| alwyrachman@gmail.com
You took away my innocence
My hopes, my dreams, my youth
You took from me my very soul
What could have been, I never knew
Your words would cut me deep inside
Deep to the very ..........
Lynette Gutwein
“Engkau telah merampas harapan-harapanku, mimpi-mimpiku,
masa mudaku. Engkau telah menghempaskan jiwaku. Aku tak pernah tahu apa yang
akan terjadi. Kata-katamu mengirisku dengan dalam,” kurang lebih begitu bunyi inti
pesan puisi bertajuk Returning Faith.
Puisi bersuara liris ini ditulis oleh Lynette Gutwein, di salah satu situs dunia
maya yang bertema pelecehan seksual bagi anak-anak. Suara liris anak-anak bernasib serupa, dengan berbagai
ragam ekspresi rasa sakit, bisa kita temukan di dunia yang kita bilangkan “maya”.
Wadah untuk bersuara liris memang maya, tapi peristiwanya sama
sekali bukan maya. Peristiwanya ada dan hadir dalam kehidupan, dalam realitas
yang menyakitkan bagi masyarakat terutama bagi keluarga korban. Peristiwa
kekerasan fisik, termasuk kekerasan seksual, tak lagi bermunculan di ruang-ruang
tersembunyi, remang, gelap dan sepi. Malah, peristiwa semacam itu hadir di
ruang yang paling kita idolakan, ruang yang diasuh dan dipimpin oleh
orang-orang yang terdidik, yaitu: sekolah.
“Kini sekolah-sekolah tak bebas dari predator”, begitu
komentar seseorang yang mengambil prakarsa untuk menyusun petisi menyusul
pemberitaan secara meluas tentang kekerasan di sekolah-sekolah di negeri
sendiri. Penamaan pelaku kekerasan seksual sebagai “predator” lalu dipakai oleh
para pengumpul tanda tangan melalui surat elektronik. Petisi demi petisi untuk
memperberat hukuman bagi para pelaku kekerasan --- terutama kekerasan seksual
--- kini bermunculan menyusul pemberitaan yang gencar atas peristiwa kekerasan
seksual yang dialami anak-anak lelaki oleh petugas pembersih di sekolah
internasional dan atas tewasnya seorang mahasiswa di sekolah tinggi ilmu
pelayaran akibat kekerasan oleh senior.
***
Ada ihwal yang benderang di dua peristiwa ini, yaitu pelaku
dan korbannya adalah lelaki. Lelaki di sekolah tinggi yang merasa diri sebagai
senior “mengeroyok” sang yunior hingga tewas. Lelaki di sekolah rendah “mengeroyok
secara seksual” anak-anak. Di dua tempat itu, lelaki pelaku merasa kuat dan
kuasa. Di dua tempat itu, laku lelaki brutal berada di luar kendali institusi
yang diidolakan: sekolah.
Adalah benar adanya pendakuan Irigaray, seorang sarjana
feminis, bahwa kekerasan selalu menjadikan tubuh manusia sebagai arena. Arena
kekerasan yang paling memuaskan manusia adalah tubuh manusia. Oleh pelaku kekerasan,
tubuh manusia dijadikan sasaran kekerasan karena dianggap wadah yang paling
cair (fluid) untuk “kepuasan”. Tak peduli apakah itu kekerasan fisik, seksual
maupun kekerasan psikis. Kekerasan
verbal dan kekerasan simbolik juga menjadikan tubuh sebagai sasaran utama.
Meskipun analisis Irigaray semula dipromosikan untuk
menjelaskan latar kekerasan di antara interaksi sosial perempuan dengan lelaki,
cara pandangnya tetap penting. Tubuh sebagai arena kekerasan tetap saja relevan,
meskipun sebagian besar masyarakat nyaris “tak percaya” bahwa lelaki dewasa
sering menjadikan anak-anak lelaki sebagai sasaran kekerasan seksual.
Di berbagai kelompok masyarakat, pengagungan dan
penghormatan terhadap anak-anak kian menipis. Lihatlah di jalan-jalan raya di
negeri ini. Anak-anak malah dijadikan sebagai “pencari nafkah”, untuk tidak
mengatakan dieksploitasi. Tugas orangtua untuk menghidupi anak-anak, dalam
banyak kejadian, tergantikan oleh anak-anak yang menghidupi orangtua. Di
kota-kota besar di negeri ini, di sana-sini, tak terlalu sulit menemukan
anak-anak --- lelaki dan perempuan --- yang tereksploitasi. Resiko yang
ditanggung oleh anak-anak semakin lebar. Kebiasaan melihat anak-anak di dunia yang
keras seperti ini membuat kepekaan terhadap keselamatan anak-anak menjadi
tumpul.
***
Semestinya pengagungan dan penghormatan terhadap anak-anak
tetap saja tumbuh di semua keluarga. Seharusnya ideologi sekolah tak hilang
terhadap pembelaan bagi anak-anak. Sepatutnya institusi yang diidolakan oleh
masyarakat tak berdamai dengan kekerasan. Kekerasan di sekolah, terutama
kekerasan seksual, akan mengiris masyarakat dengan dalam.
Sejatinya kita mendengarkan dan merefleksikan kembali
spiritualitas inti puisi Kahlil Gibran “Sang
Nabi”, yang percaya bahwa anak-anak adalah wujud “sungai kehidupan”. Sungai
yang berhulu pada cinta, lalu mengalir ke perkawinan, dan akhirnya bermuara
pada anak-anak. Tak mungkin kita menolak di muara jika kita sendiri sudah
memulainya di hulu. Kalau engkau yang ada di sekolah menolak, engkau akan mengirisku
lebih dalam dan lebih dalam lagi.
*Tulisan ini dimuat di Harian Tempo Makassar, Selasa 29 April 2014, di Kolom Literasi, di halaman A-15