Kaila ilona Meira
Pengarusutamaan (mainstreaming) pendidikan karakter kini
dimulai. Dentang dan resonansi tentang perlunya pendidikan karakter di berbagai
sekolah dan universitas di Indonesia berbunyi dan bergetar keras, membuat
segenap pemilik kepentingan (stakeowner)
dan pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) seharusnya bertanya secara
reflektif, “apakah gunanya sekolah” dan “apa pula manfaatnya universitas” kalau
segenap pengajar dan pembelajarnya mengalami peracunan dan pembusukan.
Peracunan
dan pembusukan di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus akan membuat institusi
pendidikan sebagai tapal batas peradaban akan kehilangan jatidiri lalu runtuh
di hadapan sang waktu dan akan kehilangan muka lalu malu di hadapan sang
peradaban. Demi masa, begitu peringatan dari bahasa langit dan demi peradaban, begitu
peringatan dari bahasa bumi.
“Karakter”
adalah “kata yang licin” (slippery word).
Sedemikian licinnya, kata ini sering dibawa ke mana-mana. Ia sering dihubungkan
dengan moral, disetarakan dengan nilai-nilai, dipersamakan dengan kebajikan,
atau diasosiasikan secara heroik ke sang hero, atau dilabelkan secara negatif kepada
sang pecundang. Kata ini memang licin sebagaimana licin dan terjalnya
peradaban. Tergelincir dalam memahami maknanya setara dengan tergelincir dalam
mengartikan peradaban. Alur dan alir pikirnya sederhana, yaitu; karakter adalah
tulang sum-sum peradaban.
Pendidikan
karakter memerlukan pembangun peradaban, bukan penidur peradaban. Bangun
ataupun tidur sama-sama menentukan muncul-tenggelamnya peradaban. Pun pendidikan
karakter memerlukan pribadi-pribadi tulus dalam melihat bahaya di masa depan
bagi generasi muda. Itu pula sebabnya, Thomas Lickona dengan teguh berpendirian
bahwa tujuan pendidikan karakter cuma dua.
Pertama, menyediakan pengetahuan,
keterampilan, kepemimpinan dan karakter untuk menghadapi bahaya masa depan yang
tak pernah dilihat dan dialami oleh generasi pendahulunya. Kedua, menjadikan
generasi muda sebagai generasi cerdas (smart)
dan berprilaku baik.
Pendidikan karakter bukan pendidikan untuk sang hero
ataupun sang pecundang dan bukan untuk pihak pemenang ataupun pihak pengalah.
Pun bukan untuk tokoh protagonis atau tokoh antagonis. Adalah pendidikan
karakter yang dibangun di atas pilar-pilar etik yang dapat diterima secara
bersama dan difungsikan untuk kehidupan bersama. Keselamatan bersama, terutama
di masa sana, di masa depan adalah segalanya. Jika tidak ada etik dan jika
tiada karakter, hukum besi sejarah dan tirani waktu akan menghempaskan
segalanya.
Pendidikan
karakter memerlukan antidote learning,
interaksi pembelajaran secara bersama yang bersedia dan berkomitmen memangkas
akar dari gejala peracunan dan pembusukan yang menyerang simpul-simpul tatanan
peradaban pendidikan, di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Hanya
dengan demikian, peradaban pendidikan tinggi tidak mengikuti dalil “lahir lalu
mati” atau “tumbuh lalu membusuk”.
Afirmasi tentang
perlunya pendidikan karakter bukanlah hal baru. Paling tidak, begitu ungkapan
Lickona. Ia setua dengan sejarah pendidikan. Ia diabdikan bagi generasi muda
yang mempersonifikasi media sebagai guru. Ia diperuntukkan bagi pembelajar yang
kehilangan “home”. Pun ia dirancang,
dijalankan dan dirawat agar generasi muda dapat menangani gegar dan guncangan
nun jauh di sana, di masa depan.
Maka, “no
education without character” sepatutnya didengungkan agar mata-pikir dan
mata-hati dapat berfungsi bagi upaya membangun peradaban pendidikan tinggi.
Maka, afirmasi pemerkaya dari Jose Ortega Gasset, penulis buku The Mission of The University, perlu
dihayati. Bunyinya, “tanpa nilai, universitas hanya menamatkan orang biadab
baru yang terpelajar” (new educated
barbarian). Atau, afirmasi dan pesan moral dari Mahatma Gandhi untuk
generasi muda India, yang ditulisnya dalam “Young
India”. Nadanya, “knowledge without
character”, pengetahuan tanpa karakter, adalah satu diantara tujuh dosa
sosial.