Alwy Rachman
Tidak ada masalah yang dapat
”menyelesaikan” dirinya sendiri
tanpa informasi,
tanpa bahasa, tanpa pengetahuan, dan tanpa kebudayaan.
Alvin Toffler, Powershift, 1990
Ingat!, dunia berubah. Begitu pesan Alvin
Toffler, penulis yang diberi julukan “pemikir masa depan”. Tak ada gunanya menangisi
tatanan lama, karena perubahan adalah hukum besi sejarah. Berubah adalah inti
kebudayaan, demikian pendakuan banyak budayawan, untuk ikut memperkuat pendakuan
Toffler.
Menjadi tua bukan
pilihan. Cepat atau lambat, suka atau tidak, segalanya menjadi tua. Bagaikan
tirani roda pedati, waktu berputar terus dan bergerak menjadikan segalanya jadi
tua. Zoon politicon menjadi tua, dan laku
berpolitik pun bisa menjadi tua. Jurgen Habermas, filsuf dari tradisi berpikir
kritis, memisalkan laku politik tua dengan
penyebutan ”gramatika politik tua”.
Politik tua gampang
dikenali, begitu pendakuan Habermas. Gramatika politik tua lebih suka menjawab
masalah-masalah keamanan sosial, ekonomi,
militer, dan masalah domestik. Sebaliknya, gramatika politik baru berfokus
pada isu kesetaraan, partisipasi, kualitas
hidup, dan hak azasi. Gramatika politik tua didukung oleh pengusaha, pekerja,
dan kalangan profesional kelas menengah, sementara gramatika politik baru didukung oleh
kelas menengah baru, kaum muda, dan kelompok lain yang berlatar pendidikan tinggi.
Gramatika politik tua tak asing di negeri
sendiri. Pergantian dari satu laku politik ke laku politik lain, dari satu rezim ke rezim
lain, tak kunjung menghadirkan gramatika politik baru, kecuali peristiwa
dramatik yang dilengkapi bahasa politik baru. Lalu, kata “lama” dan “baru” terapung
dan tenggelam di setiap perubahan: rezim Soekarno dibilangkan “orde Lama” oleh rezim Soeharto, lalu rezim Soeharto dianggap sebagai “rezim tua”
oleh rezim reformasi. Di hari-hari ini, rezim reformasi ini mulai berparas tua: compang-camping dan menghembuskan aroma
dekil, jauh dari pesonanya 16 tahun silam.
***
Gramatika politik tua ibarat kisah sang
kodok di titik didih, “the parable of the
boiled frog”. Kisah ini menandai sindrom
kodok yang direbus hidup-hidup. Premisnya, kalau sang kodok ditempatkan dalam
air mendidih, ia bereaksi untuk melompat keluar. Tapi, jika ditempatkan di air
dingin yang dipanaskan secara perlahan, sang kodok tak akan menyadari bahaya, tetap
nyaman berdiam diri lalu akhirnya terjebak di titik didih sampai mati.
Kisah ini dibilangkan sebagai metafor untuk menyindir
ketakmampuan atau keengganan “orang-orang besar” untuk bereaksi terhadap
perubahan yang berlangsung pelan dan bertahap. Sang kodok juga difungsikan
sebagai anekdot untuk mengingatkan rezim status
quo yang tak menyadari dampak dramatik di ujung perubahan yang berlangsung
pelan. Dikira airnya masih dingin, padahal mulai hangat. Dikira hangat-hangat
biasa, padahal sebentar lagi akan mendidih.
Jatuhnya rezim tua karena ia tak menyadari
dan tak bereaksi terhadap rakyatnya yang lagi hangat. Reaksinya datang setelah
rakyatnya mendidih. Kalau titik didihnya sampai di titik tak kenal balik, “No point of return”, rezim akan jatuh
dan mati.
***
Bayang-bayang politik tua, di sana-sini, masih
menandai gramatika politik akhir-akhir ini. Akibatnya, rakyat kebanyakan hanya
mendapat informasi hitam, sebagai bagian kampanye hitam. Ujungnya, rakyat di
lapis bawah terkurung di kubangan “informasi hitam”. Sisi gemerlap politikus
akhirnya tak terlihat secara kritis oleh masyarakat. Penumpang gelap demokrasi
atau kuda troya demokrasi tetap saja tak tampak di tengah gulita. Masyarakat
akhirnya tak mampu mengenali para pengendara demokrasi.
Yang menjadi korban adalah rakyat lapis bawah,
karena arena informasi hitam dan kampanye hitam didorong ke wadah dan modus sosial
kelas bawah, seperti; gossip, desas-desus, bisik-bisik, dan lain-lain. Kalangan
kelas menengah terdidik agak tertolong karena kelas ini berkemampuan mengakses teknologi
media. Kelas menengah dan kelas atas berkemampuan mengakses tiga media
komunikasi: verbal, visual, dan virtual dari berbagai sumber dan dari
berbagai institusi.
Pada ujungnya, kedaulatan informasi menjadi soal penting. Kedaulatan
informasi akan memampukan masyarakat untuk mandiri dalam menentukan pilihan
politiknya, bukan menyerahkan diri sebagai pemilik suara yang tak berdaya, lalu
menyerah pada ajakan gramatika politik tua. Sejatinya, struktur dan sistem politik mempromosikan gramatika
politik baru sebagaimana yang dibilangkan Habermas, disertai high-tech
democracy sebagaimana yang disebut Toffler.
Pada akhirnya, mari kita merefleksi
laku gramatika politik akhir-akhir ini di bangsa sendiri, untuk menjawab adakah
peluang mempromosikan gramatika politik baru. Jika tidak, gramatika politik
kita tetap saja renta, lalu menderita sindrom sebagaimana sang kodok. Gramatika
politik baru memang tak terhindarkan, kecuali kita menyerah pada nasib
sebagaimana di kisah sang kodok. Hidup sang kodok berakhir di air yang
mendidih, gramatika regim tua mati di rakyat yang mendidih.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar