekuasaan, lalu kemudian lembaga-lembaga kekuasaan itu kembali melahirkan
penguasa. Itu sebabnya, Montesquieu bilang bahwa siklus hidup kekuasaan dapat
dicerna melalui cara “penguasa membangun
lembaga, dan kemudian cara lembaga itu mencetak dan menghadirkan penguasa.”
***
Pemilu 2014 bisa saja didudukkan ke dalam kerangka filosofis
Montesquieu tentang siklus hidup kekuasaan. Tapi pertanyaannya adalah, apakah
lembaga-lembaga politik di negeri ini, kali ini, akan berhasil menghadirkan
pemimpin yang pantas “dirajakan”? Kalau tak terjadi, sebagaimana sindiran
Jaques Rancière, demokrasi tak lebih dari cara
mentranformasikan kekuasaan dengan memanfaatkan kedudukan rakyat atau posisi “sang
demos” sebagai pihak “yang tak punya apa-apa” dan “tak punya properti untuk
mempraktekkan kekuasaan”.
Pesona “demokrasi pasar malam” lebih banyak menghadirkan
suasana euforia. Pemilik suara lebih banyak lupa bahwa di sana-sini banyak
masalah kebangsaan yang terabaikan: kemiskinan yang meningkat, kematian ibu
melahirkan yang naik hampir tiga kali, kerusakan lingkungan hidup, bencana
alam, dan kekerasan sosial yang meluas, punahnya peradaban-peradaban kecil, serta
banyaknya aturan-aturan diskriminatif yang justru merupakan produk
pemerintahan.
Pada akhirnya, hasil demokrasi 2009 dipenuhi oleh sebagian
legislator yang menjadikan parlemen sebagai tempat untuk mengekstraksi uang
rakyat, untuk tidak mengatakan merampok uang rakyat atas nama kedudukan sebagai
legislator di parlemen. Kalau tertangkap, petinggi-petinggi partai malah
membuat metafor “partainya sedang ditimpa badai” sembari meyakinkan rakyat
bahwa “badai pasti berlalu”. Metafor seperti ini seolah memanipulasi persepsi
publik bahwa yang bersalah adalah “badai” yang datang dari luar.
Mari kita jadikan pemilu 2014 kali ini sebagai “pengadilan
rakyat” bagi segenap calon legislator.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, di Rubrik Literasi, 18 Maret 2014, di halaman A15