Alwy Rachman
Hari-hari ini kampanye politik semakin sengit. Di hampir
semua media, terutama media cetak, bacaan politik menjadi dominan. Ruang dan
wacana publik seolah menjadi milik mutlak rezim demokrasi, milik partai-partai
peserta pemilu, dan milik para politikus. Inilah contoh paling kasat mata jika
regim demokrasi musiman sedang bekerja. Musim politik atau tahun politik,
begitu kita membilangkannya.
Demokrasi di negeri ini nyatanya kita sebut sebagai pesta.
Di “pesta demokrasi” ini, entah siapa pertama kali menggunakan analogi seperti
ini, semua orang, terutama politikus, menyuarakan suara rakyat sebagai suara
Tuhan, “vox populi vox dei.” Lalu, adagium
ini menjadi komoditas yang bertujuan menciptakan efek transenden di pihak
rakyat pemilih. Tak ada yang salah, memang, jika para politikus pun meyakini “vox populi vox dei” sebagai “adagium
transenden demokrasi”.
***
Oleh ilmuan politik, suara rakyat telah diidealkan
sedemikian rupa, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Robert Dhal,
misalnya, mengurai bahwa suara rakyat terhubung dengan 10 dalil ideal. Pertama,
suara rakyat adalah pernyataan kesetaraan dalam voting. Hasil voting dalam
kotak-kotak suara bersifat mengikat. Hasil pilihan setiap warga, secara
keseluruhan, sejatinya dianggap sebagai pernyataan kolektif demos.
Suara rakyat adalah wujud dari partisipasi efektif, begitu
pendakuan kedua Robert Dhal. Soal pemilu adalah soal partisipasi, bukan soal
pesta sebagaimana kita sering bilangkan. Partisipasi rakyat memerlukan jaminan
yang setara dan memadai dalam memilih pemimpin. Jadi, bukan hanya soal ajakan menggunakan hak pilih saja. Jaminan yang
setara dan memadai akan memastikan rakyat dapat mempraktekkan kekuasaannya
sebagai demos.
Ketiga, suara rakyat adalah bagian dari kesadaran politik
yang tercerahkan. Sejatinya, rakyat pemilih dicerdaskan jauh sebelumnya.
Semestinya, rakyat diberitahu bahwa pemilu adalah kesempatan mendaur-ulang para
pemimpin. Seharusnya, rakyat diajarkan mengambil pilihan rasional sesuai tujuan
demokrasi.
Suara rakyat adalah pernyataan demos untuk mengendalikan agenda pemerintahnya, demikian pendakuan
keempat Robert Dhal. Agenda pemerintahan tak lain adalah agenda rakyat. Agenda
pemerintahan, dengan demikian, bukan milik partai, apalagi milik politikus. Karenanya,
agenda pemerintahan sejatinya diabdikan untuk keadilan dan kemakmuran bagi
segenap rakyat. Sebagai demos, rakyat
yang menentukan apa yang penting dan apa yang tak penting.
Kelima, suara rakyat adalah pernyataan orang dewasa untuk
mengikatkan diri pada hukum. Rakyat yang memilih seharusnya didudukkan secara
patut sebagai pribadi-pribadi yang menyediakan dirinya tunduk pada hukum.
Karenanya, segenap rakyat pemilih sejatinya diperlakukan secara setara dengan
hak hukum dan hak politik yang sama.
Suara rakyat adalah pernyataan damai tanpa kekerasan dalam
memilih pemimpin, begitu dalil keenam yang dibilangkan Robert Dhal. Menciptakan
kekacauan dan melakukan kekerasan, apa pun bentuknya, terhadap pemilih setara
dengan penolakan pernyataan damai di pihak rakyat.
Ketujuh, suara rakyat adalah pernyataan bahwa jabatan publik
adalah milik demos. Dengan dalil ini, para politikus pemenang sejak awal
menyadari bahwa jabatan publik bukan milik pribadi yang dapat dibagi-bagi
begitu saja kepada keluarga atau kelompok. Sebagai demos, setiap orang berhak dipilih untuk jabatan publik. Jabatan
publik yang dikuasai oleh keluarga penguasa akan menghadirkan pemerintahan
nepotis. Pun, sama buruknya, jabatan yang dibagi-bagi atas nama perkawanan akan
memunculkan pemerintahan despotis.
Suara rakyat adalah pernyataan kewargaan (citizenry) dalam mengekspresikan
hak-haknya tanpa rasa takut, begitu tambahan Robert Dhal. Sejarah demokrasi
memang tak bisa dilepaskan dari soal-soal kewargaan. Demokrasi menolak soal
“para tiran“ yang gemar menebar rasa takut.
Kesembilan, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan untuk
mencari informasi alternatif, yang dilindungi oleh hukum. Karenanya, rakyat
berhak untuk tahu informasi apa saja yang menyangkut para politikus yang sedang
bertarung dan apa-apa saja yang hendak diperjuangkan.
Dan, kesepuluh, suara rakyat adalah pernyataan kewargaan
atas kebebasan berorganisasi. Dengan dalil ini, rakyat sebagai warga berhak
untuk berhimpun melalui berbagai asosiasi dan organisasi, termasuk di dalamnya
partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya.
***
Seminggu lagi, kita akan menjatuhkan pilihan. Mari kita
jadikan pemilu bukan sebagai pesta, tetapi sebagai “pengambilan keputusan yang
adil” bagi para politikus. Tolak yang jahat, pilih yang baik. Tolak yang
bandit, pilih yang amanah. Tolak yang korup, pilih yang bermoral. Tolak yang
menyuap rakyat, pilih yang jujur.
Mari kita jadikan pemilu kali ini sebagai “pengadilan
rakyat”. Vox Populi vox dei.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, di Rubrik Literasi, tanggal 2 April 2014, di halaman A15.