Alwy Rachman
“Setiap bentuk korupsi adalah
suatu pengkhianatan”
Syed Hussein Alatas
Ibarat panggung teater, Indonesia kini
menggelar drama tentang dinamika korupsi seri kedua. Seri pertama dibilangkan sebagai
drama tentang Cicak-Buaya, seri kedua belum bernama. Tapi, di panggung gelar
teater mutakhir, aktor institusinya masih sama: KPK dan POLRI. Gelar teater pertama
telah usai, sementara yang terakhir kini di puncak klimaks. Tema drama masih
itu-itu juga: korupsi dengan segala macam dinamikanya.
Sebagaimana kisah-kisah literasi, konflik
di panggung teater tak terhindarkan. Di sana, bermunculan dua peran: protagonis
dan antagonis. Di antara dua peran, ada juga peran ketiga: auxiliary. Dalam bahasa
drama, peran auxiliary dibilangkan sebagai
peran pelengkap. Itu sebabnya, panggung teater menjadi sempurna, riuh. Sesekali
menegangkan, sesekali menciptakan suspense.
Keriuhan dalam konflik kemudian
menghadirkan suspense yang secara
keseluruhan membuat kita mengerti tentang “dinamika korupsi yang menggambarkan
secara benderang keadaan moral dan
intelektual para pemimpin masyarakat”, sebagaimana pendakuan yang pernah
ditulis oleh Hussein Alatas. Perhadapan kedua institusi --- POLRI dan KPK ---
bermula pada promosi sang jenderal sebagai aktor, yang direkomendasikan oleh
Kompolnas, yang dicalonkan oleh Istana, lalu dikukuhkan di panggung parlemen. Jadi,
lengkap sudah alur penokohan di panggung ini.
Tapi, sang jenderal ditolak, diatribusi
sebagai tersangka, tentu saja, oleh aktor-aktor di panggung lain. Maka, kedua
panggung saling merenggang, mengalirkan klimaks demi klimaks. Di antara
klimaks, terasa bahwa soal korupsi bukan cuma soal hukum dan soal politik. Jika
para sosiolog membilangkan korupsi sesungguhnya menyakiti kelompok-kelompok
masyarakat, para teaterawan menyebut korupsi menyakiti moral dan melukai
intelektual.
Banyak teaterawan meyakini teater sebagai
media perlawanan dan sebagai wadah mengekskresikan nilai-nilai untuk mencegah
pembinasaan moral dan etika. Panggung harus dilawan dengan panggung. Teater
harus dihadapi dengan teater. Panggung tertutup harus dihadapi dengan panggung
terbuka. Teater kekuasaan mesti diperhadapkan dengan teater rakyat. Teater
parlemen mesti dipertemukan dengan teater transitif.
Malah, teaterawan sekelas Augusto Boal, misalnya,
menegaskan perlunya teatrikalisasi parlemen. Boal menambahkan, "saya dan
kawan-kawan sekali waktu menyelenggarakan teater transitif, dengan melakukan
ritual bersih-bersih di tangga masuk gedung parlemen, sebagai simbol
membersihkan korupsi." Modus teatrikal bersih-bersih di parlemen diimitasi
dari ritual tahunan Gereja Shensor de Bonfim, yaitu pencucian tangga-tangga
gereja sebagai pernyataan simbolik untuk membersihkan jiwa."
Bagi Boal, "teater adalah politik
sebagaimana demokrasi adalah teater". Demokrasi yang dimaksud Boal di
sini, adalah demokrasi yang memampukan
rakyat mengubah dirinya menjadi aktor demokrasi. Teater yang berdemokrasi
disebutnya teater transitif, teater yang menyediakan panggung untuk rakyat guna
mentranformasikan dirinya menjadi pelaku langsung demokrasi. Teater ini tak
bisa dipenjara di gedung-gedung pertunjukan sebagaimana agama-agama tak pantas ditawan
di gereja, masjid, vihara dan di tempat-tempat ibadah lain.
Demokrasi transitif hanya ada pada teater
komunitas, teater masyarakat dan sekaligus teater rakyat. Di sini, rakyat berperan
mengubah eksistensinya: dari kedudukannya
sebagai penonton menjadi aktor pelaku yang aktif. Jadi, panggung rakyat yang
diselenggarakan di halaman KPK, juga di ruang-ruang publik di seantero Republik
ini, diisi oleh peran ilmuan, aktivis, tokoh masyarakat, tokoh lintas agama, mahasiswa
dan kelompok-kelompok sosial lain, menjadi teater auxiliary yang benderang. Beda dengan tuduhan Menteri Kordinator
Politik, Hukum dan Keamanan bahwa rakyat yang berkumpul di sana tak lebih "rakyat
yang tak jelas".
Parable "rakyat yang tak jelas", oleh masyarakat
sipil, lalu dinilai sebagai properti elit di panggung kekuasaan. Parable Properti bahasa itu membawa
pesan, “engkau rakyat, sebaiknya engkau tak ikut campur.” Tapi, soal
partisipasi rakyat, penyair Brasil Castro Alves, malah menyindir kekuasaan dengan
membilangkan, "The square is to the
people as the sky is to the condor", " ruang rakyat untuk
berkumpul sama harganya dengan langit luas bagi burung Kondor". Tanpa
ruang rakyat, rakyat bukan demos. Tanpa langit, kondor bukan lagi burung.
Di negeri sendiri, di tahun 1973, W.S.
Rendra menulis sajak burung-burung kondor untuk mengeritik kekuasaan orde baru.
Di situ, Rendra bilang, “derita telah mengubah sukma rakyat menjadi burung
kondor”. Di bagian akhir puisinya, Rendra bilang “Berjuta-juta burung kondor
mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara. Dan, di kota
orang-orang siap menembaknya.”
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tempo Makassar, 27 Februari 2015, hal. A15