M. Nawir*
Mendengarkan Ishak Ngeljaratan bicara dan
berdiskusi, saya seringkali merasa tersesat dalam belantara
wacana yang begitu abstrak dan meluas.
Barulah pendengar bisa mengerti maksud pembicaraannya dari ilustrasi maupun
analogi. Pembaca haruslah membaca utuh gagasannya, dan mengambil makna secara ganzheit. Metode Ganzheit bersumber dari teori psikologi Gestalt. Sebuah teks atau pun wacana bersifat satu kesatuan konsep
dan pemikiran penulis atau pun penuturnya yang tidak bisa dipecah-pecah dahulu
dalam pemaknaannya. Setelah itu, barulah pembaca atau pendengar bisa
menemukan sesuatu yang bermakna baru. Bisa jadi makna baru itu suatu rasa cinta
pada kemanusiaan, sesuatu yang mencerahkan, yang tidak selalu harus
diungkapkan. Bagi saya, memahami jalan hidup dan pemikiran pak Ishak seperti
membaca dan melantunkan puisi Sapardi Djoko Damono (Aku Ingin, 1989) tanpa harus mendiskusikannya.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Tidak
berarti keyakinan dan pandangan hidup Ishak Ngeljaratan dalam berbagai
karyanya tidak bisa dianalisis secara teoritik. Dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di Nusantara, telah dikembangkan model Sosiologi Profetik sebagai counter-hegemony positivisme ilmu
pengetahuan Barat. Ilmu Sosial Profetik relevan dan kontekstual dengan
perkembangan pemikiran Filsafat, Sastra dan Agama. Salah seorang narasumber
teori sosial profetik adalah profesor Kuntowijoyo (almarhum). Dirumuskan bahwa bahwa Sosiologi Profetik menggabungkan kemampuan kritis ilmu sosial dan
nilai-nilai agama dalam satu bingkai paradigma ilmu sosial yang utuh dan
integral. Jalan tengahnya adalah metode objektivikasi, yakni penafsiran
nilai-nilai subjektif agama dalam kategori-kategori objektif agar dapat
dipahami semua orang tanpa perlu bergantung lagi pada nilai-nilai asal
agamanya.
Dalam obyektifikasi,
nilai-nilai obyektif dari semua agama, ideologi, kepercayaan atau aliran
filsafat dapat saling berkomunikasi, lepas dari egosentrisme ideologisnya (lih. Husnul Muttaqien dalam http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/,
18 Januari 2008).
Tiga kata kunci yang menyatu dalam
pemikiran Ishak Ngeljaratan, yakni memanusiakan manusia (Humanitoirisasi/humanisasi), pembebasan manusia dari belenggu
positivisme iptek (Liberasi), dan
pencerahan manusia dari nafsu duniawi (Transendensi).
Ketiga konsep tersebut tidak akan dibahas satu persatu dalam tulisan ini. Saya
hanya ingin mengemukakan tiga hal berkaitan dengan persepsi saya mengenai
pemikiran dan keteladanan seorang mahaguru sekaligus sahabat, Ishak
Ngeljaratan.
Cendekiawan dan Seniman
“Filsafat adalah filsafat, yang
non-filsafat bukanlah filsafat”. Begitu bunyi kalimat pembuka dalam satu
tulisan Ishak Ngeljaratan tahun 1990. Secara pribadi, saya
termasuk murid dan juga sahabat yang lebih banyak mengenal pak Ishak dari
tulisan, dan ceramah beliau di kampus dan dalam berbagai forum diskusi
kesenian, sosial dan demokrasi. Dalam hati, saya masih beruntung masih sempat
berjumpa dengannya di kampus, gedung kesenian, forum LSM, Ormas, Gereja,
Wartawan, juga bersama Politisi dan Birokrat. Suatu momen yang tidak banyak
dihadiri para akademisi maupun seorang profesor.
Pada masa pra-reformasi, saya mengenal
pak Ishak sebagai dosen dan pegiat organisasi kesenian. Pasca reformasi hingga
kini, beliau ada dimana-mana. Beberapa peristiwa penting dimana pak Ishak ikut
andil antara lain; pernyataan pers menolak pembredeilan Tempo, Detik dan Editor tahun 1994; doa bersama bagi
kesehatan Gusdur tahun 1998; pernyataan keprihatinan bersama sehubungan dengan
maraknya peristiwa pengrusakan tempat ibadah (1999), dan beliau termasuk
penggagas pentingnya organisasi antikorupsi (ACC) di Makassar tahun 2000.
Hingga kini pun, pak Ishak paling bersemangat menjadi narasumber bagi aktivis
pro toleransi antarumat beragama.
Meskipun ada dimana-mana, pak Ishak
tetaplah seorang pemikir sastra dan filsafat yang konsisten. Baginya, sastra
dan filsafat, atau secara kongkrit eksistensi seniman dan cendekiawan bukanlah
makhluk yang bebas nilai. Sastra dan filsafat “menentukan sekaligus ditentukan”
ataupun “otonom sekaligus otonominya ditentukan oleh keberadaan realitas
lainnya”. Kemandirian seorang
cendekiawan bukanlah otonomi tirani yang tak tahu diri dan terisolasi dari
kebersamaannya dengan masyarakat dan lingkungan, begitu tulis pak Ishak pada
tahun 1991 (lih. Api Curian Promotheus,
122:2009).
Etika dan Estetika
Filosofi dasar pemikiran Ishak
Ngeljaratan adalah Etika dan Estetika. Kedua cabang filsafat ini menyatu dalam
berbagai tulisan maupun tuturannya. Pak Ishak sangat peduli pada etika Bugis
Makassar yang dapat diteladani dari cara hidup sehari-hari maupun dikaitkan
dengan gagasan dan kritiknya terhadap perilaku pemimpin. Pak Ishak sehari-hari
adalah warga negara Republik Indonesia yang mengajar kemana-mana dengan menggunakan
kendaraan umum. Kadangkala harus dijemput-antar oleh orang lain. Berpakaian
biasa saja, seperti kebanyakan warga kota yang bersahaja. Yang menyapa lawan
bicaranya dengan pertanyaan pertemanan. Saya sering berkesimpulan sendiri, pak
Ishak itu tidak bisa bawa mobil sendiri, sehingga tidak berminat beli mobil
pribadi. Tetapi, semangat beliau pergi-pulang memenuhi tugas mengajar atau pun
menghadiri acara selalu dipenuhinya. Suatu gaya hidup yang kontradiktif dengan
kebanyakan guru besar di kampus-kampus ternama.
Ishak Ngeljaratan adalah budayawan yang
melakoni etika sehari-hari harus sejalan dengan ucapan dan pikiran. Dalam
berbagai forum, pak Ishak yang asli Maluku Tenggara itu seringkali menekankan
nilai-nilai Siri na Pesse, Lempu na Getteng sebagai nilai-nilai
dasar kemanusiaan orang Bugis-Makassar. Pak Ishak paham betul filosofi manusia
yang dimaksud orang Bugis-Makassar, yakni seseorang dikatakan manusia apabila
dalam dirinya melekat Siri na Pesse.
Dan, nilai-nilai etika ini nyaris punah dalam kepemimpinan orang Bugis-Makassar
dewasa ini. Sudah tidak terhitung berapa banyak forum diskusi dimana pak Ishak
mengurai etika tersebut. Bahkan, dihadapan para pejabat pemerintah maupun
politisi pun, beliau mengemukakan nilai-nilai tersebut sebagai kritik. Rasanya
lelah juga mendengarkan nilai-nilai Siri
na Pesse itu terus diulang pak Ishak, sementara perilaku pejabat dan
politisi di Susel jauh dari etika kepemimpinan Bugis-Makassar.
Dalam hal estetika, cita rasa seni Ishak
Ngeljaratan teramat tinggi (ideal) bila ditakar dari kebanyakan penikmat seni
populer. Seni tidak semata-mata meniru atau pun merefleksikan realitas alam – ars imitatur naturam (mimesis plato).
