|alwyrachman@gmail.com
Citra hero muncul dan hadir di paras berbagai kisah. Di kisah peperangan, kisah penindasan, kisah kemiskinan dan di kisah politik. Munculnya sang hero sering diromantisasi sedemikian rupa, hingga batas kualitas antara hero dan bijak menjadi samar. Malah, sang hero, di sana-sini, kadangkala sekaligus ditempatkan sebagai tokoh bijak. Kehadiran sang hero lalu menjadi mimpi bersama, terutama di saat masyarakat sedang menderita. Sang hero lalu dipersonifikasi sebagai “Sosok Mesias” yang datang untuk mengatasi situasi buruk.
Laku sang hero dibilang sebagai laku penolong. Di filem
layar lebar dan di layar televisi serta di dunia literasi, laku penolong menandai
pesona sang hero. Hero dicerna sebagai karakter yang menyelamatkan banyak orang
dari bahaya, membantu orang-orang lemah tak berdaya dari berbagai wajah
penindasan. Lalu, laku hero segera menjadi wadah memindahkan kecemasan dan
menjelma sebagai media memindahkan rasa sakit. Itu sebabnya, di dunia tontonan,
sang hero menciptakan suasana ekstasi bagi para penonton. Di suasana ini, sensasi
terhadap sang hero akan membebaskan penonton dari derita, setidaknya untuk
sementara.
Di beberapa filem layar lebar, hero dihadirkan lewat
karakter jagoan, seperti Ramboo yang dibintangi Sylvester Stallone. Karakter Ramboo
di tahun 1980-an menjadi konsumsi publik di Amerika dan di bagian dunia lain. Ramboo
menjadi personifikasi untuk memindahkan rasa sakit atas kekalahan Amerika dalam
perang Vietnam. Ramboo dirancang sebagai karakter pemenang untuk menggantikan
rasa pedih atas tewasnya lebih dari 58.000 tentara Amerika. Ramboo menjadi candu
untuk suasana psikologis yang nyaman.
Di kisah klasik, ada karakter Robinhood. Sang jagoan yang
dijuluki “Pangeran para Pencuri” juga dipersonifikasi sebagai hero, sedikitnya
di kelompok miskin. Tak peduli bahwa laku sang pangeran adalah mencuri harta
benda orang-orang kaya. Apapun namanya, laku sang pangeran dianggap bermoral
hanya karena hasil rampokan dibagi kelompok tak berpunya. Nyatanya, filem sang
pencuri laku keras untuk ditonton.
***
Orang bijak tak hero sebagaimana hero. Orang bijak, begitu
pendakuan banyak orang, adalah karakter yang menilai situasi sejak awal,
bertindak mencegah sebelum situasi menjadi buruk. Orang bijak tak mengandalkan
pertarungan di medan laga. Ada juga yang bilang, karakter bijak adalah “diam”. Tokoh
bijak dituntun dari dalam dirinya sendiri sementara hero dipandu oleh dari luar
dirinya. Makanya, tokoh hero lebih bising ketimbang tokoh bijak yang lebih
senyap. Itu sebabnya, dalam budaya tontonan, dihadirkan di berbagai medan laga,
sementara sang bijak “diam” jauh di sana.
Hari-hari ini, Indonesia sedang mencari pemimpin atas nama
demokrasi. Namanya demokrasi, kompetisi para politikus tak terhindarkan.
Karakter hero dan karakter bijak muncul dan dimunculkan. Orang bijak segera
dipersonifikasi ke para alim-ulama di pesantren-pesantren, pemuka-pemuka
berbagai agama di pelosok-pelosok, atau ke sesepuh masyarakat di
kampung-kampung, yang sejauh ini “diam” secara politik. Sang Hero, pada gilirannya,
menempatkan orang bijak menjadi penting untuk dicari demi dukungan politik dan
demi legitimasi kekuasaan.
“Tokoh hero mencari tokoh bijak” nyaris tak muncul dalam
budaya tontonan. Momen-momen ini hadir di dunia politik faktual, setidaknya di
negeri ini. Momen “mencari sang bijak” akhirnya menjadi tontonan, sedikitnya
tontonan atas perjumpaan dua kultur: kultur egaliter dan sarungan yang
berinteraksi dengan kultur kepejabatan dan kekuasaan di satu pihak, dan kultur
senyap yang berjumpa dengan kultur bising di lain pihak. Di akhir perjumpaan,
kultur senyap tetap saja senyap sementara kultur bising sebagaimana biasanya tetap
bising. Di ujung peristiwa, sang hero yang paling bising memberikan penjelasan.
Tapi, ada peristiwa politik di masa lampau yang menandai kehadiran
pemimpin politik yang senyap. Karakter Gandhi dan karakter Mandela adalah
contohnya. Keduanya tak mengandalkan sikap heroik di tengah penindasan yang
menimpa bangsanya. Keduanya memenangkan pertarungan politik tidak berdasarkan
kesediaan berlaga secara kasar dengan lawan politiknya. Keduanya menang besar
dalam politik karena menempatkan diri sebagai persona yang bijak. Keduanya menistakan
kekerasan sembari meninggikan kemanusiaan. Meletakkan atribut etis bagi
kemanusiaan di atas penindasan yang tak etis adalah capaian monumental kedua
sosok besar ini.
***
Kalau begitu, hero sejatinya direfleksi sebagai pejalan yang
hidupnya dihidupi oleh sang bijak. Tanpa tokoh bijak, tokoh hero akan menjadi
antagonis dan antilogika. Perjalanan sang hero semestinya berakhir ketika ia mengubah
diri dan menjelmakan dirinya sebagai sosok bijak.
Satu lagi, tokoh bijak tak akan pernah membiarkan dirinya kembali
menjadi hero. “No point of return”, “tak
ada titik balik”. Menjadi hero terus menerus adalah tak bijak, begitu kira-kira
ajakan akademis Joseph Campbell, penulis buku “The hero with a thousand faces”, “ Sang hero dengan seribu wajah”,
enam puluh lima tahun lampau.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, di Kolom Literasi, tanggal 3 Juni 2014, di halaman A-15