Alwy Rachman
Di habitat kebudayaan, jenasah diperlakukan terhormat. Sedemikian
rupa, jenasah dihayati sebagai waris keluarga. Itu sebabnya, aib jenasah dijaga
sedemikian rupa. Laku terhadap jenasah menyimpan pesan imperatif bagi keluarga,
yaitu “jangan engkau berlaku semena-mena atas jenasah” dan ”tutuplah aib sang
tubuh tak bernyawa”. “Tubuh tak bernyawa adalah milikmu”, “engkau adalah
pewaris atas jenasah”, begitu kira-kira norma dan laku kebudayaan. Pun norma dan
laku agama-agama menegaskan seperti itu.
Tapi di laku media televisi, sang
tubuh dimunculkan dengan paras yang jamak. Di tayangan entertainment, tubuh hidup menjadi penghibur yang “wah”. Pernak-pernik
pasti menghiasi tubuh sang artis. Seringkali, gerak tubuh dieksplorasi dari
sisi yang sensual dan seksual. Jika bukan soal sensualitas dan seksualitas, tubuh
hidup menjadi olokan dan ejekan. Sang entertainer rela mengejek dan mengolok
“cacat orang lain”. Atau, jika entertainernya yang “cacat”, “cacat tubuh” dieksploitasi
sebagai komoditas tontonan. Sensualitas,
seksualitas, olok-olok dan ejekan, suka atau tidak, menjadi “pelayan gairah
publik”. Low narcissism and low comedy,
begitu kira-kira.
Di tayangan tentang bencana dan kecelakaan, tubuh masih sebagai
komoditas, meski tak lagi berjiwa. Tayangan atas bencana dan kecelakaan tentu wajar,
meski nasib jenasah di depan kamera sering tak wajar. Jenasah, dalam banyak
peliputan, “terampas” lewat kamera dan menjadi “komoditas untuk pemirsa” lewat
institusi media. Secara sepihak, publik dipersepsi sebagai pemirsa yang “rakus
atas tragedi”. Satu lagi, bencana dan kecelakaan berskala besar, biasanya
diikuti pemediaan pakar yang menyediakan penjelasan teknokratis. Tak salah
memang, cuma drama kemanusiaan tak tertangkap oleh empati. Haru biru atas hidup
manusia di sekitar bencana dan kecelakaan terampas oleh cara pikir teknokratis.
Itu sebabnya, empati seperti mati rasa menonton musibah di media televisi
Indonesia.
***
Tubuh adalah “rampasan” untuk “dijinakkan”, begitu posisi
akademikus eksentrik Michel Foucault. Foucault mendalilkan, “tubuh cenderung dijinakkan
oleh aparatus kuasa”. Kekuasaan punya motivasi dan keperluan untuk menjinakkan
tubuh. Jadi, ungkapan “my body is my own”,
“tubuhku adalah milikku” menjadi klise. Di bawah institusi aparatus kuasa, termasuk
kuasa media, “your body is not your own”,
“tubuhmu bukan milikmu”.
Tontonlah gerak tubuh di panggung fashion dan lihatlah gerak
tubuh di institusi militer, sebagai contoh. Di sana, gerak tubuh tak lagi milik
individu bebas. Di situ tak ada lagi gerak tubuh alamiah. Di sana dan di situ,
gerak tubuh yang dikenali masyarakat “telah dijinakkan”. Begitu kira-kira
gambaran sederhana tentang “tubuh yang dijinakkan”, meminjam istilah Foucault.
Dalam hal peliputan bencana dan kecelakaan, media tetap saja
“merampas” tubuh yang sudah jenasah. Jenasah menjadi “obyek jinak” untuk
komoditas media. Jenasah yang tak lagi berdaya “dirampas” dari kehendak dan
perasaan keluarga sebagai pewaris, dirampas dari norma imperatif yang memandu laku
budaya dan laku agama-agama. Jenasah menjadi bagian dari riuh dan gempita media,
tetapi menyakitkan. Media menjadikan dirinya sebagai peluka kedua di atas duka
yang dalam.
***
Peliputan kecelakaan udara Air Asia, baru-baru ini, adalah
bukti “rampasan” jenasah oleh media televisi. Pasalnya, TvOne menayangkan
proses evakuasi dengan gambar benderang terhadap sosok mayat yang “nyaris
telanjang”. Kamera pasti tak bohong, tapi ideologi pengambilan dan penyiaran
gambar nyatanya mengusik “moral keluarga” dan “moral publik”. Kalau saja,
“engkau adalah pewaris atas jenasah yang nyaris telanjang”, “apakah engkau akan
rela bagian intim dan paling pribadi sang jenasah ditonton oleh publik?”. Dalam
bahasa kebudayaan, bagian intim dan paling pribadi disebut kemaluan. Kemaluan
adalah bagian-bagian tubuh yang simbolik, tempat kita menjaga dan memelihara martabat
atas rasa malu.
Kamera memang tak pernah bohong. Tapi mengapa peliputan
Tsunami di Jepang tak mendudukkan jenasah sebagai komoditas, padahal korbannya
tak sedikit?. Kamera memang tak pernah dusta, tapi mengapa peliputan jenasah korban
konflik di Palestina tak seekstrim di media televisi Indonesia, meski jenasah
ditonton di tengah iringan massa yang marah?. Kamera tak pernah bohong, tapi
ideologi tayangan tak selalu jujur.
Pada akhirnya, lewat kuasa media, jenasah didudukkan sebagai
elemen dramatik peristiwa, dipindahkan dari “milik keluarga” menjadi “tontonan publik”,
digeser dari “waris keluarga” menjadi “milik media”. Itu sebabnya, “hak publik”
kini merenggang hak privat keluarga. Saking renggangnya, teknologi media yang direct, canggih dan berjangkau luas tak
lagi menjamin perlindungan sensitif terhadap moral keluarga, moral budaya dan moral agama-agama atas jenasah.
Pada ujungnya, kalau sudah begini, mari kita baca kembali geram
Dan Brown. Penulis The Da Vinci Code ini bilang,
“Media is the right arm of anarchy”, “media adalah tangan kanan anarki”.
No comments:
Post a Comment