Lebih dari itu adalah seni menjangkau sesuatu yang khas, yang membedakannya
dari karya-karya manusia pada umumnya. Sebuah puisi dikatakan indah bukan hanya
mencerminkan kejelasan, keteraturan dan berharmoni dengan alam. “Sebuah puisi
yang sungguh-sungguh puisi mencerminkan sesuatu yang lebih yang mudah dikatakan
keindahan”. Bagi pak Ishak dalam konsep keindahan terkandung unsur yang
rasional dan supranatural. Sesuatu dikatakan indah apabila melahirkan daya
pesona, daya gugah, daya gugat, daya pencetus serta membangkitkan haru dengan
seribu satu macam cita rasa rohani di balik kemasan pesan yang ditata secara
teratur, jelas dan harmonis (FSUH, 2 Agustus, 1990).
Ishak Ngeljaratan pengagum Aristoteles,
yang memandang seniman lebih tinggi derajatnya daripada seorang tukang kayu.
Sebaliknya, kebanyakan tukang kayu dan kelas buruh sangat menikmati seni pop,
terutama musik dangdut. Saya bertanya, apakah pak Ishak suka lagu dangdut, atau
setidaknya kepala dan pinggulnya pernah bergoyang-goyang ketika mendegar Rhoma
Irama berdendang atau Inu Daratista berdangdut. Atau pun sekurang-kurangnya
menonton pentas dangdut KDI di televisi sekali seminggu. Ini sekadar
pertanyaan. Yang saya tahu, pak Ishak jarang diundang sebagai pembicara di
forum-forum seni populer. Dalam tulisannya tentang budaya massa, kentara sekali
pak Ishak menilai seni pop itu berselera rendah. Baginya, budaya massa tidak
terukur dan tidak jelas subjek-objeknya.
Kebebasan dan Demokrasi
Ishak Ngeljaratan pendukung berat
kebebasan dan demokrasi. Nyaris tidak ada aktivis yang akan membantah
pernyataan tersebut. Seperti apa kebebasan dan demokrasi yang dia maksud?
Seringkali pak Ishak membandingkan kemerdekaan manusia dengan binatang. Seseorang
dikatakan merdeka bila dia berusaha mengungkapkan kebebasannya. Dalam
kebebasannya itu, manusia secara sadar membuat pilihan-plihan, sekaligus
menerima segala konsekuensi maupun resikonya. Seorang hamba atau pun narapidana
juga memiliki kebebasan, tetapi tidak memiliki kemerdekaan. Dia tidak merdeka
karena ruang gerak dan kesempatannya terbatas, sehingga tidak bebas mengungkapkan
kebebasannya. Binatang di hutan tampak hidup bebas-merdeka, tetapi selalu
disebut binatang liar. Dan, karena keliarannya itu, maka binatang tidak
memiliki pilihan dan tujuan yang jelas (cita-cita). Jadi, kebebasan harulah didasari oleh kesadaran
agar usaha manusia mencapai cita-citanya tidak melakukan dehumansasi dan
penindasan atas manusia lainnya.
Asas demokrasi adalah kebebasan. Secara
konstitusional, kebebasan dalam konteks politik demokrasi adalah kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat. Pada masa Orba, kebebasan warga negara,
termasuk kaum intelektual, budayawan, seniman dibelenggu oleh sistem demokrasi
yang otoritarian. Dikatakan otoritarian karena kekuasaan memusat pada satu
kekuasaan presidensil, yakni Soeharto. Partai politik dipres menjadi tiga saja
dan dikontrol oleh pemerintah, sehingga fungsi parlemen menjadi mandul.
