SELURUH NASKAH DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DARI TINDAK SALIN (COPY-PASTE) SECARA LANGSUNG

Monday, July 27, 2015

Ada Setan, Ada Hantu

Alwy Rachman

Mengapa setan dan hantu ikut-ikutan muncul dengan wajah budayanya? Mengapa paras buruk keduanya hadir sebagaimana cara bangsa melihat dirinya sendiri? Begitu pertanyaan seloroh seorang sahabat pada saya. Teman itu bilang sembari menyodorkan bukti dan argumentasi. Budaya Barat, misalnya, percaya vampir dan drakula, tapi tak percaya ada kuntilanak dan genderuwo. Sementara itu, budaya Nusantara percaya ada kuntilanak dan genderuwo, tapi tak percaya vampir dan drakula hadir di arena budayanya. Vampir dan drakula tak lebih dari tontonan dari negeri seberang.

Jadilah kuntilanak dan genderuwo di Timur dan vampir serta drakula di Barat. Budaya Nusantara mempersepsi kuntilanak tak lain seorang perempuan yang pemunculannya tak banyak bicara kecuali tawa cekikikan berganti tangis pedih menakutkan. Berbaju putih, berambut panjang menyeramkan, dan di  bagian belakang tubuhnya bolong. Akan halnya kuntilanak, genderuwo yang lelaki, berpenampilan gondrong, gempal, dan dekil. Juga tak banyak bicara, tapi muncul berkuku panjang menakutkan. Kuntilanak dan genderuwo datang dan pergi tak ketahuan. Keduanya tak pernah mesra.

Budaya Barat mempersepsi setan dan hantunya secara berbeda. Vampir dan drakula berpakaian necis, jahitan pakaiannya dan pernak-perniknya di tubuhnya berkelas. Vampir dan drakula membawa trisula. Vampir dan drakula akan memberi tahu cara mereka datang dan pergi, cara mereka lari dan terbang. Vampir dan drakula akan memberi tahu cara mereka mematerialisasi diri, membelah diri, menggandakan diri, dan memetamoforsis diri. Keduanya bisa mesra sebelum mengisap darah sang korban.

Bagi Jose Hernandez, penyair Argentina, setan dan hantu adalah pihak yang tahu banyak dengan dua alasan. Pertama, mereka memang setan, mereka adalah hantu. Kedua, mereka memang makhluk tergolong tua. Tak ada manusia yang mau tahu seberapa tua sang hantu dan sang setan. Yang ada hanya spekulasi yang bilang, “Usia kehadiran setan dan hantu itu, setua dengan upaya mencari kebaikan oleh manusia.”

Saking misteriusnya dan saking terbatasnya pengetahuan manusia, seorang penulis lakon, Samuel Butler, dalam Higgledy-Piggledy: An apology for the Devil, merasa perlu “minta maaf” kepada sang setan dan sang hantu. Sang penulis ini bilang, “maaf ya, kami memandangmu secara sepihak”, “kami hanya tahu tentangmu dari satu sisi”, “kami hanya tahu kehadiranmu berdasarkan peristiwa-peristiwa di versi naskah-naskah yang dianggap keramat.”

Ibarat gayung bersambut, Augosto Boal, juga dramawan, bilang, “Setan dan hantu tak pernah ada pada naskah-naskah yang berisi kekejaman. Naskah-naskah kekejaman bukanlah wahana untuk mengerti siapa sang setan, siapa sang hantu. Lagi pula, tak ada autobiografi tentang setan. Apa pun yang kita tahu tak lebih dari penentangan terhadap setan, legitimasi setan senantiasa ditolak. Ekspresi setan dan hantu yang dekil di budaya Nusantara tetapi modis di budaya Barat adalah semata-mata cara kedua bangsa ini melihat diri sendirinya terhadap ‘apa ada yang di luar kebaikan’”.

Itu sebabnya, logika seorang filsuf, Plotinus, misalnya, mengandaikan, “setan dan hantu” bukan soal “inspirasi yang menggairahkan”, bukan juga soal “daging dan tulang” tubuh manusia. Di situ ada punishment and reward, “hukuman dan hadiah”. Di sana, ada soal stick and carrot, “tongkat dan wortel”. Di situ, yang dianggap jahat  “kena pentungan” sementara yang dianggap baik, dianugerahi hadiah.

Sang filsuf menegaskan punishment and reward serta stick and carrot menjelma menjadi semacam “dalil tentang sesuatu”, yaitu: dalil yang memenangkan kelompok kuasa dan senjata terhadap kelompok tak berdaya. Plotinus menambahkan, “mereka yang tak punya fakultas kebaikantak  berkemampuan bertindak untuk mengenali kebaikanatau  mereka yang hanya tahu keburukan, maka dari pengalaman merekalah kebaikan akan terlihat semakin jelas.”

Untuk itu, soal setan dan hantu adalah soal keadilan. Pasti ada yang mengambil keuntungan di atas vampir dan drakula yang berparas modis, pun pasti ada yang mengambil kesempatan di atas kuntilanak dan genderuwo yang berwajah dekil. Di situ ada relasi kuasa antara yang kaya dan yang miskin, antara kaya dan kaya, dan antara miskin dan miskin. Yang kaya mengancam yang kaya dan yang kaya menindas yang miskin. Lalu, sesama miskin tinggal ketakutan atas kehadiran sang kuntilanak dan genderuwo.

Meski demikian, sang filsuf masih menghibur. Ia bilang, “Keburukan tetap saja berkontribusi pada keseluruhan.” Jadi, hantu dan setan akan mendatangkan dampak sampingan, yaitu: menyadarkan, membangun spirit dan kecerdasan, dan membuat setiap orang menyadari bahwa kebaikan yang sangat besar adalah kebajikan. Vampir dan drakula yang modis serta kuntilanak dan genderuwo yang dekil akan menyadarkan manusia bahwa “manusia baik bukan setan, pun bukan hantu”.


 
Alwy Rachman.