Alwy Rachman
Membaca ikhwal robot memberi kesan sekejap: canggih! Menonton
Robocop memberi sensasi: robot polisi dapat diandalkan. Padahal, robot dan
robocop hanyalah mesin humanoid yang dirancang untuk meniru intelejensia
manusia. Bahasa teknologinya “Artificial Intelligence”. Mesin ini dirancang melalui
keterampilan dan kecerdasan manusia sungguhan. Di keseharian, robot dan robocop diidealkan
secara ambisius, dipekerjakan untuk banyak hal, di industri canggih hingga ke
industri sederhana. Di tontonan, robot dan robocop menjadi “tontonan pop” yang
menghibur. Menghibur karena robot didudukkan sebagai pekerja tak kenal lelah,
sementara Robocop dikarakterkan sebagai polisi pemenang.
Robot tak lebih dari animasi, Robocop pasti fiksi. Animasi
dan fiksi adalah hasil imajinasi. Imajinasi ini kemudian menghadirkan fashion teknologi. Animasi dan fiksi
malah kini menjadi buruan ilmuan dewasa ini. Saking ambisiusnya, praktisi “robot”
ingin menggantikan peran manusia politikus menjadi robot politikus. Sedikitnya
begitu motif dan visi salah satu perusahaan robot di Amerika yang ditulis oleh
Bob Kolodney. Perusahaan ini berhendak memproduksi “robot yang lebih manusiawi”
ketimbang manusia manusia politikus.
Bob Kolodney beralasan, manusia politikus tak menarik.
Pidatonya membosankan. Tutur katanya melelahkan untuk didengar. Matanya pucat
mirip Zombie. Ganti saja dengan robot politikus. Robot politikus selalu segar,
bermata merah cerah, dan terus menerus memancarkan antusiasme dan memancing
hasrat pendengar dan penontonnya. Robot politikus tetap segar meskipun telah melakukan
ribuan presentasi, begitu alasan Bob Kolodney.
***
Imajinasi “manusia robot” berakar jauh di masa lampau: ada
di legenda, di mitos dan di kisah. Akarnya hadir di kisah Dewa Hephaestus di
Yunani Awal, sebagaimana legenda Golems di masyarakat Yahudi. Di kisah Archytas,
matematikawan terkemuka pada zamannya, sang tokoh berhasil membuat “robot
merpati” di sekitar abad 400 sebelum masehi. Pun di legenda Cadmus yang menabur
gigi-giginya yang kemudian menjelma menjadi tentara. Mitos tentang Pygmalion
yang patungnya bernama Galatea digambarkan menjelma menjadi manusia. Atau
patung Hephaestus yang berubah dan menciptakan pembantu-pembantu mekanistis.
Banyak filsuf memandang, kisah, legenda dan mitos seperti
ini menyembunyikan spirit slavery,
semangat perbudakan. Akar humanoid berhulu pada siapa yang kuasa. “Manusia
robot adalah budak”, dipekerjakan untuk keperluan perang, penguasaan ekonomi,
dan penaklukan secara politik. Pendek kata, ide “manusia robot” tak netral. Di
belakang semua itu, setumpuk motif bisa ditelusuri. Meski demikian, ada juga
pemikir yang bilang bahwa rancang bangun mesin humanoid adalah wujud “kegelisahan
jiwa manusia” terhadap tubuhnya sendiri.
Banyak pemikir yang menyoal bahwa “Jiwa” memang “gelisah”. Jiwa
hanya mengokupasi materi paling lemah, paling tak berdaya, yaitu tubuh. Lalu
tubuh menyerah menyerah begitu saja untuk dianimasi. Ringkasnya, memakai bahasa
robotik, “Jiwa adalah animator tubuh”. Konflik animator-animasi lalu menjadi pengalaman
dramatik yang tersembunyi, jauh di dalam diri manusia. Boleh jadi, peristiwa dramatik inilah yang dikeluarkan
oleh manusia ke dalam atribut “artificial intelligence”. Maka, muncullah drama
lain di luar diri manusia: “manusia sungguhan” berhadapan “manusia artifisial”,
“manusia otentik” berhadapan “manusia robot”, dan “manusia animator” berhadapan
“mesin humanoid”. Manusia telah memindahkan peristiwa dramatik dalam dirinya ke
luar dari dirinya.
***
Tapi, konflik di antara hubungan jiwa dengan tubuh telah
direspon oleh Plotinus, filsuf yang hidup tak jauh dari spirit zaman perbudakan. Adalah Plotinus yang mempertajam apa yang
dimaksud dengan kebajikan (virtue). Baginya,
manusia sungguhan terhubung dengan kebajikan. Kebajikan manusia terhubung
dengan tiga eksistensi: “Yang Satu” (The
One), “Yang Tahu” (The Intellect),
dan “Yang Jiwa” (The Soul). “Yang
Satu” adalah absolut terhadap “Yang Tahu”, pun terhadap “Yang Jiwa”. “Yang
Satu” adalah sebab dari segala sebab, dan menjadi penyebab dari semua yang
hidup di alam semesta, tambah Plotinus.
“Yang Satu” memancarkan
kebajikan pada “Yang Tahu” sebagaimana pada “Yang Jiwa”. “Yang Satu” ibarat
cahaya yang menyinari. Bukankah “Cahaya putih yang membentuk warna warni pelangi?”
Begitu analogi para pembaca Plotinus untuk paham renungan sang filsuf. Tubuh manusia
ibarat matematika rumit, tambah para pembaca Plotinus.
“Di tubuh manusia, “Yang
Satu”, “Yang Tahu” dan “Yang Jiwa” terhubung
satu sama lain. “Yang Satu” lah yang menurunkan “Yang Tahu”. Dan “Yang Tahu”
lah yang melalukan aktifitas berfikir. Itu sebabnya, “Yang Tahu” disebut
sebagai identitas kognitif. Jika “Yang Tahu” yang berpikir, maka “Yang Jiwa”
yang berkehendak. Dengan kata lain, aktivitas “Yang Jiwa” adalah cermin dari “Yang
Tahu”. Plotinus mendaku, aktivitas “Yang Jiwa” yang terlepas dari “Yang Tahu”, akan
menghasilkan kejahatan (evil).
Inilah drama yang berlangsung jauh di dalam diri manusia.
Drama ini kemudian membuat manusia merasa aneh pada tubuhnya sendiri. Inilah yang
memotivasi manusia untuk menganimasi dirinya sendiri lewat robot atau robocop.
Boleh jadi, ini yang dicerna Bob Kolodney hingga ia menulis bahwa perusahaannya
akan memproduksi robot politikus yang lebih manusiawi ketimbang manusia politikus.
Gagasan nakal. Business Harvard School menyebutnya sebagai bisnis
paling buruk. Manusia memang usil, terhadap dirinya, terhadap di luar dirinya.
Begitu pendakuan Fuad Hasan, filsuf eksistensial dari negeri sendiri.