Demikian halnya lembaga pers. Pembatasan hingga pemberangusan terjadi bila
bertentangan dengan kebijakan politik pemerintah. Kebanyakan Ormas juga LSM
dikebiri dan hanya menjadi pelaksana program pemerintah Orba. Kampus dan
mahasiswa dinormalisasi dengan sistem SKS. Mimbar-mimbar bebas diawasi, dan
perlawanan mahasiswa direpresi oleh pemerintahan Soeharto. Diandaikan kebebasan
warga negara pada masa Orba adalah kebebasan seorang hamba atau pun narapidana.
Sayangnya, kebebasan dalam iklim reformasi dewasa ini sering diandaikan seperti
binatang yang bebas tetapi tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas.
Mahasiswa dan intelektual kampus sangat
berperan menyuarakan, bahkan menggerakkan masyarakat untuk menuntut kebebasan
dan demokrasi. Pak Ishak berada di antara beberapa intelektual kampus yang
menyokong gerakan mahasiswa menuntut reformasi. Dan, ironisnya, tidak banyak
profesor yang berperan besar dalam menggerakkan kampus sebagai agen perubahan
sosial (agents of social change).
Dalam konteks kebangsaan, Ishak
Ngelajaratan adalah tokoh reformis, yang senantiasa menganjurkan perlunya
melakukan perubahan sistem politik secara etis. Ini kesimpulan sepihak saya
dalam suatu diskusi di Kampus Unhas (2010). Selain itu, pak Ishak termasuk
salah seorang deklarator Ormas Nasional
Demokrat (Nasdem) yang mempromosikan restorasi perubahan. Dengan
kecintaannya yang begitu besar pada nilai-nilai kemanusiaan dan pembelaannya
yang sungguh-sungguh pada pluralisme, rasanya pemikiran Pak Ishak tidak sejalan
dengan tuntutan kaum revolusioner ala Leninisme maupun Marxisme. Tetapi, dalam
banyak forum diskusi kritis, Pak Ishak sepakat untuk melakukan pemotongan
generasi sebagai jalan pintas melakukan perubahan sistem demokrasi yang liberal
sekaligus kapitalistik seperti saat ini. Ini artinya, pak Ishak tidak percaya
atau pun tidak punya harapan pada generasi pemimpin reformis saat ini untuk
melakukan perubahan mendasar. Jika memang demikian, maka kepemimpinan politik
di masa datang harus direbut oleh pemimpin muda yang progresif dan
konstitusional, yang mencintai kemanusiaan seutuhnya. Mengutip ungkapan populer
dari Che Guevara bahwa sesungguhnya seorang revolusioner sejati didasari oleh sikap dasar dan rasa cinta yang
mendalam pada kemanusiaan.
Semoga dengan semakin memahami Ishak
Ngeljaratan, saya semakin mencintai kemanusiaan.
Makassar, 1 Mei
2014
*M. Nawir, social-urbanist Institut Rumah Kampung Kota (rumahkampungkota.blogspot.com). Masih
bekerja untuk UPC dan Komite Perjuangan Rakyat Miskin
Referensi:
1.
Ishak Ngeljaratan,
1990. Tinjauan Filsafat Sastra.
Catatan Pengantar AntarMahasiswa Fak. Sastra Unhas pada LKMM dan Lokakarya
OPSPEK, 2 Agustus 1990.
2.
Ishak Ngeljaratan. Bahasa dan Sastra Indonesia Penentu Utama
Corak Kebersatuan. Pokok-pokok Pikiran AntarPeserta Forum Studi Sastra dan
Bahasa Fakultas Sastra Unhas, 14 Desember 1992.
3.
Ishak Ngeljaratan,
1993. Refleksi Perkembangan Bangsa Lewat
Sastra. Makalah dalam Acara Seminar Bulan Bahasa dan Ulang Tahun XXXIV
Fakultas Sastra Unhas, 8-10 Nopember 1993.
4.
Husnul Muttaqien (http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/,
18 Januari 2008).
5.
Ishak Ngeljaratan. Api Curian Promotheus dan Esai-esai Lainnya.
Aslan Abidin, ed. Nada Cipta Litera Bekerjasama Penerbitan Kampus Identitas
Unhas, 2009.