SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, May 12, 2014

ENGKAU YANG DI SEKOLAH, BERHENTILAH MENGIRISKU*

Alwy Rachman | alwy.rachman@yahoo.com
                                | alwyrachman@gmail.com

You took away my innocence
My hopes, my dreams, my youth
You took from me my very soul
What could have been, I never knew
Your words would cut me deep inside
Deep to the very ..........
                                     Lynette Gutwein

Engkau telah merampas harapan-harapanku, mimpi-mimpiku, masa mudaku. Engkau telah menghempaskan jiwaku. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Kata-katamu mengirisku dengan dalam,” kurang lebih begitu bunyi inti pesan puisi bertajuk Returning Faith. Puisi bersuara liris ini ditulis oleh Lynette Gutwein, di salah satu situs dunia maya yang bertema pelecehan seksual bagi anak-anak. Suara  liris anak-anak bernasib serupa, dengan berbagai ragam ekspresi rasa sakit, bisa kita temukan di dunia yang kita bilangkan “maya”.

Wadah untuk bersuara liris memang maya, tapi peristiwanya sama sekali bukan maya. Peristiwanya ada dan hadir dalam kehidupan, dalam realitas yang menyakitkan bagi masyarakat terutama bagi keluarga korban. Peristiwa kekerasan fisik, termasuk kekerasan seksual, tak lagi bermunculan di ruang-ruang tersembunyi, remang, gelap dan sepi. Malah, peristiwa semacam itu hadir di ruang yang paling kita idolakan, ruang yang diasuh dan dipimpin oleh orang-orang yang terdidik, yaitu: sekolah.

“Kini sekolah-sekolah tak bebas dari predator”, begitu komentar seseorang yang mengambil prakarsa untuk menyusun petisi menyusul pemberitaan secara meluas tentang kekerasan di sekolah-sekolah di negeri sendiri. Penamaan pelaku kekerasan seksual sebagai “predator” lalu dipakai oleh para pengumpul tanda tangan melalui surat elektronik. Petisi demi petisi untuk memperberat hukuman bagi para pelaku kekerasan --- terutama kekerasan seksual --- kini bermunculan menyusul pemberitaan yang gencar atas peristiwa kekerasan seksual yang dialami anak-anak lelaki oleh petugas pembersih di sekolah internasional dan atas tewasnya seorang mahasiswa di sekolah tinggi ilmu pelayaran akibat kekerasan oleh senior.
***
Ada ihwal yang benderang di dua peristiwa ini, yaitu pelaku dan korbannya adalah lelaki. Lelaki di sekolah tinggi yang merasa diri sebagai senior “mengeroyok” sang yunior hingga tewas. Lelaki di sekolah rendah “mengeroyok secara seksual” anak-anak. Di dua tempat itu, lelaki pelaku merasa kuat dan kuasa. Di dua tempat itu, laku lelaki brutal berada di luar kendali institusi yang diidolakan: sekolah.

Adalah benar adanya pendakuan Irigaray, seorang sarjana feminis, bahwa kekerasan selalu menjadikan tubuh manusia sebagai arena. Arena kekerasan yang paling memuaskan manusia adalah tubuh manusia. Oleh pelaku kekerasan, tubuh manusia dijadikan sasaran kekerasan karena dianggap wadah yang paling cair (fluid) untuk “kepuasan”.  Tak peduli apakah itu kekerasan fisik, seksual maupun kekerasan psikis.  Kekerasan verbal dan kekerasan simbolik juga menjadikan tubuh sebagai sasaran utama.

Meskipun analisis Irigaray semula dipromosikan untuk menjelaskan latar kekerasan di antara interaksi sosial perempuan dengan lelaki, cara pandangnya tetap penting. Tubuh sebagai arena kekerasan tetap saja relevan, meskipun sebagian besar masyarakat nyaris “tak percaya” bahwa lelaki dewasa sering menjadikan anak-anak lelaki sebagai sasaran kekerasan seksual.

Di berbagai kelompok masyarakat, pengagungan dan penghormatan terhadap anak-anak kian menipis. Lihatlah di jalan-jalan raya di negeri ini. Anak-anak malah dijadikan sebagai “pencari nafkah”, untuk tidak mengatakan dieksploitasi. Tugas orangtua untuk menghidupi anak-anak, dalam banyak kejadian, tergantikan oleh anak-anak yang menghidupi orangtua. Di kota-kota besar di negeri ini, di sana-sini, tak terlalu sulit menemukan anak-anak --- lelaki dan perempuan --- yang tereksploitasi. Resiko yang ditanggung oleh anak-anak semakin lebar. Kebiasaan melihat anak-anak di dunia yang keras seperti ini membuat kepekaan terhadap keselamatan anak-anak menjadi tumpul.  
***
Semestinya pengagungan dan penghormatan terhadap anak-anak tetap saja tumbuh di semua keluarga. Seharusnya ideologi sekolah tak hilang terhadap pembelaan bagi anak-anak. Sepatutnya institusi yang diidolakan oleh masyarakat tak berdamai dengan kekerasan. Kekerasan di sekolah, terutama kekerasan seksual, akan mengiris masyarakat dengan dalam.

Sejatinya kita mendengarkan dan merefleksikan kembali spiritualitas inti puisi Kahlil Gibran “Sang Nabi”, yang percaya bahwa anak-anak adalah wujud “sungai kehidupan”. Sungai yang berhulu pada cinta, lalu mengalir ke perkawinan, dan akhirnya bermuara pada anak-anak. Tak mungkin kita menolak di muara jika kita sendiri sudah memulainya di hulu. Kalau engkau yang ada di sekolah menolak, engkau akan mengirisku lebih dalam dan lebih dalam lagi.


 *Tulisan ini dimuat di Harian Tempo Makassar, Selasa 29 April 2014, di Kolom Literasi, di halaman A-15




 
Alwy Rachman.